Pribumi dan nonpribumi? Itu cuma konsep omong kosong. Bukan cuma saya yang bilang lho ya. Itu juga dibuktikan secara ilmiah. Mengapa saya berpendapat begitu? Coba baca sampai selesai ya.
Saya mulai dari cerita masa kecil saya dulu deh. Saya ini lahir dan besar di lingkungan yang majemuk. Waktu saya kecil sekali, keluarga kami menjadi satu dari dua keluarga Kristen yang tinggal di afdeling di salah satu sudut kawasan perkebunan sawit milik PTP Nusantara VII (Sekarang PTPN IV).
Tapi kami tetap saling menghormati. Teman-teman saya menghargai saya yang tak ikutan berpuasa dengan mereka saat ramadan. Saya pun menghargai mereka yang sedang menahan lapar dan haus. Ketika Idul Fitri tiba, kegembiraan mereka juga menular sampai ke rumah kami. (Tentang kisah ini, bisa baca tulisan saya: Pasir Mandoge dan Kisahku)
Kemudian saya bersekolah di SMP dan SMA Negeri dengan teman dari berbagai latar belakang agama yang berbeda.
Adik saya dan Om saya memilih ikut agama istri mereka masing-masing. Dan warna-warni di keluarga kami bukan cuma soal agama. Di darah anak-anak kami, mengalir darah Batak Simalungun, Batak Toba, Batak Karo, Tionghoa, Minang, Jawa, dan China.
Orangtua kami adalah pasangan Batak Simalungun. Tentu ada resistensi ketika anak-anaknya membawa menantu dari berlainan suku dan agama. Tapi lambat laun kami baik-baik saja dengan semua itu. Perbedaan menjadi keniscayaan di keluarga kami. Ikatan kami adalah kekeluargaan kami. Sedang urusan agama, itu pribadi sifatnya.
Dalam perspektif yang kurang lebih sama, seharusnya kita orang Indonesia tetap bisa hidup aman damai dalam kebinekaan kita. Karena kita ini sesungguhnya satu keluarga berdasarkan genetika, bahkan dengan mereka yang kita anggap berbeda ras dengan kita.
Tak ada gen murni Indonesia. Kita ini semua adalah pendatang di bumi Nusantara. (Masih berpikir kamu orang pribumi?) Begitulah yang ditegaskan Prof. Dr. Herawati Supolo-Sudoyo M.S. Ph.D, ahli genetika dari Lembaga Eijkman, dalam suatu seminar yang saya hadiri, beberapa waktu lalu.
“Kita merupakan pencampuran genetika dan semua berasal dari Afrika,” kata Prof. Herawati. Dengan kata lain, omong kosonglah dengan istilah-istilah “pribumi” dan “nonpribumi” yang didengung-dengungkan sekelompok orang itu.
Herawati mengatakan meski merupakan pencampuran, presentasi genetika Austronesia lebih dominan di bagian barat Indonesia dan genetika Papua di kawasan timur. Tetapi ada gradasi pembauran genetik ditemukan pada populasi Indonesia di barat maupun di timur.
Dari mana kesimpulan ini? Herawati dan tim peneliti menganalisis 2.740 individu dari 12 pulau, 6 dari Indonesia barat dan enam dari Nusa Tenggara Timur (Sumba, Flores, Lembata, Alor, Pantar, dan Timor). Jadi bukan asumsi atau asal njeplak gaya kalangan rasis itu.
Saya sepakat dengan arkeolog senior Prof. Dr. Harry Truman Simanjuntak yang mengatakan, “Kebinekaan di Indonesia adalah sebuah keniscayaan.”
Tak bisa lebih sepakat lagi dengan ucapan antropolog Dr. Kartini Sjahrir, yang menegaskan bahwa kemajemukan adalah satu paket dari pendiri negeri ini, yang dijadikan sebagai konstruksi sosial Indonesia.
“Yang mengatakan Cina-Cina, pribumi non pribumi, adalah sebuah kebodohan mendasar,” katanya. “Mereka lupa siapa dirinya, seperti Malin Kundang lupa pada ibunya.”
2 thoughts on “Omong Kosong soal Pribumi – Nonpribumi”