Ancaman Keragaman dalam Kasus Baliho UKDW

Belum juga usai riuh-rendah di dunia nyata dan maya terkait kasus tuduhan penistaan agama terhadap Ahok dan aksi massa 411 & 212, masyarakat sudah tersuguhi peristiwa pembubaran acara Kebaktian Kebangunan Rohani (KKR) Ibadah Natal yang digelar pada 6 Desember 2016 di Gedung Sasana Budaya Ganesha (Sabuga), Bandung, oleh kelompok yang menamakan dirinya Pembela Ahlus Sunnah (PAS).

Hanya selang sehari kemudian, giliran warga Yogyakarta yang mendapati peristiwa yang mirip: Forum Umat Islam (FUI) memaksa turun baliho di depan Universitas Kristen Duta Wacana (UKDW) Yogyakarta yang memuat foto perempuan muslimah berjilbab. Pemaksaan itu juga disertai ancaman: jika baliho tidak diturunkan, mereka sendiri yang akan menurunkannya.

Menurut FUI, universitas yang mayoritas mahasiswanya beragama Kristen tersebut tidak pantas memasang spanduk perempuan berjilbab. Rektor UKDW Dr. Henry Feriadi dalam konferensi persnya mengatakan bahwa foto-foto dalam baliho tersebut adalah mahasiswa-mahasiswi UKDW yang berprestasi.

Salah satu di antara mereka adalah seorang mahasiswi muslim, yang terpilih melalui proses seleksi untuk ikut dalam foto materi promosi penerimaan mahasiswa baru. Feriadi menambahkan, mahasiswa senang jika foto mereka bisa masuk dalam materi promosi universitas dan mereka melakukannya tanpa paksaan. Namun karena desakan FUI, pihak UKDW akhirnya menurunkan baliho pada beberapa titik di depan UKDW.

Pemaksaan oleh FUI tersebut, meskipun tampak sebagai peristiwa kecil, sekadar menyangkut baliho, mengandung beberapa problem serius, dan nilai penghargaan atas keragaman Yogyakarta yang menjadi taruhannya.

Pertama, peristiwa tersebut mencoreng citra Yogyakarta sebagai kota pendidikan yang multikultural. Salah satu ciri masyarakat multikultur ialah keterbukaan untuk mengelola dan merayakan situasi keragaman secara beradab.

Kota Yogyakarta memiliki sejarah panjang dalam merawat benih kebinekaan Indonesia, antara lain dalam kontribusinya sebagai “rumah belajar” bagi puluhan ribu pelajar dan mahasiswa dari berbagai latar belakang agama, etnis, bahasa dan warna kulit, dari berbagai penjuru tanah air.

Interaksi multikultural di Yogyakarta telah terjalin erat tidak hanya dalam pergaulan bermasyarakat pada umumnya tetapi juga di dunia akademik, baik di universitas negeri maupun swasta, termasuk yang berafiliasi pada institusi keagamaan.

Oleh karena itu adalah suatu yang wajar jika pihak pengelola universitas mempromosikan kondisi kemajemukan dalam materi promosi penerimaan mahasiswa baru sebagai refleksi dari kondisi riil masyarakat Indonesia dan Yogyakarta secara spesifik. Representasi keragaman dapat diamati dalam pergaulan sehari-hari di lingkungan universitas-universitas tersebut.

Kedua, peristiwa tersebut menafikan kondisi UKDW yang beragam. Sejak 1985 saat UKDW didirikan, atau bahkan sejak 1962 ketika masih bernama Sekolah Tinggi Teologia, perjumpaan komunitas muslim dan kristen di UKDW bukanlah hal baru, baik di luar maupun di dalam kampus.

Di Fakultas Teologi UKDW terdapat sejumlah muslim yang telah puluhan tahun mengabdi. Program pendidikan bersama antara UKDW dan UIN Sunan Kalijaga juga telah berlangsung lama. Fakta bahwa dosen-dosen dari Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga juga mengajar di Fakultas Teologi UKDW, atau sebaliknya, bukanlah sesuatu yang luar biasa. Proses interaksi ini juga berlangsung intens di kalangan mahasiswanya.

Program pascasarjana di UIN Sunan Kalijaga menjadi salah satu pilihan bagi lulusan UKDW untuk melanjutkan studinya. Sebagai contoh, pendeta mahasiswa UKDW saat ini adalah seorang perempuan alumnus Fakultas Teologi UKDW yang mengenyam pendidikan S2 di Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga.

Contoh sebaliknya adalah Siti Rofiah, seorang pengajar di PP Al-Falah Salatiga yang alumnus program S2 Kajian Konflik dan Perdamaian (MAPS) UKDW. Pada laman Facebooknya, Siti Rofiah menuliskan bagaimana ia menerima perlakukan yang sangat baik tanpa diskriminasi selama ia menjadi mahasiswa di UKDW. Ia bahkan menulis bahwa untuk urusan wudu ada petugas cleaning service yang selalu membantu mencarikan sandal jepit baginya.

Di samping itu, bersama UIN Sunan Kalijaga dan UGM, UKDW telah mendirikan suatu konsorsium untuk pendidikan doktoral dalam studi antaragama, yaitu ICRS (Indonesian Consortium for Religious Studies), yang bertempat di Sekolah Pascasarjana UGM.

Di fakultas-fakultas lain pun ada mahasiswa non-kristiani. Pada tahun 2016 terdapat 7 persen dari total 3.500 mahasiswa UKDW yang berasal dari latar belakang non-kristiani, baik muslim, hindu, buddha, maupun konghucu. Kondisi tersebut memungkinkan mahasiswa maupun penyelenggara pendidikan mengalami proses interaksi dengan sesamanya dari berbagai latar belakang yang berbeda.

Para orang tua mahasiswa dari latar belakang non-kristiani juga mulai memercayakan anak-anaknya untuk belajar di Fakultas Kedokteran UKDW, yang didirikan pada tahun 2009. Hingga 2016, Fakultas Kedokteran UKDW telah menamatkan dan melantik 40 orang dokter yang berasal dari pelbagai latar belakang etnis dan agama, termasuk muslim.

Dalam upacara pelantikan juga wajib hadir perwakilan tokoh-tokoh agama, termasuk perwakilan dari pemimpin agama Islam untuk mendampingi pengambilan sumpah pelantikan dokter.

Proses interaksi antarmahasiswa dari berbagai latarbelakang tersebut merupakan suatu pengalaman yang penting dan perlu diadakan, karena di masyarakat mereka akan berjumpa dengan kondisi yang plural, baik dari segi etnis, latar belakang sosial ekonomi maupun agama.

Dengan demikian, menolak representasi keragaman mahasiswa dalam baliho di UKDW tersebut tidak hanya bertentangan dengan prinsip kebebasan berekspresi di universitas, tetapi juga menyangkal adanya fakta bahwa latar belakang peserta didik di universitas tersebut cukup beragaam.

Ketiga, peristiwa tersebut merupakan ancaman terhadap “ruang perjumpaan” masyarakat. Universitas adalah tempat di mana peserta didik mengembangkan kebebasan berpikir dan berekspresi dan kepekaan sosial yang dicapai bukan hanya melalui proses belajar-mengajar di kelas, melainkan juga dari pengalaman dan interaksi baik sesama peserta didik maupun dengan masyarakat sekitar. Dengan pengalaman itu, mereka diharapkan siap untuk berbaur dengan dengan kondisi riil masyarakat yang beragam ketika mereka menyelesaikan pendidikannya.

