Tag Archives: Jakarta

Banjir Jakarta: Anies Salahkan Proyek sampai Jokowi yang “Ingkar” Janji

Banjir yang melanda ruas-ruas jalan utama dan beberapa titik permukiman di Jakarta yang terjadi Senin (11/12) seketika membuat pembicaraan menjadi melebar ke ranah politik.

Banjir di bulan Desember memang biasanya bukan merupakan puncaknya, namun ini menjadi alarm yang bagus buat pemerintah sekarang. Semacam try out menjelang puncak turun hujan yang biasanya sekitar Februari.

Rasanya tidak adil jika harus menyalahkan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan dan Wakilnya Sandiaga Uno atas genangan air yang menyusahkan warga ini. Keduanya baru menjabat dua bulan.

Namun, publik malah disuguhkan “akrobat kata-kata” yang cenderung salah-menyalahkan yang sayangnya malah bersumber dari Gubernur Anies sendiri dan tentu saja para pendukungnya.

Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan menyebut pembangunan proyek infrastruktur yang berada di ruas jalan protokol telah menghambat aliran air di beberapa kawasan, seperti dilaporkan CNN.

Terhambatnya aliran ini pun mengakibatkan munculnya genangan air yang cukup tinggi di daerah Selatan, seperti di Jalan Gatot Subroto, Kuningan, Rasuna Said dan beberapa titik lainnya saat hujan lebat mengguyur Jakarta sejak siang hari kemarin.

Anies pun mengaku, pihak Pemprov sebenarnya sudah berulang kali mengingatkan pelaku pembangunan tersebut untuk memperhatikan tali air agar tak ada yang tersumbat meskipun proyek sedang berjalan.

“Kita akan panggil semua jajaran yang terlibat hari ini, akan berikan instruksi dengan tegas, karena apa, ini masyarakat yang dirugikan. Proyek memang harus berjalan tapi warga juga tidak boleh disengsarakan,” kata dia.

Namun, proyek LRT dan MRT bukan baru muncul dua bulan lalu, tetapi sudah berjalan beberapa tahun. Alasan untuk menjadikan proyek LRT dan berbagai proyek yang berjalan di Jakarta menjadi sulit dimengerti karena tidak ada presedennya.

Gubernur Anies Baswedan saat meninjau kondisi pompa air di Dukuh Atas, Jakarta. (Kompas.com)

Kecekatan mengawasi dan memelihara pintu air sebagai kunci mengurangi banjir pun teruji di sini. Gubernur Anies sempat mengecek kondisi pintu air di underpass Dukuh Atas, dan mendapat laporan dari operator pompa penyedot air bahwa ada kerusakan.

“Di sini ada 6 pompa, tapi yang berfungsi baik cuma dua. Langsung akan segera kita tindaklanjuti, kita pastikan tidak ada masalah,” kata Anies.

Masalahnya, salah satu operator pompa bernama Mulyadi mengatakan, sudah melaporkan kerusakan pompa tersebut sejak 22 Oktober 2017 lalu. Namun, hingga kini laporannya belum ditindaklanjuti, katanya kepada Kompas.com.

 

Ahok Awasi Pompa Air

Keadaan seperti ini sulit terjadi di zaman Gubernur DKI terdahulu, Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok. Ahok diketahui publik ketika banjir terjadi benar-benar mengawasi kinerja pompa air di seluruh titik di Jakarta.

Ahok menginstruksikan lurah-lurah untuk mengawasi kondisi pompa antisipasi banjir di lingkungannya masing-masing.

“Saya instruksikan seluruh lurah harus tahu persis seluruh kondisi pompa di wilayahnya, harus ditungguin itu pompa, masih ada minyaknya enggak, hidup jam berapa, mati jam berapa,” kata Basuki saat menjabat gubernur di gedung DPRD DKI Jakarta, Sabtu (19/12/2015).

Basuki Tjahaja Purnama saat peresmian RPTRA Sunter. (Kompas.com)

Basuki juga mengatakan dengan demikian genangan di Jakarat bisa cepat surut, seperti direkam secara tertulis oleh detik.com.

Laporan terbaru dari mantan stafnya pun memberi gambaran tentang ketatnya Ahok mengawasi pompa air. Ismail Al Anshori yang mengaku mantan staf eks Gubernur DKI Ahok berkicau melalui Twitternya.

Pemilik akun @thedufresne itu, menuturkan perbedaan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan dan Ahok ketika merespon banjir. Berikut cuitannya:

“19 bln kerja brg Ahok, gw ga pernah lihat dia berpose foto di ruangan ini. Kl banjir, Ahok sibuk d grup whatsapp penjaga pintu air & lurah.”

“Dan dia tau detail daerah mana aja yg kena, kepala dinas/lurah mana yg ga kerja, pintu air mana yg ga berfungsi optimal, dsb,” cuitnya di akun @thedufresne.

Jadi, semoga saja kasus pompa air rusak yang telat dikerjakan perbaikannya itu menjadi masukan buat Anies agar memperbaiki metode pengawasannya.

 

Janji Jokowi Atasi Banjir Jakarta

Satu lagi, menggema juga di publik tentang janji Jokowi jika dia menjadi presiden akan lebih mudah untuk mengatasi banjir. Uniknya, yang menyorongkan ingatan ini ke publik tak lain adalah para pendukung Gubernur Anies sendiri.

Semisal Hidayat Nur Wahid yang juga salah satu Wakil Ketua Majelis Syuro Partai Keadilan Sejahtera (PKS), partai pendukung saat Anies maju Pilkada DKI.

Seperti dilaporkan Tribunnews, Hidayat mengingatkan, saat menjabat Gubernur DKI Jakarta, Jokowi pernah menyatakan bahwa persoalan banjir di Ibu Kota akan lebih mudah diselesaikan apabila ia terpilih sebagai presiden.

“Sekarang sudah 3 tahun Beliau menjadi Presiden, mestinya itu bisa dilakukan maksimal. Apa yang Beliau katakan dulu harusnya bisa dilaksanakan,” kata Hidayat, Selasa (12/12/2017).

Namun, Hidayat menilai, selama 3 tahun menjabat sebagai Presiden, upaya maksimal untuk menanggulangi banjir di Jakarta itu belum dilakukan. Nyatanya, kata dia, banjir masih terus terjadi di Ibu Kota.

Joko Widodo saat menjabat sebagai gubernur memang mengeluarkan pernyataan tersebut, tentu saja saat dia akan running menuju RI-1.

“Seharusnya lebih mudah (mengatasi kemacetan) karena kebijakan transportasi itu harusnya tidak hanya Jakarta, tapi juga Jabodetabek. Itu seperti halnya dengan masalah banjir. Banjir tidak hanya masalah Jakarta karena 90 persen air yang menggenangi Jakarta itu justru berasal dari atas (Bogor). Semua pengelolaan 13 sungai besar yang ada di Jakarta juga semuanya kewenangan pemerintah pusat,” papar Jokowi di Balaikota Jakarta, Senin (24/3/2014).

