Tentang Respek pada Hak Azasi Manusia

Hari ini dunia merayakan hari Hak Azasi Manusia (HAM). Suatu deklarasi yang bersifat universal untuk melindungi setiap insan agar hak-hak dasar-dan azasi terjamin, tak boleh dirampas oleh siapapun. Suatu karya anak-anak manusia yang amat cemerlang untuk membebaskan manusia di belahan mana pun di dunia ini dari ancaman dan tindasan; memberi kebebasan menganut dan melakukan hak-hak yang amat fundamental dan kesamaan status maupun perlakuan tanpa mengenal gender, usia, strata sosial, suku bangsa. Siapapun dia harus dihormati dan dilindungi hak-hak dasarnya.

Prinsip dan moral HAM, secara substansial mengatur:

1. Hak untuk hidup
2. Terbebas dari penganiayaan
3. Terbebas dari perbudakan
4. Berhak mendapatkan peradilan yang adil dan fair
5. Bebas menyuarakan pendapat-pikiran
6. Bebas menganut suatu keyakinan atau agama

Dan hak-hak lain, termasuk orientasi seksual.

Pergumulan untuk melindungi manusia dari hak-hak dasarnya telah dimulai sejak abad 16, ketika kesadaran (sekali lagi kesadaran) mengenai harkat dan kebebasan azasi manusia dianggap amat signifikan.

Filsuf Jhon Locke, salah satu penggagas penting. Pikiran-pikiran manusia yang luarbiasa ini kemudian menjadi bahan perenungan para kaum cendekia di Eropa dan Amerika.

Banyak tantangan dan penolakan, tentu. Terutama dari pihak-pihak yang merasa terganggu, baik karena alasan ekonomi, kepercayaan, budaya, dsb. Naluri dasar manusia memang tak semua menyangkut hal yang baik, pun yang buruk, egoistis, dan kejam. Karena itulah proses dan perjuangan untuk menghormati HAM terasa lama, beradab-abad, sebab banyak tantangan dan ketidaksepakatan.

PBB (United Nations) akhirnya menyepakati dan mendeklarasikan pada 12 Desember 1948. Urgensinya sudah sedemikian krusial, mendesak, karena di berbagai tempat terus terjadi penistaan manusia, baik karena alasan kekuasaan-politik, gender, keyakinan-agama, sosial-ekonomi, budaya. Maka, bagi negara yang menjadi anggota PBB, wajib mematuhi; menerjemahkan prinsip-prinsip dasar HAM tsb ke dalam regulasi, hukum, di negara masing-masing–dan harus dipatuhi. Bila tidak, PBB akan mengambil keputusan dan menjatuhkan sanksi.

Tetapi, mestinya, tanpa ancaman sanksi dari PBB pun sewajarnyalah setiap insan yang beradab (apalagi beragama pula) menghormati HAM. Menghormatinya, berarti pula menghormati diri sendiri.

Deklarasi menyangkut pengakuan dan penjaminan atas HAM pun merupakan karya besar dan luhur. Perlahan-lahan, tindak kebiadaban terkikis, dan gagasan menyebarkan prinsip-prinsip keadilan, fairness, demi kemanusiaan, menjadi pegangan bermilyar warga dunia.

Namun hingga kini, isu dan persoalan HAM masih terus menjadi keresahan bersama dan jadi keprihatinan PBB serta para cerdik-cendekia dan aktivis yang peduli. Masih banyak perlakuan dan terus terjadi pelanggaran HAM di berbagai negara. Pelakunya bisa negara, institusi, kelompok, pun person.

Minimnya pengetahuan mengenai HAM, ditengarai salah satu penyebab mengapa masih terus terjadi pelanggaran–apalagi bila perspektif agama dan budaya yang dipakai saat menilai segala sesuatu menyangkut manusia. Seharusnya, sejak dini dan dalam materi pendidikan dasar sekolah formal, prinsip dan moralitas HAM menjadi materi penting dan tak terputus hingga level pendidikan selanjutnya.

Pengetahuan dan kesadaran mengenai (pentingnya) HAM pulalah menjadi modal utama untuk menciptakan relasi sosial, hubungan antarindividu, dan relasi serta tanggungjawab pengelola negara dengan rakyat. Dasar tuntutan pun dibekali oleh pemahaman yang memadai menyangkut hak-hak dasar tiap manusia, tak hanya warganegara.

Negaralah memang yang paling bertanggungjawab menjamin dan melindungi HAM setiap orang yang berada di wilayahnya. Maka, sungguh mengherankan, hingga kini, upaya untuk menyebarkan dan mengingatkan serta yang terutama menjamin HAM setiap warga, belum menjadi concern utama penyelenggara negara.

Kritik saya pada pemerintahan Jokowi, setuju atau tidak dengan yang saya sampaikan ini, menteri-menteri dan departemen pemerintah yang membidangi semua aspek HAM, belum berbuat maksimal. Sama saja dengan rezim yang digantikan. Apa saja upaya yang dilakukan Menteri Hukum & HAM selama ini, misalnya, sila Anda “renungi dan evaluasi.”

Negara tidak boleh kalah pada pelanggar HAM, dan para cerdik-pandai, orang terdidik, para terpelajar, seharusnya ikut peduli dan tidak berstandar ganda. HAM menerobos sekat-sekat yang memisahkan dan membedakan manusia, menolak segala bentuk diskriminasi dan perlakuan tak adil, menjunjung fairness dan keadilan yang substansial–tanpa memandang gender, strata sosial, etnisitas, seagama atau tidak, dll. Prinsip kesetaraan, equality, menjadi pegangan dasar.

Negara memang harus terus mendidik warga mengenai HAM, namun bila abai, tak sepatutnyalah orang-orang terdidik seperti Anda, ikut-ikutan tak menghormati. Sayang sekali pengetahuan dan ijazah yang dikoleksi.

Salam damai, mari respek HAM demi humanisme tanpa membedakan siapa dia: apakah seiman-seagama, pribumi, turunan Arab, China, India, Eropa, Afrika, dan lain-lain.

Foto: Pixabay/Geralt

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *