Tag Archives: Tuhan

Bolehkah Jemaat Awam Studi Theologia?

Belajar theologia bukanlah dominasi pendeta, pastor, atau mereka yang menyebut dirinya hamba Tuhan. “Siapa saja yang menyebut dirinya sebagai Kristen sejati, seharusnya menjadi seorang teolog,” kata Jared Wilson, seorang pendeta di Midwestern Baptist Theological Seminary di Kansas, dalam artikelnya Why Theological Study is for Everyone.

Maksudnya, bukan berarti bahwa setiap orang harus menjadi cendekiawan atau akademisi, atau berjuang keras untuk disebut “yang paling tahu”.

Theologi berasal dari kata Yunani theos yang artinya Tuhan, dan logos yang artinya “kata”. Secara sederhana, itu berarti pengetahuan (mempelajari) tentang Tuhan. Kalau dalam pandangan kaum puritan Inggris dari abad ke-17, theologi itu berbicara tak hanya soal mempelajari tentang Tuhan, tapi lebih jauh, bagaimana hidup sesuai dengan kehendak Tuhan.

Upaya untuk mempelajari atau memperdalam pengetahuan mengenai Tuhan itu bisa dilakukan oleh siapa saja. Bukankah, ini adalah perintah Tuhan sendiri? Seperti yang disebut dalam Matius 22:32, “Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu.”

“Mengasihi Tuhan Allah jelas lebih jauh dan dalam lagi artinya daripada studi theologi. Tapi tentu, tak lebih kurang dari itu, bukan?” kata Pdt. Jared Wilson.

Pertumbuhan berkelanjutan kita dalam kasih karunia Tuhan, ketekunan kita sebagai orang kudus, betul-betul berhubungan dengan pengetahuan kita akan karakter dan karya Tuhan yang dinyatakan dalam FirmanNya.

Iman itu bukan lompatan ke dalam situasi gelap. Benar kata penulis Ibrani, bahwa iman itu adalah dasar bagi apa saja yang kita harapkan, dan bukti atas segala sesuatu yang tidak kita lihat.

Oleh karena itu, pengetahuan akan Tuhan akan membawa kita pada ibadah dan penyembangan yang otentik dan bernyala-nyala. Sebab kita ini mempercayai Tuhan dan spiritualitas yang nyata, bukan yang samar-samar. Kita meletakkan iman percaya kita pada Roh Kudus yang nyata, di dalam Yesus Kristus yang hidup, sebagaimana dipaparkan salam injil dan sejarah.

Mempelajari tentang Tuhan dengan akal budi kita seharusnya akan mengubah hati dan perilaku kita. Itulah maksud Rasul Paulus pada Roma 12:2 “Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi berubahlah oleh pembaharuan budimu, sehingga kamu dapat membedakan manakah kehendak Allah: apa yang baik, yang berkenan kepada Allah dan yang sempurna.”

Maksud saya, belajar theologi seharusnya dilepaskan dari anggapan bahwa itu selalu berkaitan dengan keinginan menjadi seorang pendeta. Dan belajar theologia juga tak mesti dikaitkan dengan kegiatan belajar informal di seminari atau sekolah tinggi teologia. Belajar theologi seharusnya menjadi panggilan setiap orang Kristen yang sejati.

“Belajar theologia itu dekat sekali dengan kehidupan sehari-hari, dalam pergumulan hidup dan pertumbuhan rohani kita,” kata Pdt. Ayub Rusmanto, M.Th, Gembala Sidang GSRI Depok.

Mempelajari theologia adalah juga sebuah ekspresi cinta kita pada Tuhan. Semakin kita punya banyak pengetahuan mendalam tentang Tuhan, maka semakin kagumlah kita padaNya.

Seorang hamba Tuhan yang terbaik, kata Pdt. Robby Chandra, dari Badan Bina Pengerja GKI SW Jabar, dalam kotbahnya pada pembukaan kuliah semester di STT Iman Jakarta, adalah mereka yang mengalami turning point untuk menyadari bahwa dirinya adalah yang terbaik sebagai hasil pembentukan Tuhan. “Ciri-cirinya adalah selalu takjub dan terpesona oleh Tuhan itu sendiri,” ujarnya.

Artikel ini merupakan penulisan ulang (dengan sedikit revisi) tulisan saya di blog pribadi: http://bangdeds.com/2017/08/14/terdampar-di-sekolah-theologia/

Menangkal Kaum Radikal, Sisihkan Minimal 3 Menit Berdoa

Rekan-rekanku sebangsa dan seperjuangan di mana pun Anda berada. Sudah baca mengenai kisah ibu dr Fiera Lovita dari RSUD Solok?

Sebagai akibat apa yang ditulisnya di status FB milik pribadinya, sekelompok kaum radikal mengintimidasi dia dan kedua anaknya yang masih kecil. Menurut berita terbaru, akibat peristiwa itu, dia dan keluarga sudah dipindahkan ke Jakarta.

Itu hanya salah satu contoh kecil di negara kita. Dalam kondisi semakin sulit seperti itu, apa yang harus kita lakukan? Banyak, jika kita mau berjuang bersama. Kita tidak boleh diam.

1. BERDOA.

Ketika umat Gereja perdana mengalami berbagai macam ancaman, Alkitab mencatat: “Berserulah mereka bersama-sama kepada Allah” (Kisah 4:24). Karena itu, turutlah berjuang menangkal kaum radikal dan intoleran. Atau istilah saya, kaum perusuh dan pengacau.

Mungkin ada benar-benar masih belum biasa berseru dan turun ke jalan. Masih ragu dan takut. Baik, sebelum Anda mendapat keberanian dari Allah, berjuanglah melalui doa. Tidak ada yang Anda takut kan ketika berdoa?