Ruang perjumpaan bagi muslim dan kristiani itu perlu dijaga. Tidak banyak sekolah yang berafiliasi dengan lembaga keagamaan yang menyediakan ruang perjumpaan bagi orang-orang yang berbeda agama. Alih-alih merayakan keragaman, banyak lembaga pendidikan yang justru membudayakan keseragaman dan menyelenggarakan pendidikan yang monolitik untuk satu agama saja.

Dengan demikian, pemaksaan penurunan baliho tersebut bukan sekadar menyangkut representasi fakta keragaman mahasiswa UKDW, melainkan juga merupakan ancaman terhadap keterbukaan ruang yang plural yang merupakan fondasi toleransi.

Lebih jauh, jika kelompok yang memaksa penurunan baliho itu menyebut dirinya Forum Umat Islam, kita bisa bertanya: muslim mana yang mereka wakili? Tentu bukan muslim yang menjadi mahasiswa ataupun orang tua mereka yang mempercayakan pendidikan anaknya di UKDW; bukan pula dosen-dosen muslim yang telah bertahun-tahun bekerjasama dengan UKDW dari UIN Sunan Kalijaga ataupun UGM untuk mengembangkan studi agama yang inklusif.

Lebih dari masalah baliho, rekam jejak FUI harus mendapat catatan khusus. Tidak seperti Pembela Ahlus Sunnah (PAS), FUI sudah lama bergerak bebas di Yogyakarta.

Kita bisa mendaftar aksi-aksi vigilantismenya, antara lain: pemaksaan pembatalan diskusi di UIN Yogyakarta yang menghadirkan pembicara dari tokoh Syiah; pembubaran pesantren waria, Al-Fatah; penyebaran spanduk-spanduk berisi ujaran kebencan terhadap Syiah, komunis, dan LGBT di banyak jalan besar di Yogyakarta; dan pembubaran acara peringatan Hari Pers Dunia yang diadakan oleh Aliansi Jurnalis Independen.

Fakta bahwa aksi-aksi ini dibiarkan—dan semua aksi ini dilakukan hanya dalam setahun terakhir—merupakan persoalan yang sangat serius.

Tidak seperti Wali Kota Bandung Ridwan Kamil yang sigap merespons dan sudah berencana menindak ormas PAS, hingga artikel ini selesai ditulis bahkan belum ada sepatah katapun muncul dari Wali Kota Yogyakarta maupun Gubernur DIY. Tidak berlebihan jika muncul dugaan bahwa di balik aksi-aksi vigilantisme FUI ini ada problem yang lebih sistemik dari yang tampak di permukaan.

Seharusnya pihak keamanan dan pemerintah kota maupun provinsi tidak tinggal diam ketika kelompok-kelompok yang mengklaim mewakili suatu komunitas agama menyebarkan ketakutan. Membiarkan kejadian-kejadian “kecil” seperti ini berarti memberikan lahan subur bagi tumbuhnya sikap keagamaan yang eksklusif.

 

Marthen Tahun

Catatan: Tulisan ini dikutip sudah seizin penulis. Laman asli tulisan ini lihat di:

http://crcs.ugm.ac.id/news/9785/ancaman-keragaman-dalam-kasus-baliho-ukdw.html

Penulis adalah Staf Peneliti di Center for Religious & Cross-Cultural Studies (CRCS), Sekolah Pascasarjana UGM.

Foto: Merdeka.com/Purnomo Edi

Sisi Lain Kasus Ahok

Tentu saja saya bersimpati pada Ahok, terlepas dari dia berposisi minoritas seperti saya yang pelik dan tak mudah mengharap kesetaraan sebagaimana jaminan konstitusi negara mengenai kebebasan menganut suatu keyakinan agama.

Kuatnya desakan untuk membuat dirinya terpidana dan “masifikasi’ perlawanan pada dirinya–sebelum kasus atau tuduhan penodaan agama–dengan meletupkan pelbagai tuduhan dan isu, itu yang terutama membuat saya melihat unfairness dan lebih dilandasi energi kebencian pada dirinya.

Kebencian karena pelbagai alasan, motif, namun bila para pembenci itu jujur, lebih karena ia seorang petahana yang paling mudah meraup suara dukungan untuk jadi Gubernur DKI berikutnya.

Ia fenomenal, didukung tak hanya orang-orang berpendidikan, para white collars, namun juga kalangan jelata yang minim pendidikan. Tak pandang suku, agama, dsb. Dalam waktu singkat dan tanpa dia rekayasa, sejuta lebih KTP warga DKI yang heterogen, berhasil dikumpulkan “Teman Ahok” yang hanya beberapa orang muda penggagasnya.

Berduyun-duyun orang, tak pandang suku, agama, strata sosial, sukarela dan girang menyerahkan fotokopi KTP; tentu saja itu fenomena yang mencengangkan, mengundang decak kagum, walau di seberang–yakni para penentang dan yang semakin khawatir tak bisa lagi menjadikan uang Pemprov DKI Jakarta jadi bancakan–bertambah gelisah dan geram.

Semua tahu, segala cara diupayakan untuk mengadangnya, termasuk orang-orang parpol yang sebelumnya tak mau mendukungnya namun kemudian hanya bisa mingkem setelah bos-bos partai memutuskan dukungan. Popularitas, daya pikat Ahok, dan dinamika politik yang tak biasa itu, barangkali baru kali ini terjadi dalam sejarah perebutan kekuasaan di negara ini.

Ahok yang menjadi idola dalam waktu cepat tanpa biaya PR, hanya karena keberanian dan ketegasan, berbahasa ceplas-ceplos namun logis, bernalar, yang kemudian disebut “kasar,” “tidak sopan,” “sombong,” dsb, oleh para penentangnya.

Ahok yang kelewat pede dengan pikirannya membenahi Jakarta dengan logika-logika yang kukuh dipercayainya–termasuk mengembalikan bantaran kali dari pemukiman slums, ilegal, terlepas dari pemihakan pada kaum marjinal yang digusur dan dipindahkan ke rusun-rusun yang disiapkan Pemprov.

Ahok yang menutup secara ketat keran uang pada mereka yang dianggap lazim bila pejabat Pemprov berkolaborasi dengan politisi, pengusaha, kontraktor, membagi-bagi proyek–termasuk me-mark up anggaran, dsb.

Ahok yang membuat resah para pejabat dan pegawai Pemprov DKI karena menerapkan disiplin yang ketat, memecat dan mengangkat pejabat dan aparat setiap saat dia mau lakukan bila menurutnya tak becus kerja, menyemprot bawahan di hadapan pewarta dan siapa saja.

Ahok yang kelewat bersemangat ingin mengubah mentalitas dan sistem di lingkungan administrasi pengurus ibukota dalam waktu singkat hingga mengabaikan unsur sensitivitas bahwa ia seorang yang dianggap minoritas namun kok kelewat berani, dan bekerja terang-terangan pula, termasuk mengungkapkan kebobrokan pejabat serta permainan anggaran ratusan milyar rupiah setiap tahun.

Ahok yang tak peduli resistensi dari yang tak “bahagia” (dan itu ada banyak) yang berniat menggulingkannya melalui cara apa saja, lalu membentuk aliansi-aliansi.

Maka, tanpa kasus (tuduhan) penodaan agama itu pun Ahok telah banyak mengumpulkan pembenci. Mulai dari yang mengandalkan isu sektarianisme-primordialisme, sentimen antietnis tertentu, ditambah “warisan” perseteruan pasca dan post pilpres, hingga para orang terdidik yang sebelumnya bersikap “objektif dan netral” namun berbeda paradigma serta pendekatan mengenai pembangunan dan pemberdayaan masyarakat pinggiran.

