Tag Archives: Indonesia

Pribumi dan Non Pribumi, Warisan Kolonial Yang Masih Membelenggu

Pada pidato perdana setelah dilantik sebagai Gubernur DKI Jakarta, Dr. Anies Baswedan menyampaikan pernyataan-pernyataan yang dalam pandangan penulis patut untuk dicermati.

Sebagaimana diberitakan oleh beberapa media, dalam pernyataan-pernyataan tersebut Pak Gubernur menggunakan istilah “pribumi” untuk merujuk pada komponen bangsa yang dalam pandangan beliau pernah ditindas dan dikalahkan pada masa lalu. Oleh karena itu, setelah merdeka, kini saatnya komponen bangsa tersebut menjadi tuan rumah di negeri sendiri.

Pernyataan Dr. Baswedan di atas berpotensi memunculkan pertanyaan-pertanyaan. Siapakah yang beliau maksud sebagai “pribumi” itu? Bagaimana hubungan komponen bangsa yang disebut “pribumi” tersebut dengan komponen lain yang dapat menjadi pembanding, yaitu “non-pribumi”?

Sejak kapan kategorisasi pribumi dan non-pribumi digunakan dalam masyarakat Indonesia? Apakah penggunaan istilah tersebut masih relevan di era reformasi ini? Tulisan singkat ini mencoba mendiskusikan pertanyaan petanyaan di atas.

Bila pendefinisian seeorang atau sekelompok orang sebagai “pribumi” atau “non-pribumi” didasarkan pada asal usul nenek moyang dari orang atau kelompok tersebut, maka sebagian besar – bila bukan seluruh – bangsa Indonesia tak dapat dikategorikan sebagai pribumi.

Betapa tidak? Sebagian besar antropolog sepakat bahwa asal usul manusia modern dapat ditelusuri hingga benua Afrika, antara 80 ribu hinga 100 ribu yang lalu. Ini berarti bahwa seluruh penghuni nusantara pada dasarnya adalah keturunan dari para imigran yang datang di kepulauan Asia Tenggara ini puluhan ribu tahun yang lalu.

Arus kedatangan rumpun Austronesia bahkan lebih lambat lagi. “Penduduk asli” pulau Kalimantan, Sumatera, Jawa, Sulawesi, Kepulauan Maluku, dan Semenanjung Malaka itu meninggalkan “tanah leluhur mereka”, yaitu pulau Taiwan sekitar 1000 tahun atau lebih sebelum masehi.

Bila para penduduk asli itu sebenarnya adalah “pendatang”, mengapa saat ini kita mengenal pembedaan antara “pribumi” dan “non pribumi”? Siapakah yang pribumi dan siapakah yang bukan?

Pembedaan antara “pribumi” dan “non pribumi” sebenarnya merupakan sebuah fenomena yang tergolong baru, bila dibandingkan dengan sejarah nusantara yang telah mencapai ribuan tahun. Pembedaan ini baru mulai dikenal pada sekitar abad ke sembilan belas, seiring dengan stratifikasi masyarakat berdasarkan ras, yang menurut Professor Wertheim, sangat berbeda dari sistem lama di Indonesia, yang tidak mengenal pembedaan semacam itu.

Stratifikasi sosial baru yang diperkenalkan oleh pemerintahan kolonial ini menempatkan orang orang Belanda dan golongan Eropa lainnya pada lapisan teratas dari masyarakat pada saat itu.

Orang orang Eropa ini memiliki status hukum yang sangat berbeda dari golongan lain, yaitu mereka yang disebut sebagai bumiputera, yang justru menempati lapisan masyarakat terbawah. Sementara itu, dalam wilayah koloni Belanda saat itu, terdapat pula orang-orang Asia yang berasal dari negara negara di luar nusantara.

Mereka adalah para pendatang (atau keturunan pendatang) dari Tiongkok, Jepang, Arab, India.  Sebagaimana dituliskan oleh Charles A. Coppel, orang-orang ini (dengan pengecualian pendatang dari Jepang yang pada akhir abad Sembilan belas disamakan dengan golongan Eropa) dikategorikan sebagai “mereka yang disamakan dengan pribumi”.

Namun meski disamakan secara status, mereka dibedakan sebagai golongan tersendiri, yaitu “Timur Asing”.  Menurut Coppel, istilah “Timur Asing” ini seolah melanggengkan pandangan bahwa mereka pada hakikatnya adalah ‘orang orang asing.

Meski penggolongan penduduk berdasakan ras di atas merupakan peninggalan kebijakan kolonial, keberadaannya nampaknya diterima oleh para aktivis pergerakan nasional pada awal abad ke-dua puluh. Sebagian besar dari organisasi yang memupuk kebangsaan Indonesia pada periode itu memandang bahwa hanya masyarakat pribumi lah yang dapat disebut sebagai bangsa Indonesia.

Orang-orang Timur Asing tidak dapat dianggap sebagai bangsa Indonesia meski mereka telah hadir di wilayah jajahan Belanda itu selama beberapa generasi. Sebagaimana ditulis oleh Mobini-Kheseh, setidaknya selama beberapa waktu, orang-orang keturunan Arab tidak dapat menjadi anggota penuh dari Syarikat Islam (SI), sebuah organisasi yang menjadikan agama Islam sebagai salah satu pemersatu.

Hanya beberapa dari para tokoh kebangsaan saat itu – teruatama para pendiri Indische Partij – yang berpandangan bahwa Indonesia (saat itu disebut sebagai Hindia) adalah tanah air dari mereka yang tinggal di Indonesia, tanpa memandang ras, etnisitas, ataupun agama.

Sayang, Indische Partij sendiri tak berumur panjang karena segera diberangus oleh pemerintah kolonial. Seiring pudarnya Indische Partij, ide pembangunan bangsa Indonesia yang berdasarkan pada status kepribumian menjadi wacana yang paling dominan dalam pergerakan kebangsaan di waktu itu.

Lebih dari dua abad telah berlalu sejak penggolongan masyarakat berdasarkan ras diperkenalkan oleh pemerintah Kolonial. Indonesia pun telah lebih dari tujuh puluh tahun berada dalam alam kemerdekaan. Namun istilah pribumi dan non-pribumi masih seringkali didengungkan, tanpa memberi klarifikasi mengenai konteks di mana istilah tersebut pertama kali dicipta.

