Category Archives: Inspirasi

Bukan Tanpa Akhir

Ada sebuah restoran favorit keluarga kami, yang minimal sekali dalam sebulan kami kunjungi. Salah satu menu favorit saya adalah mie lamian khas yang mereka buat secara langsung. Biasanya sambil menunggu pesanan dimasak, saya memerhatikan proses pembuatan mie lamian itu. Tepung yang diadon, diremas, diputar, ditekan, diulen, dibanting, diregang, dibanting, ditarik lagi, berulang-ulang, sampai berkali-kali, hingga bisa dibentuk menjadi mie.

Bagi saya mie lamian itu enak. Beda dengan mie lainnya. Mungkinkah karena proses pembuatannya lebih ‘keras’ dan lama? Mungkin kalau hanya diulen sekali lalu dipotong-potong, bisa saja bentuk atau rasanya berbeda, bukan? Seperti kata orang, proses tidak mengkhianati hasil.

Lalu saya terpikir, apakah hidup kita memang kadang seperti itu. Ketika ada pergumulan, kita merasa menderita seolah hati kita diremas, ditarik, diputar, dibanting-banting, dipukul, disayat-sayat, berulang-ulang, seolah tak ada akhirnya.

Pada akhirnya semuanya ternyata berakhir juga. Dan tanpa sadar, kita sudah setingkat lebih kuat, lebih dewasa, lebih berpengalaman, lebih tahan banting. Naik kelas.

Kalau dianalogikan dengan mie lamian tadi, kita sudah sampai pada fase proses akhir, terbentuk menjadi mie, siap dihidangkan, dan menjadi hidangan nikmat, membawa kesenangan bagi yang menikmati.

Saya jadi ingat, minggu lalu setelah ulang tahunnya yang keenam belas, suatu pagi anak saya ke dapur dan bertanya: Mam, susu sarapanku mana?
Saya menjawab: Mama nggak bikin.
Dia bertanya: Mengapa. Tapi minuman adek Mama bikin.
Saya jawab: Kamu bisa bikin sendiri, kan?
Dia sahuti: Kan biasanya Mama yang bikin.
Jawab saya: Kamu lupa ya, umurmu sudah berapa. Saatnya kamu sudah harus belajar bisa mandiri.
Dia manyun sebentar. Lalu saya mengambil gelas dan memberikan padanya. Dia mengambil susu dan air panas dan menyeduhnya sendiri.

Saya ingat setelah pesta ulang tahun saya ke-17, saya pernah mengeluh, bahwa menjadi dewasa itu tidak enak. Tidak bisa bermanja-manja lagi, semua harus saya kerjakan sendiri. Apalagi kedua orangtua saya bekerja. Kami tidak ada pembantu, saya harus membersihkan rumah sendiri ditambah harus les tiap hari untuk persiapan ujian masuk perguruan tinggi.

Proses pendewasaan itu memang tidak enak, tapi kita harus melaluinya, kata orangtua. Salah satu contoh proses yang ‘menyebalkan’ itu adalah perubahan. Saat itu saya harus bisa mengadaptasi perubahan dari bangun menjadi lebih pagi dan tidur lebih malam, pekerjaan rumah dan pelajaran yang lebih banyak.

Orang yang paling kuat adalah orang bisa beradaptasi dengan perubahan. Begitu kata bapak saya.

Kalau saya ingat hal itu sekarang, terutama dalam kondisi pandemi saat ini, kata-kata itu menjadi motivasi bagi saya untuk saya teruskan pada anak-anak.

Virus Covid-19 entah kapan berakhir, kita harus siap berubah dan menghadapi kondisi ‘new normal’. Semua takkan sama lagi. Kita harus siap menghadapi perubahan, dan terus beradaptasi.

Mungkin saat ini kita sedang dalam fase diregang-regang dan dibanting-banting seperti adonan tepung mie lamian. Mari, bersabarlah, dan tetap bertahan, nanti akan indah pada waktunya.

Pelangi di Langit Jakarta

Beberapa waktu setelah Pemerintah mengumumkan wabah Covid-19 resmi masuk ke Indonesia, di media sosial seorang teman memposting sebuah gambar pelangi di langit Jakarta. Saya suka caption-nya. ‘Semoga pandemi ini segera berakhir dan kita menyongsong hari esok yang lebih baik.’

Virus Corona telah memaksa kita berdiam di rumah, menjauh dari orang lain. Kita bagai dipaksa ‘bertapa’. Tak bisa bertemu kerabat atau sahabat, tak bisa pergi ke tempat-tempat hiburan, dan setiap saat dilanda rasa kuatir. Rasanya memang tidak nyaman. Tapi mari lihat sisi lainnya.

Hari-hari pertama tinggal di rumah, masih serasa libur atau sedang cuti. Beberapa hari berikutnya mulai terasa bingung. Setiap hari, karena semua anggota di rumah, rasanya senang tapi jadi lebih lelah. Rumah tak sempat rapi, makanan harus selalu tersedia, anak-anak juga banyak PR dari sekolah.

Minggu berikutnya, para Ibu sudah mulai bingung mau memasak menu apa. Tapi Ibu-ibu Indonesia memang luar biasa. Di media sosial bertebaran gambar hasil masakan. Seorang teman pebisnis, yang saya kira mengupas bawang pun tak bisa, ternyata bisa membuat masakan yang terbilang rumit. Yang terbiasa berparfum mahal, sekarang bau bawang dan asap di dapur. Yang biasa menenteng tas bermerk, sekarang selalu memakai celemek. Luar biasa.

Bagi yang kreatif, masa karantina ini memang bisa menjadi ajang mencoba resep-resep masakan baru. Teman saya bilang, setelah dua minggu, inilah rekor terlama dalam hidup dia tiap hari memasak di rumah dan tak pernah makan di luar. Lalu teman-teman lain yang tak pernah masak, mendadak jadi chef. Dan keluhan yang paling banyak, adalah, coba tebak…
(Berat badan meningkat!)

Mereka yang suka kerajinan tangan, kini jadi kreatif membuat karya, baik jahitan, berupa masker, sulaman, taplak, kain lap, dan lainnya. Bagi yang suka berkebun, saat ini pas untuk bercocok tanam sederhana, mulai menanam benih atau menata taman/pekarangan.

Untuk mereka yang suka membaca, karantina ini menjadi waktu yang memadai untuk menghabiskan bacaan favorit. Baik itu novel atau bacaan e-book. Mereka yang suka menonton film atau drama berseri, saat ini adalah waktu yang berlimpah untuk ikut baper-ria. Bagi yang hobi main ponsel, waktu luang digunakan main tebak-tebakan dengan teman-teman di dalam grup chatting. Dari mulai tebak-tebakan gambar, hitungan, menyusun puzzle huruf, hingga tebak muka artis lawas. Yang terakhir, bikin seorang teman terpingkal-pingkal, karena ada foto Rano Karno muda yang sangat tampan, hingga anaknya tidak percaya kalau itu Rano Karno, katanya.

Teman lain tak kalah kreatif, dia membuat hand sanitizer dan menjadikannya peluang bisnis. Juga seorang kerabat yang berjiwa sosial tinggi, sibuk mengajak teman lain mengumpulkan donasi untuk membantu kalangan yang terkena dampak Covid-19.

Selama karantina ini, kita jadi punya waktu lebih untuk melakukan hal-hal yang sebelumnya tak sempat kita lakukan. Baik itu olahraga bersama keluarga, beribadah di rumah, olahraga bersama, berjemur bersama (serasa di pantai, hehehe), makan pagi-siang-malam bersama, dan bisa melakukan hobi.
Seorang teman saya bahkan sempat menggunakan waktu untuk membongkar barang-barang lama, dan menemukan buku harian, koleksi prangko waktu remaja dan surat cinta dari bekas pacar. Seru, kan, jadi bisa nostalgia. Hehehe.