Jokowi menjamin, seluruh perencanaan transportasi yang telah dicanangkannya selama menjabat sebagai DKI-1 tidak akan terbengkalai jika nantinya ia menjabat sebagai RI-1. Ke depannya, Jokowi ingin agar Jakarta memiliki banyak moda transportasi, seperti terekam di Kompas.com.

Detail untuk mengelola air kiriman dari daerah penyanggah Jakarta, seperti Bogor, pun dibuatkan masterplannya.

Merdeka.com mengulas bahwa Denny Iskandar salah satu timses Jokowi saat maju untuk RI-1 menegaskan,” Gampang kok tinggal cari menteri yang mau bekerja. Anggaran penanganan juga bisa dipercepat. Waduk Ciawi, Cisadane, tidak bisa ditunda lagi dan akan mudah direalisasikan.”

Presiden Joko Widodo meninjau proyek Waduk Ciawi. (detik.com)

Nah, ternyata Jokowi tidak mengingkari ucapannya, seperti yang dituduhkan Hidayat Nur Wahid. Pengerjaan Waduk Ciawi, plus Waduk Sukamahi, telah berjalan. Kedua waduk ini berfungsi menampung air dari Bogor agar tidak langsung membanjiri Jakarta.

Dilaporkan detik.com, Proyek Waduk Ciawi dan Sukamahi di Kabupaten Bogor digulirkan untuk mencegah banjir kiriman masuk ke Ibu Kota. Proyek ini juga dibicarakan oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) dengan Gubernur dan Wakil Gubernur Jakarta, Anies Baswedan dan Sandiaga Uno.

“Berkaitan dengan Waduk Ciawi dan Sukamahi, itu juga. Tapi itu pemerintah pusat,” kata Jokowi di JIExpo, Kemayoran, Jakarta Pusat, Kamis (26/10/2017).

Proyek dua waduk itu semula hendak dikerjakan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Namun, sejak Mei lalu, diketahui proyek itu diambil alih pemerintah pusat. Proyek akan segera digarap.

“Akan segera kita kerjakan, sehingga air yang berasal dari atas itu bisa kita cegat dulu di waduk itu,” kata Jokowi.

Seperti biasa, dan sering sudah didengar publik soal proyek yang tertunda-tunda. Pembangunan Waduk Sukamahi pun sejatinya sudah direncanakan sejak dulu, pada 1990-an.

Namun rencana pembangunannya saat itu terkendala pembebasan lahan. Warga yang rumahnya direncanakan terkena proyek waduk tersebut menolak ganti rugi yang ditawarkan pemerintah. Sekarang, sudah beres semua, proyek pun berjalan.

Warga memperoleh sertifikat pembebasan lahan untuk Waduk Ciawi. (Tribun Bogor)

“Pembebasan tahun 2017 ini diharapkan tuntas. untuk pembangunan kita lanjutkan tahun 2017 jadi ketika dibebaskan sebagian, sebagian dilakukan konstruksi, paralel,” kata Sekda Provinsi Jawa Barat, Iwa Karniwa kepada Tribun Bogor.

Berikut data pembebasan tahap I dan II.
– Bendungan Ciawi (Cipayung)
Total luas: 89,42 Ha / 899 bidang.
Pembayaran tahap I: Desa Cipayung, 25 bidang, luas 0,30 Ha, Rp 8,575 milyar.
Pembayaran tahap II: Desa Cipayung, 78 bidang, luas 5,72 Ha, Rp 71,912 miliar.

– Bendungan Sukamahi
Total luas: 46,56 Ha / 620 bidang.
Pembayaran tahap I: Desa Sukakarya, 75 bidang, luas 4,5 Ha, Rp 22,164 miliar.
Pembayaran tahap II: Desa Sukakarua, 31 bidang, luas 1,04 Ha, Rp 8, 023 miliar.

Kesempulannya, banjir di Jakarta memang masih akan sulit ditiadakan siapapun pemimpinnya. Namun, cara menyikapi bencana inilah yang menjadi pembeda.

 

Tulisan ini juga dimuat di Sinarharapan.id

Ananda yang “Bertelur”, Traveloka yang “Mengerami”

Aksi walk out (WO) pianis Ananda Sukarlan saat Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan berpidato dalam acara peringatan 90 tahun berdirinya Kolese Kanisius pada Sabtu (11/11), di Hall D JIExpo Kemayoran, ternyata berbuntut panjang dan cenderung menjurus ke fitnah yang aneh.

Aksi Ananda ini diikuti dengan aksi ajakan ramai-ramai mencopot aplikasi Traveloka. Apa yang menyebabkan aksi walk out ini diikuti dengan ajakan bertagar #uninstallTraveloka?

Ananda berdiri dari kursi VIP-nya dan walk out saat Anies memberikan sambutan. Aksinya diikuti sejumlah alumni lainnya.

Kebetulan dalam acara ini akan diserah Penghargaan Kanisius kepada 5 alumni dari berbagai generasi. Sebanyak 5 alumni ini tersaring dari 95 finalis yang menjadi kandidat.

Mereka adalah Ananda Sukarlan (komponis & pianis), Derianto Kusuma (pendiri Traveloka), Romo Magnis Suseno (tokoh Jesuit), Irwan Ismaun Soenggono (tokoh pembina Pramuka) dan Dr. Boenjamin Setiawan (pendiri Kalbe Farma).

Berdasarkan kabar yang beredar di linimasa, pendiri sekaligus CTO Traveloka Derianto Kusuma menyalami dan memberikan ucapan selamat ke Ananda setelah aksi walk out dan pidato Anies, yang dianggap sebagai dukungan terhadap aksi Ananda.

Informasi ini kemudian memancing sebagian netizen untuk melakukan aksi boikot Traveloka. Hashtag #BoikotTraveloka bertengger menjadi salah satu trending topic Twitter Indonesia.

Traveloka kepada detikinet menanggapi ramai pemberitaan mengenai ajakan memboikot layanannya. Aplikasi pemesanan hotel dan tiket perjalanan ini sekaligus memberikan klarifikasi terkait kejadian di acara Kolese Kanisius.

PR Manager Traveloka Busyra Oryza membenarkan bahwa pendiri sekaligus CTO Traveloka Derianto Kusuma adalah salah satu penerima penghargaan di acara tersebut. Namun dia berhalangan hadir.

“Sebenarnya pak Deri (Derianto) tidak hadir. Beliau sedang melakukan perjalanan dinas di hari itu. Jadi kalau dibilang ada pak Deri di sana dan disebut memberikan dukungan (kepada Ananda), beliau tidak ada di situ,” ujar Busyra.

