Tentu saja saya bersimpati pada Ahok, terlepas dari dia berposisi minoritas seperti saya yang pelik dan tak mudah mengharap kesetaraan sebagaimana jaminan konstitusi negara mengenai kebebasan menganut suatu keyakinan agama.
Kuatnya desakan untuk membuat dirinya terpidana dan “masifikasi’ perlawanan pada dirinya–sebelum kasus atau tuduhan penodaan agama–dengan meletupkan pelbagai tuduhan dan isu, itu yang terutama membuat saya melihat unfairness dan lebih dilandasi energi kebencian pada dirinya.
Kebencian karena pelbagai alasan, motif, namun bila para pembenci itu jujur, lebih karena ia seorang petahana yang paling mudah meraup suara dukungan untuk jadi Gubernur DKI berikutnya.
Ia fenomenal, didukung tak hanya orang-orang berpendidikan, para white collars, namun juga kalangan jelata yang minim pendidikan. Tak pandang suku, agama, dsb. Dalam waktu singkat dan tanpa dia rekayasa, sejuta lebih KTP warga DKI yang heterogen, berhasil dikumpulkan “Teman Ahok” yang hanya beberapa orang muda penggagasnya.
Berduyun-duyun orang, tak pandang suku, agama, strata sosial, sukarela dan girang menyerahkan fotokopi KTP; tentu saja itu fenomena yang mencengangkan, mengundang decak kagum, walau di seberang–yakni para penentang dan yang semakin khawatir tak bisa lagi menjadikan uang Pemprov DKI Jakarta jadi bancakan–bertambah gelisah dan geram.
Semua tahu, segala cara diupayakan untuk mengadangnya, termasuk orang-orang parpol yang sebelumnya tak mau mendukungnya namun kemudian hanya bisa mingkem setelah bos-bos partai memutuskan dukungan. Popularitas, daya pikat Ahok, dan dinamika politik yang tak biasa itu, barangkali baru kali ini terjadi dalam sejarah perebutan kekuasaan di negara ini.
Ahok yang menjadi idola dalam waktu cepat tanpa biaya PR, hanya karena keberanian dan ketegasan, berbahasa ceplas-ceplos namun logis, bernalar, yang kemudian disebut “kasar,” “tidak sopan,” “sombong,” dsb, oleh para penentangnya.
Ahok yang kelewat pede dengan pikirannya membenahi Jakarta dengan logika-logika yang kukuh dipercayainya–termasuk mengembalikan bantaran kali dari pemukiman slums, ilegal, terlepas dari pemihakan pada kaum marjinal yang digusur dan dipindahkan ke rusun-rusun yang disiapkan Pemprov.
Ahok yang menutup secara ketat keran uang pada mereka yang dianggap lazim bila pejabat Pemprov berkolaborasi dengan politisi, pengusaha, kontraktor, membagi-bagi proyek–termasuk me-mark up anggaran, dsb.
Ahok yang membuat resah para pejabat dan pegawai Pemprov DKI karena menerapkan disiplin yang ketat, memecat dan mengangkat pejabat dan aparat setiap saat dia mau lakukan bila menurutnya tak becus kerja, menyemprot bawahan di hadapan pewarta dan siapa saja.
Ahok yang kelewat bersemangat ingin mengubah mentalitas dan sistem di lingkungan administrasi pengurus ibukota dalam waktu singkat hingga mengabaikan unsur sensitivitas bahwa ia seorang yang dianggap minoritas namun kok kelewat berani, dan bekerja terang-terangan pula, termasuk mengungkapkan kebobrokan pejabat serta permainan anggaran ratusan milyar rupiah setiap tahun.
Ahok yang tak peduli resistensi dari yang tak “bahagia” (dan itu ada banyak) yang berniat menggulingkannya melalui cara apa saja, lalu membentuk aliansi-aliansi.
Maka, tanpa kasus (tuduhan) penodaan agama itu pun Ahok telah banyak mengumpulkan pembenci. Mulai dari yang mengandalkan isu sektarianisme-primordialisme, sentimen antietnis tertentu, ditambah “warisan” perseteruan pasca dan post pilpres, hingga para orang terdidik yang sebelumnya bersikap “objektif dan netral” namun berbeda paradigma serta pendekatan mengenai pembangunan dan pemberdayaan masyarakat pinggiran.
Ahok yang ironis karena di satu sisi ada berjuta penggemar namun di sisi lain tak kalah banyak pula yang membenci–walau berdalih ini itu namun kandungan kebencian tetap tak tertepis.
Tak ada lagi yang perlu disesali karena toh tak mungkin mengembalikan ke situasi sebelum penyebaran video editan oknum bernama BY itu menyebar dan mengundang amarah; sesuatu yang masih terus menjadi bahan perdebatan dan gunjing yang hanya berisi dua warna: bukan penodaan agama dan sebaliknya, itu masuk kategori penistaan.
Hiruk-pikuk dan pertengkaran yang membela dan membenci Ahok sungguh-sungguh melelahkan, bukan lagi sebatas persoalan lokal namun nasional, bahkan menjadi sorotan dunia internasional. Ahok yang fenomenal dan kontroversial!
Ada banyak yang bersorak atas pengadilannya yang dimulai hari ini, ada banyak yang emosional dan terharu hingga mengaku sampai meneteskan airmata. Airmata–serta doa–untuk yang mereka percaya hendak membangun ibukota yang dampaknya melanda ke semua penjuru wilayah negara.