Dari semua kreatifitas itu, masa karantina ini adalah waktu yang paling menyenangkan bagi mereka yang hobi tidur. Seperti lagu lucu-lucuan: Bangun tidur, tidur lagi, kalau lupa, tidur lagiiii…

Tanpa kita sadari, semua itu adalah contoh sisi positif yang tak kita duga dalam masa pandemi ini. Jika orang bijak mengatakan, penderitaan itu baik buat kita, maka inilah salah satu contohnya. Kita menderita karena kuatir wabah Covid-19, karena ruang gerak kita terbatas, atau karena kehilangan orang yang dikasihi, atau karena jadi kekurangan mata pencarian, dan lain sebagainya.

Akan tetapi jika kita pikir lagi, dengan adanya peristiwa ini, kita dituntut menjadi pribadi yang lebih baik, lebih tangguh, lebih kuat dan lebih kreatif, serta lebih bersyukur.

Bagaimana kita tidak bersyukur, kita bisa menikmati waktu lebih bersama dengan keluarga. Kita ada waktu untuk berkreasi, menemukan kemampuan lainnya dalam diri kita. Kita ada waktu untuk meneliti diri, merenung dan menyadari, arti hidup yang sesungguhnya. Bahwa tak ada yang abadi, materi bukanlah segalanya, dan keluarga adalah milik kita yang paling berharga.

Seperti pelangi yang muncul setelah badai, kita semua berdoa, semoga pandemi ini segera berakhir dan kita menyongsong hari esok yang lebih baik.

Kurang Memelas

Suatu hari beberapa perwakilan dari sebuah BUMN datang ke kantor Yayasan kami. Mereka mengutarakan rencana mereka untuk melakukan kunjungan ke asrama anak-anak dampingan kami. Yang akan datang berkunjung adalah paguyuban pensiunan BUMN tersebut. Kami tentu saja menyambut rencana itu dengan gembira. Dengan antusias kami menceritakan tentang apa yang dilakukan oleh Yayasan kami, dan kemudian membawa mereka melihat-lihat kondisi kantor dan asrama, serta bertemu dengan anak-anak
yang kebetulan baru kembali dari sekolah

Setelah berkeliling dan bercakap-cakap dengan beberapa relawan dan beberapa anak yang tinggal di asrama, mereka pun meminta diri. “Kami akan hubungi lagi ya, mas,” ujar seorang wanita yang kelihatannya adalah pemimpin perwakilan itu. “Nanti kami akan memutuskan apakah kami jadi berkunjung atau tidak,” demikian ujarnya dan mereka pun pergi.

Beberapa hari kemudian saya mendapat kabar dari teman-teman di kantor bahwa rombongan paguyuban pensiunan BUMN tersebut tidak jadi berkunjung. Mereka memutuskan untuk mencari tempat yang lain. Saya heran dan menanyakan alasannya, dan jawaban yang diberikan mengejutkan saya, “Alasannya karena anak-anak di tempat kita kurang memelas pak.”

Sejenak saya terkejut, namun kemudian kami semua tertawa terbahak-bahak. Frasa “kurang memelas” adalah penghiburan yang menyenangkan untuk memulai hari itu. Akan tetapi setelah pulang ke rumah hari itu, saya berpikir cerita ini harus direnungkan lebih mendalam, dan dibagikan di sini.

Visi Yayasan Rumah Impian Indonesia adalah transformasi anak jalanan dan anak beresiko menjadi pribadi- pribadi yang mandiri dan berdampak bagi sesama. Kami bekerja keras menjangkau anak-anak yang bekerja di jalanan, yang putus sekolah dan anak-anak yang beresiko putus sekolah, karena kami ingin semua anak dapat memiliki impian dan meraih impiannya melalui proses yang layak. Setelah menjangkau anak-anak seperti itu, kami juga mendampingi keluarga-keluarga mereka. Kami menyediakan pendampingan pola
asuh bagi keluarga-keluarga dan pendampingan belajar bagi anak-anak. Dalam proses menolong anak-anak meraih impian, kami menyediakan fasilitas pengasuhan di asrama yang kami beri nama “Hope Shelter”.

Asrama ini adalah tempat bagi anak-anak yang membutuhkan pengasuhan karena orang tua mereka tidak dapat memberikan pengasuhan yang layak bagi mereka. Anak-anak yang mengalami eksploitasi atau anak-anak yang beresiko tinggi mengalami eksploitasi, adalah anak-anak yang diterima di asrama kami. Memang “wajah memelas” tidak termasuk dalam kriteria yang kami pakai untuk menilai apakah seorang anak bisa diterima atau tidak, namun kondisi anak-anak yang diterima itu tentu saja lebih buruk daripada sekedar
“memelas”.

Di Hope Shelter, anak-anak ini akan diajak untuk menemukan impian mereka kembali. Mereka diasuh dalam suasana yang bersahabat dan penuh kasih sayang. Bukan saja para pengasuh yang bersama mereka, tetapi seluruh pengurus Yayasan terlibat, dan menjadikan mereka sebagai bagian dari sebuah keluarga besar Yayasan Rumah Impian Indonesia. Oleh karena itu, akan sulit untuk menemukan wajah-wajah memelas di antara anak-anak yang tinggal di asrama. Yang akan ditemui adalah anak-anak yang ceria,
positif, dan penuh gairah mengejar impian-impiannya.

Sejak 2006 hingga sekarang, kami telah menyaksikan anak-anak yang tadinya “memelas” karena kehilangan impian, kembali bangkit mengejar dan meraih impian mereka. Ada yang kini bekerja sebagai chef, bidan, dan hotelier. Ada juga anak-anak yang sedang berjuang menyelesaikan studi di perguruan tinggi. Kami menyebut mereka para pejuang impian, atau the dream troopers.

Jadi, memang Anda tidak akan menemukan wajah memelas di Yayasan kami. Akan tetapi, Anda bisa menjadi bagian dari impian kami untuk menolong anak-anak yang masih “memelas” di sudut-sudut Yogyakarta, untuk menemukan kembali impian mereka dan menjadi dream troopers. Anda bisa menyebut saya pemimpi, tapi saya percaya saya tidak sendirian. Saya berharap suatu hari Anda bergabung dengan kami, dan menjadi saksi bagi sebuah dunia impian yang menjadi kenyataan.

“Bohemian Rhapsody”, Kesuksesan Setelah Penolakan

Setelah menonton film Bohemian Rhapsody , saya membaca di Wikipedia, bahwa tahun 2004, lagu Queen “Bohemian Rhapsody” masuk ke dalam Grammy Hall of Fame. Pada tahun 2012, lagu tersebut memuncaki daftar jajak pendapat nasional ITV di Inggris sebagai “Lagu Nomor Satu Favorit Bangsa” sepanjang lebih dari 60 tahun riwayat musik Inggris.

Luar biasa, pikir saya.

Saya sendiri masih menyimpan album kaset Queen, A Night At The Opera. Konon album itu rilis tahun 1975, dan saya belum lahir. Kaset itu sebenarnya adalah milik kakak laki-laki saya, yang umurnya lebih tua sepuluh tahun dari pada saya. Waktu saya kecil, mau tak mau saya ikut mendengarkan lagu-lagu yang kakak-kakak saya putar di rumah, sehingga saya jadi ikut tahu.

‘Love of My Life’, adalah lagu Queen yang paling mengena di hati saya. Tapi memang, lagu yang paling unik, bagi saya, adalah Bohemian Rhapsody. Setelah kuliah, saya baru sadar apa saja kata-kata dalam lirik lagu itu, sekalipun saya sering menyanyikannya sejak kecil, tak menyadari apa artinya secara menyeluruh. Bagi saya, lagu itu mengandung pilihan kosakata yang unik, tempo yang rumit, nada yang tinggi melengking dan tidak tertebak, melodi yang ekstrim, sekaligus kompleks. Tapi sangat jenius.

Ketika melihat iklan film Bohemian Rhapsody di bioskop, saya sudah ingin menonton. Saya agak terkejut, setelah minggu kedua pemutarannya, bioskop masih penuh hingga baris ke depan. Saya bahkan nyaris tidak dapat karcis.