Sebagai bangsa merdeka, bukankah seyogyanya kita pun membebaskan diri dari belenggu mental yang pernah dikenakan kepada kita oleh pemerintahan kolonial di masa lalu?

Dalam hemat penulis, salah satu dari belenggu tersebut adalah pembedaan terhadap saudara sebangsa berdasarkan penggolongan pribumi dan non pribumi. Hancurnya belenggu tersebut akan membawa kita kembali kepada cita-cita lama yang selalu mulia, yaitu membangun bangsa Indonesia yang mencakup seluruh anak negeri, termasuk mereka yang pada masa kolonial dikategorikan sebagai “pribumi” dan “non pribumi.”

 

Johanes Herlijanto

Penulis adalah antropolog dan dosen Jurusan Ilmu Komunikasi UPH, Karawaci.

Tulisan pernah muncul di Petraonline.net 5 Juni 2017, namun telah diedit sesuai konteks saat ini.

 

Foto Pixabay

Belajar Bersyukur menjadi Indonesia

Bagaimana mengajarkan anak mengenai Indonesia dan kebinekaan serta keberagamannya? Bukan perkara mudah sebetulnya.

Apalagi kalau kita terbiasa menyekolahkan anak di sekolah berbasis Kristen atau Katolik sejak Taman Kanak-Kanak sampai Sekolah Menengah.

Anak terbiasa bergaul dengan kelompok homogen sejak muda. Bagaimana saat mereka harus bergaul dengan sekeliling yang heterogen, kemudian dihina atau diejek oleh anak-anak muda lain karena keminoritasannya?

Apalagi situasi akhir-akhir ini, sejak masa pemilihan presiden 2014 dan kemudian makin mengental saat pemilihan Gubernur DKI Jakarta. Isu SARA menjadi mainan politik. Akibatnya, kebinekaan Indonesia berada di ujung tanduk. Bibit-bibit intoleransi bahkan sudah tumbuh pada anak-anak, seperti video yang viral di media sosial.

Tapi sebagai orang Kristen, membalas sikap intoleransi dengan sikap intoleransi, jelas jauh dari ajaran Kristus mengenai kasih. (Baca: Omong Kosong Soal Pribumi – Non Pribumi)

Hal inilah yang kemudian menjadi perhatian komunitas persekutuan alumni Kristen SMA Negeri 13 Jakarta dan mendasari diadakannya Bible Camp bertajuk “Bersyukur menjadi Indonesia”, yang diadakan di Tanakita, Sukabumi, 25-27 Juni 2017 kemarin.

Sekitar 30 anak, dari usia Taman Kanak-Kanak hingga SMA, disatukan di bumi perkemahan itu untuk dididik menjadi anak-anak yang cinta Tuhan Yesus, berdisiplin, sekaligus menghargai perbedaan dan mengerti bagaimana bertoleransi di tengah kebinekaan negeri ini.

Betapa kita tidak bersyukur
bertanah air kaya dan subur;
lautnya luas, gunungnya megah,
menghijau padang, bukit dan lembah.

Refrein:
Itu semua berkat karunia Allah
yang Agung, Mahakuasa;
itu semua berkat karunia Allah
yang Agung, Mahakuasa.

Lagu di atas adalah semacam lagu tema Bible Camp itu. Anak-anak diajak bersyukur pada indahnya Indonesia, dengan segala isinya. Tak hanya keindahan alam, tapi juga keindahan perbedaan agama, warna kulit, suku, di dalamnya.

Bagaimana caranya? Dengan mempraktekkan hukum kasih yang menjadi landasan ajaran Kekristenan. “Kasihilah Tuhan Allahmu dengan segenap hatimu dan segenap akal budimu. Kasihilah sesamamu sebagaimana engkau mengasihi dirimu sendiri.”

Bagaimana mengasihi orang lain yang berbeda dengan kita? Saya kira, implementasinya tepat seperti yang dikatakan Rasul Paulus kepada jemaat Korintus di 1 Korintus 13: 4-8:
Kasih itu sabar; kasih itu murah hati; ia tidak cemburu. Ia tidak memegahkan diri dan tidak sombong. Ia tidak melakukan yang tidak sopan dan tidak mencari keuntungan diri sendiri. Ia tidak pemarah dan tidak menyimpan kesalahan orang lain. Ia tidak bersukacita karena ketidakadilan, tetapi karena kebenaran. Ia menutupi segala sesuatu, percaya segala sesuatu, mengharapkan segala sesuatu, sabar menanggung segala sesuatu. Kasih tidak berkesudahan; nubuat akan berakhir; bahasa roh akan berhenti; pengetahuan akan lenyap.

Sedang orangtua yang ikut juga dalam kegiatan itu, banyak berdiskusi dalam forum yang diadakan panitia setiap hari. Dimulai dari bahasan mengenai bagaimana mendidik anak dalam ajaran kasih dan bagaimana ajaran kasih itu bisa menjadi landasan anak dalam bertoleransi dengan orang lain yang berbeda dengannya.

Kemudian, berdiskusi melalui pengalaman masing-masing orangtua, tentang bagaimana menjadi orang Kristen yang bisa berdampak bagi sekelilingnya. Ada orangtua yang mengatakan, salah satu cara paling simpel adalah dengan terlibat dalam kegiatan-kegiatan di lingkungan rumahnya.

Orang Kristen jangan menjadi kaum pasif, atau malah cenderung menjauhkan diri dari pergaulan dengan tetangga, RT, atau lingkungan sekitarnya. Ketika orang Kristen terlibat di lingkungannya, ini bisa menjadi cara mengubah pandangan orang-orang terhadap Kekristenan. Jadikanlah hidup penuh kasih di tengah keluarga kemudian jadi kesaksian bagi orang lain. (Baca: Wonder Woman dan Pelajaran Cinta)

Pada bagian akhir, Pendeta Fidel Ramond, salah satu alumnus SMA 13, menyampaikan bahwa rahasia menjadi berkat bagi sekeliling adalah dengan hidup jadi orang Kristen yang sungguh-sungguh dengan menjadikan Yesus sebagai teladan.

“Tuhan Yesus tidak meminta kita jadi orang baik saja, karena ada banyak orang di luar sana yang jauh lebih baik sikapnya ketimbang orang Kristen,” katanya. “Tapi yang Tuhan mau adalah kita menjadi orang Kristen yang sungguh-sungguh.”