Ahok yang ironis karena di satu sisi ada berjuta penggemar namun di sisi lain tak kalah banyak pula yang membenci–walau berdalih ini itu namun kandungan kebencian tetap tak tertepis.

Tak ada lagi yang perlu disesali karena toh tak mungkin mengembalikan ke situasi sebelum penyebaran video editan oknum bernama BY itu menyebar dan mengundang amarah; sesuatu yang masih terus menjadi bahan perdebatan dan gunjing yang hanya berisi dua warna: bukan penodaan agama dan sebaliknya, itu masuk kategori penistaan.

Hiruk-pikuk dan pertengkaran yang membela dan membenci Ahok sungguh-sungguh melelahkan, bukan lagi sebatas persoalan lokal namun nasional, bahkan menjadi sorotan dunia internasional. Ahok yang fenomenal dan kontroversial!

Ada banyak yang bersorak atas pengadilannya yang dimulai hari ini, ada banyak yang emosional dan terharu hingga mengaku sampai meneteskan airmata. Airmata–serta doa–untuk yang mereka percaya hendak membangun ibukota yang dampaknya melanda ke semua penjuru wilayah negara.

Dampak positif tentu saja karena telah kelamaan masyarakat yang kritis muak menyaksikan ulah para pemimpin–termasuk di daerah mereka. Mereka begitu emosional dan sampai menangis karena merasa dan percaya, Ahok adalah idola, harapan, bagi perbaikan Indonesia; berasal dari berbagai suku dan agama serta lapisan sosial.

Maka, pengadilan Ahok adalah pula pertarungan antara akal sehat dan emosi yang bisa menguras enerji di kalangan yang mendukung dan membenci. Ada setitik harapan bahwa hukum akan dijalankan aparat pelaksana dengan benar–setidaknya mengindahkan prinsip dan moral HAM yang dianut PBB.

Salah satu: menjamin peradilan yang bebas dari intervensi, menjaga fairness, bagi siapa saja manusia di muka bumi ini–namun lebih dominan bayangan kekecewaan, bahkan kecemasan: Ahok akan dihukum, dipenjara, sementara ia dipercaya pendukungnya atau yang masih mempertahankan akal sehat: tak berniat menghina suatu agama

Bukan tak mungkin Ahok akan terjerat pasal pidana mengenai penodaan agama–walau pada yang lebih keras dan jelas melakukan tak dijerat, entah karena apa–dan dihukum majelis hakim yang menyidangkan; entah percobaan atau kurungan. Barangkali, majelis hakim yang menangani perkara pun masih berbeda pikiran karena pelbagai pertimbangan, terutama unsur pidana, dan tekanan massa di sisi lain.

Maka, peradilan Ahok akan menjadi peradilan yang amat menegangkan dan krusial–bahkan amat kritis–tak hanya bagi rakyat Indonesia, pula majelis hakim yang menyidangkan perkara. Bagi masyarakat luas, hanya ada dua keinginan: bagi pembenci, ia layak dihukum, dan bagi yang bersimpati, ia patut dibebaskan dari segala tuduhan.

Pengadilan Ahok pun bukan lagi arena peradilan atas pelanggaran suatu pasal pidana mengenai penodaan agama belaka, namun memiliki spektrum yang lebih luas dan mengguncangkan.

Tak mudah tentu bagi majelis hakim yang menyidangkan. Sangat tak mudah, dan biarlah itu menjadi pertaruhan integritas dan kredibilitas mereka menjalankan pekerjaan, terutama pada sumpah yang telah diaminkan saat dinobatkan jadi hakim; pengadil yang tak boleh berpihak selain pada keadilan itu sendiri, yang berasal dari ilmu hukum, doktrin, filosofi, dan norma-norma hukum yang disodorkan kitab-kitab hukum–meskipun tak mampu memenuhi kemauan semua pihak, yang menghendakinya dihukum atau dibebaskan.

Saya kira, Ahok telah memikirkan hal terburuk, di luar yang dibayangkan para simpatisannya, dan juga sudah menyiapkan dirinya. Bagi saya, yang kini terjadi atau akhirnya dialami Ahok, kembali mengingatkan bahwa Indonesia adalah negara yang kelewat sensitif bila menyangkut isu agama.

Karenanya jangan coba-coba menyepelekan meskipun tak ada motif melecehkan. Hanya akal sehat dan keluasan wawasan yang mampu menetralisir. Sementara, itu suatu hal yang sulit diharapkan merata dimiliki 250 jutaan warga yang amat beragam latar belakang, pendidikan, keyakinan, pergaulan, dan cara pandang.

Dengan kata lain, kasus Ahok ini “hanya” pengingat betapa kita belum boleh berharap banyak mengenai kedewasaan berpikir seluruh unsur masyarakat yang merata. Karenanya berhati-hatilah selain turut serta menjadi penganjur keutamaan akal sehat, mendorong upaya-upaya pencerdasan di lingkungan terdekat–antara lain melalui media sosial–dan tak turut di barisan kaum pandir yang malas berpikir.

Pendidikan formal itu amat penting, berguna banyak, namun yang terutama ialah: untuk membangun kerangka pikir yang logis dan bernalar, membongkar kepicikan atau kegelapan pikiran, membangun kesadaran bahwa alam dan manusia tak sesimpel yang tersimpan di benak, baik karena ajaran, doktrin, dogma, maupun mitos-mitos yang terwariskan.

Mari redam emosi, sesekali penting pula merenungkan betapa absurd dan kejam bila menyangkut “urusan dan perjuangan menggapai keadilan,” sambil mengingat beratus ribu manusia Indonesia yang (pernah) menjadi korban. Antara lain, mereka yang dihukum tanpa proses peradilan yang sesuai dengan kaedah hukum pasca G 30 S. Orang-orang yang dihukum mati tanpa suatu kesalahan yang telah dibuktikan melalui persidangan.

Perjalanan Ahok akan menjadi catatan penting dalam perjuangan keadilan, namun yang dialaminya tak seberapa dibanding korban-korban kekejaman suatu rezim atau penguasa di negara ini, pun di negara lain. Semoga ia kuat dan pendukungnya tetap mengutamakan akal sehat.

Mungkin ada yang tak gembira dengan catatan singkat ini, tak mengapa, karena saya pun tengah mendidik diri saya agar terus membiasakan berpikir tenang, konstruktif, selalu memikirkan berbagai aspek, dimensional, suka atau tak suka, setuju atau menentang situasi yang tak menyenangkan ini.

 

Foto: Admin Petraonline.net

Berdoa dengan Yakin, Sangat Besar Kuasanya

Doa orang yang benar, bila dengan yakin didoakan, sangat besar kuasanya (Yak. 5:16b).

‘Sangat besar kuasanya’ pada ayat ini sering ditafsirkan dengan pengabulan doa sesuai dengan apa yang diucapkan berdasarkan kebutuhan atau kepentingan si pendoa. Karena Allah maha kuasa maka Ia pasti dapat mengabulkan apapun permintaan si pendoa asal, pertama, yang berdoa itu orang benar, kedua, berdoanya dengan yakin.

Jadi bila ada orang kristen berdoa dan doanya tidak dikabulkan Tuhan, misalnya ketika berdoa untuk kesembuhan penyakitnya tidak terkabulkan, maka timbul pertanyaan, jangan-jangan si pendoa ada dosa-dosa tertentu yang belum beres, atau, mungkin juga si pendoa kurang yakin dalam doanya atau kurang beriman. Apakah ini tafsiran yang benar? Apakah cara menafsir seperti itu adalah tafsiran yang sehat?