2. MOHON KEADILANNYA.

Banyak orang Kristen SALAH memahami Alkitab. Mereka hanya berdoa untuk kasih dan pengampunan Allah. Padahal, kasih dan keadilan TIDAK dapat dipisahkan.

Bahkan ketika kita menunjuk SALIB KRISTUS, di sana TIDAK hanya ada kasih dan Allah yang mengampuni umat berdosa. Akan tetapi di salib itu juga sangat nyata KEADILAN ALLAH.

Itu sebabnya Yesus harus menerima murka Allah yang seharusnya ditimpakan kepada kita orang berdosa. Tanpa itu, kasih dan pengampunan mustahil terjadi. Mohon dibaca dan teliti Efesus 2:3-4.

Dalam Perjanjian Lama, raja-raja lalim seperti Nebukadnezar mengalami penghukuman Allah. Demikian juga, dalam PB, raja Herodes MATI mendadak karena ditampar malaikat Tuhan. Itu akibat kesombongan dan kesewenang-wenangannya (Kisah Rasul 12:23).

Mari kita doakan besok hari di Gereja dengan sungguh-sungguh agar Allah menghukum semua orang, kelompok perusuh dan pengacau di Ibukota dan di Indonesia.

3. BERSATU KITA TEGUH.

Kita sudah sangat akrab dengan istilah di atas. Karena itu, mari terus membangun kesatuan, rapatkan barisan, jangan mau dipecah-pecah.

Dalam kesatuan itu juga kita berjuang dalam doa. “DOA ORANG BENAR BILA DENGAN YAKIN DIDOAKAN, BESAR KUASANYA” (Yakobus 5:16b).

Mari kita sama-sama menyebut nama-nama orang dan kelompok itu kepada Allah yang MAHAKUASA dan MAHAADIL. Kiranya Herodes dan Nebukadnesar masa kini juga dihukum Allah. Sesungguhnya Allah TIDAK TERTIDUR. Demikianlah tertulis dalam Taurat Musa:

Aku telah MEMPERHATIKAN kesengsaraan umatKu…Aku MENGETAHUI penderitaan mereka… .(Keluaran 3:7)

4. ALLAH MEMBERI KELEPASAN.

Apa hasil perjuangan doa itu? Kita membaca: “Aku telah turun MELEPASKAN mereka…”

Mengapa mereka terlepas? Alkitab mencatat: : “SERUAN mereka telah sampai kepadaKU” (ayat 9).

Baik, mari kita berseru-seru kepada Allah kita, dan mari kita nantikan jawaban doa kita. Selamat beribadah.

Soli Deo gloria.

 

Pdt. Dr. Ir. Mangapul Sagala, MTh.

Penulis adalah Alumnus Fakultas Teknik UI Doctor Theology dari Trinity Theological College, Singapore, Cambrige, Roma.

Ia yang Berdaulat dan Pegang Kendali

Beberapa hari ini saya merenungkan peristiwa Ahok. Dalam duka saya merenung dan terus berusaha supaya tidak benci pada yang menjadi aktor-aktor kunci di balik peristiwa ini (saya enggak tahu persisnya siapa) atau yang berteriak-teriak kalau Ahok itu penista agama.

Saya lalu mencoba fokus pada Ahok dan bukan pada para pemain yang memanas-manasi kasus penistaan agama ini. Di penjara tentu beliau merasa kesepian karena jauh dari keluarga, ruang gerak dibatasi, tidur pun konon hanya di dipan.

Lalu saya teringat Rasul Paulus yang dulu juga mengalami pengalaman di penjara di Roma karena memberitakan Firman Tuhan. Dari balik jeruji penjara, justru lahir surat kepada jemaat di Filipi yang menurut saya pribadi sangat powerful terutama dua ayat ini:

Janganlah hendaknya kamu kuatir akan apapun juga, tetapi nyatakanlah keinginanmu kepada Allah dalam doa dan permohonan dengan ucapan syukur. Damai sejahtera Allah yang melampaui segala akal akan memenuhi hati dan pikiranmu dalam Kristus Yesus. (Filipi 4:6-7).

Saya sebenarnya bukan tipe orang yang sedikit-sedikit posting ayat Alkitab, karena suka merasa, posting ayat tapi benar enggak saya sudah melakukan ayat tersebut, takutnya malah jadi omdo alias omong doang, tapi sungguh, hari ini saya merasakan urgensi untuk menuliskan perenungan saya selama beberapa hari ini, semoga sedikit menguatkan kita semua.

Damai sejahtera Allah yang melampaui segala akal akan memenuhi hati dan pikiran Ahok dalam Kristus Yesus, dan memenuhi hati kita semua, sepanjang kita percaya, Ia yang berdaulat dan pegang kendali atas segala sesuatunya.

Selamat menyongsong akhir minggu dengan terus berdialog dengan Tuhan, diri sendiri, dan sesama. God bless us, everyone! (Berlaku untuk semua orang, tidak hanya nasrani saja)

“Tuhan Akan Menyelesaikannya Untukku!”

Surat buat Ahok.

Bisa jadi ini surat seperti sebuah ikut-ikutan karena lagi musim surat terbuka. Betul Pak Ahok, saya suka ikut-ikutan.

Kemarin waktu ramai di depan Balai Kota saya ikut-ikutan juga, terus pengen ikut-ikutan nyalain lilin, saya enggak ikut karena jam 9 malam saya sudah mengantuk. Entah kenapa Pak Ahok, beberapa waktu terakhir ini cuma Bapak aja nih yang seliweran di kepala saya. “Kok bisa gini dan kok bisa gitu ya”.