Memang untuk hidup sungguh-sungguh itu tak mudah. Pendeta Fidel mencontohkan hidup Rasul Paulus, yang hidup bersungguh-sungguh dengan Tuhan, meninggalkan zona nyamannya sebagai pemuka agama dan orang penting, hanya untuk kemudian menjadi pengikut Kristus yang hidupnya sengsara sampai mati sebagai martir.

Tapi percayalah, kata sang pendeta, batas antara hidup di dunia dan kekekalan itu hanya setipis tirai. Pada kekekalan, hanya ada dua pilihan abadi: surga atau neraka. Mana yang kita pilih? Pilihan ditentukan ketika kita masih hidup, bukan saat kita sudah mati.

Foto: Dok Pribadi

Pribumi dan Nonpribumi, Warisan Kolonial yang Masih Membelenggu

Beberapa waktu yang lalu, petraonline.net baru saja mempublikasikan sebuah artikel singkat yang memaparkan bahwa pembedaan pribumi dan nonpribumi sebenarnya hanyalah berdasar pada argumentasi omong kosong belaka.

Baca: Omong Kosong soa Pribumi – Nonpribumi

Betapa tidak? Sebagian besar antropolog sepakat bahwa asal-usul manusia modern dapat ditelusuri hingga benua Afrika, antara 80.000 hinga 100.000 yang lalu. Ini berarti bahwa seluruh penghuni Nusantara pada dasarnya adalah keturunan dari para imigran yang datang di kepulauan Asia Tenggara ini puluhan ribu tahun yang lalu.

Arus kedatangan rumpun Austronesia bahkan lebih lambat lagi. “Penduduk asli” pulau Kalimantan, Sumatera, Jawa, Sulawesi, Kepulauan Maluku, dan Semenanjung Malaka itu meninggalkan ‘tanah leluhur mereka,’ yaitu pulau Taiwan sekitar 1.000 tahun atau lebih sebelum masehi.

Bila para penduduk asli itu sebenarnya adalah “pendatang”, mengapa saat ini kita mengenal pembedaan antara “pribumi” dan “nonpribumi”? Siapakah yang pribumi dan siapakah yang bukan?

Pembedaan antara “pribumi” dan “nonpribumi” sebenarnya merupakan sebuah fenomena yang tergolong baru, bila dibandingkan dengan sejarah Nusantara yang telah mencapai ribuan tahun. Pembedaan ini baru mulai dikenal pada sekitar abad ke sembilan belas, seiring dengan stratifikasi masyarakat berdasarkan ras, yang menurut Professor Wertheim, sangat berbeda dari sistem lama di Indonesia, yang tidak mengenal pembedaan semacam itu.

Stratifikasi sosial baru yang diperkenalkan oleh pemerintahan kolonial ini menempatkan orang-orang Belanda dan golongan Eropa lainnya pada lapisan teratas dari masyarakat pada saat itu. Orang-orang Eropa ini memiliki status hukum yang sangat berbeda dari golongan lain, yaitu mereka yang disebut sebagai bumiputera, yang justru menempati lapisan masyarakat terbawah.

Sementara itu, dalam wilayah koloni Belanda saat itu, terdapat pula orang-orang Asia yang berasal dari negara negara di luar Nusantara. Mereka adalah para pendatang (atau keturunan pendatang) dari Tiongkok, Jepang, Arab, India.

Sebagaimana dituliskan oleh Charles A. Coppel, orang-orang ini (dengan pengecualian pendatang dari Jepang yang pada akhir abad Sembilan belas disamakan dengan golongan Eropa) dikategorikan sebagai “mereka yang disamakan dengan pribumi”.

Namun meski disamakan secara status, mereka dibedakan sebagai golongan tersendiri, yaitu “Timur Asing”. Menurut Coppel, istilah “Timur Asing” ini seolah melanggengkan pandangan bahwa mereka pada hakikatnya adalah “orang orang asing”.

Meski penggolongan penduduk berdasakan ras di atas merupakan peninggalan kebijakan kolonial, keberadaannya tampaknya diterima oleh para aktivis pergerakan nasional pada awal abad ke-dua puluh. Sebagian besar dari organisasi yang memupuk kebangsaan Indonesia pada periode itu memandang bahwa hanya masyarakat pribumilah yang dapat disebut sebagai bangsa Indonesia.

Orang-orang Timur Asing tidak dapat dianggap sebagai bangsa Indonesia meski mereka telah hadir di wilayah jajahan Belanda itu selama beberapa generasi. Sebagaimana ditulis oleh Mobini-Kheseh, setidaknya selama beberapa waktu, orang-orang keturunan Arab tidak dapat menjadi anggota penuh dari Syarikat Islam (SI), sebuah organisasi yang menjadikan agama Islam sebagai salah satu pemersatu.

Hanya beberapa dari para tokoh kebangsaan saat itu – teruatama para pendiri Indische Partij – yang berpandangan bahwa Indonesia (saat itu disebut sebagai Hindia) adalah tanah air dari mereka yang tinggal di Indonesia, tanpa memandang ras, etnisitas, ataupun agama.

Sayang, Indische Partij sendiri tak berumur panjang karena segera diberangus oleh pemerintah kolonial. Seiring pudarnya Indische Partij, ide pembangunan bangsa Indonesia yang berdasarkan pada status kepribumian menjadi wacana yang paling dominan dalam pergerakan kebangsaan di waktu itu.

Lebih dari dua abad telah berlalu sejak penggolongan masyarakat berdasarkan ras diperkenalkan oleh pemerintah Kolonial. Indonesia pun telah tujuh puluh tahun berada dalam alam kemerdekaan. Namun istilah pribumi dan non-pribumi masih seringkali didengungkan, tanpa memahami konteks di mana istilah tersebut pertama kali dicipta.

Sebagai bangsa merdeka, bukankah seyogianya kita pun membebaskan diri dari belenggu mental yang pernah dikenakan kepada kita oleh pemerintahan kolonial di masa lalu?

Dalam hemat saya, salah satu dari belenggu tersebut adalah pembedaan terhadap saudara sebangsa berdasarkan penggolongan pribumi dan nonpribumi.

 

J Roestam

Penulis adalah antropolog

 

Foto: pixabay.com

Jangan Amnesia! Kita Punya Pancasila

Selamat hari lahir Pancasila! Pertama kali kenal Pancasila, ketika duduk di bangku SD. Tahu sila pertama sampai kelima karena diajarkan pada pelajaran PMP alias Pendidikan Moral Pancasila. Tiap hari Senin upacara bendera, dengan khusyuk pasti menyebutkan lima sila itu.