Memang ayat di surat Yakobus ini bisa membawa kita kepada penafsiran seperti itu, karena setelah ayat ini diberikan contoh Elia yang berdoa menghentikan hujan, lalu hujan berhenti, lalu berdoa lagi untuk turun hujan, lalu hujan pun turun. Nah lihatlah Elia, dia berdoa dengan sungguh-sungguh dan apa yang didoakan menjadi kenyataan. (ayat 17-18).

Apalagi jika ayat ini dikaitkan dengan perkataan Yesus, “Karena itu Aku berkata kepadamu: apa saja yang kamu minta dan doakan, percayalah bahwa kamu telah menerimanya, maka hal itu akan diberikan kepadamu.” (Mar. 11:24). Maka tafsiran tentang arti ‘yakin’ dalam surat Yakobus, yakni pasti dikabulkan sesuai permintaan, seolah semakin bersinar kebenarannya. Dan kata ‘yakin’ dalam surat Yakobus disamakan dengan: ‘percayalah bahwa kamu telah menerimanya.”

Dengan pola menafsir seperti itu tidak heran bila ada seorang ibu yang anaknya sakit lalu ketika didoakan bukannya sembuh tapi malah meninggal, maka si ibu dan mungkin anaknya juga akan dihakimi sebagai orang yang kurang beriman, atau ada dosa-dosa tersembunyi yang belum dibereskan. Penghakiman yang sama akan terjadi juga pada seseorang yang ketika berdoa usahanya supaya maju, ternyata malah bangkrut. Inilah akibat cara menafsir Alkitab yang tidak sehat.

Sekarang coba kita ambil tokoh Paulus. Tiga kali ia berdoa kepada Tuhan agar gangguan Iblis dihentikan (2 Kor. 12:7-8). Dalam kasus doa Paulus ini tentu saja kita tidak akan mempertanyakan apakah dia orang benar atau bukan, karena dia adalah Rasul; kita juga tidak akan meragukan apakah dia sungguh beriman atau tidak dalam doanya. Tetapi apa jawab Tuhan kepada orang benar yang sungguh-sunguh, sampai tiga kali, dalam doanya itu? “Cukuplah kasih karunia-Ku bagimu, sebab justru dalam kelemahanlah kuasa-Ku menjadi sempurna.”

Amat jelas bahwa Tuhan tidak mengabulkan permintaan Paulus. Tetapi hal ini bukan karena Paulus kurang benar atau kurang beriman, tetapi karena Tuhan punya rencana atau cara atau maksud yang lain bagi Paulus. Dan atas jawaban Tuhan itu, bagaimana respons Paulus? ‘Sebab itu terlebih suka aku bermegah atas kelemahanku, supaya kuasa Kristus turun menaungi aku (2 Kor. 12: 9)’.

Jelas sekali Paulus menyesuaikan hidupnya sesuai dengan jawaban Tuhan itu. Dari kasus Paulus ini bisa kita tarik pelajaran bahwa doa itu bukanlah memaksa Tuhan menyesuaikan diri dengan kehendak atau keingin kita, tetapi kitalah yang harus menyesuaikan diri dengan pimpinan dan rencana Tuhan. Ibarat garpu tala dan gitar. Gitarlah yang harus distem sesuai dengan garpu tala, bukan sebaliknya.

Ketika kita berdoa, silahkan uangkapkan segala permohonan kita. Seperti ajaran Paulus, “Janganlah hendaknya kamu kuatir tentang apapun juga, tetapi nyatakanlah dalam segala hal keinginanmu kepada Allah dalam doa dan permohonan dengan ucapan syukur.” (Fil. 4:6). Tetapi bersikap jugalah seperti Paulus ketika Allah berkehendak lain dari apa yang kita doakan. Doa kita bukan untuk mengubah Allah, melainkan menyerahkan diri kita untuk diubah Allah. Kitalah yang harus menyelaraskan diri dengan kehendak Allah, bukan sebaliknya.

Dalam berdoa kita harus yakin, itu benar sekali. Tetapi, yakin dalam hal apa? Keyakinan Paulus bukanlah yakin bahwa Allah pasti mengikut kehendaknya, atau mengabulkan apa yang didoakannya, melainkan ia yakin bahwa apapun jawaban Allah adalah yang terbaik bagi dirinya. Itulah isi keyakinan Paulus.

Doa orang benar dan yakin sangat besar kuasanya, itu benar sekali. Paulus mengalami kuasa Tuhan yang besar itu ketika ia menyesuaian dirinya dengan jawaban Tuhan. “Sebab itu terlebih suka aku bermegah atas kelemahanku, supaya kuasa Kristus turun menaungi aku.”

Paulus meneladani Kristus dalam doanya, “…tetapi bukanlah kehendak-Ku, melainkan kehendak-Mulah yang terjadi.” (Luk. 22:42).

-*-
Foto: Pixabay

Merayakan Natal Jangan Parsial

Natal baru akan diperingati pada 25 Desember, tapi suasananya sudah terasa sejak akhir November ini di mana-mana.

Dan suasana Natal yang khas dan itu-itu saja saban tahun adalah suasana gembira mengarah hura-hura, pesta, hadiah, baju baru, pohon terang, Santa Claus, lagu-lagu Natal dan sebagainya.

Dari kecil juga saya larut dalam suasana seperti itu kok. Saya senang sekali kalau Natal tiba. Banyak kue, baju baru, pohon terang, orang-orang saling berkunjung, lagu Natal, acara-acara gerejawi, maupun natalan di komunitas.

Tapi di mana Yesusnya? Kalaupun membicarakan Yesus, cukup berhenti pada Yesus sebagai bayi saja.

Sudah lama saya menyadari bahwa jarang sekali yang memaketkan Natal dengan Paskah. Kotbah Bang Alex Nanlohy di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia, pada Jumat pekan lalu, kembali menyegarkan kesadaran itu.

Bisa jadi karena jaraknya di kalender yang berjauhan juga. Atau, jangan-jangan kita ini memang cenderung ingin senang-senangnya saja dan itu dimanfaatkan dunia.

Apa hubungannya Natal dan Paskah? Iyalah ada hubungannya. Natal ada hubungannya dengan DOSA. Yesus lahir hanya untuk kemudian menuju bukit Golgota untuk menebus DOSA kita.

“Hadiah Natal sejati bukanlah yang bertumpuk di bawah pohon (terang), tapi yang tergantung di kayu salib,” kata Bang Alex.

Syair lagu berikut ini mungkin menarik untuk direnungkan:

Waktu kecil kita merindukan Natal
Hadiah yang indah dan menawan
Namun tak menyadari seorang bayi tlah lahir
Bawa keselamatan ‘tuk manusia

Waktu pun berlalu dan kita pun tahu
Anugerah yang ajaib dari Bapa
yang relakan AnakNya disiksa dan disalibkan
di bukit Kalvari kar’na kasih

Karena kita Dia menderita
Karena kita Dia disalibkan
Agar dunia yang hilang diselamatkan
Dari hukuman kekal

***

Tak apa kalau saat kecil kita tumbuh dengan pemahaman yang keliru. Belum terlambat untuk memiliki kesadaran yang baru.

Yes! Memikirkan Natal sekaligus harus memikirkan karya Tuhan sebagai satu kesatuan yang utuh. Jangan sepotong-potong. Jangan hanya mau senang-senangnya, tapi tak mau merasakan sakitNya.

