Category Archives: hiburan

“Bohemian Rhapsody”, Kesuksesan Setelah Penolakan

Setelah menonton film Bohemian Rhapsody , saya membaca di Wikipedia, bahwa tahun 2004, lagu Queen “Bohemian Rhapsody” masuk ke dalam Grammy Hall of Fame. Pada tahun 2012, lagu tersebut memuncaki daftar jajak pendapat nasional ITV di Inggris sebagai “Lagu Nomor Satu Favorit Bangsa” sepanjang lebih dari 60 tahun riwayat musik Inggris.

Luar biasa, pikir saya.

Saya sendiri masih menyimpan album kaset Queen, A Night At The Opera. Konon album itu rilis tahun 1975, dan saya belum lahir. Kaset itu sebenarnya adalah milik kakak laki-laki saya, yang umurnya lebih tua sepuluh tahun dari pada saya. Waktu saya kecil, mau tak mau saya ikut mendengarkan lagu-lagu yang kakak-kakak saya putar di rumah, sehingga saya jadi ikut tahu.

‘Love of My Life’, adalah lagu Queen yang paling mengena di hati saya. Tapi memang, lagu yang paling unik, bagi saya, adalah Bohemian Rhapsody. Setelah kuliah, saya baru sadar apa saja kata-kata dalam lirik lagu itu, sekalipun saya sering menyanyikannya sejak kecil, tak menyadari apa artinya secara menyeluruh. Bagi saya, lagu itu mengandung pilihan kosakata yang unik, tempo yang rumit, nada yang tinggi melengking dan tidak tertebak, melodi yang ekstrim, sekaligus kompleks. Tapi sangat jenius.

Ketika melihat iklan film Bohemian Rhapsody di bioskop, saya sudah ingin menonton. Saya agak terkejut, setelah minggu kedua pemutarannya, bioskop masih penuh hingga baris ke depan. Saya bahkan nyaris tidak dapat karcis.

Di dalam bioskop, saya serasa ikut masuk dalam ruangan konser langsung band Queen. Menonton film ini, membuat saya terpingkal, terharu dan terkesima. Dan terinspirasi. Film ini berhasil memancing emosi penonton. Selama menonton, saya tak tahan untuk tidak ikut bernyanyi, dan jadi menyayangkan mengapa Queen sudah tidak eksis lagi, sebab saya jadi rindu lagu-lagu mereka.

Pesan moral, yang paling mengena buat saya dari film ini, berhati-hatilah memilih orang terdekatmu.

Itu setelah saya melihat bahwa manajer Freddie Mercury, Paul Prenter, membuat Freddie jauh dari band-nya, dari Mary, dan nyaris tidak ikut konser besar Live Aid. Terlepas dari fakta apakah manajer Freddie memang betul-betul mengkhianatinya seperti di film itu atau tidak, tapi dalam film ini, sangat jelas terlihat bahwa orang terdekat kita sungguh berpengaruh dalam hidup kita. Mereka memiliki andil yang besar yang membawa kita ke arah yang kita inginkan atau tidak, ke arah lebih baik atau tidak. Itu sebabnya kita harus sungguh jeli memasukkan orang ke jaringan terdekat dalam hidup kita, sebab pergaulan kita juga menentukan jati diri kita.

Dan sering terjadi juga kemungkinan besar, bahwa orang terdekat kita potensial menjadi musuh terbesar kita, menjadi pengkhianat, seperti karakter Prenter, yang sebelumnya adalah eksekutif rekaman yang jadi selingkuhan Freddie, lalu menjadi manajer Freddie, yang di film ini, dendam dan setelah dia dipecat, membeberkan kehidupan pribadi Mercury yang sangat kelam.

Pesan moral lainnya, terlihat dari adegan ketika seorang produser besar, Foster, yang konon menyarankan agar Queen membuat album, tapi menolak lagu ‘Bohemian Rhapsody’ sebagai singel karena dianggap tidak bisa ‘dijual’. Queen tidak menyerah atas penolakan itu dan maju terus mencari produser lain, dan akhirnya lagu ‘Bohemian Rhapsody’ sukses di urutan teratas tangga lagu dunia. Hal ini menunjukkan bahwa penolakan tak lantas membuat mereka berhenti. Persistensi yang luar biasa.