Kemarin waktu dengar soal batal banding, saya cuma melongo makin gagal paham sama cara pikir Bapak. Ini orang bodoh apa kepinteran sih?

Lalu seketika saya jadi lesu dan semangat untuk mengumandangkan “Silent Majority Speak Up!” sirna sudah dengan surat bapak yang dibacakan oleh ibu Vero. Iki piye Pak? Perjuangan belum selesai tapi kok diselesaikan sebelum berjuang, begitu saya pikir.

Paginya istri mengajak berdoa buat Pak Ahok, eh kita berdoa malah nangis. Entah karena sedih apa karena frustasi mau ngapain ya; kayaknya kok gak rela melihat ketidakadilan kayak gini.

Sedih tapi ya damai juga, bahagia melihat ada orang kayak Pak Ahok, dan bukan cuma sebuah bacaan di sebuah kisah alkisah, tapi beneran kejadian. Jadi nangisnya itu campur aduk antara bahagia, kagum, damai dan seketika saya merasa Oh, Tuhan itu beneran ada toh. Ya, karena melihat Pak Ahok itu.

Nah Pak Ahok, pagi ini saya merasa iri luar biasa. Pak Ahok keenakan dipakai Tuhan untuk pekerjaan yang luar biasa, lewat pak Ahok seluruh alam semesta mendengar “Tuhan akan menyelesaikannya untukku!” Mazmur 138:8 menjadi sebuah pujian yang indah banget dan semua menggumamkannya dalam hati.

Setiap orang yang putus harap dan frustasi, sejak kemarin menggumamkan kata iman yang sama “Tuhan akan menyelesaikannya untukku”. Ya ampun, Hok. Baru kali ini jutaan orang seketika menjadi punya iman dan harapan; bahwa Tuhan itu berdaulat dan sedang bekerja untuk menyelesaikan segala perkara kita (apa saja) untuk kebaikan kita.

Lilin langsung saya potek-potek, ini enggak penting. Pak Ahok sudah jadi lilin yang sejati yang mengajarkan teladan, soal menjadi terang dan garam. Saya mah masih cuma bisa nyalain lilin yang artifisial, sama ngutip-ngutip ayat Alkitab sambil merasa udah suci sembari hidung kembang kempis; ujung-ujungnya masih nyari kepuasan diri sendiri dan maksimal sampai ke keluarga biar senang.

Nah, Pak Ahok, you are not comparable to anyone of us ( yang saya kenal ya) makanya saya bilang saya iri setengah mati sama Bapak. Tuhan sepertinya sayang Pak Ahok 100 kali lipat dari pada ke saya.

Karena itu pak Ahok, saya enggak pantas mengucapkan “Stay Strong ya Pak!”. Bapak duluan sudah menunjukkan soal setrong dan lemah itu, saya yang perlu dikasih tahu, “Eh Cok, stay strong ya jangan lemah gitu dong baru juga disenggol Ojek udah sewot”.

Sesungguhnya Bapak sudah bebas, komplit bebas merdeka! Bahkan jeruji besi tidak sanggup memenjarakan sukacita pak Ahok. Pak Ahok, Tuhan bapak luar biasa sayangnya ya.

Pak Ahok, ajarin saya seperti bapak. Saya masih “terpenjara”.

Salam dari Panggang Ucok.

Ucok Gultom.

Penulis adalah pemerhati kesedihan, pecinta kopi yang tak pandai menabung, sekarang berkantor di Panggang Ucok, Jl Otista Raya no 149.

Betapa Simpel Ia Beragama

Misalkan ibuku masih ada, bila ditanya apa arti atau makna pohon natal dengan lampu-lampu kelap-kelip, gambar Santa Claus, lonceng mungil, bintang-bintang kertas dan pernak-pernik lain, aku yakin dia akan menggeleng dan sama sekali tak melihat korelasinya dengan keimanannya.

Dugaanku, dia akan mengatakan gambar atau wajah Santa Claus itu hanya “mikki-mikki” (kartun lucu) dan aksesoris natal lainnya hanya “gaba-gaba” atau “mire-mire” yang disukai orang-orang modern (terutama penganut Kristen). Tetapi, kuyakin pula, dia akan mengaku suka melihat aksesoris natal itu karena meriah, ada lampu-lampu kecil yang “bisa nyanyi” mengikuti kelap-kelip cahaya lampu.

Lalu, bila diminta kesannya, cukup menjawab seperti celetukan khasnya menanggapi perubahan zaman dan kemajuan sains-teknologi:  “Malo-maloni halak nuaeng, aha pe boi dibahen laho mambuat hepeng jala sonang rohani namanuhor.” (Pintarnya orang-orang sekarang, apapun bisa dilakukan untuk meraup uang dan yang membeli pun merasa senang).

Ibuku memang produk zaman yang masih terbelakang, bahkan tak bisa membaca Bible dan kidung pujian, namun rajin berdoa dalam Bahasa Batak.

Ia tak mengenal Allah, melainkan Debata Jahowa, dan meyakini Jesus Kristus anak spiritual Jahowa yg menyelamatkannya. Tetapi, seingatku, dia tak getol menyebut-nyebut “Debata,” “Jahowa,” atau “Tuhan,” walau kebiasaannya bersenandung dengan nada lirih nyanyian-nyanyian gerejani dari Buku Ende; saat menjahit-menambal pakaian, menyulam, membersihkan kamarnya, juga bila penyakitnya kambuh atau merasa  sedih dan kangen pada anak-anaknya yang jauh di perantauan. Ia memiliki beberapa kidung favorit dan dia minta kami nyanyikan saat kepergiannya menghadap Jahowa yang diyakininya.