Memang seperti indoktrinasi sih, tapi mungkin kita memang perlu diingatkan berulang-ulang soal Pancasila sebagai dasar negara ini (dasar lho dasar….artinya apapun yang kita lakukan sebagai warga negara, mestinya didasari nilai-nilai luhur ini). Ini biar enggak pada amnesia bahwa kita punya Pancasila dan enggak coba-coba ganti dasar negara dengan falsafah yang lain.

Zaman saya SD, saya harus banget menghafalkan 36 butir P4. Sekarang di SD, kayaknya sih tidak sampai harus menghafalkan 36 butir P4, ya, tapi kalau saya lihat materi pelajaran anak saya, tetap kok diajarkan tentang Pancasila dan nilai-nilai pengamalannya.

Saya suka tanya pada mahasiswa-mahasiswa saya, setelah selesai baca karya sastra: paling suka bagian yang mana? Nahhh…kalau saya ditanya, sila Pancasila mana yang paling powerful untuk kamu?

Jawaban saya: sila ke-3, Persatuan Indonesia. Karena, kalau kita benar-benar menghayati sila ini, harusnya perpecahan bangsa itu enggal akan terjadi.

Saya mungkin sok idealis banget ya, tapi menurut saya, di zaman serba tidak pasti dan penuh kecurigaan sana sini dan goncang ganjing politik begini, saya merasa, yang paling kita butuhkan itu adalah harapan.

Harapan bahwa kita bisa menjadi lebih baik, maju, damai, lebih menghormati satu dengan yang lain. Kalau belum-belum sudah pesimistis, ya akhirnya, terjadilah sesuai dengan pikiran pesimistismu. Apapun itu, menyebarkan aura negatif yang bikin enggak damai itu sungguh meresahkan.

Mungkin ada yang berpikir, “ini wall gue, ini socmed gue, terserah gue mau nulis apa.” Menurut saya, tetap enggak bisa “terserah” sih, karena meskipun “wall gue, socmed gue,” yang baca kan bukan hanya yang menulis!

Dan socmed itu sudah merupakan sebuah masyarakat, di mana para penggunanya saling berinteraksi, jadi tetap kalau bicara atau mengeluarkan pendapat atau share sesuatu, harus pakai etika.

Kalau dibilang apa yang diposting di socmed itu enggak ada hubungan dengan kepribadian yang bikin postingan tersebut, menurut saya sih tidak demikian. Sedikit banyak, postingan seseorang, berbicara mengenai kepribadian, pola pikir, cara pandang orang tersebut, meski memang tidak sepenuhnya terlihat dalam setiap postingan tersebut.

Jadi, di hari peringatan lahirnya Pancasila ini, mari kita jaga esensi keberagaman bangsa tercinta ini, yang konon katanya “Bhinneka Tunggal Ika”. Kita sudah diajarkan semboyan negeri ini kan, jadi untuk apa kita masih cari semboyan lain, atau masih mengaku berbhinneka tunggal ika dan cinta Pancasila, tapi kenyataannya malah membela sekelompok SARA tertentu dan tidak menghormati yang berbeda dengan diri kita sendiri, baik dalam hal kesukuan, agama, ras, dan golongan?

Selamat memaknai kebhinnekaan dalam hidup, keragaman dalam berbangsa, dan lima sila sebagai dasar bertutur dan bertindak! Mari jadikan apa yang orang-orang sebut sebagai utopia dan sekadar angan yang mustahil menjelma nyata, dan terus berproses semakin hari semakin mendekati kenyataan!

 

Rouli Esther Pasaribu

Penulis adalah pengajar paruh waktu di Program Pascasarja Kajian Wilayah Jepang UI.

Omong Kosong soal Pribumi – Nonpribumi

Pribumi dan nonpribumi? Itu cuma konsep omong kosong. Bukan cuma saya yang bilang lho ya. Itu juga dibuktikan secara ilmiah. Mengapa saya berpendapat begitu? Coba baca sampai selesai ya.

Saya mulai dari cerita masa kecil saya dulu deh. Saya ini lahir dan besar di lingkungan yang majemuk. Waktu saya kecil sekali, keluarga kami menjadi satu dari dua keluarga Kristen yang tinggal di afdeling di salah satu sudut kawasan perkebunan sawit milik PTP Nusantara VII (Sekarang PTPN IV).

Tapi kami tetap saling menghormati. Teman-teman saya menghargai saya yang tak ikutan berpuasa dengan mereka saat ramadan. Saya pun menghargai mereka yang sedang menahan lapar dan haus. Ketika Idul Fitri tiba, kegembiraan mereka juga menular sampai ke rumah kami. (Tentang kisah ini, bisa baca tulisan saya: Pasir Mandoge dan Kisahku)

Kemudian saya bersekolah di SMP dan SMA Negeri dengan teman dari berbagai latar belakang agama yang berbeda.

Adik saya dan Om saya memilih ikut agama istri mereka masing-masing. Dan warna-warni di keluarga kami bukan cuma soal agama. Di darah anak-anak kami, mengalir darah Batak Simalungun, Batak Toba, Batak Karo, Tionghoa, Minang, Jawa, dan China.

Orangtua kami adalah pasangan Batak Simalungun. Tentu ada resistensi ketika anak-anaknya membawa menantu dari berlainan suku dan agama. Tapi lambat laun kami baik-baik saja dengan semua itu. Perbedaan menjadi keniscayaan di keluarga kami. Ikatan kami adalah kekeluargaan kami. Sedang urusan agama, itu pribadi sifatnya.

Dalam perspektif yang kurang lebih sama, seharusnya kita orang Indonesia tetap bisa hidup aman damai dalam kebinekaan kita. Karena kita ini sesungguhnya satu keluarga berdasarkan genetika, bahkan dengan mereka yang kita anggap berbeda ras dengan kita.

Tak ada gen murni Indonesia. Kita ini semua adalah pendatang di bumi Nusantara. (Masih berpikir kamu orang pribumi?) Begitulah yang ditegaskan Prof. Dr. Herawati Supolo-Sudoyo M.S. Ph.D, ahli genetika dari Lembaga Eijkman, dalam suatu seminar yang saya hadiri, beberapa waktu lalu.