 

Pengamatan Tribunnews pun, setelah turun dari panggung, Ananda disalami dan mendapat pujian dari para nominator penerima penghargaan, antara lain mantan menteri Ir. Sarwono Kusumaatmaja dan Pater E. Baskoro Poedjinoegroho S.J., Kepala SMA Kanisius. Tak ada tertulis, CTO Traveloka Derianto Kusuma hadir dan memberi selamat.

Saat menerima penghargaan, Ananda juga berkesempatan menyampaikan pidato selama 10 menit.

“Anda telah mengundang seseorang dengan nilai-nilai serta integritas yang bertentangan dengan apa yang telah diajarkan kepada kami. Walaupun anda mungkin harus mengundangnya karena jabatannya, tapi next time kita harus melihat juga orangnya. Ia mendapatkan jabatannya dengan cara-cara yang tidak sesuai dengan nilai-nilai Kanisius. Ini saya tidak ngomong politik, ini soal hati nurani dan nilai kemanusiaan,”katanya.

Sikap dan pernyataan Ananda Sukarlan bisa jadi memang memicu perdebatan, pro-kontra. Masalahnya, kenapa pula ada kabar bos Traveloka menyalami segala, wong datang aja nggak si Deriyanto itu.

Jika kita mengikuti tagar soal Traveloka ini, malah ada yang sampai memasukkan ke ranah jihad. Waduh!

“Ini jihad paling mudah, cukup gunakan jempolmu untuk uninstall Traveloka”.

Begitu kira-kira cuitan di twitter.

Sepertinya memang kita mesti belajar bijak, jangan terlalu menikmati emosi yang melingkupi pikiran. Jika seperti ini, saya malah jadi ingat dengan pepatah Madura:

Itik se atellor, ajam se ngeremme’

itik yang bertelur, ayam yang mengerami.

Ananda yang WO, Traveloka yang mesti pegel mengatasi masalah.

 

Siap-siap Jakarta Padat Lagi, Ini Kiat Usir Stres Saat Macet

“Loh, ini Bundaran HI ada kembang-kembangnya? Sejak kapan? Kok aku lewat setiap hari nggak sadar ada bunga-bunga di sekeliling Bundaran HI?”

Ya, ampun. Segitu abainyakah bapak ini dengan lingkungan sekitar? Si bapak yang berujar di atas padahal mengaku kerja di kawasan Jalan MH Thamrin, setiap hari lewat, tetapi baru sadar kalau Bundaran HI dikelilingi dengan berbagai jenis tanaman dan bunga-bunga sungguhan.

“Maklum deh, lewat sini selalu macet, jadi ya di mobil cuma fokus lihat mobil di depan, terus maju sedikit-sedikit,” kata bapak itu lagi membela diri, saat saya tanya kok bisa anda lewat sini tiap hari tapi enggak tahu ada perubahan di lingkungan sekitar.

Perbincangan ini terjadi saat saya dan beberapa teman hobi fotografi meniatkan diri untuk memotret lansekap kota Jakarta yang sedang sepi ditinggal warganya, Senin, 26 Juni 2017, tepatnya hari kedua Lebaran. Beberapa foto saya sertakan di tulisan ini.

Bundaran HI adalah tempat kami berkumpul, dan seperti yang sudah kami duga, ruas-ruas Jalan Jenderal Sudirman-MH Thamrin sepi banget, apalagi saat kami berkumpul sekitar pukul 07.00-08.00 WIB.

Sesekali bus Transjakarta lewat, lalu para pesepeda memanfaatkan Jakarta sepi. Mobil dan motor pun lewat, tetapi terasa hanya satu-dua saja yang lewat dan itu pun memacu kendaraan dengan kencang. Mumpung sepi.

Ya, saya maklum. Di tengah kemacetan Bundaran HI di jam-jam sibuk kantoran, pastilah pikiran kita cuma tertuju ke pertanyaan “kapan mobil ini terbebas dari antrean kendaraan’.

Jika sudah waktunya mobil berjalan di tengah ketersendatan, mata kita hanya menatap ke depan, ke bemper mobil di depan kita. Terus-menerus begitu sampai kita mesti berbelok ke gedung atau kantor yang kita tuju.

Pantaslah bapak itu tak tahu kalo Bundaran HI mempercantik diri.

Manusia Jakarta kadang memang sering kali menjadi serupa dengan mesin. Fokus saat harus berjalan karena ada ruang di tengah macet, lalu setop lagi. Memajukan kendaraan inci demi inci. Semua dilakukan dengan berbatas ruang karoseri mobil yang ditumpangi.

Saat three in one sudah tidak berlaku, dan diganti sistem ganjil-genap, makin banyaklah kendaraan yang hanya diisi satu-dua orang saja, padahal kapasitas mobil 7 seats atau 5 seats. Akibatnya, interaksi antarindividu di dalam mobil berkurang, tetapi pertanyaannya: kalau sendirian di mobil, kenapa bisa nggak sempat ya lihat-lihat suasana Jakarta.

Jawabannya: apa yang mau dilihat! Bangunan-bangunan menjulang tinggi, kemacetan yang enggak kelihatan “ekor” dan “buntut”-nya, sangat tidak menarik buat dipandang. Bikin tambah stres.

Nah, karena hari Senin, 3 Juli 2017, seminggu setelah Lebaran sepertinya akan jadi “hari normal” kemacetan di Jakarta. Ada baiknya kita bersiap-siap menghadapi kemacetan. Ingat-ingat kembali kiat-kiat menghindari stres saat macet.

Langkah-langkah ini bisa Anda lakukan ketika terjebak di kemacetan :

1. Bila Anda merasa mulai stres, segera tarik napas dalam dari hidung dan keluarkan dari mulut. Lakukan ini minimal 5 kali. Tujuannya agar oksigen tersuplai ke otak dan Anda dapat berpikir jernih.

2. Pikirkan segala hal positif. Cara ini membantu untuk mengalihkan pikiran dari pemicu stres tersebut. Bila Anda di mobil bersama keluarga atau teman, cari topik obrolan ringan sebagai pengalih pikiran terhadap situasi lalu lintas yang macet.

Nah, jika Anda langganan lewat Bundaran HI, nikmatilah pemandangan penghilang stres berupa tanaman-tanaman warna-warni dan tanamann berbunga yang memang diletakkan untuk mempercantik kota, sekaligus menenangkan jiwa.

3. Lakukan kegiatan yang menyenangkan, misalnya dengan mendengarkan musik dan ikut bernyanyi. Terlebih bila lagu yang Anda nyanyikan adalah kesukaan. Selain itu juga bisa melakukan stretching ringan sambil duduk di belakang kemudi.

4. Menjaga jarak aman saat macet. Dengan menjaga jarak aman kemungkinan stres dapat diminimalkan, karena Anda sebagai pengemudi jadi tidak terpancing oleh kesalahan pengemudi di depan yang bisa rem mendadak.

