Kemarin, saya agak terkejut ketika tiba-tiba ada nomor tak dikenal mengirimkan pesan masuk di HP saya. Yang membuat saya terkejut karena itu bukan semacam pesan-pesan illegal berkedok penipuan yang sudah biasa.
Pesan yang ini mengirimkan ucapan Selamat Natal. Setelah saya baca teliti, ada nama pengirimnya. Saya harus memutar otak sebentar untuk mengingat siapa nama tersebut. Ada juga fotonya dengan seragam pejabat pemerintahan, tapi agak berbeda sebab waktu kami bertemu, dia dengan tampilan kasual. Setelah saya perbesar fotonya, baru saya ingat itu adalah teman kuliah pascasarjana, yang mungkin hanya sekali bertemu waktu ujian semester.
Yang membuat saya agak terkesan dan tersentuh adalah, dia adalah pejabat daerah dan berbeda keyakinan dengan saya, dan dia tidak hanya mengirim ucapan lewat grup, tapi juga mengirim lewat jalur pribadi (japri) kepada saya, padahal kami tidak terlalu kenal.
Menyadari ketika saat ini, hal menerima ucapan selamat natal dari orang yang tidak seiman, menjadi sesuatu yang langka (dan ‘terlarang’), membuat saya agak trenyuh. Hal itu mengingatkan saya pada sebuah kejadian, tentang seorang anak tetangga yang dulunya tiap hari main ke rumah dengan anak saya, dan tiba-tiba suatu hari tidak mau lagi main ke rumah, dan bilang kepada anak saya: Aku nggak boleh lagi main sama kamu, dilarang ayah, karena kamu beda agamanya.
Sesungguhnya saya tidak mau menjadi ‘melo’ dalam urusan seperti ini. Saya hampir tertawa sendiri ketika dulu mengingat waktu jaman mahasiswa ketika kuliah di Tokyo, ada teman mahasiswa dari negara lain yang merayakan hari besar entah aliran agama apa, saya turut mengucapkan selamat sekalipun saya tidak tahu apa yang dia rayakan dan ucapan selamat apa yang harus saya ucapkan, apalagi dalam bahasa asing. Saya hanya mengucapkan: Selamat merayakan ya. Semoga bahagia.
Lalu dia mengucapkan terima kasih dan menyahut dengan berkelakar: ‘Semoga bahagia’ bukanlah ucapan yang tepat, memangnya saya mau menikah? Hahaha.
Apa yang saya praktekkan dari hal itu adalah masalah penghargaan. Saya menghargai teman saya walau saya tidak tahu apa yang dia percayai, dan bukan berarti saya ikut menyetujui apa yang dia percayai itu. Saya hanya menghomati dia sebagai teman saya, menghargai apa yang penting baginya, dan mengharapkan yang baik baginya. Itulah alasan saya mengucapkan selamat.
Di tengah menurunnya toleransi antar umat beragama, ironisnya, kemarin lusa malah seorang teman yang atheis mengucapkan Selamat Natal kepada saya. Saya berkelakar dengan berkata: Bukannya kamu tidak percaya soal agama?
Dan dia dengan guyon membalas: Memangnya saya jadi percaya agama kamu?
Dan kami pun sama-sama tertawa ringan dalam suasana damai.
Kemarin di gereja, yang menjadi sangat berkesan bagi saya dalam khotbah Natal dari pendeta kami adalah, bahwa makna hari Natal adalah: Kemuliaan bagi Allah di tempat yang maha tinggi, dan damai sejahtera di bumi di antara manusia yang berkenan kepadaNya.
Dari nats Lukas 2:14 ini jelas terbaca, hanya Allah yang layak menerima kemuliaan. Bagian manusia hanyalah damai sejahtera. Awal penderitaan dan masalah manusia adalah ketika manusia juga mencari kemuliaan bagi dirinya sendiri, baik itu dalam bentuk penghargaan, pujian, penghormatan, kekuasaan, dan sebagainya.
Saya pun tidak mau mencari penghargaan dengan menunggu ucapan selamat dari orang lain yang tak ingin memberikannya. Seperti khotbah pendeta saya, kemuliaan hanya bagi Allah. Saya hanya mau damai sejahtera. Tak perlu diberi ucapan penghargaan pun saya tetap damai sejahtera.
Selamat Hari Natal. Mari damai sejahtera