Kita bertemu banyak orang di dalam perjalanan hidup ini. Beberapa orang mempengaruhi pola pikir kita, membawa kita menuju kedewasaan, membuat kita menjadi orang yang lebih baik dari hari ke hari.
Beberapa orang menginspirasi kita, membuat kita belajar banyak mengenai keberanian, semangat juang, kerja keras, pantang menyerah, sabar, bertahan, dan menanti dalam pengharapan.
Salah seorang perempuan yang mempengaruhi pola pikir saya selama hampir 7 tahun terakhir ini adalah Enchi Fumiko, salah seorang pengarang perempuan Jepang. Saya menghabiskan waktu 6 tahun untuk mempelajari karya-karya dan kehidupan beliau selama saya studi di Jepang.
Karya-karyanya sering membuat saya menangis kesal karena untuk membacanya saja butuh usaha dan kerja keras, tetapi juga sekaligus membuat saya menangis sedih, karena membayangkan nasib tokoh-tokoh perempuan di dalam karya-karyanya yang terjebak dalam kungkungan masyarakat patriarki.
Sekaligus membuat saya menangis haru, ketika akhirnya, setelah perjuangan dan penantian panjang selama hampir 30 tahun, beliau berhasil meraih impiannya menjadi seorang penulis yang diakui di dalam dunia kesusastraan Jepang modern.
Beliau melewati masa-masa suram tidak dapat menulis karena masalah rumah tangganya, masa-masa pahit melihat satu persatu pengarang perempuan lainnya beranjak naik karirnya, sedang beliau hanya diam di rumah karena sakit dan selama beberapa tahun. Sekalipun beliau menulis, tidak ada yang mau menerima tulisannya untuk dipublikasikan.
Satu gaya hidup yang beliau wariskan untuk saya adalah “shifuku” (terus berkarya dan mempersiapkan diri sampai suatu hari tiba waktunya untuk mekar sempurna).
Memang akhirnya di usia nyaris 50 tahun, beliau sukses menjadi penulis, tetapi bagaimana perasaannya saat beliau menjalani usia 20an, 30an, 40an? Tentu kegalauan, kekhawatiran, putus asa terus berkecamuk, tetapi beliau tidak menyerah. Beliau tetap menulis.
Apapun itu, beliau tidak berhenti. Tidak ada jaminan kesuksesan di masa depan, tapi beliau terus berkarya.
Setelah usia 50an, memang karir beliau akhirnya menanjak dan sampai usia 80an, sampai akhir hidupnya, beliau tetap menulis. Sesuatu, yang dibangun di atas dasar yang kuat dan disemai dengan persiapan yang matang dan lama, pada saatnya yang tepat, pasti akan mekar sempurna.
Mungkin memang ada maksud dari Yang Maha Kuasa, “mempertemukan” saya dengan Enchi Fumiko. Mengapa saya tidak “bertemu” dengan Ariyoshi Sawako, Miyamoto Yuriko, Hayashi Fumiko yang lebih mudah rejeki untuk cepat sukses dan terkenal? Padahal kalau soal kerja keras, Enchi Fumiko tidak kalah dengan rekan-rekan sesama pengarang perempuan lainnya.
Dalam dimensi yang berbeda, kehidupan Enchi Fumiko mengajarkan satu hal penting kepada saya. Bahwa, untuk segala sesuatu ada waktunya, untuk setiap hal, ada masanya, dan waktu setiap orang tidak sama, semua berbeda-beda, tinggal kita pelaku-pelaku kehidupan ini, kuat atau tidak untuk bertahan, bersabar, dan terus berjuang.
*Sebuah renungan saat sedang membuat resume presentasi*
Rouli Esther Pasaribu
Penulis adalah pengajar paruh waktu di Program Pascasarja Kajian Wilayah Jepang UI.
Foto: meexia.com