Istilahnya Mardijkers berasal dari kata Melayu “Merdeka” (kebebasan) yang aslinya berasal dari bahasa Sansekerta, “Mahardhika.” yang berarti “kaya, sejahtera dan berkuasa”.
Setelah Malaka jatuh ke tangan Belanda pada 1641, pihak Portugis, terutama komunitas mestiços (Portugis-Asia Kristen) dibebaskan dari status budak, termasuk turunan Afrika, India atau budak Asia lainnya dari Portugis, kemudian dimukimkan ke pusat perdagangan VOC, Batavia.
Mardijkers pada umumnya adalah turunan masyarakat pribumi berasal dari wilayah yang dikuasai Portugis dan Spanyol. Mereka dari Afrika, Kepulauan Koromandel, Maldives, dan Sri Lanka di Samudera Hindia, Malabar daratan India, Myanmar hingga semenanjung Melayu.
Ada juga dari kepulauan Indonesia, seperti Banda, Ambon, Makassar, Bugis, Toraja, Bali, dll, Juga terdapat turunan Pampanga dari Pulau Luzon dan sekitarnya di Filipina.
Pihak VOC pernah menggunakan pasukan Pampanga sebagai garnisun pengaman Kota Batavia. Mereka bermarkas di Jalan Guntur sekarang.
Nama daerah kawasan Mampang pernah digunakan sebagai lintasan pasukan Pampanga menuju pusat kota. Namun pasukan Pampanga ditarik oleh Spanyol ketika terjadi konflik antara VOC dengan Spanyol dan Portugis di pada abad ke-XVII. Banyak juga yang tetap bertahan dan mereka berbaur hingga terjadi asimilasi melalui proses perkawinan campuran.
Ketika Indonesia memperjuangkan kemerdekaan dari Belanda digunakan slogan Merdeka (“kebebasan”), memiliki akar yang sama dengan Mardijkers. Kata ini memiliki signifikansi politik yang cukup besar yang juga berkembang di Malaysia dan Singapura.
Pada masa Portugis para mardicas dan mestiços tersebar di berbagai kepulauan yang dikuasai Portugis, terutama di kepulauan Maluku, digunakan untuk melayani kepentingan para pemukim garnisun Portugis. Umumnya mereka ini didatangkan dari India.
Sementara di Sulawesi Utara, terutama di Amurang, Kema dan Manado banyak pula kaum Mardijkers didatangkan oleh Portugis dan Spanyol. Khusus di daerah Kema terdiri dari para pendayung dan pekerja kapal dari kepulauan Pasifik oleh Spanyol yang bermukim ada di sana sejak pertengahan abad ke-16.
Juga terdapat komunitas Mardijkers di Makassar hingga Nusa-Tenggara Timur, terutama pulau Flores. Tetapi sejak 1605 mereka menghilang ketika pihak Portugis dan Spanyol mulai tertarik dan berkonsentrasi di benua Amerika-Selatan, dan hanya meninggalkan nama keluarga saja.
Yang ditinggalkan adalah budaya musik khas Portugis yang menyebar di seluruh kepulauan Maluku. Posisi Portugis dan Spanyol berganti oleh Belanda menduduki Ambon dan Banda.
Pada sensus tahun 1672, pihak VOC membagi bekas budak yang dibebaskan dalam dua bagian. Yang pertama adalah “Budak Hijau” yang beragama Islam. “Budak Hijau” ini terdiri dari jumlah yang besar. Disebut demikian karena mereka berbendera hijau.
Saat VOC membebaskan budak di Makassar yang memeluk agama Islam kelompok “Budak Hijau” ini, kebanyakan mereka berasal dari Bali, Ternate, Maluku Selatan dan Batavia dikirim ke Ambon.
Disana mereka bergabung dengan kelompok non-“Budak Hijau” yang merupakan Mardijkers campuran di Ambon yang dibebaskan dan disediakan tempat khusus untuk mencari nafkah dengan berkebun dekat benteng Victoria dengan menanam padi. Mereka juga memiliki pasar sayur mereka sendiri, yang disebut disebut “Pasar Mardikas”.