Tetapi, dalam sehari-hari, yang dia tekankan pada anak-anak dan cucunya: agar menjadi ‘anakni raja, boruni raja,’ suatu tuntutan perilaku yang dianggap sopan, santun, etis, yang berasal dari norma-norma sosial turunan adat-istiadat Batak Samosir. (Dulu kami tak pernah menyebut diri kami: Batak Toba, melainkan “par Samosir”). Tak pernah dia berkata supaya kami jadi “anak Tuhan.” Barangkali, itu tuntutan yang kelewat berat menurut pikirannya yang sederhana.

Sebagaimana bapak, ia pun tidak pernah secara khusus meminta kami belajar agama, walau sebelum makan dan sebelum tidur, diingatkan supaya berdoa dan  selalu berdoa setiap bangun tidur, di kamarnya, tetapi tak kedengaran suaranya–sementara bapak seorang pembaca Bibel dan juga ikut koor bapak-bapak “Parari Sabtu.”

Ia terbilang rajin berkebaktian di gereja, meski sedang sakit; kadang minta diboncengkan tetangga yang punya sepeda motor. Selama kebaktian,  ia  tekun mendengar kotbah dan mengingat bagian-bagian inti yang menjadi pesan kotbah, biasanya ia bincangkan saat di rumah dan belakangan ini jadi teringatku kebiasaannya tersebut. Juga amat hormat pada pendeta, voorhanger, sintua, biblevroow. Namun, seingatku, ia begitu santai beragama.

Dan, yang ditekankan pada kami anak-anaknya, itu tadi: jangan berperilaku macam hatoban (budak, manusia bermoral rendah), tahu berterimakasih, unang manusai (jangan bikin susah), unang pailahon (jangan bikin malu), unang manguhumi halak pardosa (jangan menghakimi orang dengan mengatakan pendosa), haholongi donganmu jolma (sayangilah manusia).

Ia tak bisa membaca Bible, hanya mendengar kotbah pendeta atau voorhanger atau sintua atau biblevroow, selanjutnya dia renungkan di pikirannya yang amat simpel. Amat sederhana, tak memerlukan kajian, tafsir, dan mazhab.

Telah lama aku “memikirkan” caranya berkeyakinan, memaknai caranya berhubungan dengan Debata Jahowa. Sang Khalik langit dan bumi yang diyakininya–dan aku masih kerap bergumul mengenai pelbagai hal yang kadang menggugat: mengapa dunia dibiarkannya dipenuhi kuasa jahat dan derita.

Pembukaan UUD 45 dan Bisik-bisik Tawa yang Mengikutinya

Sangat menarik ketika seorang kawan memberikan link berita soal Kepala Sekolah di sebuah SMP di Riau yang menyatakan bahwa siswa Kristen tidak pantas membacakan Pembukaan UUD 45 saat upacara.

Si kepala sekolah mengatakan,”Kalimat ‘Dengan Rahmat Allah’, itu harus dibaca dengan ‘Alloh’, kalau Kristen kan dibaca ‘Allah’. Jadi yang pantas jadi pembaca Pembukaan UUD 1945 itu adalah Islam dan Siswa Kristen tidak pantas membacanya,” katanya. Dia bahkan menambahkan,”Kalau siswa Kristen bacanya ‘Allah’ malah jadi bahan tertawaan.”

Saya pernah mengalami ini. Saya bersekolah dasar di Jakarta. Saat itu zaman masih Eyang Suharto yang berkuasa. Panggilannya masih Bapak Jenderal Suharto, nah kemudian di akhir-akhir masa kekuasaannya sudah mulai berubah jadi HMS kepanjangan dari Haji Muhammad Suharto.

Jadi meski sudah lama berlalu, sekelebatan momen itu masih menempel di ingatan. “Traumatis” mungkin nama tahapannya.

Saat itu, saya bersekolah di sebuah Sekolah Dasar Negeri di wilayah Utan Kayu, Jakarta Timur. Kelas saya kebagian jadi petugas upacara bendera. Saya kebagian membacakan Pembukaan UUD 45, itu pun sebenarnya bukan tugas awal yang ditunjuk Pak Guru sebagai wali kelas saya.

Tadinya saya ditunjuk sebagai pemimpin upacara yang bertugas untuk teriak-teriak di tengah lapangan untuk atur barisan dan memberi aba-aba sesuai jalannya upacara. Namun, nyali saya kurang cukup besar buat berdiri di tengah lapangan dan jadi pusat perhatian.

Jadi penebusan dosanya, saya memilih membaca Teks Pancasila atau Pembukaan UUD 45. Saya masih ingat “perebutan” untuk mendapat tugas itu dengan satu orang kawan (Supri, dimana kau sekarang ya?). Akhirnya saya kebagian membaca Pembukaan UUD 45.

Masalahnya, saat dites itu, saya hanya disuruh baca sampai satu alinea di awal saja. Jadi wali kelas mungkin tidak ngeh dengan “kejanggalan” yang akan terjadi.

Tibalah saat hari-H saya bertugas membacakan naskah Pembukaan UUD 45 di tengah lapangan. Ketika hendak membaca, seingat saya suasana memang hening, enggak ada yang berani bicara saat upacara bendera. Dan saat itu, di tengah keheningan, angin semilir perlahan… Bah! Macam drama Korea saja.

Tibalah saya membaca dengan lantang. “Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa…”

Dan, sepersekian detik kemudian yang terdengar adalah “grrrrrrr”, semacam kebisingan yang terpendam tetapi menyeruak ke udara. Satu atau dua detik, saya berhenti membaca.

Saya ingat dalam bayangan saya, ketika melongok ke arah para peserta upacara dengan menurunkan sedikit map berisi teks Pembukaan, teman-teman saling berbisik, malah banyak yang tertawa terkikik-kikik, guru-guru rata-rata senyum-senyum simpul.