Di dalam bioskop, saya serasa ikut masuk dalam ruangan konser langsung band Queen. Menonton film ini, membuat saya terpingkal, terharu dan terkesima. Dan terinspirasi. Film ini berhasil memancing emosi penonton. Selama menonton, saya tak tahan untuk tidak ikut bernyanyi, dan jadi menyayangkan mengapa Queen sudah tidak eksis lagi, sebab saya jadi rindu lagu-lagu mereka.

Pesan moral, yang paling mengena buat saya dari film ini, berhati-hatilah memilih orang terdekatmu.

Itu setelah saya melihat bahwa manajer Freddie Mercury, Paul Prenter, membuat Freddie jauh dari band-nya, dari Mary, dan nyaris tidak ikut konser besar Live Aid. Terlepas dari fakta apakah manajer Freddie memang betul-betul mengkhianatinya seperti di film itu atau tidak, tapi dalam film ini, sangat jelas terlihat bahwa orang terdekat kita sungguh berpengaruh dalam hidup kita. Mereka memiliki andil yang besar yang membawa kita ke arah yang kita inginkan atau tidak, ke arah lebih baik atau tidak. Itu sebabnya kita harus sungguh jeli memasukkan orang ke jaringan terdekat dalam hidup kita, sebab pergaulan kita juga menentukan jati diri kita.

Dan sering terjadi juga kemungkinan besar, bahwa orang terdekat kita potensial menjadi musuh terbesar kita, menjadi pengkhianat, seperti karakter Prenter, yang sebelumnya adalah eksekutif rekaman yang jadi selingkuhan Freddie, lalu menjadi manajer Freddie, yang di film ini, dendam dan setelah dia dipecat, membeberkan kehidupan pribadi Mercury yang sangat kelam.

Pesan moral lainnya, terlihat dari adegan ketika seorang produser besar, Foster, yang konon menyarankan agar Queen membuat album, tapi menolak lagu ‘Bohemian Rhapsody’ sebagai singel karena dianggap tidak bisa ‘dijual’. Queen tidak menyerah atas penolakan itu dan maju terus mencari produser lain, dan akhirnya lagu ‘Bohemian Rhapsody’ sukses di urutan teratas tangga lagu dunia. Hal ini menunjukkan bahwa penolakan tak lantas membuat mereka berhenti. Persistensi yang luar biasa.

Sebab seperti orang bijak berkata, jika pintu satu tertutup, kita bisa melompati jendela. Sebuah kesuksesan hanya bisa digapai dengan semangat pantang menyerah.

Itulah hal yang membuat seorang bocah imigran bernama Farrokh Bulsara, menjadi seorang legenda: Freddie Mercury, vokalis Queen, salah satu musisi paling terkenal di dunia, menjadi inspirasi yang patut kita teladani (terlepas dari pilihan gaya hidupnya). Sekalipun akhirnya dia kalah oleh penyakitnya, bukan berarti dia kalah dalam hidupnya, sebab seperti yang dia ucapkan, dia telah memenuhi takdirnya, menikmati hidup dan menjalankan impiannya.

Seorang bohemian yang hidup dalam rapsodi hidupnya.

-*-

Hormati Karya Orang Lain

Sebagai praktisi hukum dan penulis amatiran, saya di belakang JRX – SID dalam kasusnya dengan pedangdut Via Vallen.
Saya Mendukung JRX-SID!

Hormatilah karya orang lain!

Mencipta suatu karya, sesederhana apapun, tidak semua orang bisa, dan tak setiap saat bisa dilakukan. Proses kreatif itu membutuhkan keahlian dan kesempatan.

Ide dan momentum yang melahirkan suatu karya pun tak selalu bisa dikondisikan; ada banyak hal yang menginspirasi suatu karya, kadang disebut “negative capability,” dan hanya mengikut (koheren) dalam diri (orang) tertentu atau sang pencipta suatu karya.

Perlu diketahui, setiap karya (tulisan, lagu, lukisan, foto, disain, dll) bagaikan anak kandung sang pencipta. Karena itulah selain “hak komersil”, pencipta berhak pula “hak moral” atas karyanya; maka jangan sembarang memanfaatkan atau mempermainkan, atau mengubah karya orang lain.

Tidak semua penulis lagu senang bila ciptaannya diubah jadi lagu berirama dangdut, atau seriosa/aria, misalnya. Pencipta memiliki hak moral, dan jangan bawel atas hak orang lain –atau jangan gunakan sama sekali.

Via Vallen yang sudah amat sohor dan meraup banyak uang, seharusnya menjalin komunikasi dengan JRX-SID tentang lagu yang dinyanyikan atau ditampilkan. Lebih baik lagi bila disampaikan semacam “disclaimer” berisi pernyataan bahwa dirinya tidak akan memproduksi dalam bentuk apapun medianya selain dinyanyikan di suatu pertunjukan. Di luar itu bukan tanggung jawabnya atau tim kreatif-manajemennya.

Belajarlah jadi orang berbudaya dengan cara menghormati karya cipta orang lain. Suatu tulisan (puisi, prosa, esai, dsb) boleh anda gunakan tanpa harus membayar, dengan syarat terlebih dahulu minta izin dari pengarangnya dan jangan ganti atau hilangkan nama penulisnya. Bila dihilangkan, berarti itikad sejak dari pikiran memang sudah tidak baik.

Namun membagikan (share) suatu tulisan atau foto atau lukisan/grafis/sketsa atau video di medsos bilamana ada fasilitas “share”, menurutku tanpa minta izin pun boleh namun silakan pula melakukan bila merasa perlu, atau supaya lebih afdol, sebab sudah dibuat fitur “share.” Tetapi jangan copypaste lalu menghilangkan nama penciptanya atau pemotret, yang sering berdalih ecek-ecek: “diambil dari postingan sebelah.”

Apa sih ruginya mencantumkan nama pengarang atau pencipta suatu karya karena toh pemegang hak cipta pun tahu kok itu bukan bermotif komersil, kecuali memang dimanfaatkan “si pengambil” untuk nyari duit?

Bahkan materi-materi yang diambil dari Google atau media Internet pun harus menyebut dari mana sumbernya, lebih elok lagi bila menuliskan pencipta/pemotret karya yang ditampilkan, meski hanya untuk bahan postingan di medsos.

Merepotkan? Kalau begitu jangan gunakan karya orang lain bila tak mau repot sedikit. Tampilkan saja hanya tulisan atau foto karya sendiri, orisinal, agar tak ada urusan dengan orang lain.

Ketahuilah, bila sudi menghormati karya orang lain, sesungguhnya itu menunjukkan kualitas diri sendiri di mata orang lain. Anda akan mendapat respek bila mau menghormati karya orang lain, meski tak disampaikan.

Bagi saya pribadi, karena saya sengaja membuka semua postingan untuk publik dan ada fitur “share,” silakan bila tertarik tanpa harus minta izin. Namun, untuk post hasil karya saya pribadi (esai, teks, foto) jangan dong dihilangkan nama saya. Mbok hargai dikit, waktu dan pulsa (selain pikiran) telah kukorbankan atau bagikan, tak ada pula imbalan materil. Mosok tega sih? Sering pula tak bisa terlihat yang nge-share, sengaja diumpetin.

Tega deh kamyuuu

Wartawan, Jurnalisme, dan Gospel Worldview

Perhatikan kalimat ini: Saya terlatih menjadi jurnalis dan saya juga terlatih menjadi pengikut Kristen sejati. Apakah ini dua hal yang bertolak belakang? Atau dapatkah seorang jurnalis menjadi Kristen yang baik. Sebaliknya, dapatkah seorang Kristen sejati menjadi jurnalis yang baik?

Di Indonesia ada banyak jurnalis Kristen, itu faktanya. Tapi seberapa banyak kekristenan dan terutama Injil mempengaruhi mereka bekerja di dunia jurnalistik umum? Di sisi lain, ada juga kelompok jurnalis dari media-media Kristen. Sudahkah Injil betul-betul mempengaruhi mereka bekerja?