Sebab seperti orang bijak berkata, jika pintu satu tertutup, kita bisa melompati jendela. Sebuah kesuksesan hanya bisa digapai dengan semangat pantang menyerah.

Itulah hal yang membuat seorang bocah imigran bernama Farrokh Bulsara, menjadi seorang legenda: Freddie Mercury, vokalis Queen, salah satu musisi paling terkenal di dunia, menjadi inspirasi yang patut kita teladani (terlepas dari pilihan gaya hidupnya). Sekalipun akhirnya dia kalah oleh penyakitnya, bukan berarti dia kalah dalam hidupnya, sebab seperti yang dia ucapkan, dia telah memenuhi takdirnya, menikmati hidup dan menjalankan impiannya.

Seorang bohemian yang hidup dalam rapsodi hidupnya.

-*-

Bukan Lidah Aruna

Bicara tentang kuliner, memang tak ada habisnya. Sekarang trend-nya bukan hanya menyantap kuliner, tapi juga memamerkannya di media sosial. Piknik dan wisata kuliner seolah jadi lifestyle orang akhir-akhir ini, baik muda maupun tua.

Bulan lalu, kami sekeluarga menikmati wisata kuliner ke pinggir luar kota Jakarta. Entah makanan mana yang menyebabkan hingga saya diare, dan makin memburuk hingga ambruk esok harinya, sampai harus masuk UGD dan diopname di rumah sakit. Saya tidak menyalahkan kuliner di tempat tersebut. Bisa saja memang kondisi saya yang kurang fit atau tidak cocok dengan jenis makanan yang saya santap di sana. Mungkin bumbunya yang terlalu banyak atau perut dan lidah saya yang tidak tahan.

Berkaitan tentang kuliner, teman saya, WS, baru saja menonton film “ARUNA DAN LIDAHNYA”. Aruna diperankan oleh Dian Sastro, idolanya. Film ini berkisah tentang Aruna, ahli wabah, wanita lajang berumur pertengahan 30 tahun, pecinta kuliner, dari kecil hobi makan, tapi sedang kebingungan karena sekarang dia sulit menikmati makanan.

Ketika saya tanya bagaimana filmnya, dia merespon dengan sangat berenergi. Dia terlihat sangat bersemangat berkata, film itu sama sekali tidak menggurui, tapi membuat kita merenungkan banyak hal. Buat dia pribadi, bukan karena dia masih jomblo (alasannya) film itu sangat menyenangkan ditonton sendirian (dan saya sengaja menggoda dia dengan mengatakan bahwa saya yakin dia suka film itu karena film itu bagai refleksi kehidupan pergaulan jomblo yang seru, seperti dirinya sendiri, hahaha…). Dia tertawa dan tak menampik. Kami sudah akrab hingga biasa saling mencela.

Katanya, sepanjang film, dia tersenyum-senyum sendiri menyaksikan adegan-adegan dalam film, yang menyadarkannya bahwa begitu banyak hal-hal sederhana dalam hidup ini yang justru sebenarnya sungguh indah tapi sering kita abaikan.

Film itu membuatnya menyadari bahwa hidup ini terlalu indah untuk dihabiskan dengan menyimpan rasa benci atau menghabiskan waktu dengan orang-orang yang tidak kita sukai

(Saya sela lagi dia: “Tuh kan, alasan jomblo lagi kan,” goda saya.). WS bercerita lagi dan saya setuju dengan pesan moral film itu.

Tapi, kata WS, yang paling menarik dari film itu ternyata bukan soal makanan atau hubungan asmara para pelakonnya. Dia malah membahas hal lain yang masih dalam koridor filmnya, yaitu tentang flu burung.

Ketika Aruna berbicara perihal kasus drama flu burung yang dibuat demi mengucurkan dana project Alkes yang memang begitu besar dananya pada saat itu, teman saya si WS jadi teringat, pernah terjadi juga persis pada negara kita pada satu kondisi dimana salah satu menteri kesehatan dulu juga kena kasus yang sama. Kasus drama flu burung ini menyentak si WS pada satu hal, apa yang terjadi dengan project HAM, LSM dan kegiatan yang berkedok sosial lainnya di negera kita? Dia bertanya. Apakah ada dana yang sedang mereka kejar? Atau ada projek yang mereka kerjakan dengan bermain disekitar drama pelanggaran HAM dan sebagainya? Teman saya si jomblo WS ini, sungguh berapi-api, hingga saya tidak berani merespon. Saya kuatir itu bukan koridor saya.