 

Foto: Dok Pribadi

  1. Foto Head: Suasana Bundaran HI yang sepi kendaraan pada Senin, 26 Juni 2017, Hari Kedua Lebaran
  2. Foto Tengah: Suasana sepi di Jalan Jenderal Sudirman
  3. Foto Bawah: Suasana sepi di Jalan MH Thamrin

Kisah Dihapusnya Piagam Jakarta dalam Konstitusi

Jakarta, 17 Agustus 1945. Di pagi hari, Teuku Tadjoeloedin bersama dr. Oscar Engelen mengayuh sepeda menuju Hotel Des Indes, (kini Duta Merlin Plaza).

Mereka ini baru saja mengedarkan pamflet-pamflet Proklamasi Kemerdekaan sesuai dengan cara mahasiswa Ika Daigaku (kedokteran), di Asrama Prapatan 10 dan tidak mengikuti upacara pembacaan teks proklamasi oleh Soekarno-Hatta. Tujuan kedua mereka untuk menemui utusan Indonesia-Timur.

Di tengah jalan mereka singgah sebentar di gedung Departemen Keuangan di Lapangan Banteng. Tadjoeloedin perlu menemui Mr. Wilopo.

Kemudian mereka melanjutkan perjalanan menuju ke hotel di arah Harmoni, tempat penginapan utusan-utusan PPKI daerah. Tujuan kedua mahasiswa ini untuk menanyakan mengenai masalah rencana Mukadimah yang dinilai sangat kontroversial.

Dalam Rencana Mukadimah sebagai kata Pembukaan rencana UUD 1945 yang disahkan oleh Badan Usaha Penyelidik Persiapan Kemerdekaan (BUPPK) pada 22 Juni 1945 terdapat sebuah kalimat yang berbunyi: “Ketuhanan dan kewajiban menjalankan Syariah Islam bagi pemeluk-pemeluknya.”

Sejak saat itu di antara kalangan yang dapat mengikuti usaha BUPPK dari dekat seperti kalangan mahasiswa bertanya-tanya apa artinya kalimat itu yang termuat di dalam rencana Mukadimah. Timbul pula pertanyaan, bagaimana hal itu boleh terjadi?

Itulah tujuan Tadjoeloedin dan Engelen menemui para utusan Indonesia untuk dimintai tanggapan mereka. Selain itu akan mengundang para utusan Indonesia untuk menjadi tamu di Asrama Prapatan 10.

Setiba di depan kamar Dr. GSSJ Ratu Langie, mereka berpapasan dengan Mr Pudja dari Bali yang sedang menunggu Oom Sam Ratu Langie (sapaan akrab untuk Dr. GSSJ Ratu Langie di kalangan mahasiswa).

Ketiga mereka ini langsung terlibat dalam percakapan mengenai masalah mukadimah yang rencananya akan di undangkan dalam Konstitusi pada rapat PPKI esok hari (18 Agustus).

Mr Pudja memulai percakapan: “Saya dan utusan dari Indonesia Timur tidak setuju dengan beberapa bagian dari Konstitusi, khususnya Mukadimah. Kami tidak setuju dengan kalimat: Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan Syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya, juga mengenai Presiden yang harus seorang beragama Islam.”

Sedang ia berbicara, datanglah Andi Pangeran, utusan dari Sulawesi ikut bergabung dalam percakapan. Kemudian terdengar suara lantang dan nyaring dari Andi Pangeran mengatakan: “Ini tidak boleh jadi, pokoknya Konstitusi ini harus diubah.”

Suasana percakapan menjadi ramai ketika Mr. Tadjoedin Noor dari Kalimantan bergabung, dan yang terakhir inipun sepakat dengan Mr. Pudja dan Andi Pangeran. Teuku Tadjoeloedin menjelaskan: “Kami sejak semula tidak setuju dengan beberapa bagian dari isi Konstitusi, sama dengan pendapat bapak-bapak.”

Mungkin karena mendengar suara ramai diluar kamar dan mengikuti isi percakapan, Oom Sam Ratu Langie membuka pintu kamar dan langsung menimpali: “Kalau begitu kita semuanya sepaham, mari kita usahakan bersama untuk mengubah Konstitusi ini.”

Ratu Langie dan kawan-kawan pun mengatakan akan memenuhi undangan Asrama Prapatan 10 siang hari nanti. Sebelumnya di hari Minggu menjelang hari Proklamasi, para mahasiswa Ika Daigaku asal Indonesia Timur diundang makan malam dan beramah-tamah di kediaman Mr. Alex Maramis di Jalan Merdeka Timur.

Mr. Alex Maramis adalah Menteri Keuangan pertama Republik Indonesia yang menandatangani Oeang Republik Indonesia pada tahun 1945. Adik kandung Maria Walanda Maramis ini menyelesaikan pendidikannya dalam bidang hukum pada tahun 1924 di Negeri Belanda.

Kesempatan ini tidak disia-siakan oleh para mahasiswa sebab so pasti akan makan enak. Terlihat di antaranya, Piet Mamahit, Oscar Engelen, Freddy Pattiasina, Yoel Therik, Wim Gerungan, Zus Ratu Langie, Stans Palilingan, Ester Wowor, Arie Supit, Hukom, Kaligis, Thiam, Djauhari M Noor, Baharoedin, Abdoerachman Noor, Ngurah Rai, Komang Makes.

Acara itu juga dihadiri kalangan pemuda seperti Willy Pesik, Frans Ompi, Bart Ratu Langie, dll dan juga kalangan orang-orang tua. Sehabis makan berlanjut dengan pertemuan.

Oscar Engelen angkat suara dan bertanya kepada Mr. Maramis: “Oom Alex, kenapa rencana Mukadimah jadi berbunyi begitu, dengan kalimat yang mewajibkan Syariah Islam bagi pemeluk-pemeluknya dan bagaimana sampai itu terjadi?”

Mendengar pertanyaan ini, “Oom Sam” Ratu Langie datang mendekat dan semua yang hadirpun mendekati Maramis untuk mendengar jawaban dari pertanyaan Oscar Engelen. Sambil berdiri di pintu Alex Maramis menceritakan: “Padahal sebelumnya, semua dalam rapat BUPPK agama Islam dimasukkan dalam Mukadimah sudah ditolak oleh hadirin.”

Tetapi dua minggu kemudian dalam pembukaan rapat Ketua Dr. Radjiman mengemukakan bahwa atas permintaan anggota, antara lain Abikusno dan K H Hadikoesoemo, soal agama supaya dimasukkan lagi dalam acara rapat untuk dibicarakan.

Mr. Soebardjo, Mr. Iwa Koesoema Soemantri dan Mr Alex Maramis menolak permintaan Ketua dengan alasan nanti rapat akan bertele-tele dan tugas BUPPK tak selesai pada waktunya. Tetapi Ketua meneruskan kehendaknya, hingga ketiga mereka ini yang menolak meninggalkan rapat dengan komentar bahwa Ketua tidak disiplin.

“Sewaktu ketiganya kembali ke ruang rapat, oleh Ketua diberitahukan bahwa rapat sudah setuju memasukkan dalam Mukadimah kalimat yang berbunyi: Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan Syariah Islam bagi pemeluk-pemeluknya.”

Maramis mengatakan “yah begitulah yang terjadi.” Mendengar penjelasan Maramis itu, Sam Ratu Langie dengan spontan bereaksi (dengan aksen bahasa logat Melayu-Manado): “Ah Alex, ini serius, ngana jangang kwa maraju. Nanti kita pi baku dapa en bicara tentang hal ini deng tamang-tamang dari Makassar” (Alex, ini serius, kamu tidak boleh acuh tak acuh. Nanti saya akan ceritera tentang hal ini kepada mereka dari Makassar.”

Djauhari Noor nyeletuk: “Wah Engelen, nanti semua orang Kristen diharuskan masuk gereja tiap hari minggu.” Yang lain pun mengomentari: “Itulah persoalannya, harus dipisahkan soal Negara dan Agama.”

Jakarta, 17 Agustus 1945. Pada siang hari sekitar jam 12.00 setelah usai upacara Proklamasi Kemerdekaan pada kediaman Soekarno di Jalan Pegangsaan Timur 56, beberapa anggota panitia luar Jawa, terutama dari Indonesia bagian timur, yakni DR GSSJ Ratu Langie, wakil dari Sulawesi; Tadjoedin Noor dan Ir. Pangeran Noor dari Kalimantan; Mr J Latuharhary, wakil dari Maluku; Mr. I Ketut Pudja, wakil dari Bali dan Andi Pangeran dari Sulawesi.

Pembahasan berkisar mengenai rencana Undang-Undang Dasar yang akan ditetapkan sebagai konstitusi. Para mahasiswa berpendapat bahwa yang akan digunakan adalah konsep Piagam Jakarta dan rencana UUD yang telah disusun dengan mengadakan beberapa perubahan yang fundamental.

Para wakil daerah luar Jawa, terutama yang mewakili agama di luar agama Islam (Kristen, Hindu-Bali, Budha dll.) merasa keberatan apabila dalam preambule itu masih ada kalimat: “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan Syariah Islam bagi pemeluk-pemeluknya.”

Karena hal ini bisa diartikan bahwa dasar negara Indonesia adalah Islam. Mereka menghendaki agar kalimat diubah menjadi: “Ketuhanan Yang Maha Esa saja.” Para utusan juga menghendaki agar beberapa pasal dalam rencana UUD, antara lain yang menyatakan bahwa Presiden harus seorang Islam, supaya juga diubah sehingga pasal 6 ayat 1 berbunyi: “Presiden ialah orang Indonesia asli.”

Menurut mereka, tujuan perubahan tersebut supaya bangsa ini tidak terpecah-belah dan untuk itu perlu dihilangkan kalimat-kalimat yang bisa mengganngu perasaan kaum Kristen atau juga agama-agama lainnya.

Usulan utusan Indonesia Timur in mendapat perhatian serius dari para mahasiswa, dan mereka segera memperoleh penyesuaian pendapat, dan masing-masing menyadari perlunya persatuan bangsa yang dilandasi oleh nilai-nilai kebinekaan.

Persoalan tersebut oleh para mahasiswa pada hari itu juga disampaikan kepada Bung Hatta melalui telepon. Bung Hatta setuju menemui delegasi mahasiswa untuk membicarakan hal itu pada sore hari.

Pada jam lima sore menerima delegasi mahasiswa dari Asrama Prapatan 10 di kediaman Bung Hatta di Jalan Diponegoro 57 untuk menyampaikan alasan perubahan yang di kemukakan oleh utusan Indonesia Timur di siang harinya. Delegasi itu terdiri dari 3 anggota mahasiswa, masing-masing Piet Mamahit, Moeljo dan Imam Slamet.

Masalah Piagam Jakarta yang dimasukkan ke dalam rencana Mukadimah sebelumnya pernah dipermasalahkan oleh Shegitada Nishijima, selaku penasehat Bukanfu (Perwakilan Panglima Angkatan Laut Jepang di Jakarta) kepada Bung Hatta. Karena menurut Nishijima (wawancara 1963 ketika berkunjung ke Jakarta) ketika dilakukan penyusunan piagam itu, tak ada orang Jepang yang hadir waktu itu.

Dari hasil pertemuan itu, Hatta memahami permasalahan utusan Indonesia Timur yang disampaikan kepada ketiga mahasiswa ini. Untuk itu, Hatta berjanji untuk meninjau kembali isi Mukadmimah itu yang akan disampaikan pada rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan besok, 18 April 1945.

Jakarta 18 Agustus 1945. Pagi itu di ruang rapat, sebelum rapat PPKI dimulai, terlihat Bung Hatta sedang berbicara khusus dengan utusan wakil Sumatra, Mr. Teuku Mohammad Hassan. Pada percakapan itu, Bung Hatta mendesak Teuku Hassan “mendekati” pendukung posisi Islam terkuat pada panitia itu, Ki Bagoes Hadikusumo pemimpin Muhammadiyah dari Yogyakarta.

Teuku Hassan adalah turunan uleebalang (bangsawan Aceh) dari Sigli, yang dikenal sebagai penganut Islam yang gigih, walau begitu Mr Teuku Hassan dikenal sangat intelektual dan luwes dalam pergaulan dengan siapapun dan fasih pula berbahasa Belanda. Pada pertemuan itu, Hassan pun menerima pandangan Hatta.

Dengan penampilannya yang berwibawa, Hassan mendekati kiyai Jawa ini dan berhasil membujuk Ki Bagus Hadikusumo untuk menerima penghapusan dari setiap penyebutan Islam dalam Undang-Undang Dasar 1945.

Hassan menekankan pentingnya nilai-nilai persatuan bangsa. Untuk itu adalah sangat mutlak untuk tidak memaksa kaum minoritas Kristen (Minahasa, Batak, Ambon, Flores dan Timor) masuk dalam lingkungan Belanda yang sedang berusaha untuk datang kembali. Dengan mempertahankan ketentuan-ketentuan yang paling sedikit satu daripadanya akan menurunkan orang-orang Kristen kedalam posisi sebaga warga-negara kelas dua.

Dari hasil pertemuan itu, Teuku Hassan mengatakan: “Supaya kita jangan pecah sebagai bangsa, kami mufakat untuk menghilangkan bagian kalimat yang menusuk hati kaum Kristen itu dan menggantinya dengan ‘Ketuhanan Yang Maha Esa.’”

Para peserta pada pertemuan itu menginsyafi, bahwa semangat Piagam Jakarta tidak lenyap dengan menghilangkan perkatan “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan Syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” dan menggantinya dengan “Ketuhanan Yang Maha Esa.”