Nama ‘Mardijkers’ juga disebut Belanda Hitam (Zwarte Hollander) pada tentara yang direkrut di Ghana, Afrika, yang bertugas di tentara kolonial (KNIL) dan mendapatkan kebebasan mereka sesudahnya.
Kaum Mardijkers kebanyakan memeluk agama Roma Katolik dan rajin menghadiri gereja Portugis di Batavia. Tetapi pada akhirnya banyak dari mereka berpindah dan dibaptis oleh Gereja Reformasi Belanda menjadi Protestan.
Mereka diakui secara legal oleh VOC sebagai kelompok etnis yang terpisah, dan memisahkan diri dari pribumi.
Baca juga: Pribumi dan Nonpribumi, Warisan Kolonial yang Masih Membelenggu
Mereka menerima hak istimewa tertentu di kota, seperti hak perawatan kesehatan, tunjangan sosial bagi orang miskin dan hak atas pendidikan. Mereka umumnya melayani pihak VOC sebagai seorang tentara, pekerja dan sebagai pegawai pemerintah.
Populasi yang cukup besar di Batavia pada awal abad ke-17 adalah komunitas Mardijkers. Pada sensus penduduk tahun 1699 di Batavia, populasi Batavia berjumlah 3.679 orang Cina; 2.407 Mardijkers; 1.783 orang Eropa; 670 Campuran darah; 867 lainnya.
Selama era VOC sudah ada perkawinan yang cukup banyak dengan kaum Indo dalam sejarah pra-kolonial, yang seringkali juga keturunan Portugis. Selama era kolonial, Mardijkers berasimilasi sepenuhnya ke dalam komunitas Indo (Eurasia) dan tidak lagi terdaftar sebagai kelompok etnis yang terpisah.
Masa Peralihan
Antara abad ke-18 dan 19, Mardijkers mulai menukar kebiasaan peninggalan Portugis dan mengganti bahasa Portugis dan bahasa kreol-Portugis secara bertahap dengan bahasa Melayu Betawi, yang kemudian secara bertahap mengalami proses penyempurnaan menjadi bahasa Indonesia yang digunakan sebagai bahasa resmi.
Sungguhpun begitu banyak pula istilah-istilah Portugis digunakan ke dalam bahasa Indonesia, seperti sepatu, bendera, sekolah, dll. Sementara bahasa pergaulan atau informal tetap menggunakan dialek Mel.ayu Betawi bercampur dengan bahasa Cina dan Arab, seperti, lu, gua, ente dll.
Desa Tugu
Pada 1661 pihak VOC memberikan sebidang tanah bagi kelompok Mardijkers sebagai imbalan atas jasa yang diberikan, yakni Tugu, yang letaknya sekitar 12 km bagian timur laut dari Batavia. Tugu adalah kantong Mardijkers pertama dan sejak itupun orang Belanda menyebut mereka “Toegoenezen Mardijkers” terdiri dari 23 keluarga, mengolah tanah mereka.
Umumnya mereka adalah komunitas Nasrani berasal dari Bengal dan kepulauan Koromandels, India. Semula terdiri dari lelaki yang kemudian mempersunting gadis-gadis Bali turunan bekas budak. Mereka dibebaskan karena meninggalkan iman Katolik dan menjadi Calvinis.
Mereka tinggal di pemukiman sederhana. Sebelumya mereka menetap di distrik Roa Malaka di Batavia Lama dekat Kali Besar,
Desa Tugu berkembang menjadi benteng Portugis Mestizo, dengan menggunakan logat Portugis-India. karena terisolasi. Baru pada akhir abad kesembilan belas berhasil ditembus pengaruh bahasa Melayu dan istilah Tugu Portugis hanya diucapkan oleh orang-orang yang lebih tua.