“Kita merupakan pencampuran genetika dan semua berasal dari Afrika,” kata Prof. Herawati. Dengan kata lain, omong kosonglah dengan istilah-istilah “pribumi” dan “nonpribumi” yang didengung-dengungkan sekelompok orang itu.

Herawati mengatakan meski merupakan pencampuran, presentasi genetika Austronesia lebih dominan di bagian barat Indonesia dan genetika Papua di kawasan timur. Tetapi ada gradasi pembauran genetik ditemukan pada populasi Indonesia di barat maupun di timur.

Dari mana kesimpulan ini? Herawati dan tim peneliti menganalisis 2.740 individu dari 12 pulau, 6 dari Indonesia barat dan enam dari Nusa Tenggara Timur (Sumba, Flores, Lembata, Alor, Pantar, dan Timor). Jadi bukan asumsi atau asal njeplak gaya kalangan rasis itu.

Saya sepakat dengan arkeolog senior Prof. Dr. Harry Truman Simanjuntak yang mengatakan, “Kebinekaan di Indonesia adalah sebuah keniscayaan.”

Tak bisa lebih sepakat lagi dengan ucapan antropolog Dr. Kartini Sjahrir, yang menegaskan bahwa kemajemukan adalah satu paket dari pendiri negeri ini, yang dijadikan sebagai konstruksi sosial Indonesia.

“Yang mengatakan Cina-Cina, pribumi non pribumi, adalah sebuah kebodohan mendasar,” katanya. “Mereka lupa siapa dirinya, seperti Malin Kundang lupa pada ibunya.”

Memonopoli Peci

Presiden pertama Indonesia, Soekarno, punya penampilan khas. Dia sering terlihat dalam berbagai kesempatan mengenakan peci.

Dalam buku otobiografi Bung Karno yang ditulis oleh Cindy Adams, sang presiden mengatakan alasannya selalu mengenakan peci.

Bung Karno mengatakan dia bertekad mengenakan peci sebagai lambang pergerakan. Media menyebut, Soekarno termasuk yang mempopulerkan tutup kepala itu.

Bisa jadi begitu. Sebab begitu populernya, sampai-sampai di kampung orangtua saya di Hinalang, di pelosok Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara, sana, peci adalah atribut penting para bapak dan kakek. (Tentang Hinalang, kalian bisa baca lebih jauh di tautan berikut: https://goo.gl/wNOqUI dan https://goo.gl/N1sq6d)

Malah ada tradisi dalam kebudayaan Batak Simalungun, di mana para anak memberikan peci, sarung, dan tongkat kepada orangtua sebagai perlambang. Bahwa sang bapak sudah layak dipanggil Ompung (kakek).

Dan sejak saat itu namanya tak lagi dipanggil dengan namanya sendiri, atau predikat bapaknya si A atau si B, tapi berganti predikat menjadi ompungnya si C atau si D.

Coba deh perhatikan di makam-makam orang Batak, kalian suka menemukan predikat di bawah nama almarhum, Ompu si A atau Ompu si B, dan sebagainya. Nah, di tradisi kami, semua bermula dari pemberian peci, sarung, dan tongkat.

Peci adalah atribut yang sudah sangat melekat dalam komunitas kami. Sejak kapan? Saya tak tahu. Mungkin saja sejak masa perjuangan merebut kemerdekaan itu. Kakek saya, contohnya, adalah salah satu veteran pejuang kemerdekaan. Ada fotonya memakai seragam tentara dan mengenakan tutup kepala seperti peci.

Peci juga melekat dalam berbagai aspek kehidupan komunitas kami. Dari sekadar bercakap-cakap di warung kopi, beribadah di gereja, berkunjung ke berbagai perhelatan, terlibat dalam berbagai upacara adat, peci takkan ketinggalan. Malah Gotong (tutup kepala) khas simalungun, menggunakan peci sebagai dasarnya.

Saya bukan bermaksud mempertentangkan hal ini dengan orang-orang yang sibuk sekali mengklaim sana mengklaim sini lalu mempertentangkan penggunaan peci, memonopoli penggunaan peci, dan menolak orang di luar mereka mengenakan peci.

Mari melihatnya dalam kerangka kebangsaan saja. Bahwa peci dan sarung sekarang adalah bagian dari kebudayaan Indonesia. Tak perlu meributkan bahwa peci itu ciri agama tertentu atau budaya tertentu. Apa kalian tidak capek?

Saya tak menafikan kabar bahwa konon katanya peci adalah rintisan dari Sunan Kalijaga. Ada pula yang mengatakan, peci dibawa oleh Laksamana Cheng Ho, nahkoda muslim dari China.

Tak apa. Malahan saya bersyukur, karena peci bisa diterima secara universal oleh orang dari suku bangsa mana pun, dari agama apa pun. Keindonesiaan, menurut saya, seharusnya bisa mengeratkan kita dengan segala perbedaan kita.

Foto: commons.wikimedia.org/publicdomain

Penolakan di Sintang, Bentrok di Bandung, Meraup Pundi Emas di Tengah Kekacauan

Bagaimana mungkin warga NKRI ditolak untuk menginjakkan kaki di belahan Bumi NKRI juga? Inilah yang terjadi. Menyedihkan memang membaca dan melihat foto-foto Wasekjen MUI Tengku Zulkarnain ke Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat mendapat penolakan dari Pemuda Dayak Kabupaten Sintang, Kamis (12/1/2017) siang.

Terlihat, Tengku hanya sampai di pintu keluar, dan di bawah pesawat telah ada kerumunan masyarakat adat Dayak. Bijaksana ketika Tengku memilih untuk masuk lagi ke pesawat dan meninggalkan lokasi untuk kemudian mendarat di Pontianak, Kalbar.

Meskipun di media sosial ada yang “nyinyir” dengan memberi komen,”Padahal tinggal turun dari pesawat, ia punya kesempatan mati syahid. Tapi ia malah milih masuk ke dalam (pesawat). Sayang sekali.” Jika terjadi kekacauan di sana, tentu saja yang rugi adalah masyarakat Kabupaten Sintang sendiri.

Peristiwa Wasekjen MUI Tengku Zulkarnain ditolak turun dari pesawat oleh Pemuda Dayak Kabupaten Sintang terjadi di hari yang sama dengan bentrok dua kubu FPI dan simpatisannya dengan Gerakan Masyarakat Bawah Indonesia (GMBI) yang mewakili masyarakat Pasundan.