Lalu dia menyambung ke isu sosial yang sedang hangat baru-baru ini, tentang sesosok figur yang dulu begitu vokal sebagai aktifis pelanggaran HAM, tiba-tiba bermutasi menjadi pembuat drama hoax dan menciptakan kegaduhan yang begitu besar, sampai-sampai melibatkan orang-orang besar dan hal ini menjadi senjata empuk bagi pihak-pihak yang bertujuan memperburuk citra pemerintah. Dengan mudahnya orang itu menciptakan kisah penganiayaan dirinya, yang setelah diusut rupanya hanya kebohongan. Mudah sekali menciptakan kebohongan, semudah dia berkata maaf. Lucu sekali.

Teman saya WS dengan gaya lucu berkata:
“Hati saya jadi bertanya-tanya, ‘ADA APAAA YAH SEBENARNYA??’” (Dia mencoba menirukan Aruna, walau dia sadar, pasti tidak seimut Aruna jika dia yang ngomong).

Lanjutnya: “Ada apa dengan lidahnya? Apakah dulu vokal karena mengejar budget untuk project LSM? Apakah sekarang budget untuk LSM sudah begitu mengering sehingga dibutuhkan sebuah drama besar untuk mengembalikan dana itu kembali mengucur? Yang pasti, dalam film, ketika proses investigasi Aruna berhasil memasukkan Priya kedalam sel, saya berharap, di dunia nyata, Nenek pembuat drama yang ini juga bisa merasakan buah drama yang dia ciptakan sendiri!”

Sekali lagi saya tidak berani berkomentar. Saya merasa lidah saya tidak ingin menciptakan kata-kata. Mungkin karena saya sedang lapar dan sudah mulai berhati-hati memilih konsumsi makanan, karena takut diare lagi.

Walaupun saya tidak berkomentar, tapi saya merasa agak setuju dengan teman saya yang kocak, si WS itu.

Saya berpikir, mungkinkah dalam hidup kita pernah mengalami, sedikit seperti Aruna. Walau hidup Aruna meriah dan penuh rasa, tapi masih saja dia merasa hambar. Dia tak bisa menikmati rasa yang dia inginkan. Kita pernah merasa hambar dan mencari sesuatu untuk mengobatinya.

Terkait dengan tokoh yang membuat kabar kebohongan kemarin, mungkinkah dia juga pernah merasa lebih parah daripada Aruna, hidupnya mungkin sangat kurang rasa, hingga dia berusaha mencari sensasi, yang justru berlebihan hingga menjadi bumerang buat dirinya sendiri? Mungkinkah dia mencari sensasi rasa dengan konsumsi yang terlalu banyak bumbu, hingga jadi overdosis? Sebab bukankah makanan terlalu berbumbu bisa membuat muak, mual, sakit bahkan kemungkinan terburuk lainnya?

Apapun itu, kita memang benar-benar harus bisa menjaga lidah kita sendiri. Seperti tertulis di wikipedia, lidah adalah kumpulan otot rangka yang dapat membantu pencernaan makanan dan sebagai indra pengecap. Lidah juga turut membantu dalam tindakan bicara. Ini adalah dua hal penting dari fungsi lidah yang sungguh vital dalam hidup kita.

Sebab seperti tertulis dalam kitab suci, ‘

Orang jahat terjerat oleh pelanggaran bibirnya, tetapi orang benar dapat keluar dari kesukaran

(Amsal 12:13), dan:

“Siapa yang mau mencintai hidup dan mau melihat hari-hari baik, ia harus menjaga lidahnya terhadap yang jahat dan bibirnya terhadap ucapan-ucapan yang menipu”

(1 Petrus 3:10).

Film “Coco”; Tentang Impian yang Dikekang

Mendengar judulnya, saya pikir film ini ada hubungannya dengan coklat. Coco. Cocolate, saya pikir. Ternyata bukan. Film kartun ini bercerita tentang impian, petualangan dan penyibakan rahasia masa lalu keluarga.