Mohammad Hatta pada bukunya, Memoir, mengemukakan pandangannya:

“Dalam Negara Indonesia yang kemudian menggunakan semboyan Bhineka Tunggal Ika, tiap-tiap peraturan dalam kerangka Syariah Islam, yang hanya mengenai orang Islam dapat dimajukan sebagai rencana Undang-Undang ke DPR, yang setelah diterima oleh DPR mengikat umat Islam Indonesia.

Dengan cara begitu lambat laun terdapat bagi umat Islam Indonesia suatu sistem Syariah Islam yang teratur dalam Undang-Undang, berdasarkan Qur’an dan Hadith, yang sesuai pula dengan keperluan masyarakat Islam sekarang.

Orang tidak perlu mengambil saja dari Syariat Islam yang berlaku dahulu di negeri-negeri Arab dalam abad ke-8, ke-9 atau ke-10 yang di waktu itu sesuai pula dan tidak terbagi-bagi. Apakah Indonesia merdeka yang baru saja dengan keadaan masyarakat di situ.”

Lebih lanjut Hatta mengemukakan: “Perbedaan hukum antara penduduk yang beragama Islam atau beragama Kristen akan terdapat terutama dalam bidang hukum keluarga.

Dalam bidang hukum Perdata lainnya, hukum perniagaan dan hukum pidana tidak perlu ada perbedaan. Dalam bidang-bidang ini mesti ada persatuan hukum bagi rakyat Indonesia seluruhnya. Mungkin disana sini ada pengaruh adat sedikit dalam melaksanakan hukum, tetapi tidak akan mempengaruhi pokoknya yang azasi.

Misalnya hukum yang menjadi dasar pembayaran dengan wesel atau cek sementara tidak di jalankan pada beberapa bagian di Indonesia. Tetapi itu tidak berarti, bahwa dasar perhubungan wesel dan cek tidak laku di situ.”

Usaha Teuku Hassan meyakinkan Ki Bagoes Hadikoesoemo berhasil dan setelah pandangan-pandangan ini dikemukakan antara kelima peserta itu. Sidang dibuka pada jam 09.30 untuk melakukan revisi, yakni penambahan dalam UUD 1945 dengan menghilangkan sebutan Islam pada Mukadimah, berarti menamatkan Piagam Jakarta pada Konstitusi.

 

Harry Kawilarang

Tulisan ini dimuat seizin penulis. Laman asli tulisan ini lihat di halaman Facebook dari Harry Kawilarang

Penulis adalah wartawan senior yang pernah bekerja di Harian Sinar Harapan dan Suara Pembaruan | pemerhati sejarah Indonesia

Foto
Mr Alex Maramis (kiri) bersama Dr GSSJ Sam Ratu Langie

Mengenal Kampung Melayu

Kampung Melayu adalah kelurahan di kecamatan Jatinegara, Jakarta Timur. Kelurahan ini memiliki luas 47,83 hektare, terdiri atas 114 Rukun Tetangga dan 8 Rukun Warga.

Wilayah kelurahan Kampung Melayu berbatasan dengan rel kereta api Kelurahan Kebon Manggis di sebelah utara; Jl. Sungai Ciliwung, Kelurahan Bukit Duri di sebelah barat; Jl. Jatinegara Barat dan Jl. Matraman Raya, Kelurahan Bali Mester di sebelah timur; serta Jl. Kampung Melayu Kecil, Kelurahan Bidara Cina di sebelah selatan.

Kampung Melayu termasuk wilayah yang rawan banjir karena terletak di tepi sungai Ciliwung . Namun pada masa pemerintahan Gubernur DKI, Basuki Tjahaya Purnama atau dikenal dengan panggilan singkat, Ahok, daerah ini dapat diatasi dengan memindahkan penduduk yang menghuni bantaran Sungai Ciliwung ke rumah susan. Sementara itu, Sungai Ciliwung dinormalisasi kembali dari berbagai hambatan hingga daerah ini tidak banjir.

Pada zaman penjajahan dahulu, wilayah ini menjadi pemukiman etnis Melayu. Kampung Melayu juga merupakan nama sebuah stasiun pemberhentian kendaraan umum yang penting di Jakarta Timur.

Pada 1900, wilayah ini memiliki tempat penyeberangan perahu di Sungai Ciliwung di bagian selatan daerah Meester Cornelis, Weltevreden (Batavia).

Kawasan Kampung Melayu merupakan wilayah Kelurahan Kampung Melayu dan sebagian dan wilayah Kelurahan Balimester, Kecamatan Jatinegara, Jakarta Timur. Kawasan tersebut dikenal dengan sebutan demikian, karena dipertengahan abad ke-17 dijadikan tempat pemukiman komunitas Melayu pimpinan Kapten Wan Abdul Bagus .

Wan Abdul Bagus adalah anak Encik Bagus, kelahiran Patani, Thailand Selatan. Ia terkenal pada zamannya sebagai orang sangat cerdas dan piawai dalam melaksanakan tugas, baik administrasif maupun di lapangan sebagai perwira.

Selama hidupnya ia membaktikan diri pada Kompeni, dimulai sebagai juru tulis, juru bahasa, bahkan sebagai duta atau utusan.

Sebagai prajurit, ia sering terlibat dalam berbagai peperangan, seperti di Jawa Tengah, pada waktu Kompeni “membantu” Mataram menghadapi Pangeran Trunojoyo . Demikian pula pada perang Banten, ketika Kompeni “membantu” Sultan Haji menghadapi ayahnya sendiri, Sultan Ageng Tirtayasa.

Waktu menghadapi pemberontakan Kapitan Jonker yang asal Ambon, Kapten Wan Abdul Bagus terluka cukup parah. Menjelang akhir hayatnya ia dipercaya oleh VOC untuk bertindak selaku Regeringscommisaris, semacam duta, ke Sumatera Barat.

Kapten Wan Abdul Bagus meninggal dunia tahun 1716, ketika usianya genap 90 tahun. Kedudukannya sebagai kapten orang–orang Melayu digantikan oleh putranya yang tidak resmi, Wan Abdullah, karena ahli waris tunggalnya, Wan Mohammad, meninggal dunia mendahului ayahnya.

Yang juga menarik adalah daerah Cawang yang juga merupakan komunitas Melayu. Nama ini berasal dari nama Eche (Tuan) Awang Abdullah, yang pada abad 18 berperan sebagai penterjemah antara orang Belanda dengan pemuka-pemuka pribumi dipedalaman. Merekapun mendapat peta pemukiman di daerah Condet.

 

Harry Kawilarang

Tulisan ini dimuat seizin penulis. Laman asli tulisan ini lihat di halaman Facebook dari Harry Kawilarang

Penulis adalah wartawan senior yang pernah bekerja di Harian Sinar Harapan dan Suara Pembaruan | pemerhati sejarah Indonesia

Foto:
1. Getek penyeberangan di tepi Sungai Ciliwung mengangkut mobil. di Kampung Melayu.
2. Pemukiman Kampung Melayu di masa silam.