Ya, saya membaca kata dalam kalimat itu bukan “Alloh” atau “Owloh” seperti yang biasa dieja kawan-kawan muslim, tetapi sesuai apa yang diajarkan di gereja dan keluarga saya, saya mengucapkan “Allah”.

Dan, genaplah apa yang dibilang Bapak Kepsek dari SMP di Riau itu: kalau siswa Kristen bacanya “Allah” malah jadi bahan tertawaan. Jadi, saya tahu persis bahwa untuk pendapat yang satu ini, ada benarnya si Pak Kepsek.

Saya ingat sekali sempat berkata,”Enggak bakalan lagi mau baca Pembukaan UUD 45.” Saya malu jadi bahan tertawaan.

Tetapi keluarga di rumah berkata lain. “Karena kau membaca dengan lafal ‘Allah’ makanya teman-temanmu tahu, begitulah orang Kristen diajarkan membaca dan melafalkan. ‘Allah’. Jadi, kenapa mesti malu?” begitulah orang tua saya membesarkan hati.

Kita sama-sama tahu, bahwa Pembukaan UUD 45 dan segenap isi UUD 45 tidak ditujukan untuk satu golongan saja. Itu berlaku dan layak dipegang teguh oleh seluruh warga Negara Kesatuan Republik Indonesia atau NKRI.

Jadi, pendapat tentang Pembukaan UUD 45 hanya pantas dibacakan oleh agama tertentu jelas tidak berdasar. Kesepakatan para pendiri bangsa jelas kalimat di atas merujuk pada kesadaran bahwa perjuangan hingga berhasil membebaskan Indonesia dari penjajahan adalah juga berkat anugerah dari Tuhan Yang Maha Esa.

Tuhan Yang Maha Esa adalah juga Tuhan yang diakui oleh seluruh umat beragama di Indonesia sebagai Pencipta Semesta yang Tunggal, seperti yang tertulis pada sila pertama Pancasila, yang juga termaktub di Pembukaan UUD 45.

Penting untuk diketahui bahwa istilah “Allah” sebenarnya telah ada dan digunakan di wilayah Timur Tengah jauh sebelum agama-agama Samawi ada. Perbedaan pelafalan itu sendiri sebenarnya merupakan kewajaran yang terjadi di Indonesia, yang memiliki suku bangsa yang beraneka ragam dan logat bahasa yang berbeda-beda.

Perbedaan pelafalan itu sejatinya tidak mengubah makna. Orang Sunda terbiasa dengan lafal “Alloh”, orang Jawa sering melafalkannya dengan “Awloh” atau “Owloh”. Suku-suku di Indonesia Timur sering melafalkannya “Ala” tanpa bunyi jelas huruf “h” di belakang kata. Bahasa Indonesia resmi dibaca dan ditulis dengan abjad A-L-L-A-H.

Namun, masih ada rasa penasaran saya: kalau kawan yang beragama Hindu atau Buddha membacanya bagaimana ya? “Alloh” atau “Allah”? Sampai sekarang belum terjawab, dan enggak penting-penting amat memang untuk dicari jawabannya. Cuma…penasaran aja.

 

Foto: mahkamahkonstitusi.go.id

Aleph, Nikmatnya Orgasme Spiritual

Tragedi selalu membawa perubahan radikal dalam hidup kita, perubahan yang berhubungan dengan prinsip yang sama: KEHILANGAN. Secara teori setiap kehilangan adalah untuk kebaikan kita; namun pada praktiknya, saat itulah kita mempertanyakan keberadaan TUHAN dan bertanya pada diri sendiri: Apa yang sudah kulakukan sehingga pantas menerima hal ini?

Ada banyak cara yang dapat dilakukan ketika didera galau. Bagi yang suka berjalan, melakukan perjalanan ke tempat yang sama sekali belum pernah dikunjungi dan bertemu dengan orang-orang baru pasti akan membuat diri bersemangat dan dapat membangkitkan kembali asa yang meredup.

Bagi sebagian orang, menyepi dan mengasingkan diri di satu tempat akan membuatnya lebih mendekatkan diri pada sang Khalik dan memahami dirinya.

Bagaimana dengan perjalanan menyusuri kenangan, kembali ke satu masa yang jejaknya menyakitkan?

I learned long ago that what in order to heal my wounds, i must have the courage to face them – [Paulo Coelho]

Seorang penulis besar seperti Paulo Coelho melakukan perjalanan menyusuri masa lalu untuk berdamai dengan orang-orang yang pernah disakitinya dalam perjalanan hidupnya di satu masa. Setidaknya, ada delapan perempuan pada kehidupan sebelumnya yang harus ditemuinya untuk membereskan ganjalan yang membuatnya menggalau.

Coelho menerima tantangan dari J, sahabat dan guru spiritualnya untuk keluar dari rutinitas, melakukan perjalanan untuk menemukan siapa dirinya. Ia memutuskan melakukan perjalanan tak biasa untuk menjumpai para pembaca bukunya di kota-kota yang dilalui jalur kereta api terpanjang dunia, Trans-Siberian Railway. Sebuah perjalanan yang dimulai dari Moskow ke Vladivostok melewati 7 zona waktu dan menempuh jarak 9,288 km.

Di Moskow, Coelho berjumpa dengan Hilal; perempuan muda berbakat yang sedang galau apakah akan terus mengembangkan talentanya sebagai seorang violist atau tidak? Perempuan berdarah Turki ini banyak mendapatkan inspirasi dari buku Coelho yang dibacanya.

Karenanya, Hilal merasa perlu melakukan sesuatu sebagai balas budi dan memaksa untuk ikut serta dalam rombongan Coelho. Kisah perjalanan Coelho ini dituangkan dalam Aleph.