Di Indonesia, jurnalis Kristen dan Katolik biasanya berkumpul dalam forum, seperti Forum Wartawan Kristen atau Forum Wartawan Katolik. Tapi dalam aktivitasnya, forum-forum itu lebih banyak berfungsi sebagai ajang silaturahmi dan pembinaan rohani. Bukan sebagai forum intelektual, bagaimana para jurnalis ini membedah doktrin-doktrin kekristenan secara ilmiah, berdasarkan sudut pandang jurnalisme dan sebagainya.

Maka tulisan ini menjadi upaya saya untuk mencari benang merah antara jurnalis dan Injil. Menemukan jawaban atas pertanyaan bagaimana seorang jurnalis dan dunia jurnalisme memandang Kitab Injil dan apa pengaruh Injil dalam hidup mereka.

Memahami Cara Kerja Jurnalistik

Untuk menjawab pertanyaan pada bagian pendahuluan, saya kira kita harus terlebih dahulu memahami bagaimana seorang jurnalis bekerja. Jurnalis sebagai seorang profesional memiliki aturan dan etika profesional dalam pekerjaannya.

Pada dasarnya, jurnalis sejati atau wartawan sejati bertujuan untuk menyampaikan soal-soal yang rumit dan mengkomunikasikannya dengan cepat menggunakan relatif sedikit kata, supaya lebih sederhana dan mudah dipahami oleh pembaca/publik.

Apa yang dikomunikasikan kepada pembaca sesungguhnya? Servis seorang jurnalis adalah kebenaran. Kebenaran itu berkaitan dengan fakta-fakta. Berdasarkan fakta inilah para jurnalis bekerja.

Kalau dijabarkan lebih mendetail, ada baiknya melihat pedoman kerja wartawan Indonesia, yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.

Pada pasal 6 yang terdapat dalam bab mengenai Asas, Fungsi, Hak, Kewajiban dan Peranan Pers, disebutkan bahwa wartawan itu berkewajiban:

– memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui;
– menegakkan nilai-nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi hukum, dan
Hak Asasi Manusia, serta menghormat kebhinekaan;

– mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat dan benar;
melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan
kepentingan umum;

– memperjuangkan keadilan dan kebenaran;

Jadi, wartawan harus bekerja berdasarkan informasi yang tepat, akurat, dan benar. Fakta, dalam hal ini adalah: informasi yang tepat, akurat, dan benar. Semua informasi hanya tinggal menjadi informasi sebelum dilakukan check and recheck serta verifikasi. Setelah melewati proses check and recheck dan verifikasi, sebuah informasi berubah menjadi FAKTA.

Fakta, sesuai dengan makna sebenarnya, haruslah dapat dipercaya. Sebab kalau tidak, maka sudah menyalahi hakikatnya. Fakta yang bukan fakta adalah hoax atau informasi palsu.

Tapi sebelum menjadi berita, fakta-fakta harus dipilah-pilah. Sebab, acuan dalam penulisan berita harus memperhatikan variabel penting yaitu angle tulisan dan newsvalue atau nilai berita.

Angle adalah sudut pandang berita, tentang tema utama atau topik utama yang hendak disampaikan melalui berita tersebut. Sedangkan newsvalue adalah nilai berita yang mempengaruhi keterbacaan berita tersebut. Kalau berita tak mengandung salah satu atau beberapa newsvalue, dipastikan berita itu akan rendah tingkat keterbacaannya.

Beberapa newsvalue adalah: proximity (kedekatan), aktualitas (kebaruan berita), magnitude, dan ketokohan dalam berita. Nanti kita akan melihat bagaimana unsur newsvalue ini bisa ditemukan dalam Injil. Tapi sebelumnya, mari kita mengenali keempat Kitab Injil terlebih dahulu.

Memahami Kitab Injil

Ke-66 kitab yang terdapat di dalam Alkitab telah melewati apa yang disebut dengan proses kanonisasi, yaitu proses yang melibatkan pengenalan dan pengakuan akan originalitas dan otoritas ke-66 kitab itu sebagai Firman yang diilhamkan Tuhan.

Perjanjian Lama khususnya pada Alkitab kaum Protestan, mengacu pada Taurat Ibrani yang terdiri 39 kitab. Tak banyak persoalan dalam kanonisasi Perjanjian Lama. Walau denominasi lain, macam Katolik memasukkan beberapa kitab yang disebut deuterocanonical.

Sedangkan untuk Perjanjian Baru, di mana keempat kitab Injil berada, penentuannya telah melewati berbagai pengujian, seperti:

– apostolicity

Apakah ia ditulis oleh seorang rasul atau diotentifikasi oleh seorang rasul?

– universality

Apakah ia dibaca dan diterima secara luas?

– karakter

Memadai secara spiritual, diarahkan pada kesalehan, konten doktrinal mempunyai kesesuaian dengan pengajaran rasul-rasul.

Prosesnya panjang dan memakan waktu cukup lama sebelum akhirnya gereja bersepakat pada kitab-kitab yang ada di dalam Perjanjian Baru saat ini.

Tetapi penyelidikan terhadap kitab-kitab Perjanjian Baru terus berlangsung sampai kini dan telah melahirkan banyak sekali hasil penelitian yang menarik. Salah satu yang relevan untuk saya angkat pada tulisan ini adalah hasil penelitian yang mendapati bahwa keempat Injil memiliki ciri kesusasteraan yang sama, yaitu sebagai buku biografi kuno.

Salah seorang pakar yang meneliti hal itu adalah Michael R. Licona Ph.D, seorang associate professor teologi di Houston Baptist University. Saya mendengar banyak paparannya pada sebuah acara di Jakarta, beberapa waktu lalu.

Pakar Perjanjian Baru ini memiliki empat alasan saat menyimpulkan bahwa keempat Injil adalah biografi kuno:

Pertama, Biografi biasanya berfokus pada seorang karakter utama, bukan pada era, peristiwa, atau pemerintahan. Dalam hal ini, fokus pada keempat injil adalah sosok Yesus Kristus. Kedua, menggambarkan mengenai silsilah karakter utama, kemudian bergerak cepat untuk menceritakan mengenai kisah si tokoh di tengah publik, dalam hal ini adalah pelayanan Yesus. Ketiga, biografi kuno memiliki panjang 10.000-20.000 kata, supaya cerita cukup ditampung pada satu gulungan. Semua kitab injil begitu panjangnya. Keempat, karakter utama digambarkan melalui kata-kata dan perbuatannya.

Kaitan antara Injil dan Berita

Satu hal yang menarik, kata Injil atau gospel sendiri berasal dari kata evangelion, dari Bahasa Yunani, yang artinya ‘good news’ atau ‘berita baik’.
Injil adalah sebuah berita.

Jelas tak sama dengan berita-berita pada umumnya yang kita baca di media online atau media cetak, atau kita tonton di stasiun TV. Tapi sebagaimana Injil dan kitab-kitab lain menjalani proses kanonisasi, berita pun berproses sebelum menjadi apa yang kita baca atau pirsa.

Kalau melihat prosesnya, pembuatan dan penerbitan berita di media massa juga melewati proses panjang. Segala informasi harus dibedah, diperiksa, dicek dan ricek, untuk diketahui mana yang memang fakta dan mana yang bukan fakta.

Fakta-fakta itu kemudian disaring lagi melalui apa yang disebut ukuran newsvalue, alias nilai berita. Nilai berita akan mempengaruhi apakah fakta-fakta itu menarik untuk dibaca atau tidak. Kalau tidak ada nilai berita, ya tidak akan diterbitkan sebab tidak akan dibaca oleh orang.

Dalam konteks ini, menurut saya Injil adalah berita yang sudah melewati berbagai proses tadi. Injil adalah fakta, bukan fiksi. Meski di dalamnya terkandung muatan fiksi macam perumpamaan-perumpamaan yang diceritakan Yesus Kristus. Tapi itu jelas tak mempengaruhi keabsahan Injil sebagai fakta sejarah, yang merupakan biografi kuno tentang Yesus Kristus.

Kitab Injil dan kitab-kitab lain di Alkitab sudah merupakan hasil verifikasi ketat, untuk memisahkannya dari kitab-kitab yang tak punya unsur yang kuat untuk disebut sebagai Firman yang diilhamkan oleh Allah melalui Roh Kudus.