Tokoh utama film ini, Miguel, anak berusia 12 tahun diam-diam bercita-cita jadi musisi terkenal. Tak satupun keluarganya yang tahu bahwa dia menyimpan bakat musik.

Masalahnya, sang nenek buyut Miguel, yang konon trauma ditinggal pergi oleh kakek buyutnya yang musisi terkenal, melarang musik di rumahnya.

Padahal,

impian yang dikekang potensial akan mencetuskan pemberontakan.

Miguel, yang masih belia, tentu tak mudah dilarang. Dia mencari cara untuk mewujudkan impiannya, yang tentu saja jadi sikap yang menentang keluarga besarnya.

Hal ini tentu mengingatkan pada sejarah, kejadian kakek buyutnya, yang dulu kala, ingin go international, hingga meninggalkan keluarga, dan meninggalkan luka yang dalam di hati nenek buyutnya.

Film ini terinspirasi dari sebuah tradisi budaya Meksiko, yaitu sebuah hari khusus untuk mengenang para arwah. Foto arwah dipajang oleh keluarganya dan didoakan, sebab itulah yang konon menjadi ‘tiket’ agar mereka bisa berkunjung ke dunia orang hidup. Bagi arwah yang tak ada dipajang fotonya, tak bisa mengunjungi dunia orang hidup, dan arwahnya akan menghilang secara permanen dari dunia orang mati, dan sedihnya, itu adalah pertanda bahwa tak ada lagi yang mengingat atau mendoakan mereka.

Di rumah keluarga Miguel, foto wajah sang kakek buyut sengaja disobek di foto keluarga. Demikianlah cara sang nenek buyut untuk menyatakan bahwa sang kakek buyut bukanlah lagi bagian dari keluarga.

Betapa menyedihkan bila tak ada yang peduli pada kita, tak ada yang mengenang atau mendoakan kita.

Keluarga harusnya menjadi wadah pertama dan utama untuk berbagi kasih sayang, menerapkan kepedulian, menemukan dan mendukung potensi/bakat, dan tempat saling mendoakan.

Miguel yang tak lagi memiliki gitar (karena gitarnya dirusak oleh neneknya), tetap ingin mengikuti kontes, sehingga berniat mencuri gitar musisi terkenal idolanya, Ernesto De La Cruz, yang dia kira adalah kakek buyutnya. Saat itulah dia tanpa sengaja terpindah ke dunia arwah. Di sanalah dia bertemu dengan keluarga buyutnya, tanpa sengaja.

Supaya Miguel bisa kembali ke dunia orang hidup, dia harus mendapatkan restu dari keluarganya dari dunia orang mati. Nenek buyutnya memberi restu, tapi dengan syarat bahwa Miguel tak boleh lagi menyentuh musik.

Tentu saja Miguel tidak mau.

Apalah artinya hidup tanpa sesuatu yang kau cintai.

Musik adalah hal yang sangat dicintai Miguel. Hal ini menunjukkan bahwa

‘passion’ kitalah, yang membuat kita bisa lebih menikmati hidup. Hidup terasa hambar tanpa cita-cita.

Miguel mencari De La Cruz untuk meminta restu, dan menemukannya. Tapi rupanya, dia tidak seperti yang dikira Miguel. Pada pertemuan itulah akhirnya ketahuan kejadian yang sebenarnya mengapa kakek buyutnya tak pernah kembali ke keluarga. Bukan karena tak ingin kembali, tapi karena dibunuh, oleh musisi idola Miguel, De La Cruz, yang mencuri karya-karya kakek buyut Miguel.

Betapa seringnya kita salah mengidolakan seseorang. Kita tak tahu aslinya bagaimana, sebab yang terlihat hanya sisi baiknya yang kebetulan kita sukai. Kita hanya tahu segelintir saja.

Di pihak lain, kakek buyut Miguel sudah kritis, nyaris musnah dari dunia orang mati, karena sudah lama tak lagi ada orang hidup yang memajang fotonya. Miguel harus menyelamatkannya. Tapi De La Cruz tentu tak akan membiarkan hal itu terjadi sebab akan mengakibatkan aibnya terbongkar.