Pada Kamis (12/1) itu, pemimpin FPI Rizieq Shihab diperiksa Polda Jabar terkait aduan atas penghinaan terhadap lambang negara Pancasila. Dua massa berhadap-hadapan, antara FPI dan GMBI.

Masyarakat Pasundan terjangkit rasa antipati terhadap Rizieq Shihab pimpinan FPI karena dianggap menghina sapaan masyarakat Sunda, Sampurasun. Dan ini mengkristal menjadi sikap siap bentrok dengan FPI.

Inilah ekses dari gerakan sekelompok orang yang menganggap diri mereka yang paling benar untuk urusan agama plus menuding-nuding pihak lain “enggak bakalan punya kapling di sorga”. Dalam realitas, sekat-sekat di masyarakat menjadi semakin mengeras.

Pada titik tertentu, mereka akhirnya berhadapan dengan masyarakat yang mengatasnamakan adat. Terjadilah irisan tajam antara “kaum sorban putih” dan “kaum adat”.

Ya saya memakai tanda kutip dengan kesadaran penuh, karena saya meyakini ini cuma kata yang memiliki arti khusus namun tidak mewakili keadaan mayoritas Indonesia pada umumnya.

Ini membangkitkan memori kolosal kita atas peristiwa Perang Padri di tanah Minangkabau, di mana kaum adat diadu domba dengan kaum agama oleh penjajah Belanda. Pada peristiwa ini, Belanda yang menang, bukan pihak-pihak yang berseteru.

Apakah memang ini yang diinginkan para aktor utama kekacauan di negeri ini? Akhirnya sesama anggota masyarakat saling berhadapan, saling membenci, dan mencurigai sehingga gampang diadu-adu demi timbul kekacauan.

Kekacauan pada akhirnya memang bisa diekspolitasi untuk menghasilkan pundi-pundi emas. Contohnya gampang. Pasar Tanah Abang, Jakarta Pusat, saja lihat. Jika Anda membawa kendaraan bermotor, dan bingung karena parkiran enggak jelas mana yang resmi mana yang tidak, pasti akan ada sekelompok preman yang akan “membantu mengaturkan” Anda parkir di mana.

Nah duit parkirnya larilah ke tempat yang tak terlacak. Dan ini baru urusan perparkiran, belum lagi jasa keamanan, dan berbagai jasa lainnya untuk memberi jaminan bahwa segala sesuatunya berjalan normal.

Tapi ini akan beda kalau sekonyong-konyong tertancap di situ mesin parkir dengan juru parkir yang semuanya dikelola pemda. Keteraturan lokasi parkir tercipta, pemasukan juga jelas mengalir ke pemda, dan kemacetan juga tidak terjadi. Contohnya yang jelas ya Jalan Sabang, Jakarta Pusat.

Nah, kalau Indonesia kacau, korupsi akan makin merajalela. Konspirasi politik akan makin asyik menari-nari. Tiba-tiba negeri ini apapun bisa dijual ke pihak lain dan dananya masuk ke rekening pribadi para pembesar. Kita akan kembali mundur seperti masa-masa kelam Orba lalu. Mau? Tentu tidak.

Aparat penegak hukum tentu sangat diperlukan ketegasannya agar kekacauan berujung bentrok antarkelompok tidak terjadi. Keberpihakan terhadap hukum positif dan hak asasi manusia jelas harus didahulukan.

Publik pasti sempat bingung, kok bisa-bisanya fatwa MUI jadi landasan kepolisian di daerah buat bertindak. Untung saja, Kapolri tidak ragu untuk menganulir keputusan yang dibuat kepolisian di daerah.

Ketidakraguan memang menjadi jawaban. NKRI harga mati. Ini yang ditegaskan Presiden Jokowi beberapa kali untuk menyatakan bahwa kepastian hukum dan kedaulatan negara adalah segalanya.

Semoga saja preseden buruk kejadian di Sintang dan bentrok FPI dan masyarakat adat tidak menular ke tempat-tempat lain di negeri ini. Bagaimana mungkin warga republik ini tidak bisa berkunjung ke wilayah negerinya sendiri?

Harapan terbesar saya, tidak ada lagi peristiwa penolakan-penolakan antar sesama anak bangsa. Tentu termasuk di dalamnya penolakan terhadap kehadiran Ahok atau Basuki Tjahaya Purnama sebagai calon gubernur DKI saat berkunjung ke sebuah wilayah di Jakarta.

Tahan diri, tahan omongan, jangan gampang menghakimi orang lain, dengan demikian orang lain pun akan hormat dan justru berharap kita datang bertamu ke wilayahnya. Dan ingat, jika kita hanya dalam posisi menjadi korban atau sekadar pion yang dikorbankan oleh para tuan di belakang barisan, jangan mau!

Kita yang rugi, dan orang lain yang menikmati.

 

Foto: Pixabay

Membangun Sesuatu yang Lebih Baik Ternyata Tidak Mudah

Pagi ini, saya teringat pada salah satu kisah dalam Alkitab, yaitu tentang Nehemia yang membangun kembali tembok Yerusalem. Entah mengapa ada dorongan kuat untuk membaca kisahnya, jadi dalam perjalanan naik kereta, saya membuka Alkitab elektronik dalam HP saya.

Total ada 13 pasal, dan saya enggak kuat baca langsung sekaligus. Jadi saya bagi setengah dalam perjalanan pergi, setengah dalam perjalanan pulang.

Kisah Nehemia sangat menginspirasi. Dan, meskipun kisah ini terdapat dalam kitab suci umat Kristiani, pesannya sangat universal dan berlaku untuk seluruh umat manusia.

Sama seperti dalam kitab suci agama lain, saya pun sering menangkap pesan-pesan kemanusiaan yang universal dan sering saya ingat-ingat kata-katanya untuk menuntun saya menjadi manusia yang lebih baik.

Sebenarnya, apa sih inti kisah Nehemia? Jadi ceritanya beliau itu terpanggil untuk melaksanakan satu tugas mulia: membangun kembali tembok Yerusalem yang sudah hancur berantakan.

Emang Nehemia itu siapa, tukang bangunan? Bukan! Beliau itu juru minuman raja. Enggak tahu spesifik jobdesk beliau itu apa, tapi yang jelas, Nehemia itu kerja di istana, hidup nyaman, dan kalau hanya memikirkan diri sendiri, beliau itu tinggal meneruskan hidupnya yang nyaman di istana.