Dalam dunia jurnalistik, biografi termasuk salah satu produk jurnalisme. Cukup sering media menuliskan biografi tentang tokoh-tokoh yang populer, penting, dan berpengaruh.

Sebab berita semacam itu juga menarik dan inspiratif serta edukatif, sebagaimana arahan pasal 3 UU no 40/1999, bahwa salah satu fungsi pers adalah sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, dan kontrol sosial.

Dalam penyusunan biografi, selain memperhatikan akurasi, yang terutama adalah bagaimana menampilkan hal-hal penting yang menarik dalam riwayat hidup tokoh yang ditulis. Sebab tak semua riwayat itu menarik dan relevan untuk diceritakan kepada pembaca. Dalam penulisan biografi dengan ruang yang terbatas, jelas harus ada upaya pemilihan editorial, mana fakta atau kisah yang harus diceritakan dan mana yang tidak perlu.

Sama halnya dengan Injil, tak menceritakan keseluruhan riwayat hidup Yesus Kristus, sebab tak dianggap relevan dengan maksud penulisan kitab Injil tersebut. Melainkan para penulis Kitab Injil, dengan bimbingan Roh Kudus, menuliskan hal-hal dalam pelayanan Yesus, baik perkataan dan perbuatan-Nya, yang memiliki relevansi dengan tujuan penulisan kitab tersebut.
Apakah tujuan penulisan Injil dan keseluruhan Alkitab? Bukankah dengan maksud membawa ‘pulang’ anak-anak Adam-Hawa kembali ke Firdaus?

Penulis Kitab Markus misalnya, menceritakan pelayanan Yesus Kristus dengan maksud untuk menunjukkan bahwa Yesus adalah Allah melalui perbuatan dan perkataan-Nya. Begitu juga penulis Kitab Yohanes. Sedang penulis Kitab Matius memberi penekanan pada kemesiasan Yesus. Jadi mereka menyampaikan berbagai fakta mengenai perbuatan dan perkataan Yesus yang akan menopang tujuan mereka masing-masing, dan tentu saja, sesuai dengan maksud Tuhan sendiri dalam penulisan Injil.

Sedangkan aspek newsvalue yang dipenuhi Injil yang paling jelas adalah ketokohan, sesuai dengan kesusasteraannya selaku biografi kuno. Tentang Yesus Kristus ditulis sebagai biografi sebab tokoh ini memang sangat menarik perhatian dan sangat kontroversial pada zaman tersebut dan sampai sekarang. Apa yang diucapkan-Nya dan dilakukannya menarik perhatian luar biasa. Anak tukang kayu dari Nazareth itu disebut Nabi, Guru, Juru Selamat/Mesias, dan Tuhan.

Lebih lanjut, pertanyaannya, bagaimanakah seorang jurnalis memandang kitab Injil?

Bagaimana Jurnalis Memandang Kitab Injil

Sebagai berita, Injil, menurut saya, sudah memenuhi segala syarat sebagai berita yang menarik untuk dibaca dan sangat berpengaruh. Secara umum bagi setiap manusia, yang sudah berdosa dan kehilangan kemuliaan. Dan secara khusus bagi para jurnalis-jurnalis Kristen di luar sana.

Injil dituliskan dan diinspirasikan oleh Tuhan sebagai ‘jalan pulang’ manusia ke Firdaus, tempat seharusnya manusia berada saat diciptakan. Kejatuhan manusia ke dalam dosa telah menyebabkan keterpisahannya dengan Tuhan dan akibatnya adalah kematian.

Tapi Tuhan sudah menyediakan jalan keluar. Karena demikianlah Allah mengasihi isi dunia ini, sehingga dikaruniakan-Nya Anak-Nya yang tunggal itu, supaya barangsiapa yang percaya akan Dia jangan binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal (Yohanes 3:16).

Tuhan Yesus Kristus sendiri sudah memberitakan: Akulah jalan dan kebenaran dan hidup. Tidak ada seorangpun yang datang kepada Bapa, kalau tidak melalui Aku (Yohanes 14:6). Bagi seorang jurnalis Kristen, ia haruslah memandang Kitab Injil sebagai panduan menuju keselamatannya.

Tapi bukan hanya itu. Sebagai profesi yang bisa memberikan pengaruh kepada khalayak, menjadi penting bahwa Injil tak hanya memandu tapi juga sekaligus mempengaruhi bagaimana seorang jurnalis bekerja. Dalam hal ini, bagaimana Injil mempengaruhi bagaimana jurnalis meliput dan menuliskan berita. Sebab apa yang mereka tuliskan akan berdampak pada orang banyak.

Dalam konteks ini, sederhananya adalah bagaimana Injil menjadi worldview seorang jurnalis dan pada akhirnya membentuk perilakunya, mempengaruhi bagaimana dia meliput dan menuliskan beritanya. Dalam pandangan saya, setidaknya ada empat hal yang harusnya terjadi pada diri seorang jurnalis ketika memiliki Gospel worldview:

Hidup yang berpadanan dengan Injil

Filipi 1:27 menuliskan: “Hanya, hendaklah hidupmu berpadanan dengan Injil Kristus, supaya, apabila aku datang aku melihat, dan apabila aku tidak datang aku mendengar, bahwa kamu teguh berdiri dalam satu roh, dan sehati sejiwa berjuang untuk iman yang timbul dari Berita Injil.”

Hidup yang berpadanan dengan Injil amat penting. Sebab, sebagai seorang jurnalis Kristen, maka ia harus memiliki kesaksian hidup sesuai dengan apa yang dia percayai, sesuai dengan imannya dan tidak hanya menjadi jurnalis Kristen KTP. Sebab sekelilingnya akan melihat dan menghakimi bagaimana dia hidup. Kesaksian hidup yang benar akan sangat berdampak, tak hanya bagi diri sendiri, tapi juga bagi orang lain.

Tidak menjadi pembenci

Seringkali godaan untuk berpihak muncul saat wartawan menulis berita. Padahal, prinsip jurnalisme adalah keberimbangan dan cover both side. Wartawan harus memberikan ruang yang sama dan berimbang kepada narasumber-narasumbernya, seberapapun dia tak menyukai salah satunya.

Yesus Kristus di Kitab Injil juga mensyaratkan supaya kita tidak menjadi pembenci melainkan mengasihi orang lain seperti diri sendiri (Matius 22:39).

Wartawan juga tidak boleh buru-buru menghakimi dan memberikan penilaian prematur, melainkan harus selalu menimbang baik-baik setiap perkara. Janganlah menghakimi menurut apa yang nampak, tetapi hakimilah dengan adil (Yohanes 7:24).

Tuliskan kebenaran dan ciptakan perdamaian

Seperti yang disebut pada poin pertama, jurnalisme sejatinya tidak berpihak. Tapi amanat bagi pers adalah untuk menyampaikan kebenaran dan keadilan, seperti termaktub dalam pasal 6 UU Pers. Begitulah juga panggilan sebagai orang Kristen untuk senantiasa berpihak kepada kebenaran dan berusaha menciptakan perdamaian, bukan menimbulkan sensasi dan kontroversi. Tuhan Yesus berkata berbahagialah orang yang membawa damai, karena mereka akan disebut anak-anak Allah (Matius 5:9).

Mengedepankan kepentingan orang lain dan tidak mencari pujian sia-sia

Begitulah yang disebutkan dalam Filipi 2:3 “…dengan tidak mencari kepentingan sendiri atau puji-pujian yang sia-sia. Sebaliknya hendaklah dengan rendah hati yang seorang menganggap yang lain lebih utama dari pada dirinya sendiri.”

Banyak wartawan yang berambisi mengejar pujian atau penghargaan, sehingga kadang kala jadi kebablasan dan tak jarang yang rela membuat berita bohong hanya untuk jadi seseorang yang menonjol dibandingkan orang lain. Atau mungkin membuat berita yang benar, hanya tidak memperhatikan etika dan kesopanan. Sekadar mencari sensasi dan kunjungan lebih banyak pembaca ke outlet berita mereka.