Merasakan sakitNya pun bukanlah akhir (jangan kau kuatir itu). Ada kebangkitan dari kematian, yang mendatangkan pengharapan dan sukacita yang sejati.

Lalu dari kebangkitan, ada kenaikan ke surga yang memberikan kepastian akan tempat kita di sana. Dari kebangkitan, ada karya Roh Kudus yang mendampingi orang percaya sampai Yesus datang kembali kedua kali.

Beriman Kristen tak bisa parsial. Sebab yang parsial itu berbahaya.

Berpotensi dimanfaatkan industri untuk meraup keuntungan ekonomis dari kecenderungan kita menyukai hura-hura. Berpotensi melumpuhkan iman, kalau hanya berhenti pada penderitaan belaka.

===

Foto: Pixabay/Devanat

Pesta Bom pada Suasana Natal di Kakas, Minahasa 1941

Desa Talikuran, Kecamatan Kakas, 26 Desember 1941. Halaman muka gereja desa Talikuran, yang terletak di Kecamatan Kakas, Minahasa, sejak pagi-pagi sekali sudah penuh dengan anak-anak yang asyik bermain-main.

Mereka semua tengah menunggu dibukanya acara kebaktian Hari Kedua Natal yang tepat jatuh pada hari Jumat itu. Sementara di ruang dalam gereja, Pendeta Wim Wagay bersama koster (penjaga gereja) sibuk baku atur persiapan-persiapan kebaktian kudus yang dimulai pukul 08.00 pagi.

Menurut rencana, pada pagi hari itu, Pendeta Wagay akan membaptis lima puluh anak-anak muda, termasuk di antaranya seorang lekaki dewasa. Yang terakhir ini adalah Kepala Pengawas Listrik Kecamatan, Ir.Soedarjono. Pemuda Jawa ini akan di baptis, berhubung tak lama lagi bakal menikah dengan seorang gadis asal desa Talikuran, Tine Sumaiku.

Sebagai desa yang terletak di jantung wilayah Minahasa yang penduduknya mayoritas penganut Kristus, sudah barang tentu suasana Natal sangatlah semarak dan penuh pesta pora.

Lagu-lagu Natal bergema semalaman tanpa istirahat di tiap lorong dan relung kampung desa. Dan sampai pagi itupun, lagu-lagu pujian masih terbawa juga oleh kanak-kanak yang riuh di depan gereja.

Suara-suara mereka berbaur di dalam nada-nada yang berbeda, mereka nyanyikan lagu-lagu: Malam Kudus, Damai di Bumi, Yesus telah Lahir, dan lain-lainnya, dan tidak beraturan.

Tetapi apa yang terjadi kemudian? Gema suara yang menggembirakan itu tiba-tiba tersirap oleh suara-suara lain yang sebelumnya belum pernah mereka kenal. Semua mata terdongak ke angkasa raya dari mana sumber suara asing itu meraung-raung.

Maka terlihatlah di udara pada ketinggian tertentu semacam “burung-burung besi” yang membentuk formasi yang mencengangkan. Tampak sangat jelas di atas desa, para “burung besi” memecah dan menukik ke bawah seraya menyemburkan suara-suara ledakan merentet berkesinambungan.

Benda-benda itu sambil memain-mainkan keluasan udara dalam jarak rendah memuntahkan mesiu laksana siraman api yang meledak-ledak memekakan telinga. Baru sadar sekarang, bahwa benda-benda itu tak lain tak bukan adalah pesawat-pesawat tempur jenis “Zero” milik bala Tentara Dai Nippon.

Sasaran-sasaran mereka mengarah tepat di landasan militer Kalawiran, dan juga Pangkalan Udara Tasuka, yang terletak di tepi Danau Tondano.

Sebuah pesawat air jenis “Sikorski” milik KNILM (Koninklijk Nederlandsche Indisch Luchtvaart Maatschappij) yang tengah mengisi bahan bakar menjadi sasaran pertama, seketika itu juga meledak berkeping.

Tak terkecuali juga pesawat air yang lain milik Angkatan Laut Hindia-Belanda jenis “Dornier” yang sedang menanti giliran memperoleh bahan bakar, walaupun sudah berusaha menghalau “tamu-tamu” yang terdiri dari enam pesawat tempur dengan mitraliur ukuran 20 mm, namun agaknya sia-sia belaka.

Sersan No’e dan beberapa rekannya dari Angkatan Laut Hindia-Belanda memang sudah bekerja keras berusaha menyingkirkan pesawat pesawat Jepang itu. Tetapi nasib buruk tetap tak bisa dibendung, karena berondongan peluru dari udara lebih tangkas berperang.

Akibatnya, selain sang “Sikorski”, empat “Dornier” pun menjadi berantakan dalam tempo pendek dan lumat pelan-pelan ditelan air Danau Tondano.

Bom-bom bakar musuh yang menghujani sekitar lapangan terbang Tasuka mengakibatkan mandi darah yang dahsyat bagi anak-anak muda yang pada Malam Natal masih menyanyi lagu-lagu kelahiran kelahiran Kristus.

Seorang Kapten pilot KNILM yang berhasil melompat saat pesawatnya jatuh merenangi Danau Tondano melihat anggota-anggota KNIL di semak-semak yang tidak bergerak sedikit pun dan kembali dengan perahu ke pesawat untuk mengamankan sebanyak mungkin korban yang luka berat. Seorang diri dia berhasil membawa beberapa beberapa orang ke daratan.

Ketika dengan sangat letih sampai di dermaga dengan angkutannya terakhir, dia melihat seorang opsir berpakaian rapih, lengkap dengan tanda-tanda jasa, muncul dari rerumputan yang tinggi.

Si penerbang itu, perwira R, gemetar gemas karena amarah hingga ia berteriak: “Lakukan sesuatu! Tolong orang-orang ini.” Tetapi ia memperoleh jawaban dari opsir ini: “Maaf, tetapi saya tak boleh memberitahu posisi saya sebelum menyerang…”

Keadaan menakutkan yang hadir begitu tiba-tiba itu, menerbitkan kepanikan yang amat sangat bagi penduduk di desa-desa yang mengelilingi kedua lapangan terbang di wilayah Minahasa itu.

Acara suci gereja yang sedianya diusahakan dengan penuh kedamaian, menjelma dengan hiruk pikuk kekacauan. Wanita-wanita berteriak histeris mencari anak-anak mereka, demikian juga tangisan anak anak terdengar melengking-lengking memanggil ibu-ibunya. Masih disebut untung, karena pesawat-pesawat tempur sama sekali tidak mengarahkan sasaran bom-bomnya di pekarangan gereja di desa itu.

Arkian, setelah melakukan penyerangan sekitar tiga puluh menit, pesawat-pesawat tempur itu menghilang di balik pegunungan Lembean. Acara kebaktian batal.

Penduduk sibuk berkemas mengungsi ke kebun-kebun di luar desa, yang dianggap aman oleh mereka. Gerobak-gerobak kayu yang ditarik sapi atau kuda, dan sarat oleh perabotan rumah tangga tampak memenuhi jalan-jalan desa.

Pendeta Wagay pun telah berada di rumahnya. Ia berusaha membujuk puteranya, Johny yang belum berhenti menangis karena saking ketakutannya pada suara-suara ledakan memekakan telinga beberapa selang.