Tapi Nehemia punya visi lain yang lebih besar. Beliau ingin membangun kembali bangsanya yang sudah hancur berantakan. Dan demi visi mulia ini, beliau ikhlas meninggalkan kenyamanannya sebagai juru minuman raja. Beliau akhirnya pulang kampung ke Yerusalem dan mulai membangun kembali tembok yang sudah hancur.

Tentu saja banyak tantangan yang dihadapi Nehemia. Kesel banget ya, niatnya baik, perjuangannya sudah mumpuni, dan ini demi kemashalatan hidup orang banyak….kok ya tetap aja jalannya enggak mulus.

Butuh waktu lama, strategi jitu, daya tahan, kesabaran, sampai akhirnya tembok Yerusalem terbangun kembali. Tapi Nehemia tidak menyerah. Beliau bertahan dan step by step, beliau menyelesaikan pembangunan tembok itu, tentu saja dengan dukungan tim kepercayaannya.

Membangun sesuatu menjadi lebih baik memang tidak mudah. Ketika bertukar pikiran dengan Profesor saya saat bertemu beliau di konferensi studi Jepang di ASEAN di Cebu, beliau bilang,”Untuk mengubah suatu hal menjadi buruk, itu hanya butuh waktu beberapa detik. Tapi untuk mengubah suatu hal menjadi lebih baik, diperlukan waktu yang lama. Tapi kalau kita bertahan dan terus berjuang, hasil pasti mengikuti.”

Beberapa waktu yang lalu, Papa saya cerita ketika beliau hendak pulang ke Indonesia setelah menyelesaikan studinya, Bapak mertuanya (kakek saya) berkata,”Pulanglah ke Indonesia dan bangun negara kita.”

Papa pulang ke Indonesia, tapi mendapati kenyataan bahwa niat baik itu tidak selalu diikuti dengan jalan lancar bak jalan tol. Sebaliknya, tantangan demi tantangan harus dihadapi.

Tapi beliau memegang teguh amanah bapak mertuanya dan berusaha maksimal untuk membangun negara ke arah yang lebih baik. Butuh waktu, tenaga, kesabaran, daya tahan, semangat juang, dan konsistensi. Pada akhirnya memang ada buah-buah pembangunan yang signifikan, tapi butuh waktu lama sampai akhirnya berbuah penuh.

“Pulanglah ke Indonesia dan bangun negara kita.”

Jika kakek saya masih hidup, setelah saya menyelesaikan studi saya di Osaka, beliau juga pasti akan mengatakan hal yang sama kepada saya.

Dan adalah sebuah kewajaran, jika tidak ada yang instan dalam membangun sesuatu yang besar. Tapi kelak, kebaikan akan mengikuti, sepadan dengan usaha, kesabaran, konsistensi, dan daya tahan yang dikeluarkan.

 

Rouli Esther Pasaribu

Penulis adalah pengajar paruh waktu di Program Pascasarja Kajian Wilayah Jepang UI.

Soal Laga Timnas Indonesia, Beda Penyiar dan Pendukung

Aku tak hendak membahas permainan Timnas/PSSI vs Thailand yang baru berakhir tadi malam, melainkan mengenai dua penyiar televisi yang menyampaikan laporan dengan suara mengganggu.

Pertama, vokal mereka kurang audible, tak enak didengar. Berisik, heboh sendiri. Seolah sedang menyiarkan pandangan mata bagi pendengar radio yang mengandalkan audio, bukan visual. Penyiar televisi padahal berbeda dengan penyiar radio, terutama bila menyiarkan pertandingan olahraga. Kekuatan media televisi terletak pada gambar, bukan ocehan penyiar/anchor/presenter, apalagi pada acara “live”.

Yang kedua, kedua penyiar itu belum mampu menempatkan diri sebagai penyiar, yang tak terlepas dari pekerjaan jurnalistik. Sebagai penyiar, walau menyiarkan pertandingan olahraga tim negara sendiri, harus tetap bersikap netral, objektif, menghindari pemihakan. Ia atau mereka mewakili kejadian atau yang tengah disiarkan/diberitakan.

Tuntutan utama dan prinsip dasar jurnalisme (yang pernah kupelajari) salah satu, pekerja pers harus mampu bersikap netral, menyampaikan apa adanya, objektif, tidak berpihak–betapapun itu mengenai negara sendiri atau etnis, agama, atau kelompok sendiri.

Penyiar olahraga tak layak pula memberi opini, sebab dia bukan pelatih atau pengamat atau penonton. Cukup menyampaikan “peristiwa” atau fakta di lapangan, tidak memberi pendapat atau saran, yang seharusnya dilakukan pemain atau tak dilakukan.

Prinsip-prinsip dasar jurnalisme liputan langsung agaknya belum kuat dipahami penyiar-penyiar olahraga (khususnya sepakbola) yang acap ditampilkan stasiun televisi domestik. Gaya dan posisi mereka masih seperti penyiar radio yang menyampaikan pandangan mata pertandingan.

Jadi teringat awak penyiar-penyiar radio RRI Medan tahun 70-an. Bila PSMS bertanding dan disiarkan, mereka siarkan dengan gaya dan semangat seperti penonton yang mendukung PSMS dan berharap tim memenangkan pertandingan. Emosi penyiar kadang tak terkendalikan. Memang tak mudah mengontrol diri bila berdiri sebagai pendukung atau supporter.

Dalam suatu siaran pandangan mata saat PSMS melawan tim Pahang, Malaysia, di Stadion Teladan Medan, pada pertengahan 70-an, dengan penuh semangat sang penyiar berkata:

“Ya, bola dikuasai Nobon, ditempel ketat pemain Pahang. Nobon langsung oper bola ke Tumsila. Dia berlari cepat mendekati gawang Pahang, ada Parlin Siagian menunggu. Tumsila mengumpan ke depan gawang, aaaa…Parlin Siagian langsung menanduk bola. Gooo…. ! Akh, p******lah! Tak gol pulak! Bola terlalu melebar ke kanan gawang Pahang! Payah kali si Parlin ini!”

Cilaka bukan? 😀 😀 😀

* Anyway selamatlah untuk timnas, semoga berlanjut kemenangan di pertandingan kedua di kandang lawan.