Sebagai wartawan Kristen yang hidupnya dipengaruhi Injil, harusnya bersikap rendah hati dan mengutamakan orang lain. Dengan sikap ini, biasanya seorang wartawan akan lebih jernih dalam melihat persoalan yang hendak diliput dan ditulisnya. Keran informasi juga akan terbuka dengan lebar dan ada banyak hal-hal menarik yang bisa digali, kalau seorang wartawan tidak sok tahu atau sombong.

Bukan Lidah Aruna

Bicara tentang kuliner, memang tak ada habisnya. Sekarang trend-nya bukan hanya menyantap kuliner, tapi juga memamerkannya di media sosial. Piknik dan wisata kuliner seolah jadi lifestyle orang akhir-akhir ini, baik muda maupun tua.

Bulan lalu, kami sekeluarga menikmati wisata kuliner ke pinggir luar kota Jakarta. Entah makanan mana yang menyebabkan hingga saya diare, dan makin memburuk hingga ambruk esok harinya, sampai harus masuk UGD dan diopname di rumah sakit. Saya tidak menyalahkan kuliner di tempat tersebut. Bisa saja memang kondisi saya yang kurang fit atau tidak cocok dengan jenis makanan yang saya santap di sana. Mungkin bumbunya yang terlalu banyak atau perut dan lidah saya yang tidak tahan.

Berkaitan tentang kuliner, teman saya, WS, baru saja menonton film “ARUNA DAN LIDAHNYA”. Aruna diperankan oleh Dian Sastro, idolanya. Film ini berkisah tentang Aruna, ahli wabah, wanita lajang berumur pertengahan 30 tahun, pecinta kuliner, dari kecil hobi makan, tapi sedang kebingungan karena sekarang dia sulit menikmati makanan.

Ketika saya tanya bagaimana filmnya, dia merespon dengan sangat berenergi. Dia terlihat sangat bersemangat berkata, film itu sama sekali tidak menggurui, tapi membuat kita merenungkan banyak hal. Buat dia pribadi, bukan karena dia masih jomblo (alasannya) film itu sangat menyenangkan ditonton sendirian (dan saya sengaja menggoda dia dengan mengatakan bahwa saya yakin dia suka film itu karena film itu bagai refleksi kehidupan pergaulan jomblo yang seru, seperti dirinya sendiri, hahaha…). Dia tertawa dan tak menampik. Kami sudah akrab hingga biasa saling mencela.

Katanya, sepanjang film, dia tersenyum-senyum sendiri menyaksikan adegan-adegan dalam film, yang menyadarkannya bahwa begitu banyak hal-hal sederhana dalam hidup ini yang justru sebenarnya sungguh indah tapi sering kita abaikan.

Film itu membuatnya menyadari bahwa hidup ini terlalu indah untuk dihabiskan dengan menyimpan rasa benci atau menghabiskan waktu dengan orang-orang yang tidak kita sukai

(Saya sela lagi dia: “Tuh kan, alasan jomblo lagi kan,” goda saya.). WS bercerita lagi dan saya setuju dengan pesan moral film itu.

Tapi, kata WS, yang paling menarik dari film itu ternyata bukan soal makanan atau hubungan asmara para pelakonnya. Dia malah membahas hal lain yang masih dalam koridor filmnya, yaitu tentang flu burung.

Ketika Aruna berbicara perihal kasus drama flu burung yang dibuat demi mengucurkan dana project Alkes yang memang begitu besar dananya pada saat itu, teman saya si WS jadi teringat, pernah terjadi juga persis pada negara kita pada satu kondisi dimana salah satu menteri kesehatan dulu juga kena kasus yang sama. Kasus drama flu burung ini menyentak si WS pada satu hal, apa yang terjadi dengan project HAM, LSM dan kegiatan yang berkedok sosial lainnya di negera kita? Dia bertanya. Apakah ada dana yang sedang mereka kejar? Atau ada projek yang mereka kerjakan dengan bermain disekitar drama pelanggaran HAM dan sebagainya? Teman saya si jomblo WS ini, sungguh berapi-api, hingga saya tidak berani merespon. Saya kuatir itu bukan koridor saya.

Lalu dia menyambung ke isu sosial yang sedang hangat baru-baru ini, tentang sesosok figur yang dulu begitu vokal sebagai aktifis pelanggaran HAM, tiba-tiba bermutasi menjadi pembuat drama hoax dan menciptakan kegaduhan yang begitu besar, sampai-sampai melibatkan orang-orang besar dan hal ini menjadi senjata empuk bagi pihak-pihak yang bertujuan memperburuk citra pemerintah. Dengan mudahnya orang itu menciptakan kisah penganiayaan dirinya, yang setelah diusut rupanya hanya kebohongan. Mudah sekali menciptakan kebohongan, semudah dia berkata maaf. Lucu sekali.

Teman saya WS dengan gaya lucu berkata:
“Hati saya jadi bertanya-tanya, ‘ADA APAAA YAH SEBENARNYA??’” (Dia mencoba menirukan Aruna, walau dia sadar, pasti tidak seimut Aruna jika dia yang ngomong).

Lanjutnya: “Ada apa dengan lidahnya? Apakah dulu vokal karena mengejar budget untuk project LSM? Apakah sekarang budget untuk LSM sudah begitu mengering sehingga dibutuhkan sebuah drama besar untuk mengembalikan dana itu kembali mengucur? Yang pasti, dalam film, ketika proses investigasi Aruna berhasil memasukkan Priya kedalam sel, saya berharap, di dunia nyata, Nenek pembuat drama yang ini juga bisa merasakan buah drama yang dia ciptakan sendiri!”

Sekali lagi saya tidak berani berkomentar. Saya merasa lidah saya tidak ingin menciptakan kata-kata. Mungkin karena saya sedang lapar dan sudah mulai berhati-hati memilih konsumsi makanan, karena takut diare lagi.

Walaupun saya tidak berkomentar, tapi saya merasa agak setuju dengan teman saya yang kocak, si WS itu.

Saya berpikir, mungkinkah dalam hidup kita pernah mengalami, sedikit seperti Aruna. Walau hidup Aruna meriah dan penuh rasa, tapi masih saja dia merasa hambar. Dia tak bisa menikmati rasa yang dia inginkan. Kita pernah merasa hambar dan mencari sesuatu untuk mengobatinya.

Terkait dengan tokoh yang membuat kabar kebohongan kemarin, mungkinkah dia juga pernah merasa lebih parah daripada Aruna, hidupnya mungkin sangat kurang rasa, hingga dia berusaha mencari sensasi, yang justru berlebihan hingga menjadi bumerang buat dirinya sendiri? Mungkinkah dia mencari sensasi rasa dengan konsumsi yang terlalu banyak bumbu, hingga jadi overdosis? Sebab bukankah makanan terlalu berbumbu bisa membuat muak, mual, sakit bahkan kemungkinan terburuk lainnya?

Apapun itu, kita memang benar-benar harus bisa menjaga lidah kita sendiri. Seperti tertulis di wikipedia, lidah adalah kumpulan otot rangka yang dapat membantu pencernaan makanan dan sebagai indra pengecap. Lidah juga turut membantu dalam tindakan bicara. Ini adalah dua hal penting dari fungsi lidah yang sungguh vital dalam hidup kita.

Sebab seperti tertulis dalam kitab suci, ‘

Orang jahat terjerat oleh pelanggaran bibirnya, tetapi orang benar dapat keluar dari kesukaran

(Amsal 12:13), dan:

“Siapa yang mau mencintai hidup dan mau melihat hari-hari baik, ia harus menjaga lidahnya terhadap yang jahat dan bibirnya terhadap ucapan-ucapan yang menipu”

(1 Petrus 3:10).

Buka Dulu Topengmu

“No one cared who I was until I put on the mask”

Kalimat diatas tak sengaja kubaca di salah satu Instastory temanku kemarin. Segera aku reply instastory-nya,

“Kenapaa?”

Tak lama, dia membalas.