Begitu Johny Wagay berhenti menangis dan sudah terbujuk, Wim Wagay keluar rumah, ingin tahu apa sebenarnya yang terjadi. Di luar rumahnya terlihat sebuah sepeda yang ditinggalkan pemiliknya. Tanpa pikir panjang, dikayuhnya sepeda itu dan langsung ke arah Tasuka yang letaknya sekitar 3 kilometer dari desa Talikuran.

Ketika itu, pintu masuk Tasuka dijaga oleh Sersan Daniel Timbongol, seorang prajurit pensiunan KNIL yang tergabung dalam korps cadangan. Ia bertugas jaga ketika serangan mendadak itu terjadi.

Begitu dari kejauhan ia melihat Pendeta Wagay datang dengan sepeda, seolah mendapat semangat, Timbongol memanggil rekan-rekan yang dalam suasana siaga bercampur panik.

Merekapun berkumpul mengelilingi Wagay saling memperbincangkan peristiwa yang baru saja terjadi. Sementara mereka saling berembuk, tiba-tiba terdengar lagi raungan suara mesin pesawat tempur.

Pesawat Jepang ternyata kembali lagi. Semuanya berlari berpencar mencari tempat lindung. Ledakan suara keras, seraya terlihat drum-drum minyak beterbangan di udara. Yang menjadi sasaran pesawat penyerang kali ini adalah gudang-gudang logistik bahan bakar.

Mereka hancurkan dengan hujan tembakan mitraliur dan bom. Sungguhpun pesawat itu dihalau juga dengan mitraliur, tetapi kiranya penerbang Nippon cukup lincah menghindar dari peluru-peluru dan langsung menghilang dibalik bukit-bukit.

Penyerangan hari itu berlangsung cukup singkat, tetapi berhasil menghancurkan sebagian dari kekuatan udara pemerintah Hindia-Belanda di wilayah Utara Sulawesi yang menjadi pintu gerbang belahan utara gugusan kepulauan Zamrut Khatulistiwa.

Dengan gebrakan singkat itu berarti invasi pihak Dai Nippon ke Selatan menjadi kenyataan. Pusat militer Hindia-Belanda yang berpusat di Bandung dalam waktu cepat menerima laporan mengenai bobolnya pertahanan di wilayah itu.

Sejak penyerbuan Jepang di Pearl Harbor pada tanggal 7 Desember 1941, usaha invasi berjalan begitu singkat untuk mengadakan perembesan ke wilayah selatan Asia-Timur.

Kekuatan-kekuatan koloni Amerika di Filipina, Prancis di Indo Cina, Inggris di Semenanjung Malaya dan Belanda di Indonesia tidak mendapat dukungan sepenuhnya dari masing-masing pemerintah pusatnya.

Selain karena hancurnya sebagian besar kekuatan armada laut di kawasan Samudera Pasifik, ketika itu Amerika belum lagi memiliki suatu sikap yang jelas menghadapi Jepang dengan tindakan militernya.

Hal ini disebabkan masih kuatnya pengaruh politik isolasi (baca: Doktrin Monroe), hingga belum terlihat adanya ambisi untuk mengambil peranan di dalam percaturan politik global di bidang kekuatan militer, sedangkan di Eropa tengah dilanda peperangan.

 

Harry Kawilarang

Tulisan ini dimuat seizin penulis. Laman asli tulisan ini lihat di halaman Facebook dari Harry Kawilarang

Penulis adalah wartawan senior yang pernah bekerja di Harian Sinar Harapan dan Suara Pembaruan | pemerhati sejarah Indonesia

Sumber Foto dan Bahan Tulisan dari buku Mengindonesiakan Indonesia oleh Harry Kawilarang

Tentang Respek pada Hak Azasi Manusia

Hari ini dunia merayakan hari Hak Azasi Manusia (HAM). Suatu deklarasi yang bersifat universal untuk melindungi setiap insan agar hak-hak dasar-dan azasi terjamin, tak boleh dirampas oleh siapapun. Suatu karya anak-anak manusia yang amat cemerlang untuk membebaskan manusia di belahan mana pun di dunia ini dari ancaman dan tindasan; memberi kebebasan menganut dan melakukan hak-hak yang amat fundamental dan kesamaan status maupun perlakuan tanpa mengenal gender, usia, strata sosial, suku bangsa. Siapapun dia harus dihormati dan dilindungi hak-hak dasarnya.

Prinsip dan moral HAM, secara substansial mengatur:

1. Hak untuk hidup
2. Terbebas dari penganiayaan
3. Terbebas dari perbudakan
4. Berhak mendapatkan peradilan yang adil dan fair
5. Bebas menyuarakan pendapat-pikiran
6. Bebas menganut suatu keyakinan atau agama

Dan hak-hak lain, termasuk orientasi seksual.

Pergumulan untuk melindungi manusia dari hak-hak dasarnya telah dimulai sejak abad 16, ketika kesadaran (sekali lagi kesadaran) mengenai harkat dan kebebasan azasi manusia dianggap amat signifikan.

Filsuf Jhon Locke, salah satu penggagas penting. Pikiran-pikiran manusia yang luarbiasa ini kemudian menjadi bahan perenungan para kaum cendekia di Eropa dan Amerika.

Banyak tantangan dan penolakan, tentu. Terutama dari pihak-pihak yang merasa terganggu, baik karena alasan ekonomi, kepercayaan, budaya, dsb. Naluri dasar manusia memang tak semua menyangkut hal yang baik, pun yang buruk, egoistis, dan kejam. Karena itulah proses dan perjuangan untuk menghormati HAM terasa lama, beradab-abad, sebab banyak tantangan dan ketidaksepakatan.

PBB (United Nations) akhirnya menyepakati dan mendeklarasikan pada 12 Desember 1948. Urgensinya sudah sedemikian krusial, mendesak, karena di berbagai tempat terus terjadi penistaan manusia, baik karena alasan kekuasaan-politik, gender, keyakinan-agama, sosial-ekonomi, budaya. Maka, bagi negara yang menjadi anggota PBB, wajib mematuhi; menerjemahkan prinsip-prinsip dasar HAM tsb ke dalam regulasi, hukum, di negara masing-masing–dan harus dipatuhi. Bila tidak, PBB akan mengambil keputusan dan menjatuhkan sanksi.

Tetapi, mestinya, tanpa ancaman sanksi dari PBB pun sewajarnyalah setiap insan yang beradab (apalagi beragama pula) menghormati HAM. Menghormatinya, berarti pula menghormati diri sendiri.

Deklarasi menyangkut pengakuan dan penjaminan atas HAM pun merupakan karya besar dan luhur. Perlahan-lahan, tindak kebiadaban terkikis, dan gagasan menyebarkan prinsip-prinsip keadilan, fairness, demi kemanusiaan, menjadi pegangan bermilyar warga dunia.

Namun hingga kini, isu dan persoalan HAM masih terus menjadi keresahan bersama dan jadi keprihatinan PBB serta para cerdik-cendekia dan aktivis yang peduli. Masih banyak perlakuan dan terus terjadi pelanggaran HAM di berbagai negara. Pelakunya bisa negara, institusi, kelompok, pun person.

Minimnya pengetahuan mengenai HAM, ditengarai salah satu penyebab mengapa masih terus terjadi pelanggaran–apalagi bila perspektif agama dan budaya yang dipakai saat menilai segala sesuatu menyangkut manusia. Seharusnya, sejak dini dan dalam materi pendidikan dasar sekolah formal, prinsip dan moralitas HAM menjadi materi penting dan tak terputus hingga level pendidikan selanjutnya.