 

Foto: affsuzukicup2016.com

Pembukaan UUD 45 dan Bisik-bisik Tawa yang Mengikutinya

Sangat menarik ketika seorang kawan memberikan link berita soal Kepala Sekolah di sebuah SMP di Riau yang menyatakan bahwa siswa Kristen tidak pantas membacakan Pembukaan UUD 45 saat upacara.

Si kepala sekolah mengatakan,”Kalimat ‘Dengan Rahmat Allah’, itu harus dibaca dengan ‘Alloh’, kalau Kristen kan dibaca ‘Allah’. Jadi yang pantas jadi pembaca Pembukaan UUD 1945 itu adalah Islam dan Siswa Kristen tidak pantas membacanya,” katanya. Dia bahkan menambahkan,”Kalau siswa Kristen bacanya ‘Allah’ malah jadi bahan tertawaan.”

Saya pernah mengalami ini. Saya bersekolah dasar di Jakarta. Saat itu zaman masih Eyang Suharto yang berkuasa. Panggilannya masih Bapak Jenderal Suharto, nah kemudian di akhir-akhir masa kekuasaannya sudah mulai berubah jadi HMS kepanjangan dari Haji Muhammad Suharto.

Jadi meski sudah lama berlalu, sekelebatan momen itu masih menempel di ingatan. “Traumatis” mungkin nama tahapannya.

Saat itu, saya bersekolah di sebuah Sekolah Dasar Negeri di wilayah Utan Kayu, Jakarta Timur. Kelas saya kebagian jadi petugas upacara bendera. Saya kebagian membacakan Pembukaan UUD 45, itu pun sebenarnya bukan tugas awal yang ditunjuk Pak Guru sebagai wali kelas saya.

Tadinya saya ditunjuk sebagai pemimpin upacara yang bertugas untuk teriak-teriak di tengah lapangan untuk atur barisan dan memberi aba-aba sesuai jalannya upacara. Namun, nyali saya kurang cukup besar buat berdiri di tengah lapangan dan jadi pusat perhatian.

Jadi penebusan dosanya, saya memilih membaca Teks Pancasila atau Pembukaan UUD 45. Saya masih ingat “perebutan” untuk mendapat tugas itu dengan satu orang kawan (Supri, dimana kau sekarang ya?). Akhirnya saya kebagian membaca Pembukaan UUD 45.

Masalahnya, saat dites itu, saya hanya disuruh baca sampai satu alinea di awal saja. Jadi wali kelas mungkin tidak ngeh dengan “kejanggalan” yang akan terjadi.

Tibalah saat hari-H saya bertugas membacakan naskah Pembukaan UUD 45 di tengah lapangan. Ketika hendak membaca, seingat saya suasana memang hening, enggak ada yang berani bicara saat upacara bendera. Dan saat itu, di tengah keheningan, angin semilir perlahan… Bah! Macam drama Korea saja.

Tibalah saya membaca dengan lantang. “Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa…”

Dan, sepersekian detik kemudian yang terdengar adalah “grrrrrrr”, semacam kebisingan yang terpendam tetapi menyeruak ke udara. Satu atau dua detik, saya berhenti membaca.

Saya ingat dalam bayangan saya, ketika melongok ke arah para peserta upacara dengan menurunkan sedikit map berisi teks Pembukaan, teman-teman saling berbisik, malah banyak yang tertawa terkikik-kikik, guru-guru rata-rata senyum-senyum simpul.

Ya, saya membaca kata dalam kalimat itu bukan “Alloh” atau “Owloh” seperti yang biasa dieja kawan-kawan muslim, tetapi sesuai apa yang diajarkan di gereja dan keluarga saya, saya mengucapkan “Allah”.

Dan, genaplah apa yang dibilang Bapak Kepsek dari SMP di Riau itu: kalau siswa Kristen bacanya “Allah” malah jadi bahan tertawaan. Jadi, saya tahu persis bahwa untuk pendapat yang satu ini, ada benarnya si Pak Kepsek.

Saya ingat sekali sempat berkata,”Enggak bakalan lagi mau baca Pembukaan UUD 45.” Saya malu jadi bahan tertawaan.

Tetapi keluarga di rumah berkata lain. “Karena kau membaca dengan lafal ‘Allah’ makanya teman-temanmu tahu, begitulah orang Kristen diajarkan membaca dan melafalkan. ‘Allah’. Jadi, kenapa mesti malu?” begitulah orang tua saya membesarkan hati.

Kita sama-sama tahu, bahwa Pembukaan UUD 45 dan segenap isi UUD 45 tidak ditujukan untuk satu golongan saja. Itu berlaku dan layak dipegang teguh oleh seluruh warga Negara Kesatuan Republik Indonesia atau NKRI.

Jadi, pendapat tentang Pembukaan UUD 45 hanya pantas dibacakan oleh agama tertentu jelas tidak berdasar. Kesepakatan para pendiri bangsa jelas kalimat di atas merujuk pada kesadaran bahwa perjuangan hingga berhasil membebaskan Indonesia dari penjajahan adalah juga berkat anugerah dari Tuhan Yang Maha Esa.

Tuhan Yang Maha Esa adalah juga Tuhan yang diakui oleh seluruh umat beragama di Indonesia sebagai Pencipta Semesta yang Tunggal, seperti yang tertulis pada sila pertama Pancasila, yang juga termaktub di Pembukaan UUD 45.

Penting untuk diketahui bahwa istilah “Allah” sebenarnya telah ada dan digunakan di wilayah Timur Tengah jauh sebelum agama-agama Samawi ada. Perbedaan pelafalan itu sendiri sebenarnya merupakan kewajaran yang terjadi di Indonesia, yang memiliki suku bangsa yang beraneka ragam dan logat bahasa yang berbeda-beda.

Perbedaan pelafalan itu sejatinya tidak mengubah makna. Orang Sunda terbiasa dengan lafal “Alloh”, orang Jawa sering melafalkannya dengan “Awloh” atau “Owloh”. Suku-suku di Indonesia Timur sering melafalkannya “Ala” tanpa bunyi jelas huruf “h” di belakang kata. Bahasa Indonesia resmi dibaca dan ditulis dengan abjad A-L-L-A-H.

Namun, masih ada rasa penasaran saya: kalau kawan yang beragama Hindu atau Buddha membacanya bagaimana ya? “Alloh” atau “Allah”? Sampai sekarang belum terjawab, dan enggak penting-penting amat memang untuk dicari jawabannya. Cuma…penasaran aja.

 

Foto: mahkamahkonstitusi.go.id