Secara umum, film ini sungguh menghibur. Selain membuat tertawa, film ini juga potensial menguras airmata penonton, seperti pada adegan ketika sang nenek Coco, yang sudah tua dan pikun, nyaris melupakan kakek buyut Miguel, yang bisa membuat sang buyut musnah selamanya dari alam baka, karena tak ada lagi yang mengingatnya. Saat itu, hanya lagu dari Miguel yang bisa mengembalikan memori sang nenek. Rupanya, memang musik bisa membantu menyegarkan memori.

Banyak juga adegan yang jenaka. Salah satu adegan yang membuat terpingkal-pingkal, salah satunya adalah ketika Miguel bernyanyi pada sebuah kontes. Teks lagunya pun sudah lucu.

What color is the sky
You tell me that it’s red
Where should I put my shoes
Ay, mi amor! Ay, mi amor!
You say put them on your head
Ay, mi amor! Ay, mi amor!
You make me Un poco loco (You make me a little bit crazy)

Lagu bernuansa Mexico, ditambah dengan suara Miguel yang empuk dan masih terdengar belia, sungguh merdu dengan aksen khas Mexico di telinga.

Apa yang paling berkesan setelah menonton film ini?

Keluarga adalah tetap yang terutama. Kita tak boleh melupakan keluarga, terutama orangtua kita.

Luka masa lalu bisa membutakan kita akan potensi kita di masa depan. Kita tak bisa berkubang pada masa lalu, sebab memaafkan adalah cara untuk membebaskan diri kita dari luka dendam. Dendam itu tidak baik untuk kesehatan mental dan fisik kita.

Miguel tentu bukannya tak menomorsatukan keluarga dibandingkan cita-citanya, sama seperti kakek buyutnya. Cita-cita yang terbendung, kadang bisa terlihat membuat kita mengorbankan hal yang terutama dalam hidup ini, yaitu keluarga. Padahal mungkin saja itu karena kadang kita berharap, kalau bukan keluarga sendiri, siapa lagi yang paling bisa mengerti dan menerima impian dan cita-cita kita. Tapi memang sering kesalahpahaman terjadi dalam keluarga kita sendiri.

Pada akhirnya, hanya cinta yang bisa membuat kita memaafkan diri kita dan orang lain.

*-*

Film “Thor: Ragnarok”, Hidup adalah tentang Perubahan

Akhir pekan kemarin, saya dan anak-anak menonton film Thor: Ragnarok. Sudah lama kami menunggu film ini diputar.

Sebelum menonton, saya agak heran begitu melihat mengapa di posternya, rambut Thor jadi pendek. Setelah menonton, barulah ketahuan alasannya. Ketika rambutnya akan dipotong selama film itu, saya sempat kuatir kekuatannya akan berkurang seperti Samson. Ternyata tidak.

Tapi ketika Thor bertarung dengan Hela, sang dewi kematian, dan Hela menghancurkan palu Thor, saya pun tercengang. Apakah kekuatan Thor akan hilang bersama kehancuran palu itu?

Ketika Thor kehilangan palunya, dia mungkin juga merasa kehilangan kekuatannya. Padahal, bukan di situ letak kekuatannya yang sebenarnya. Itu hanya senjata. Hanya alat. Sarana.

Tanpa palu Mjolnir itu, Thor pada dasarnya sangat kuat dan cepat. Thor adalah salah satu Asgardian terkuat dalam hal potensi kekuatan (raw power). Dengan palu itu, kekuatan dan kelincahan alami Thor ditingkatkan sampai batas tertentu, tapi pada dasarnya Thor sangat kuat (extremely durable).

Saya pikir, Thor yang terkenal dengan senjata palunya, mungkin saja sempat merasa lemah atau ‘telanjang’ tanpa palu itu. Ibarat orang jika tak mengenakan jam tangan, atau tidak memegang ponsel satu hari saja, rasanya ada yang kurang.

Kita juga mungkin pernah merasa bahwa kekuatan kita ada pada material, barang-barang atau harta kita, tapi sesungguhnya bukan. Itu hanya sarana. Kekuatan itu ada pada diri kita. Kepribadian kita. Apapun bentuknya.

Film ini memang film laga, tapi sangat saya suka, sebab banyak dialog atau adegan yang kocak yang dari awal sudah membuat saya terpingkal-pingkal.