Aleph adalah satu titik pada Semesta yang mengandung energi supra, ketika berada pada titik tersebut; seseorang akan merasakan sensasi yang luar biasa yang tak dapat digambarkan dengan kata-kata. Orgasme Spiritual! Coelho menyusuri masa lalunya dengan masuk ke dalam Aleph, namun untuk bisa menembus batas waktu itu; Coelho memerlukan paduan energi yang ada dalam diri Hilal.

Aleph mengobok-obok rasa, membuat sedikit banyak mengerti dan memahami satu perjalanan tak biasa yang mewarnai hidup. Tentang ikatan rasa yang terjalin di antara satu masa, tentang ikatan rasa yang kuat yang terjalin antara dua orang atau lebih, ENERGI ILAHI.

Jangan khianati anugerah yang telah diberikan padamu, pahamilah apa yang terjadi dalam dirimu dan kau akan pahami apa yang terjadi dalam diri semua orang.

Terkadang TUHAN izinkan semua masalah terjadi bukan karena DIA tak mampu untuk menghalaunya, namun semua itu untuk menguji batas iman kita. Ketika sampai pada satu titik dimana asa hanya tinggal sekali tiup mati; JANGAN pernah lepaskan imanmu! TUHAN tidak pernah diam. Terkadang kita perlu melakukan hal tak biasa agar kita bisa belajar sesuatu yang baru untuk memaknai karunia yang dianugerahkanNYA bagi kita. Prosesnya mungkin dan akan sangat menyakitkan, namun bersamaNYA segala sesuatunya terasa lebih indah.

Apa yang kamu lakukan ketika sedang galau?

… aku berdoa meminta kekuatan untuk mengatasi semua tantangan, untuk menerima segala konsekuensi, dipermalukan, dihina, ditolak, dan dibenci, semua demi nama cinta yang kukira takkan pernah ada namun ternyata ada.

Dan aku sudah berada begitu dekat untuk mencapai hal itu. Aku sekarang tidur di sebelah kompartemenmu, yang ternyata kosong karena Tuhan memutuskan agar orang yang tadinya akan menempati kompartemen itu mundur pada saat terakhir. Wanita itu tidak membuat keputusan tersebut; aku yakin benar itu keputusan dari atas …

Tak ada yang terjadi secara kebetulan! Bukan secara kebetulan jika Aleph menyembul di antara buku perjalanan yang saya temukan di tumpukan buku lama tak bersampul saat hendak mencari buku bacaan di Gramedia sebulan jelang akhir 2014 lalu.

Saya bukan Coelho minded, namun dua bukunya yang dilahap dengan cepat di pertengahan dan akhir 2014 kemarin adalah bagian dari perjalanan spiritual; Aleph dan Di Tepi Sungai Piedra Aku Duduk dan Menangis.

Percayalah sekalipun tidak seorang pun percaya padamu!

Aleph bukan buku perjalanan biasa. Mungkin akan menjadi sebuah bacaan yang membosankan atau malah membingungkan bagi sebagian orang. Dia adalah bacaan yang akan membawamu pada sebuah perenungan tentang makna kasih Ilahi, tentang cinta yang tak biasa, tentang pengorbanan dan berat ringannya kadar iman.

Aleph mengajak langkah menyusuri perjalanan masa kecil menjejak di sebuah bukit dan bersulang secangkir kopi hitam pada Semesta. Mengingatkan diri yang tak punya apa-apa selain bersyukur masih diberi kesempatan oleh Yang Empunya Hidup melewati 2014 meski jatuh bangun, disikat sana sini, diproses hingga berdarah-darah, dimana air mata adalah teman setia sepanjang hari dan hanya pada DIA semua pengaduan disematkan. Pun bersyukur, dituntun memasuki 2015 untuk tetap tegak teruskan langkah.

Biarlah aku mengingatMU dengan tenang dan dengan tekat kuat, bahkan saat aku sulit berkata bahwa aku mencintaiMU.

TUHAN inilah hidupku, kuserahkan padaMU
segala cita-citaku, masa depanku menjadi milikMU
Jadikan kami terangMU, di tengah keglapan dunia
membawa bangsa-bangsa kepadaMU, TUHAN ini kerinduanku

bagiMU TUHAN seluruh hidupku, pakailah TUHAN bagi kemuliaanMU
genapi seluruh rencanaMU, sampai bumi penuh kemuliaanMU

Sarat dengan pesan moral dan spiritual, pula diperlukan kepekaan untuk menyelami setiap pesan yang tertuang lewat untaian katanya. Carilah tempat perhentian yang ‘kan membuat hati teduh dan pikiran tenang. Buku adalah racun! Membaca akan membuatmu haus, bijaklah dalam memilih dan meneguk pelepas dahagamu; selamat menggapai orgasme spiritualmu, saleum.

 

Olive Bendon

Catatan: Tulisan ini dikutip sudah seizin penulis. Laman asli tulisan ini lihat di:

Penulis adalah Travel Blogger | Old Grave Lover |  Citizen Journalism | Volunteer for The War Graves Photographic Project
Foto: Olive Bendon

Cukup Adit, Jangan Biarkan Jatuh Korban Lagi

“Bunda, adik tidur ya. Adik sakit.”

Itu kalimat terakhir Aditya Fadilah, bocah 4 tahun, kepada ibunya, Siska, 23 tahun. Bocah yang tinggal di Palembang, Sumatera Selatan ini, tak bangun-bangun lagi.

Ketika polisi memeriksa jenazahnya, ya Tuhan, ditemukan jejak-jejak penyiksaan. Ketahuan, sang ibulah yang diduga menyiksa bocah itu. Sebelum tidur, sang ibu memukul, menggigit, dan menendang ulu hati anaknya.