“Ya begitulah hidup,” katanya. Dia adalah seorang teman pria yang dulu tak lama ku kenal. Aku tau dia adalah seorang teman yang cukup aktif di media sosial dan nggak jarang upload foto-foto kegiatannya seperti orang-orang yang punya media sosial lainnya.

Aku tahu dia kurang mau terbuka saat itu. Wajar, karna aku teman wanita yang hampir 6 tahun tidak bertemu, hanya kadang sapa-menyapa di media sosial.

Saat itu, aku membenarkan apa yang dia katakan. Aku setuju dengan pendapatnya dan bilang memang banyak sekali orang fake.

Ku bawa diriku dalam kata-kata itu supaya dia pun tidak sungkan jujur tentang apa yang dia rasakan.

Contohnya aku,kataku. “Kalau aku sedih, kadang aku tersenyum saja di depan orang. Kalau aku marah aku diam. Karna kalaupun aku cerita nggak ada yang bisa ngerti. Yang peduli aja mungkin sedikit, apalagi yang mengerti.”

Setelah berkata begitu, lambat laun dia mulai bercerita tentang kekesalannya. Tentang apa yang dia rasakan. Tentang bagaimana pergumulannya saat itu tanpa aku memintanya untuk bercerita.

“Tentang keluarga?” kataku di sela-sela dia mulai menceritakan bahwa dia kesal.

Aku mencoba untuk tetap membuat keberadaan ku disana bukan sekadar mau menginterogasi dia tentang masalahnya. dan di akhir berkata,”Ah aku juga pernah begitu. Jangan terlalu lebay, nanti juga akan ada solusinya.. masalahku juga lebih pelik dari itu, tapi aku bisa kok melewatinya.”

Ini adalah salah satu kesalahan yang paling sering kita lakukan ketika kita mendengarkan orang lain yang sedang dalam masalah. Mungkin kita merasa sedang memberi energi positif yang akan membantu dia tetap semangat.

HEY. THIS IS NOT HOW YOU DO IT!!!

Kubiarkan dia berkata apa saja, mengeluarkan apa saja yang dia ingin keluarkan. Dan kubalas dengan, “Aku tahu aku nggak bisa ngerti sepenuhnya dengan apa yang sedang kau rasakan, tapi aku merasa kau sangat diberkati untuk kuat menghadapi itu semua”.

Itu membuatnya semakin terbuka dan terbuka lagi. Dan aku mengikuti alur pembicaraannya, kutanya sesekali tentang apa yang sedang dia ceritakan, yang menandakan bahwa aku sedang mencoba untuk mengerti akan apa yang sedang terjadi sekarang.

Sejak saya kuliah di UI, sudah berapa kasus yang aku temui orang bunuh diri karena frustasi, orang meninggal sakit nggak ada yang tahu di kamar kosnya sendiri, orang yang lari dari rumah.

Semuanya itu nyata dan ketika mengetahui hal itu, yang kita lakukan apa? Ngomongin? Sebar medsos dengan tulisan REST IN PEACE dan emoticon yang sedih dan bilang “nggak nyangka”?

Jujur, pertama kali aku dengar ada anak FE UI beberapa tahun silam meninggal gantung diri di kamar kos yang diduga karena skripsi nggak kelar-kelar, aku benar-benar berduka dan sangat sedih.

Aku nggak kenal dia. Tapi hal yang kusesalkan adalah, kenapa Tuhan nggak izinkan aku kenal sama dia dan dengerin dia di saat dia nggak ada teman yang bisa diajak mengobrol, sampai dia frustrasi dan putuskan untuk bunuh diri?

Tapi akhirnya, aku menyalahkan diriku lagi. Aku menangis dan bilang sama Tuhan,“Tuhan ampuni aku karena aku nggak kenal dia. Tolong aku biar lebih peka sama sekelilingku kalau mereka lagi dalam keterpurukan, keputusasaan. Tolong aku siap Tuhan buat dengar mereka, serumit dan sepribadi apapun itu. Aku mau hancur hati bersama dengan dia. Aku mau beri telinga untuk dengar dia.”

Sejak saat itu aku benar-benar mencoba untuk peka dengan keadaan orang lain.

Dan sekarang Tuhan kasih karunia itu bagiku. Mereka memang sedang tertawa, tapi aku tau di dalam hati mereka sedang menggumulkan suatu masalah besar. Dan ada kepekaan dan jalan tersendiri yang buat orang-orang voluntarily cerita ke aku.

Nggak jarang teman-temanku mempercayaiku akan sebuah masalah besar dan paling memalukan dalam hidup mereka. Sebenarnya itu bukan lah poinnya, Poinnya adalah, kapan kita terakhir kali memberi waktu buat orang lain, bahkan orang-orang yang kita sayangi?

Yakinlah, ada yang sedang mereka tutupi.

Ada topeng yang kadang harus mereka pakai supaya diterima oleh orang lain. Pernahkah kita berusaha untuk siap melihat dan menerima apa dibalik topeng mereka?

Ya, emangnya aku siapa? Setelah mereka cerita, terus apa? Nggak ada juga gunanya toh aku nggak kasih solusi apa-apa ke mereka? Emang masalahnya jadi selesai?

Ya benar, masalahnya belum selesai. Tapi hey, ketika kita lakukan itu, kita sedang menyelamatkan satu jiwa. Hati mereka yang sedang sedih dan hancur akan perlahan tenang karena dia sudah mengungkapkan dan mengeluarkan semua itu tanpa di-judge oleh pendengarnya.

Dengar dia, diam lah. Coba memahami sudut pandang dia. Lihat kedalaman hatinya. hancur hatilah bersamanya. ITU LEBIH DARI CUKUP.

Keberadaan kita lebih berharga daripada saran-saran bijak yang kita dapat dari GOOGLE, atau renungan-renungan harian.

Singkat cerita, setelah temanku bercerita tentang kondisi keluarganya dan pergumulan hatinya itu. pembicaraan membawa kami ke hal apa yang menjadi keinginan hatinya yang kurasa dia pun mungkin tak pernah bilang ke orang lain.

Mungkin dia sudah mulai merasa diterima, sehingga tidak lagi sulit baginya untuk menceritakan keinginan hatinya. Dia bilang dia merasa menyesal dulu berkuliah dan ambil jurusan Kesehatan Masyarakat, karena dia merasa passion-nya di fotografi, perfilman, dan menulis novel.

Dengan bersemangat aku bilang,”HEY THAT’S NICE THO!  Ga ada yang perlu disesali, itu bisa jadi suatu nilai tambah bagimu. It’s ok kalau itu bukan jadi pekerjaanmu sekarang, tapi kan sedikit demi sedikit bisa ditekuni.”

“Namanya suka pasti kita pengen terus melakukannya. Kalau itu kau tekuni siapa yang tahu nanti itu bisa jadi sumber kepuasan hidupmu dan bahkan sumber uang juga. Kita nggak tahu apa ynag mungkin terjadi di depan.”

“JANGAN QUIT. Lanjutkan saja sebagai hobi. Hitung-hitung, menulis sebagai pengisi waktu kosong dan obat pelipur lara.”

Hey, you know that’s Brilliant, I said. Aku bisa merasakan energi positif nya juga keluar setelah dia balas,“Iya ya,siapa yang tahu apa yang terjadi di masa yang akan datang.”

Dan tanpa disadari, yang tadinya kata-kata yang dia lontarkan kebanyakan negatif, penyesalan dan kegundahan, diakhir cerita, aku meihat aura optimis dalam dirinya.

Aku mendengar mulutku berkata Puji Tuhan. hatiku senang sekali kalau dia bisa menjadi semangat seperti itu setelah 3 jam berbincang mengenai kerasnya hidup dan orang-orang yang ada di dalam hidup. Tuhan, terima kasih, kataku berulang kali dalam hati.

“Terima kasih ya atas waktumu. Ini sangat berarti buatku. Karena tidak banyak orang yang peduli denganku. Ya wajar karna mereka pun sudah sibuk dengan masalah mereka masing-masing,” katanya.