Pada 1930 guru Sekolah Tugu, Jacob Quiko giat mengumpulkan kata-kata Portugis yang masih digunakan generasi tua. Aksen bicara Portugisnya berbeda dengan koloni Portugis Flores dan Timor.
Aksen Tugu Portugis hanya tinggal di dalam musik, seperti dalam Orkes Keroncong Samuel Quiko ataupun Keroncong Moresko. Tetapi Mardijkers Portugis di desa Tugu, sejak pertengahan abad ke-19 hidup dengan dunia budayanya dan penduduk setempat menggunakan bahasa Portugis dengan damai dan tenang menjauhi keramaian Batavia hingga akhir abad ke-XIX..
Nama marga keluarga Mardijkers yang umum adalah De Fretes, Ferrera, De Mello, Gomes, Gonsalvo, Cordero, De Dias, De Costa, Soares, Rodrigo, De Pinto, Perreira, Lopez dan De Silva. Beberapa keluarga Mardijkers juga membawa nama Belanda seperti Willems, Michiels, Bastiaans, Pieters, Jansz, Fransz, Davidts, Thomas, Matheos dll. Nama-nama marga ini juga digunakan di Maluku, NTT dan Minahasa.
Sebagian besar dari nama-nama marga khas Mardijkers kemudian menghilang di mana-mana kecuali di Desa Tugu, dan hanya bertahan beberapa nama marga. Di kuburan di sekitar gereja nama Portugis dan Belanda seperti Rodrigues, Hein, Dinosaurus Adrian dan Chappie masih tercantum.
Yang menyedihkan situs sejarah peninggalan budaya Mardijkers di Desa Tugu cenderung musnah dan pemerintah Jakarta Utara sama sekali tidak punya kepedulian akan nilai-nilai kesejarahan.
Kendati pada masa pemerintahan Ali Sadikin ada perhatian, tetapi setelah itu dimusnahkan. Kendati demikian, kelompok Mardijkers turut mewarnai dalam sejarah Indonesia sebagai masyarakat melting-pot pertama di Asia pada abad ke-XVII.
(Dari berbagai sumber)
Harry Kawilarang
Tulisan ini dimuat seizin penulis. Laman asli tulisan ini lihat di halaman Facebook dari Harry Kawilarang
Penulis adalah wartawan senior yang pernah bekerja di Harian Sinar Harapan dan Suara Pembaruan | pemerhati sejarah Indonesia
Foto: Gereja peninggalan Portugis terletak di Kampung Kurus (Kampung Kecil), Kelurahan Semper Barat, Cilincing, Jakarta Utara. Gereja dibangun sejak 1678 dan merupakan pemberian dari seorang dermawan bernama Justinus van der Vinck sebagai tuan tanah di daerah Cilincing dan Pasar Senen ketika itu.
Gedung ini menggantikan gereja kedua (dari tahun 1678) yang dihancurkan pada tahun 1740 oleh gerombolan liar Cina.
Pada tahun 1737, Pendeta Van der Tydt merehab bangunan tersebut, tapi tahun 1740 bangunan gereja itu hancur habis terbakar ketika di Batavia terjadi pemberontakan Cina (Chinezenmoord).
Tahun 1747 Gereja Tugu dibangun kembali oleh pendeta Mohr dan ditahbiskan pada tanggal 29 Juli 1774, atas izin Gubernur Gendral Van Imhoff yang berkuasa di Batavia. Gereja tersebut boleh dibangun di Desa Tugu dan hingga sekarang masih dapat disaksikan “Gereja Tugu Portugis” yang lebih bergaya arsitektur gereja Belanda abad 18 M dan gaya Gereja Evora (Santome) dekat Lisabon.
Gereja Tugu kelihatan sederhana, tetapi kokoh dan rapi. Di dalamnya berisi beberapa bangku diakon antik, piring-piring logam dan mimbar tua.
Menara lonceng berasal dari tahun 1880, tetapi lonceng lama yang rusak (dari tahun 1747) konon masih tersimpan dalam rumah pendeta.
Keluarga Mardijker pada 1704 di Desa Tugu