Mengerikan sekali.

Saya punya anak berusia hampir 2 tahun. Sebagai orangtua, kadang-kadang saya juga marah kalau kelakuannya menjengkelkan.

Tapi ketika air matanya bercucuran, kemarahan di dada pun langsung lenyap tak berbekas. Saya kira, begitulah cinta.

Sulit membayangkan, seorang ibu bisa menyakiti anaknya sedemikian rupa. Meskipun persoalan rumah tangga yang membikin stres dan marah, tak semestinya kemarahan dilampiaskan pada anak-anak.

Kekerasan terhadap anak atau child abuse bukanlah hal yang main-main. Child abuse ini sebetulnya tak sekadar penyiksaan fisik.

Mengabaikan kebutuhan anak, membiarkan mereka tanpa pengawasan, situasi berbahaya, atau membuat anak merasa tak berharga atau bodoh, ternyata juga termasuk child abuse.

Kekerasan fisik hanya satu tipe dari child abuse. Pengabaian dan penyiksaan secara emosi, juga memberikan dampak yang sama buruknya dengan penyiksaan fisik. Malah lebih parah, sebab karena sifatnya yang subtil, orang lain cenderung mengabaikannya.

Child abuse juga tak hanya dilakukan oleh orang-orang yang jahat. Keluarga terdekat pun bisa jadi abuser. Di keluarga yang terlihat bahagia, child abuse bisa terjadi tanpa diketahui orang lain.

Korban penyiksaan ketika dewasa bisa jadi juga akan mengulangi penyiksaan itu kepada anak-anaknya secara tak sadar.

Tetapi, ada juga korban penyiksaan yang akhirnya tumbuh dewasa dengan motivasi kuat untuk melindungi anak-anaknya dari child abuse. Seharusnya, beginilah yang terjadi.

Hal yang memprihatinkan, kasus yang menimpa Adit ternyata bak fenomena gunung es. Kasus Adit hanya satu dari begitu banyak kasus child abuse di Indonesia.

Menurut data Komisi Perlindungan Anak Indonesia, sampai 2015, selama periode 4 tahun, mereka sudah menerima 16.000 lebih laporan kekerasan terhadap anak di 34 provinsi dan 179 kota.

Sebanyak 50 persen kasus melibatkan kekerasan seksual, yang bisa berujung pada pembunuhan. Kasus lain berupa penyiksaan fisik, penculikan, eksploitasi ekonomi, dan penyelundupan anak.

Nah, yang memprihatinkan dari fakta itu adalah, 93 persen pelaku adalah orang dekat korban, termasuk ayah dan ibu.

***

Saya percaya, Tuhan tak menitipkan anak pada kita untuk disakiti dan disiksa sedemikian rupa. Lewat anak, Tuhan mengajari kita untuk mengasihi dan berkorban.

Ayah dan ibu, kakak-adik, Om-Tante, mari melihat anak-anak sebagai manusia, yang punya hak untuk tumbuh merdeka dari berbagai kekerasan.

Saya percaya, teladan hidup, adalah guru terbaik untuk mengajarkan apa saja kepada anak. Segala sesuatu, mulailah dari diri sendiri terlebih dahulu. Saya juga belum sempurna. Karena itu saya tak berhenti berusaha.

Setelah dari diri sudah berusaha, ada upaya lain, menurut saya, yang bisa kita lakukan untuk membantu mengatasi agar tak jatuh korban Adit-Adit lainnya.

Stand with them. Kalau melihat child abuse di sekitar kita, jangan diam saja. Peringatkan pelaku, siapapun dia, akan bahayanya perlakuan itu.

Kita pun bisa melaporkan peristiwa child abuse kepada pihak berwajib, termasuk ke KPAI. Selain kesaksian, ambillah foto supaya alat buktinya kuat.

Foto: Pixabay/Unsplash

5 Organ Manusia yang Belum Tahu Apa Gunanya

Coba perhatikan tubuhmu dan organ-organnya. Setidaknya ada lima bagian tubuh atau organ, yang sampai saat ini belum bisa dipastikan benar apa sebetulnya gunanya bagi tubuh kita.

Para ilmuwan memiliki penjelasan ilmiah bagaimana bagian tubuh atau organ itu ada. Tapi fungsi atau gunanya, sampai saat ini masih jadi tanda tanya. Lantas buat apa Tuhan menciptakannya?

Apa saja organ atau bagian tubuh itu? Simak yuk:

#Pertama, puting lelaki

Pernahkah kita bertanya, untuk apa lelaki punya puting, toh tak bisa dipakai untuk menyusui? Pertanyaan yang sama juga sudah ditanyakan oleh Charles Darwin lho.

Idenya Darwin, dulu lelaki dan perempuan sama-sama bisa menyusui. Tapi lelaki kemudian mengalami kesulitan karena tak terlalu bisa membesarkan keturunannya, berbeda dengan perempuan.

Tapi, menurut ilmuwan, alasannya lebih pada masalah pertumbuhan.

Saat embrio tumbuh dalam rahim, kalau tak ada gangguan, embrio akan jadi perempuan. Pada pekan keempat, jalur susu tumbuh berupa jaringan tipis dari ketiak ke dada dan kemudian membentuk dua puting.

Nah, kalau tiba-tiba kromosom Y muncul, embrio pun menjadi lelaki dengan menghasilkan faktor-faktor yang menghambat perkembangan stuktur perempuan. Termasuk menghambat jalur susu tadi.

Perbedaan kelamin terlihat pada pekan ketujuh, di mana gonad (kelenjar kelamin) mulai berubah, jadi testis atau ovarium. Jadi, puting sudah muncul sebelum jenis kelamin embrio dipastikan.