“Aku nggak merasa itu cukup besar. Aku cuma punya telinga dan punya waktu untuk mendengar orang lain. Aku nggak bisa selalu bantu. Nggak bisa kasih kerjaan kalau orang butuh kerjaan. Nggak bisa pecahkan masalah kalo mereka lagi ada masalah,” kataku.

“Tapi, selagi aku dibutuhkan buat dengar apapun, serumit apapun, aku yang akan pertama kali datang. jadi jangan sungkan. Aku nggak akan pernah nolak buat dengarkan orang”, kataku menutup.

 

Welen Friade Sinaga

Tulisan ini dimuat sudah seizin penulis.

Penulis adalah Pengurus Persekutuan Oikumene Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia (PO FIB UI) tahun 2016-2017

 

Foto: Pixabay.com

Kesaksian Capt Pilot Mafella, Selamatkan 140 Penumpang Batik Air dari Gempa Palu

Pilot Batik Air, Capt Ricosetta Mafella, mendapat sorotan setelah ia menerbangkan pesawatnya tiga menit lebih cepat dari Palu menuju Jakarta.

Atas keputusannya ini, ia berhasil menyelamatkan penumpang Batik Air dari Tsunami Palu, Jumat (28/9/2018).

Ia lantas memberikan kesaksian di sebuah Gereja Duta Injil BIP, Jakarta.

Capt Mafella meluapkan semua apa yang ia lihat dari udara saat tsunami menerjang Kota Palu.

Dalam Ibadah Minggu di Duta Injil BIP, Capt Mafella Pilot Batik Air,  memberikan kesaksian kenapa dia mempercepat penerbangannya 3 menit dari jadwal yang sudah ditentukan di Bandara Palu.

Sepanjang hari hatinya saya merasakan kegelisahan yang saya sendiri tidak tahu kenapa. Untuk mengusir rasa kegundahan hati saya,  sepanjang perjalanan dari Ujung Pandang ke Palu, saya menyanyi lagu-lagu rohani dengan nada keras (biasanya saya hanya bersenandung saja, tapi hari itu saya ingin memuji Tuhan sebaik-baiknya). Sampai Co-Pilot yang muslim menyarankan saya sambil bercanda supaya saya membuat CD lagu rohani.

Ketika hendak mendarat di bandara Palu, udara terlihat cerah tapi angin terlalu kencang dan Saya mendengar suara dalam hati untuk memutar sekali di udara sebelum landing.

Letak Bandara Palu diapit oleh 2 pegunungan dan itu mengingatkan Saya degan ayat Mazmur 23:4:

“Sekalipun aku berjalan dalam lembah kekelaman, aku tidak takut bahaya sebab Engkau besertaku: gadaMu dan tongkatMu, itulah yang menghibur aku”.
“I may walk through valleys as dark as death but I wont be afraid. You are with me and your shepherd’s rod makes me feel safe”.

Bandara yang terletak diapit pegunungan bagi seorang pilot disebut lembah kematian karena mereka harus ekstra hati-hati ketika landing dan ayat Mazmur 23:4 (sebutannya Mazmur DjiSamSoe adalah pegangan para Pilot yang Kristiani).

Sesaat setelah pesawat sukses landing, Saya mendengar suara di hati Saya untuk lekas pergi dari bandara itu. Oleh karena itu, Saya menginstruksikan crew agar beristirahat 20 menit saja sebelum pesawat kembali pulang ke Jakarta via Ujung Pandang.

Saya bahkan tidak turun dari cockpit pesawat dan meminta ijin kepada Menara Control Air Traffic Center (ATC) untuk mempercepat lepas landas 3 menit dari jadwal yang sudah ditentukan.

Setelah Saya mendapat izin take off dari Alm. Agung (Anthonius Gunawan Agung, petugas air traffic control (ATC) Airnav Indonesia), mereka bersiap lepas landas.

Saat itu, saya melanggar prosedur penerbangan karena saya mengambil alih tugas Co-Pilot dengan menambah kecepatan pesawat saat prosesi take off. Saya sendiri tidak tahu kenapa tapi tangan Saya terus memegang tuas agar kecepatan lebih besar supaya badan pesawat lebih cepat merangkak naik (istilah mobil di-gas poll).

Saat itu, Saya tidak tahu kalau gempa sudah melanda Palu tapi Saya merasa pesawat sedikit oleng ke kiri dan kanan. Kalau saja Saya terlambat 3 menit, Saya tidak bisa menyelamatkan 140 penumpang karena aspal pacuan landas bandara bergelombang seperti kain ditiup angin!

Beberapa menit selepas take off, Saya mencoba menghubungi pihak menara namun sudah tidak dijawab lagi oleh almarhum Agung.

Saya menengok kebawah dan melihat fenomena alam yang aneh. Air laut di pinggir pantai membentuk lubang yang sangat besar sehingga dasar laut terlihat.

Ketika pesawat tiba di Ujung Pandang, barulah Saya diberitahu bahwa telah terjadi gempa dan tsunami di Palu dan pegawai menara control yang memandu pesawat Saya take off telah gugur sesaat setelah memastikan pesawatnya lepas landas.

Sebelum bertolak terbang ke KL, saya menegaskan pentingnya kita harus peka mendengar suara Tuhan. Dan dalam situasi apapun harus tetap tenang jangan panik supaya bisa jelas mendengar suara Tuhan yang disampaikan melalui Roh Kudus karena dia menambahkan bahwa ketika ia mengambil alih tugas Co-pilot utk menambah kecepatan, sang Co-pilot terlihat ketakutan melihat badan pesawat oleng ke kiri dan ke kanan.

Kesaksian ini saya bagi supaya kita bisa memetik pesan moral dan mendapatkan berkat. Amin…Amin..Amin.

Cinta Thanos

Ada adegan yang menurut saya paling sedih, ketika menonton film Avengers, Infinity War.

Yaitu adegan Gamora dengan Thanos. Ketika itu, Thanos harus menukarkan apa yang dia cintai untuk mendapatkan batu infiniti Jiwa. Mengetahui syarat itu, sejenak ada jeda.

Thanos yang selalu berhasil mendapatkan apa yang dia mau dengan segala cara, kali ini mendapatkan tantangan yang Gamora kira akan membuat Thanos gagal. Sebab monster sejahat Thanos, menurut Gamora, tak punya seseorang atau sesuatu yang dicintai dalam hidupnya, kecuali dirinya sendiri.

Ketika itu, sambil tertawa Gamora berkata:
All of my life I’ve been waiting for this moment: When you failed. You know why? Because you love nothing! No one!”

Dan saat itu airmata menetes di pipi Thanos.
Gamora tentu saja terkejut. “Really, tears?”
Masa monster jahat dan kejam itu menangis? Masa dia bisa menangis? Menangisi apa?

Lalu dia sadar bahwa Thanos menangis bukan untuk dirinya sendiri. Not for him.
Seketika Gamora sadar bahwa Thanos menangis untuk diri Gamora. Tak disangka satu-satunya yang dicintai Thanos adalah Gamora.

Gamora pun segera meronta: “No..! This isn’t love.”

Mana mungkin Thanos yang jahat itu bisa mencintai, apalagi mencintainya, anak angkatnya yang tidak tahan padanya hingga melarikan diri darinya?

Gamora tak sempat berpikir lagi, dia sudah diseret untuk dilempar ke jurang oleh Thanos. Dan Thanos melemparkan Gamora, membunuhnya, membunuh orang yang dicintainya, sambil berurai airmata.
Monster itu, membunuh anaknya sambil menangis.

Melawan hati nuraninya, untuk tetap melakukan yang jahat.

Committed to crime. Melakukan segala cara untuk mendapatkan tujuan, walau harus mengorbankan orang yang dikasihi.

Adakah kita seperti itu? Adakah Thanos dalam diri kita masing-masing?

Cintakah namanya ketika mengorbankan orang yang kita cintai untuk kepentingan diri kita? Seperti cinta Thanos.

Bukankah harusnya cinta identik dengan pengorbanan diri, seperti konsep salib, cinta adalah ketika kita mengorbankan diri untuk orang yang kita cintai?