Sisi Lain Kasus Ahok

Tentu saja saya bersimpati pada Ahok, terlepas dari dia berposisi minoritas seperti saya yang pelik dan tak mudah mengharap kesetaraan sebagaimana jaminan konstitusi negara mengenai kebebasan menganut suatu keyakinan agama.

Kuatnya desakan untuk membuat dirinya terpidana dan “masifikasi’ perlawanan pada dirinya–sebelum kasus atau tuduhan penodaan agama–dengan meletupkan pelbagai tuduhan dan isu, itu yang terutama membuat saya melihat unfairness dan lebih dilandasi energi kebencian pada dirinya.

Kebencian karena pelbagai alasan, motif, namun bila para pembenci itu jujur, lebih karena ia seorang petahana yang paling mudah meraup suara dukungan untuk jadi Gubernur DKI berikutnya.

Ia fenomenal, didukung tak hanya orang-orang berpendidikan, para white collars, namun juga kalangan jelata yang minim pendidikan. Tak pandang suku, agama, dsb. Dalam waktu singkat dan tanpa dia rekayasa, sejuta lebih KTP warga DKI yang heterogen, berhasil dikumpulkan “Teman Ahok” yang hanya beberapa orang muda penggagasnya.

Berduyun-duyun orang, tak pandang suku, agama, strata sosial, sukarela dan girang menyerahkan fotokopi KTP; tentu saja itu fenomena yang mencengangkan, mengundang decak kagum, walau di seberang–yakni para penentang dan yang semakin khawatir tak bisa lagi menjadikan uang Pemprov DKI Jakarta jadi bancakan–bertambah gelisah dan geram.

Semua tahu, segala cara diupayakan untuk mengadangnya, termasuk orang-orang parpol yang sebelumnya tak mau mendukungnya namun kemudian hanya bisa mingkem setelah bos-bos partai memutuskan dukungan. Popularitas, daya pikat Ahok, dan dinamika politik yang tak biasa itu, barangkali baru kali ini terjadi dalam sejarah perebutan kekuasaan di negara ini.

Ahok yang menjadi idola dalam waktu cepat tanpa biaya PR, hanya karena keberanian dan ketegasan, berbahasa ceplas-ceplos namun logis, bernalar, yang kemudian disebut “kasar,” “tidak sopan,” “sombong,” dsb, oleh para penentangnya.

Ahok yang kelewat pede dengan pikirannya membenahi Jakarta dengan logika-logika yang kukuh dipercayainya–termasuk mengembalikan bantaran kali dari pemukiman slums, ilegal, terlepas dari pemihakan pada kaum marjinal yang digusur dan dipindahkan ke rusun-rusun yang disiapkan Pemprov.

Ahok yang menutup secara ketat keran uang pada mereka yang dianggap lazim bila pejabat Pemprov berkolaborasi dengan politisi, pengusaha, kontraktor, membagi-bagi proyek–termasuk me-mark up anggaran, dsb.

Ahok yang membuat resah para pejabat dan pegawai Pemprov DKI karena menerapkan disiplin yang ketat, memecat dan mengangkat pejabat dan aparat setiap saat dia mau lakukan bila menurutnya tak becus kerja, menyemprot bawahan di hadapan pewarta dan siapa saja.

Ahok yang kelewat bersemangat ingin mengubah mentalitas dan sistem di lingkungan administrasi pengurus ibukota dalam waktu singkat hingga mengabaikan unsur sensitivitas bahwa ia seorang yang dianggap minoritas namun kok kelewat berani, dan bekerja terang-terangan pula, termasuk mengungkapkan kebobrokan pejabat serta permainan anggaran ratusan milyar rupiah setiap tahun.

Ahok yang tak peduli resistensi dari yang tak “bahagia” (dan itu ada banyak) yang berniat menggulingkannya melalui cara apa saja, lalu membentuk aliansi-aliansi.

Maka, tanpa kasus (tuduhan) penodaan agama itu pun Ahok telah banyak mengumpulkan pembenci. Mulai dari yang mengandalkan isu sektarianisme-primordialisme, sentimen antietnis tertentu, ditambah “warisan” perseteruan pasca dan post pilpres, hingga para orang terdidik yang sebelumnya bersikap “objektif dan netral” namun berbeda paradigma serta pendekatan mengenai pembangunan dan pemberdayaan masyarakat pinggiran.

Ahok yang ironis karena di satu sisi ada berjuta penggemar namun di sisi lain tak kalah banyak pula yang membenci–walau berdalih ini itu namun kandungan kebencian tetap tak tertepis.

Tak ada lagi yang perlu disesali karena toh tak mungkin mengembalikan ke situasi sebelum penyebaran video editan oknum bernama BY itu menyebar dan mengundang amarah; sesuatu yang masih terus menjadi bahan perdebatan dan gunjing yang hanya berisi dua warna: bukan penodaan agama dan sebaliknya, itu masuk kategori penistaan.

Hiruk-pikuk dan pertengkaran yang membela dan membenci Ahok sungguh-sungguh melelahkan, bukan lagi sebatas persoalan lokal namun nasional, bahkan menjadi sorotan dunia internasional. Ahok yang fenomenal dan kontroversial!

Ada banyak yang bersorak atas pengadilannya yang dimulai hari ini, ada banyak yang emosional dan terharu hingga mengaku sampai meneteskan airmata. Airmata–serta doa–untuk yang mereka percaya hendak membangun ibukota yang dampaknya melanda ke semua penjuru wilayah negara.

Dampak positif tentu saja karena telah kelamaan masyarakat yang kritis muak menyaksikan ulah para pemimpin–termasuk di daerah mereka. Mereka begitu emosional dan sampai menangis karena merasa dan percaya, Ahok adalah idola, harapan, bagi perbaikan Indonesia; berasal dari berbagai suku dan agama serta lapisan sosial.

Maka, pengadilan Ahok adalah pula pertarungan antara akal sehat dan emosi yang bisa menguras enerji di kalangan yang mendukung dan membenci. Ada setitik harapan bahwa hukum akan dijalankan aparat pelaksana dengan benar–setidaknya mengindahkan prinsip dan moral HAM yang dianut PBB.

Salah satu: menjamin peradilan yang bebas dari intervensi, menjaga fairness, bagi siapa saja manusia di muka bumi ini–namun lebih dominan bayangan kekecewaan, bahkan kecemasan: Ahok akan dihukum, dipenjara, sementara ia dipercaya pendukungnya atau yang masih mempertahankan akal sehat: tak berniat menghina suatu agama

Bukan tak mungkin Ahok akan terjerat pasal pidana mengenai penodaan agama–walau pada yang lebih keras dan jelas melakukan tak dijerat, entah karena apa–dan dihukum majelis hakim yang menyidangkan; entah percobaan atau kurungan. Barangkali, majelis hakim yang menangani perkara pun masih berbeda pikiran karena pelbagai pertimbangan, terutama unsur pidana, dan tekanan massa di sisi lain.

