Pada pidato perdana setelah dilantik sebagai Gubernur DKI Jakarta, Dr. Anies Baswedan menyampaikan pernyataan-pernyataan yang dalam pandangan penulis patut untuk dicermati.
Sebagaimana diberitakan oleh beberapa media, dalam pernyataan-pernyataan tersebut Pak Gubernur menggunakan istilah “pribumi” untuk merujuk pada komponen bangsa yang dalam pandangan beliau pernah ditindas dan dikalahkan pada masa lalu. Oleh karena itu, setelah merdeka, kini saatnya komponen bangsa tersebut menjadi tuan rumah di negeri sendiri.
Pernyataan Dr. Baswedan di atas berpotensi memunculkan pertanyaan-pertanyaan. Siapakah yang beliau maksud sebagai “pribumi” itu? Bagaimana hubungan komponen bangsa yang disebut “pribumi” tersebut dengan komponen lain yang dapat menjadi pembanding, yaitu “non-pribumi”?
Sejak kapan kategorisasi pribumi dan non-pribumi digunakan dalam masyarakat Indonesia? Apakah penggunaan istilah tersebut masih relevan di era reformasi ini? Tulisan singkat ini mencoba mendiskusikan pertanyaan petanyaan di atas.
Bila pendefinisian seeorang atau sekelompok orang sebagai “pribumi” atau “non-pribumi” didasarkan pada asal usul nenek moyang dari orang atau kelompok tersebut, maka sebagian besar – bila bukan seluruh – bangsa Indonesia tak dapat dikategorikan sebagai pribumi.
Betapa tidak? Sebagian besar antropolog sepakat bahwa asal usul manusia modern dapat ditelusuri hingga benua Afrika, antara 80 ribu hinga 100 ribu yang lalu. Ini berarti bahwa seluruh penghuni nusantara pada dasarnya adalah keturunan dari para imigran yang datang di kepulauan Asia Tenggara ini puluhan ribu tahun yang lalu.
Arus kedatangan rumpun Austronesia bahkan lebih lambat lagi. “Penduduk asli” pulau Kalimantan, Sumatera, Jawa, Sulawesi, Kepulauan Maluku, dan Semenanjung Malaka itu meninggalkan “tanah leluhur mereka”, yaitu pulau Taiwan sekitar 1000 tahun atau lebih sebelum masehi.
Bila para penduduk asli itu sebenarnya adalah “pendatang”, mengapa saat ini kita mengenal pembedaan antara “pribumi” dan “non pribumi”? Siapakah yang pribumi dan siapakah yang bukan?
Pembedaan antara “pribumi” dan “non pribumi” sebenarnya merupakan sebuah fenomena yang tergolong baru, bila dibandingkan dengan sejarah nusantara yang telah mencapai ribuan tahun. Pembedaan ini baru mulai dikenal pada sekitar abad ke sembilan belas, seiring dengan stratifikasi masyarakat berdasarkan ras, yang menurut Professor Wertheim, sangat berbeda dari sistem lama di Indonesia, yang tidak mengenal pembedaan semacam itu.
Stratifikasi sosial baru yang diperkenalkan oleh pemerintahan kolonial ini menempatkan orang orang Belanda dan golongan Eropa lainnya pada lapisan teratas dari masyarakat pada saat itu.
Orang orang Eropa ini memiliki status hukum yang sangat berbeda dari golongan lain, yaitu mereka yang disebut sebagai bumiputera, yang justru menempati lapisan masyarakat terbawah. Sementara itu, dalam wilayah koloni Belanda saat itu, terdapat pula orang-orang Asia yang berasal dari negara negara di luar nusantara.
Mereka adalah para pendatang (atau keturunan pendatang) dari Tiongkok, Jepang, Arab, India. Sebagaimana dituliskan oleh Charles A. Coppel, orang-orang ini (dengan pengecualian pendatang dari Jepang yang pada akhir abad Sembilan belas disamakan dengan golongan Eropa) dikategorikan sebagai “mereka yang disamakan dengan pribumi”.
Namun meski disamakan secara status, mereka dibedakan sebagai golongan tersendiri, yaitu “Timur Asing”. Menurut Coppel, istilah “Timur Asing” ini seolah melanggengkan pandangan bahwa mereka pada hakikatnya adalah ‘orang orang asing.
Meski penggolongan penduduk berdasakan ras di atas merupakan peninggalan kebijakan kolonial, keberadaannya nampaknya diterima oleh para aktivis pergerakan nasional pada awal abad ke-dua puluh. Sebagian besar dari organisasi yang memupuk kebangsaan Indonesia pada periode itu memandang bahwa hanya masyarakat pribumi lah yang dapat disebut sebagai bangsa Indonesia.
Orang-orang Timur Asing tidak dapat dianggap sebagai bangsa Indonesia meski mereka telah hadir di wilayah jajahan Belanda itu selama beberapa generasi. Sebagaimana ditulis oleh Mobini-Kheseh, setidaknya selama beberapa waktu, orang-orang keturunan Arab tidak dapat menjadi anggota penuh dari Syarikat Islam (SI), sebuah organisasi yang menjadikan agama Islam sebagai salah satu pemersatu.
Hanya beberapa dari para tokoh kebangsaan saat itu – teruatama para pendiri Indische Partij – yang berpandangan bahwa Indonesia (saat itu disebut sebagai Hindia) adalah tanah air dari mereka yang tinggal di Indonesia, tanpa memandang ras, etnisitas, ataupun agama.
Sayang, Indische Partij sendiri tak berumur panjang karena segera diberangus oleh pemerintah kolonial. Seiring pudarnya Indische Partij, ide pembangunan bangsa Indonesia yang berdasarkan pada status kepribumian menjadi wacana yang paling dominan dalam pergerakan kebangsaan di waktu itu.
Lebih dari dua abad telah berlalu sejak penggolongan masyarakat berdasarkan ras diperkenalkan oleh pemerintah Kolonial. Indonesia pun telah lebih dari tujuh puluh tahun berada dalam alam kemerdekaan. Namun istilah pribumi dan non-pribumi masih seringkali didengungkan, tanpa memberi klarifikasi mengenai konteks di mana istilah tersebut pertama kali dicipta.
Sebagai bangsa merdeka, bukankah seyogyanya kita pun membebaskan diri dari belenggu mental yang pernah dikenakan kepada kita oleh pemerintahan kolonial di masa lalu?
Dalam hemat penulis, salah satu dari belenggu tersebut adalah pembedaan terhadap saudara sebangsa berdasarkan penggolongan pribumi dan non pribumi. Hancurnya belenggu tersebut akan membawa kita kembali kepada cita-cita lama yang selalu mulia, yaitu membangun bangsa Indonesia yang mencakup seluruh anak negeri, termasuk mereka yang pada masa kolonial dikategorikan sebagai “pribumi” dan “non pribumi.”
Johanes Herlijanto
Penulis adalah antropolog dan dosen Jurusan Ilmu Komunikasi UPH, Karawaci.
Tulisan pernah muncul di Petraonline.net 5 Juni 2017, namun telah diedit sesuai konteks saat ini.
Foto Pixabay