Selain joke-joke dan keseruan pertarungan dan jalan cerita yang tak terduga, juga akting bagus dari tokoh-tokohnya, banyak hikmah yang bisa dipetik dari film ini.

Contohnya…

Ada orang seperti Valkyrie, yang mencoba melarikan diri dari masa lalu dengan hidup bermabuk-mabukan, tak berani menghadapi kenyataan, walaupun pada akhirnya dia berani menghadapi mimpi buruknya.

Kalaupun kita punya kekuatan, jangan main pukul sembarangan seperti Hulk yang mencoba menghajar Surtur, monster api, yang bisa menghanguskannya dalam sekejap. Pikir dulu sebelum bertindak. Ukur dulu kemampuan kita.

Lalu Thor, yang menemukan dirinya, bahwa kekuatannya ada pada dirinya, bukan pada palunya. Dan bahwa sebuah negeri itu bukanlah tempatnya, tapi manusianya.

Lalu, yang paling saya sukai adalah, seperti ucapan Thor kepada adiknya, Loki: “

Hidup ini adalah tentang pertumbuhan dan perubahan

, tapi kenapa kau tetap sama saja?”

Ada orang yang seperti Loki, tak mau berubah, tetap pengkhianat, egois dan tricky, hanya memikirkan kepentingan dirinya sendiri. Sesaat kita merasa bisa memercayainya tapi rupanya dia tetap mengkhianati kita.

Saya setuju bahwa,

memang seharusnya dalam hidup ini kita harus mengalami perubahan positif, bertransformasi terus-menerus menjadi orang yang lebih baik, lebih dewasa, lebih matang, lebih berguna, makin positif, dan semakin menyerupai imej Pencipta kita.

Kesimpulannya, kami sangat puas menonton film ini, tak percuma penantian ‘panjang’ kami. Tak sabar menunggu film berikutnya.

-*-

Film ‘Ballerina’, Tentang Usaha Menggapai Impian

Film Perancis-Kanada ini berkisah tentang seorang gadis kecil yatim piatu bernama Felicie, bersama temannya, Victor, dengan latar belakang tahun 1880an.

Keduanya melarikan diri dari panti asuhan di desa Brittany, ke Paris. Felicie suka menari dan ingin menjadi ballerina, sedangkan Victor bercita-cita menjadi penemu.

Awalnya Felicie hanya bisa menjadi pembantu seorang Cleaning Service wanita bernama Odette, dan Victor menjadi seorang office boy di bengkel Gustave Eiffel. Kemudian dengan identitas palsu (sebagai Camille), Felicie mendapat kesempatan untuk ikut audisi di sekolah ballet terkenal, untuk mendapatkan peran Clara di The Nutcracker pada Opera Ballet Paris.

Felicie menghadapi banyak tekanan, keletihan, kerja keras, kegagalan, kepahitan, penolakan dan tantangan. Tapi berkat kerja keras dan kemauan yang besar, ditambah bantuan Odette, dia akhirnya berhasil.

Apa yang saya fokuskan pada film ini adalah dua hal berikut ini:

Pertama.
Ibu Camille, menginginkan anaknya menjadi ballerina terkenal. Dia sampai menyogok orang agar anaknya bisa mengikuti audisi itu. Camille pun berusaha keras untuk memenuhi impian ibunya itu. Dia sendiri tak ingin menjadi ballerina. Itu bukan impiannya. Dia hanya ingin mengikuti perintah ibunya.

Betapa banyak orangtua yang seperti ibu Camille. Orangtua yang memaksakan anak, misal untuk ikut les ini itu, ambil jurusan ini itu, bahkan memilihkan jodoh, dengan alasan: orangtua lebih tahu yang terbaik buat anak.

Apakah anda pernah begitu? Sayakah salah satunya? Yang memaksakan mimpi kita pada anak, padahal dia tidak menginginkannya, dan tanpa sadar membuat anak menderita, tidak bahagia. Kita pun sebagai orangtua bisa menjadi tidak sejahtera, mungkin oleh rasa bersalah, jika semuanya berakhir tidak seperti yang diharapkan.

Melihat ibu Camille, saya jadi ingat seorang figur terkenal yang memaksakan anaknya mengikuti jejaknya padahal anaknya mungkin tidak menyukai bidang itu dan tidak capable. Kasihan sekali anak itu. Kasihan sekali menjadi bahan celaan orang. Tanpa disadari, ambisi orangtua bisa menjadi neraka atau racun bagi anaknya.

Kedua.
Seperti Felicie dan Victor, milikilah passion. Felicie memiliki keberanian untuk mengikuti hasrat (passion)nya dan bekerja keras untuk meraih mimpi dengan membuatnya menjadi kenyataan.

Tekad yang besar, latihan, usaha keras dan bimbingan ahli, adalah kunci kesuksesan.

Tak ada impian yang bisa dicapai dengan mudah. Jika terlalu mudah, mungkin itu bukan impian, melainkan kebetulan. Hahaha

-*-

“Cek Toko Sebelah”, yang mana Diri Anda?

Membaca novel karya penulis Indonesia masih saya lakukan hingga kini. Tapi, menonton film Indonesia sudah lama tidak. Sebagian karena sibuk, sebagian lagi alasan penghematan, seperti kata teman: Sebentar lagi juga tayang di televisi, sayang uangnya.

Jadi ketika suami dan anak-anak mengajak menonton film ini, saya masuk ruangan bioskop dengan setengah berharap.

Tak diduga, baru beberapa adegan, saya ikut tertawa. Lalu adegan berikutnya makin terbawa, dan tak sadar terus tertawa-tawa hingga film selesai. Tak disangka saya juga sempat terharu dalam beberapa adegan.

Bagi saya, film ini sangat membumi. Apa yang diceritakan, adalah representasi kejadian sehari-hari, yang dikemas dalam bentuk yang lebih dramatis. Hampir sebagian besar tokoh, seolah berada dalam kehidupan saya sehari-hari.

Koh Afuk, mengingatkan saya sedikit pada mertua saya, yang sudah ditinggal oleh istrinya. Saya melihat kesedihan dan kesepiannya, sendirian, karena anak-anak sudah memiliki tempat tinggal sendiri.

Natalie, mengingatkan saya akan seorang rekan kerja, yang merasa sudah jauh-jauh kuliah di luar negeri dan bekerja di perusahaan asing, eh akhirnya menikah dengan seorang anak pengusaha toko, pewaris keluarga.

Yohan mengingatkan saya akan seorang sepupu, yang masih terkatung-katung antara hobi dan mencari pekerjaan yang kantor yang tak disukainya, dan akhirnya turut membuat galau anggota keluarganya.

Aming, yang terus-terusan makan cemilan dan jajan, tapi masih terus menyebut dirinya sedang berdiet, adalah perwakilan dari kita semua, hahahaha…

Robert, adalah, -anda tahu-, representasi para pria genit yang suka main perempuan, walau sudah punya anak dan istri di rumah.

Lalu Tini, penjaga toko sebelah, yang kecentilan sama gebetan pembantu tetangga, mengingatkan saya akan ART saya yang dulu.

Ayu? Wah, ini juga kisah seorang sahabat, pernikahan yang berbeda kultur, membuatnya kurang diterima dalam keluarga suami.

Saya dan suami merekomendasikan film ini. Film yang sungguh menghibur dan mengingatkan kita akan prioritas hubungan dengan orang-orang yang kita kasihi. Baik itu orangtua, atau saudara/kakak-adik. Dan bagi saya, pesan moral yang ingin saya bawa pulang adalah, seperti lagu kesukaannya bu Sonya:

Harta yang paling berharga adalah… Keluarga!

Family comes first!

The Great Wall, Tembok dalam Diri Kita?

Minggu lalu saya dan keluarga menonton film The Great Wall. Karena belum sempat membaca resensi atau menonton trailernya, saya sama sekali tidak punya clue sebelum menonton film ini, dan jadinya sungguh penuh kejutan saya terpukau selama menonton film ini.

Film ini berkisah tentang tentara bayaran William Garin (Matt Damon) dan temannya Tovar, mengembara mencari mesiu (Black Powder) hingga mencapai dataran China. Lalu mereka menjadi tawanan di sana, tapi kemudian ikut membantu melawan serangan monster Tao Tie.