#Kedua, usus buntu

Usus buntu atau disebut juga appendix adalah kantung kecil yang menempel ke usus halus manusia. Kantung ini sama sekali tak berperan pada urusan pencernaan manusia. Faktanya, 1 dari 20 manusia harus dioperasi karena usus buntunya meradang.

Berbeda dengan vertebrata pemakan tumbuhan, appendix mereka berperan dalam sistem pencernaan.

Ada anggapan bernada bercanda yang mengatakan, usus buntu itu diciptakan Tuhan hanya supaya dokter bedah selalu punya pekerjaan.

Tapi, setidaknya sebuah penelitian pada 2009 menemukan bahwa usus buntu sepertinya berguna untuk menyimpan bakteri-bakteri yang berguna bagi tubuh manusia. Bakteri ini mencegah kita mengalami diare.

#Ketiga, tulang ekor
Kita juga punya tulang ekor, tapi ke mana ekornya? Kalau menurut teori evolusi, nenek moyang manusia itu adalah makhluk berekor. Ekor pada mamalia berguna untuk keseimbangan. Tapi lantaran manusia sudah berjalan, ekor tak diperlukan lagi. Evolusi kemudian menyatukannya jadi bagian tulang punggung yang kemudian disebut coccyx.

#Keempat, arrector pili dan bulu rambut

Di pangkal rambut dan bulu kita ada yang namanya otot arrector pili, yang biasanya aktif saat kita mengalami ketakutan atau kedinginan. Biasa disebut juga merinding.

Tapi apa kegunaan arrector pili dan bulu rambut bagi manusia sendiri masih jadi tanda tanya bagi para ilmuwan.

Kalau pada hewan mamalia jelas, arrector pili dan bulu gunanya untuk penyumbatan udara dan panas tubuh, sehingga dia tak kedinginan. Saat bulu hewan berdiri, itu juga berguna untuk pertahanan diri dari predator, untuk menakut-nakuti.

Tapi pada manusia? Merinding tak membuat panas tubuh atau udara dalam tubuh tersumbat, kan? Sebab bulu rambut kita terlalu kecil dan terlalu sedikit. Apalagi kalau kita gemar mencukurnya, seperti bulu ketiak dan bulu tangan atau kaki.

#Kelima, gigi geraham bungsu

Dikenal juga dengan istilah wisdom teeth alias gigi kebijaksanaan. Bukan berarti saat gigi geraham ini tumbuh, kebijaksanaan kita muncul lho ya. Hanya, gigi ini memang tumbuh pada saat manusia berusia 17-25 tahun, ketika manusia sudah memiliki hikmat.

Nah, pada saat tumbuh, gigi ini bisa menyebabkan sakit sehingga banyak yang datang ke dokter gigi dan mencabutnya. Setelah dicabut, biasa saja tuh. Aktivitas makan juga aman. Lantas apa gunanya?

Ilmuwan menduga, awalnya gigi yang tumbuh paling akhir (dan berbeda-beda waktunya pada tiap-tiap orang) ini punya fungsi, meski belum diketahui apa. Masalahnya, seiring waktu evolusi, rahang manusia mengecil dan gigi bungsu ini tak punya tempat untuk tumbuh. Seringkali saat ia datang, hanya akan menimbulkan rasa sakit.

Atau, jangan-jangan, gigi ini diciptakan supaya dokter gigi punya kerjaan. Hehehe.

Foto ilustrasi geralt/Pixabay

Pengalaman dan Mengandalkan Tuhan  

Seorang perempuan berusia 80 tahun berhasil melakukan pendaratan darurat di Wisconsin setelah sang pilot, yang juga suaminya, meninggal di udara. Helen Collins tetap tenang ketika dia mendaratkan pesawat kecil Cessna di bandara Cherryland, bahkan saat itu dia sudah mengetahui bahwa suaminya sudah meninggal.

Menurut James Collins, putranya, ibunya pernah mengambil kursus dasar penerbangan, yakni lepas landas dan mendarat, 30 tahun lalu. Itu pun atas permintaan ayahnya untuk berjaga-jaga jika terjadi sesuatu terhadapnya saat dia mengajak istrinya terbang.

Helen Collins tidak pernah mendapat lisensi terbang. Tetapi, dia sudah ratusan kali mendampingi suaminya, John Collins, mengemudikan pesawat. Secara tidak sengaja, dia belajar dari mengamati suaminya. Hal ini sama dengan Daud. Dia belum pernah maju perang, namun dia sudah punya pengalaman melawan hewan yang tubuhnya lebih besar daripada dirinya.

“Baik singa maupun beruang telah dihajar oleh hambamu ini. Dan orang Filistin yang tidak bersunat itu, ia akan sama seperti salah satu dari pada binatang itu, karena ia telah mencemooh barisan dari pada Allah yang hidup” (1 Samuel 17:36)

Daud juga menyadari bahwa memiliki sumber kekuatan yang dahsyat, yaitu dari Allah pencipta langit-bumi. Kombinasi antara pengalaman dan penyerahan diri pada Allah menjadi modal utama Daud untuk menjadi pahlawan Israel pada hari itu.
SMS from God: Apa saja yang menjadi “Goliat” Anda hari ini? Dengan kekuatan dari Allah, beranikah Anda melawannya?

 

Purnawan Kristanto

Catatan: Tulisan ini dikutip sudah seizin penulis. Laman asli tulisan ini lihat di:

http://renungan.purnawan.web.id/?p=521

Penulis adalah writer|trainer|humanitarian volunteer|video & photo hobyist|jazz & classic lover| husband of priest |father of two daughters|

Foto:Pixabay