Pengetahuan dan kesadaran mengenai (pentingnya) HAM pulalah menjadi modal utama untuk menciptakan relasi sosial, hubungan antarindividu, dan relasi serta tanggungjawab pengelola negara dengan rakyat. Dasar tuntutan pun dibekali oleh pemahaman yang memadai menyangkut hak-hak dasar tiap manusia, tak hanya warganegara.

Negaralah memang yang paling bertanggungjawab menjamin dan melindungi HAM setiap orang yang berada di wilayahnya. Maka, sungguh mengherankan, hingga kini, upaya untuk menyebarkan dan mengingatkan serta yang terutama menjamin HAM setiap warga, belum menjadi concern utama penyelenggara negara.

Kritik saya pada pemerintahan Jokowi, setuju atau tidak dengan yang saya sampaikan ini, menteri-menteri dan departemen pemerintah yang membidangi semua aspek HAM, belum berbuat maksimal. Sama saja dengan rezim yang digantikan. Apa saja upaya yang dilakukan Menteri Hukum & HAM selama ini, misalnya, sila Anda “renungi dan evaluasi.”

Negara tidak boleh kalah pada pelanggar HAM, dan para cerdik-pandai, orang terdidik, para terpelajar, seharusnya ikut peduli dan tidak berstandar ganda. HAM menerobos sekat-sekat yang memisahkan dan membedakan manusia, menolak segala bentuk diskriminasi dan perlakuan tak adil, menjunjung fairness dan keadilan yang substansial–tanpa memandang gender, strata sosial, etnisitas, seagama atau tidak, dll. Prinsip kesetaraan, equality, menjadi pegangan dasar.

Negara memang harus terus mendidik warga mengenai HAM, namun bila abai, tak sepatutnyalah orang-orang terdidik seperti Anda, ikut-ikutan tak menghormati. Sayang sekali pengetahuan dan ijazah yang dikoleksi.

Salam damai, mari respek HAM demi humanisme tanpa membedakan siapa dia: apakah seiman-seagama, pribumi, turunan Arab, China, India, Eropa, Afrika, dan lain-lain.

Foto: Pixabay/Geralt

Nasihat bagi Ketiga Anak

Hari ini, esok, lusa, dan seterusnya, akan muncul lagi “berita” atau info yang macam-macam. Apakah akan terus menjadikannya sesuatu yang penting dan kemudian menyampaikan di laman media sosialmu?

Sebetulnya, orang-orang pun telah tahu dari media-media yang mereka klik atau baca. Namun, karena merasa tak berguna, menggelikan, atau hanya repetisi orkestrasi kebodohan, lantas diabaikan.

Tak semua pula perlu disampaikan dan digunjingkan, adakalanya cukup diolah di pikiran, lalu bila tertarik: membuat kesimpulan (sementara) untuk menambah pemahaman. Atau langsung membuangnya ke keranjang sampah karena memang tak berfaedah.

Itulah salah satu faedah pendidikan, menjadikan otak berfungsi menyaring informasi, ajaran, agar tak jadi gumpalan kesia-siaan.

Pertemuan yang Mengubah Hidup

Kita bertemu banyak orang di dalam perjalanan hidup ini. Beberapa orang mempengaruhi pola pikir kita, membawa kita menuju kedewasaan, membuat kita menjadi orang yang lebih baik dari hari ke hari.

Beberapa orang menginspirasi kita, membuat kita belajar banyak mengenai keberanian, semangat juang, kerja keras, pantang menyerah, sabar, bertahan, dan menanti dalam pengharapan.

Salah seorang perempuan yang mempengaruhi pola pikir saya selama hampir 7 tahun terakhir ini adalah Enchi Fumiko, salah seorang pengarang perempuan Jepang. Saya menghabiskan waktu 6 tahun untuk mempelajari karya-karya dan kehidupan beliau selama saya studi di Jepang.

Karya-karyanya sering membuat saya menangis kesal karena untuk membacanya saja butuh usaha dan kerja keras, tetapi juga sekaligus membuat saya menangis sedih, karena membayangkan nasib tokoh-tokoh perempuan di dalam karya-karyanya yang terjebak dalam kungkungan masyarakat patriarki.

Sekaligus membuat saya menangis haru, ketika akhirnya, setelah perjuangan dan penantian panjang selama hampir 30 tahun, beliau berhasil meraih impiannya menjadi seorang penulis yang diakui di dalam dunia kesusastraan Jepang modern.

Beliau melewati masa-masa suram tidak dapat menulis karena masalah rumah tangganya, masa-masa pahit melihat satu persatu pengarang perempuan lainnya beranjak naik karirnya, sedang beliau hanya diam di rumah karena sakit dan selama beberapa tahun. Sekalipun beliau menulis, tidak ada yang mau menerima tulisannya untuk dipublikasikan.

Satu gaya hidup yang beliau wariskan untuk saya adalah “shifuku” (terus berkarya dan mempersiapkan diri sampai suatu hari tiba waktunya untuk mekar sempurna).

Memang akhirnya di usia nyaris 50 tahun, beliau sukses menjadi penulis, tetapi bagaimana perasaannya saat beliau menjalani usia 20an, 30an, 40an? Tentu kegalauan, kekhawatiran, putus asa terus berkecamuk, tetapi beliau tidak menyerah. Beliau tetap menulis.

Apapun itu, beliau tidak berhenti. Tidak ada jaminan kesuksesan di masa depan, tapi beliau terus berkarya.

Setelah usia 50an, memang karir beliau akhirnya menanjak dan sampai usia 80an, sampai akhir hidupnya, beliau tetap menulis. Sesuatu, yang dibangun di atas dasar yang kuat dan disemai dengan persiapan yang matang dan lama, pada saatnya yang tepat, pasti akan mekar sempurna.

Mungkin memang ada maksud dari Yang Maha Kuasa, “mempertemukan” saya dengan Enchi Fumiko. Mengapa saya tidak “bertemu” dengan Ariyoshi Sawako, Miyamoto Yuriko, Hayashi Fumiko yang lebih mudah rejeki untuk cepat sukses dan terkenal? Padahal kalau soal kerja keras, Enchi Fumiko tidak kalah dengan rekan-rekan sesama pengarang perempuan lainnya.

Dalam dimensi yang berbeda, kehidupan Enchi Fumiko mengajarkan satu hal penting kepada saya. Bahwa, untuk segala sesuatu ada waktunya, untuk setiap hal, ada masanya, dan waktu setiap orang tidak sama, semua berbeda-beda, tinggal kita pelaku-pelaku kehidupan ini, kuat atau tidak untuk bertahan, bersabar, dan terus berjuang.

*Sebuah renungan saat sedang membuat resume presentasi*

 

Rouli Esther Pasaribu

Penulis adalah pengajar paruh waktu di Program Pascasarja Kajian Wilayah Jepang UI.

Foto: meexia.com

Pembukaan UUD 45 dan Bisik-bisik Tawa yang Mengikutinya

Sangat menarik ketika seorang kawan memberikan link berita soal Kepala Sekolah di sebuah SMP di Riau yang menyatakan bahwa siswa Kristen tidak pantas membacakan Pembukaan UUD 45 saat upacara.

Si kepala sekolah mengatakan,”Kalimat ‘Dengan Rahmat Allah’, itu harus dibaca dengan ‘Alloh’, kalau Kristen kan dibaca ‘Allah’. Jadi yang pantas jadi pembaca Pembukaan UUD 1945 itu adalah Islam dan Siswa Kristen tidak pantas membacanya,” katanya. Dia bahkan menambahkan,”Kalau siswa Kristen bacanya ‘Allah’ malah jadi bahan tertawaan.”