Sebuah film kolosal yang membuat saya merinding. Efek suaranya mampu mendramatisasi pertarungan. Efek visualisasinya sangat terasa hidup, lokasi latar belakang film atau landscape-nya juga megah. Bahkan koreografi aksi laga terasa rapih dan memukau.

Akting Matt Damon sebagai William, yang jago memanah, bahkan membuat saya menganga. Bunyi gendang pertanda perang membuat saya degdegan. Lampu lampion terbang lambang berduka, membuat saya terkesima saking indahnya. Lalu balon gas terbang yang dipakai untuk perang, membuat saya melotot terkagum-kagum. Kemudian serbuk hitam yang jadi bahan peledak luar biasa, rasanya bisa membuat jantung saya copot. Lalu bagian yang mengharukan, ketika pemuda petugas kunci yang mengorbankan dirinya meledak demi keselamatan Komandan Lin.

Adegan yang penuh ketegangan bercampur dengan sentuhan drama dan dialog lucu, memang membuat film ini menarik dan bikin penasaran dari awal hingga akhir.

Banyak pesan moral yang bisa diambil dari film ini, diantaranya sebagai berikut:
• Semua orang berhak berubah. Masa lalu bisa buruk, tapi masa kini tak harus sama
• Punya tujuan membuat hidup menjadi ada arah, asalkan jangan tujuan keserakahan
• Harta memang potensial menimbulkan keserakahan, tapi rasa kemanusiaan dan persahabatan bisa menghancurkan keserakahan itu
• Keserakahan manusia tak tertandingi oleh makhluk apapun, bahkan makhluk monster buas seperti TaoTie.
• Saling mempercayai itu perlu, terutama dalam kerjasama, kadang kita bahkan perlu mengorbankan diri demi tujuan bersama
• Milikilah teman yang baik, sebab pertemanan harus saling membuat lebih baik, bukan yang malah menjerumuskan
• Hidup ini memang sudah berat, tapi tak ada salahnya melihat sedikit celah humor untuk sedikit meringankannya (Saya tertawa melihat dialog lucu William dan Tovar yang saling menyindir dengan humor yang sarkastis).

Tapi di antara pesan-pesan moral film seperti di atas tadi, yang jadi fokus saya adalah satu hal. Pertanyaan William dalam film ini, ketika pertama kali melihat Tembok Raksasa Cina, adalah juga pertanyaan saya: Untuk apa membangun tembok sebesar ini?

Tembok raksasa sepanjang 8.851 km itu dibangun oleh manusia mencapai 800.000 orang sekitar dua ribu tahun. Luar biasa panjangnya!

Untuk apa membangun tembok sebesar itu, jika bukan karena ada ancaman yang besar juga dari luar?

Rupanya tembok itu dibangun bukan hanya untuk menghindari ancaman dari kerajaan negeri seberang (Mongolia), tetapi ada sesuatu yang ternyata jauh lebih berbahaya, jauh lebih mematikan daripada orang Mongol. Yaitu monster Tao Tei.

Kita sendiri, mungkin memiliki ‘tembok’ pribadi, masing-masing. Kita membuat batasan diri dari dunia luar untuk menjaga diri kita. Tembok dari diri kita mungkin terbangun perlahan oleh kekecewaan dan luka-luka dari luar diri kita.

Insting dasar manusia adalah melindungi diri sendiri. Refleks seperti tumbuhan putri malu jika disentuh langsung menutup diri. Siput dan kura–kura memiliki tempurung yang keras sebagai perlindungan diri dari musuhnya. Bunglon melindungi dirinya dari musuh dengan cara mengubah warna kulitnya sesuai tempatnya.

Tembok memang perlu melindungi kita, tapi juga bisa membuat kita tidak bebas melihat dunia luar yang mungkin bisa membuat kita lebih baik. Selalu ada positif dan negatif dari tembok diri ini. Tapi yang terbaik adalah berdamai dengan diri sendiri dan membuka diri dengan tetap waspada, sebab orang yang paling kuat bertahan adalah mereka yang fleksibel pada perubahan dan perbedaan.

Apa jenis ‘tembok’ diri anda?
Kekecewaan di masa lalu? Ekspektasi yang tak tercapai? Dikhianati? Tersakiti? Diperlakukan tidak adil? Dizalimi?

-*-