Dampak positif tentu saja karena telah kelamaan masyarakat yang kritis muak menyaksikan ulah para pemimpin–termasuk di daerah mereka. Mereka begitu emosional dan sampai menangis karena merasa dan percaya, Ahok adalah idola, harapan, bagi perbaikan Indonesia; berasal dari berbagai suku dan agama serta lapisan sosial.
Maka, pengadilan Ahok adalah pula pertarungan antara akal sehat dan emosi yang bisa menguras enerji di kalangan yang mendukung dan membenci. Ada setitik harapan bahwa hukum akan dijalankan aparat pelaksana dengan benar–setidaknya mengindahkan prinsip dan moral HAM yang dianut PBB.
Salah satu: menjamin peradilan yang bebas dari intervensi, menjaga fairness, bagi siapa saja manusia di muka bumi ini–namun lebih dominan bayangan kekecewaan, bahkan kecemasan: Ahok akan dihukum, dipenjara, sementara ia dipercaya pendukungnya atau yang masih mempertahankan akal sehat: tak berniat menghina suatu agama
Bukan tak mungkin Ahok akan terjerat pasal pidana mengenai penodaan agama–walau pada yang lebih keras dan jelas melakukan tak dijerat, entah karena apa–dan dihukum majelis hakim yang menyidangkan; entah percobaan atau kurungan. Barangkali, majelis hakim yang menangani perkara pun masih berbeda pikiran karena pelbagai pertimbangan, terutama unsur pidana, dan tekanan massa di sisi lain.
Maka, peradilan Ahok akan menjadi peradilan yang amat menegangkan dan krusial–bahkan amat kritis–tak hanya bagi rakyat Indonesia, pula majelis hakim yang menyidangkan perkara. Bagi masyarakat luas, hanya ada dua keinginan: bagi pembenci, ia layak dihukum, dan bagi yang bersimpati, ia patut dibebaskan dari segala tuduhan.
Pengadilan Ahok pun bukan lagi arena peradilan atas pelanggaran suatu pasal pidana mengenai penodaan agama belaka, namun memiliki spektrum yang lebih luas dan mengguncangkan.
Tak mudah tentu bagi majelis hakim yang menyidangkan. Sangat tak mudah, dan biarlah itu menjadi pertaruhan integritas dan kredibilitas mereka menjalankan pekerjaan, terutama pada sumpah yang telah diaminkan saat dinobatkan jadi hakim; pengadil yang tak boleh berpihak selain pada keadilan itu sendiri, yang berasal dari ilmu hukum, doktrin, filosofi, dan norma-norma hukum yang disodorkan kitab-kitab hukum–meskipun tak mampu memenuhi kemauan semua pihak, yang menghendakinya dihukum atau dibebaskan.
Saya kira, Ahok telah memikirkan hal terburuk, di luar yang dibayangkan para simpatisannya, dan juga sudah menyiapkan dirinya. Bagi saya, yang kini terjadi atau akhirnya dialami Ahok, kembali mengingatkan bahwa Indonesia adalah negara yang kelewat sensitif bila menyangkut isu agama.
Karenanya jangan coba-coba menyepelekan meskipun tak ada motif melecehkan. Hanya akal sehat dan keluasan wawasan yang mampu menetralisir. Sementara, itu suatu hal yang sulit diharapkan merata dimiliki 250 jutaan warga yang amat beragam latar belakang, pendidikan, keyakinan, pergaulan, dan cara pandang.
Dengan kata lain, kasus Ahok ini “hanya” pengingat betapa kita belum boleh berharap banyak mengenai kedewasaan berpikir seluruh unsur masyarakat yang merata. Karenanya berhati-hatilah selain turut serta menjadi penganjur keutamaan akal sehat, mendorong upaya-upaya pencerdasan di lingkungan terdekat–antara lain melalui media sosial–dan tak turut di barisan kaum pandir yang malas berpikir.
Pendidikan formal itu amat penting, berguna banyak, namun yang terutama ialah: untuk membangun kerangka pikir yang logis dan bernalar, membongkar kepicikan atau kegelapan pikiran, membangun kesadaran bahwa alam dan manusia tak sesimpel yang tersimpan di benak, baik karena ajaran, doktrin, dogma, maupun mitos-mitos yang terwariskan.
Mari redam emosi, sesekali penting pula merenungkan betapa absurd dan kejam bila menyangkut “urusan dan perjuangan menggapai keadilan,” sambil mengingat beratus ribu manusia Indonesia yang (pernah) menjadi korban. Antara lain, mereka yang dihukum tanpa proses peradilan yang sesuai dengan kaedah hukum pasca G 30 S. Orang-orang yang dihukum mati tanpa suatu kesalahan yang telah dibuktikan melalui persidangan.
Perjalanan Ahok akan menjadi catatan penting dalam perjuangan keadilan, namun yang dialaminya tak seberapa dibanding korban-korban kekejaman suatu rezim atau penguasa di negara ini, pun di negara lain. Semoga ia kuat dan pendukungnya tetap mengutamakan akal sehat.
Mungkin ada yang tak gembira dengan catatan singkat ini, tak mengapa, karena saya pun tengah mendidik diri saya agar terus membiasakan berpikir tenang, konstruktif, selalu memikirkan berbagai aspek, dimensional, suka atau tak suka, setuju atau menentang situasi yang tak menyenangkan ini.
Foto: Admin Petraonline.net