Saya pernah mengalami ini. Saya bersekolah dasar di Jakarta. Saat itu zaman masih Eyang Suharto yang berkuasa. Panggilannya masih Bapak Jenderal Suharto, nah kemudian di akhir-akhir masa kekuasaannya sudah mulai berubah jadi HMS kepanjangan dari Haji Muhammad Suharto.

Jadi meski sudah lama berlalu, sekelebatan momen itu masih menempel di ingatan. “Traumatis” mungkin nama tahapannya.

Saat itu, saya bersekolah di sebuah Sekolah Dasar Negeri di wilayah Utan Kayu, Jakarta Timur. Kelas saya kebagian jadi petugas upacara bendera. Saya kebagian membacakan Pembukaan UUD 45, itu pun sebenarnya bukan tugas awal yang ditunjuk Pak Guru sebagai wali kelas saya.

Tadinya saya ditunjuk sebagai pemimpin upacara yang bertugas untuk teriak-teriak di tengah lapangan untuk atur barisan dan memberi aba-aba sesuai jalannya upacara. Namun, nyali saya kurang cukup besar buat berdiri di tengah lapangan dan jadi pusat perhatian.

Jadi penebusan dosanya, saya memilih membaca Teks Pancasila atau Pembukaan UUD 45. Saya masih ingat “perebutan” untuk mendapat tugas itu dengan satu orang kawan (Supri, dimana kau sekarang ya?). Akhirnya saya kebagian membaca Pembukaan UUD 45.

Masalahnya, saat dites itu, saya hanya disuruh baca sampai satu alinea di awal saja. Jadi wali kelas mungkin tidak ngeh dengan “kejanggalan” yang akan terjadi.

Tibalah saat hari-H saya bertugas membacakan naskah Pembukaan UUD 45 di tengah lapangan. Ketika hendak membaca, seingat saya suasana memang hening, enggak ada yang berani bicara saat upacara bendera. Dan saat itu, di tengah keheningan, angin semilir perlahan… Bah! Macam drama Korea saja.

Tibalah saya membaca dengan lantang. “Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa…”

Dan, sepersekian detik kemudian yang terdengar adalah “grrrrrrr”, semacam kebisingan yang terpendam tetapi menyeruak ke udara. Satu atau dua detik, saya berhenti membaca.

Saya ingat dalam bayangan saya, ketika melongok ke arah para peserta upacara dengan menurunkan sedikit map berisi teks Pembukaan, teman-teman saling berbisik, malah banyak yang tertawa terkikik-kikik, guru-guru rata-rata senyum-senyum simpul.

Ya, saya membaca kata dalam kalimat itu bukan “Alloh” atau “Owloh” seperti yang biasa dieja kawan-kawan muslim, tetapi sesuai apa yang diajarkan di gereja dan keluarga saya, saya mengucapkan “Allah”.

Dan, genaplah apa yang dibilang Bapak Kepsek dari SMP di Riau itu: kalau siswa Kristen bacanya “Allah” malah jadi bahan tertawaan. Jadi, saya tahu persis bahwa untuk pendapat yang satu ini, ada benarnya si Pak Kepsek.

Saya ingat sekali sempat berkata,”Enggak bakalan lagi mau baca Pembukaan UUD 45.” Saya malu jadi bahan tertawaan.

Tetapi keluarga di rumah berkata lain. “Karena kau membaca dengan lafal ‘Allah’ makanya teman-temanmu tahu, begitulah orang Kristen diajarkan membaca dan melafalkan. ‘Allah’. Jadi, kenapa mesti malu?” begitulah orang tua saya membesarkan hati.

Kita sama-sama tahu, bahwa Pembukaan UUD 45 dan segenap isi UUD 45 tidak ditujukan untuk satu golongan saja. Itu berlaku dan layak dipegang teguh oleh seluruh warga Negara Kesatuan Republik Indonesia atau NKRI.

Jadi, pendapat tentang Pembukaan UUD 45 hanya pantas dibacakan oleh agama tertentu jelas tidak berdasar. Kesepakatan para pendiri bangsa jelas kalimat di atas merujuk pada kesadaran bahwa perjuangan hingga berhasil membebaskan Indonesia dari penjajahan adalah juga berkat anugerah dari Tuhan Yang Maha Esa.

Tuhan Yang Maha Esa adalah juga Tuhan yang diakui oleh seluruh umat beragama di Indonesia sebagai Pencipta Semesta yang Tunggal, seperti yang tertulis pada sila pertama Pancasila, yang juga termaktub di Pembukaan UUD 45.

Penting untuk diketahui bahwa istilah “Allah” sebenarnya telah ada dan digunakan di wilayah Timur Tengah jauh sebelum agama-agama Samawi ada. Perbedaan pelafalan itu sendiri sebenarnya merupakan kewajaran yang terjadi di Indonesia, yang memiliki suku bangsa yang beraneka ragam dan logat bahasa yang berbeda-beda.

Perbedaan pelafalan itu sejatinya tidak mengubah makna. Orang Sunda terbiasa dengan lafal “Alloh”, orang Jawa sering melafalkannya dengan “Awloh” atau “Owloh”. Suku-suku di Indonesia Timur sering melafalkannya “Ala” tanpa bunyi jelas huruf “h” di belakang kata. Bahasa Indonesia resmi dibaca dan ditulis dengan abjad A-L-L-A-H.

Namun, masih ada rasa penasaran saya: kalau kawan yang beragama Hindu atau Buddha membacanya bagaimana ya? “Alloh” atau “Allah”? Sampai sekarang belum terjawab, dan enggak penting-penting amat memang untuk dicari jawabannya. Cuma…penasaran aja.

 

Foto: mahkamahkonstitusi.go.id

Martabak dan SMS

Suatu malam (di Jakarta), di suatu hari minggu, saya dan istri pergi berbelanja. Pulangnya, istri saya terpikir untuk membeli martabak untuk anak-anak.

“Kayaknya Kharis sedang lapar nih,” kata istri saya. Lalu kami mampir ke tukang martabak langganan kami.

Sampai di rumah ternyata anak-anak kami sudah masuk kamar mau tidur. Lalu istri saya masuk kamar dan ternyata Kharis belum tidur.

“Ris, kamu sedang memikirkan apa?” tanya istri saya. “Martabak,” jawabnya. “Kan aku sudah SMS Papa minta beli martabak,” katanya lagi.

Lalu saya cek SMS, ternyata HP saya mati. “Wah, Ris ternyata SMS kamu terkirim ke hati Mama,” kata saya. Merenungkan kejadian itu, terpikir oleh saya tetang sensitivitas seorang ibu terhadap anaknya.

Apa artinya ini? Kalau manusia bisa punya sensitivitas sedemikian, apalagi Tuhan Allah kita!

Kata Tuhan Yesus: “Akan tetapi Bapamu Bapamu yang di Surga tahu, bahwa kamu memerlukan semuanya itu. (Mat. 6:32).

Bapa manakah di antara kamu, jika anaknya minta ikan dari padanya, akan memberikan ular kepada anaknya itu ganti ikan? Atau, jika ia minta telur, akan memberikan kepadanya kalajengking?

Jadi jika kamu yang jahat tahu memberi pemberian yang baik kepada anak-anakmu, apalagi Bapamu yang di sorga!
Ia akan memberikan Roh Kudus kepada mereka yang meminta kepada-Nya.” (Luk 11: 12,13).

-*-
Foto: Pixabay