Maka, peradilan Ahok akan menjadi peradilan yang amat menegangkan dan krusial–bahkan amat kritis–tak hanya bagi rakyat Indonesia, pula majelis hakim yang menyidangkan perkara. Bagi masyarakat luas, hanya ada dua keinginan: bagi pembenci, ia layak dihukum, dan bagi yang bersimpati, ia patut dibebaskan dari segala tuduhan.

Pengadilan Ahok pun bukan lagi arena peradilan atas pelanggaran suatu pasal pidana mengenai penodaan agama belaka, namun memiliki spektrum yang lebih luas dan mengguncangkan.

Tak mudah tentu bagi majelis hakim yang menyidangkan. Sangat tak mudah, dan biarlah itu menjadi pertaruhan integritas dan kredibilitas mereka menjalankan pekerjaan, terutama pada sumpah yang telah diaminkan saat dinobatkan jadi hakim; pengadil yang tak boleh berpihak selain pada keadilan itu sendiri, yang berasal dari ilmu hukum, doktrin, filosofi, dan norma-norma hukum yang disodorkan kitab-kitab hukum–meskipun tak mampu memenuhi kemauan semua pihak, yang menghendakinya dihukum atau dibebaskan.

Saya kira, Ahok telah memikirkan hal terburuk, di luar yang dibayangkan para simpatisannya, dan juga sudah menyiapkan dirinya. Bagi saya, yang kini terjadi atau akhirnya dialami Ahok, kembali mengingatkan bahwa Indonesia adalah negara yang kelewat sensitif bila menyangkut isu agama.

Karenanya jangan coba-coba menyepelekan meskipun tak ada motif melecehkan. Hanya akal sehat dan keluasan wawasan yang mampu menetralisir. Sementara, itu suatu hal yang sulit diharapkan merata dimiliki 250 jutaan warga yang amat beragam latar belakang, pendidikan, keyakinan, pergaulan, dan cara pandang.

Dengan kata lain, kasus Ahok ini “hanya” pengingat betapa kita belum boleh berharap banyak mengenai kedewasaan berpikir seluruh unsur masyarakat yang merata. Karenanya berhati-hatilah selain turut serta menjadi penganjur keutamaan akal sehat, mendorong upaya-upaya pencerdasan di lingkungan terdekat–antara lain melalui media sosial–dan tak turut di barisan kaum pandir yang malas berpikir.

Pendidikan formal itu amat penting, berguna banyak, namun yang terutama ialah: untuk membangun kerangka pikir yang logis dan bernalar, membongkar kepicikan atau kegelapan pikiran, membangun kesadaran bahwa alam dan manusia tak sesimpel yang tersimpan di benak, baik karena ajaran, doktrin, dogma, maupun mitos-mitos yang terwariskan.

Mari redam emosi, sesekali penting pula merenungkan betapa absurd dan kejam bila menyangkut “urusan dan perjuangan menggapai keadilan,” sambil mengingat beratus ribu manusia Indonesia yang (pernah) menjadi korban. Antara lain, mereka yang dihukum tanpa proses peradilan yang sesuai dengan kaedah hukum pasca G 30 S. Orang-orang yang dihukum mati tanpa suatu kesalahan yang telah dibuktikan melalui persidangan.

Perjalanan Ahok akan menjadi catatan penting dalam perjuangan keadilan, namun yang dialaminya tak seberapa dibanding korban-korban kekejaman suatu rezim atau penguasa di negara ini, pun di negara lain. Semoga ia kuat dan pendukungnya tetap mengutamakan akal sehat.

Mungkin ada yang tak gembira dengan catatan singkat ini, tak mengapa, karena saya pun tengah mendidik diri saya agar terus membiasakan berpikir tenang, konstruktif, selalu memikirkan berbagai aspek, dimensional, suka atau tak suka, setuju atau menentang situasi yang tak menyenangkan ini.

 

Foto: Admin Petraonline.net

Naik Transportasi Publik Yuk

Terkadang kita perlu menyadari bahwa solusi permasalahan perkotaan, seperti kemacetan dan lain sebagainya, jangan semata-mata dibebankan pada otoritas.

 

***

Pagi, 7 Oktober 2016. Commuterline Bogor-Manggarai

Artikel ini saya ketik di dalam commuterline tujuan Manggarai, tempat saya akan transit menuju Stasiun Sudirman. Hari ini ada undangan ke sebuah acara di bilangan Sudirman.

Bukan ini kali pertama saya, seorang commuter, menggunakan transportasi publik ke tempat kerja atau liputan. Saya tak fanatik pada satu macam saja, ekstrem pada transportasi pribadi atau transportasi publik.

Hal sederhana yang mau saya sampaikan, sembari berdiri di dalam gerbong kereta ini, adalah terkadang kita perlu menyadari bahwa solusi permasalahan perkotaan, seperti kemacetan, jangan semata-mata dibebankan pada otoritas.

Kita jangan menjadi warga atau commuter yang manja, seperti anak, yang segalanya minta dilayani. Istilahnya, mari menjadi bagian dari solusi saja yuk, daripada pusing memikirkan kok pemerintah begini, kok pemerintah begitu, kok Ahok begitu.. #eh!

Naik transportasi publik sebagai sebuah pilihan utama adalah bagian dari solusi permasalahan klasik perkotaan macam Jakarta. Kalau kesadaran ini meluas, pelan-pelan soal kemacetan, konsumsi bahan bakar bersubsidi yang melewati kuota, laun akan teratasi sendiri.

Sesederhana itu. Maaf tak bisa bicara lebih panjang dan melengkapinya dengan data berupa observasi, riset, analisis dan sebagainya. Saya ingin.

Tapi seperti yang saya sebut tadi, saya ini sedang berada di kereta api listrik. Lagipula saya sudah hampir turun. Hari ini perjalanan lebih cepat, bebas macet, dan adem pula di dalam gerbong yang berpendingin udara.

Beda seperti biasa kalau saya menyetir mobil atau sepeda motor. Macet, jauh, dan melelahkan.

Mungkin saya hanya beruntung, karena biasanya kereta api sepagi ini akan penuh berjubel. Tapi Keberuntungan itu milik pengguna transportasi publik, bukan yang pribadi, yang tadi saya lihat sudah tumplek blek di jalan raya Lenteng-Pasar Minggu. Kasian. Eh, saya juga kayak mereka ding, kemarin.

Ya udah, yuk ah naik transportasi publik.

DEDDY SINAGA

Foto: Credit atas nama sendiri.

Tua di Jalan? (Tips menikmati kemacetan)

Bosan deh hidup di Jakarta, tua di jalan. Begitu seorang rekan saya pernah mengeluh.

Bagaimana tidak. Dia menghabiskan sekitar enam jam tiap hari untuk perjalanan pulang-pergi ke kantor, dari Bekasi ke Jakarta, karena kemacetan. Tanpa kita sadari, Jakarta telah menempa warga yang tangguh, bisa bertahan melewati kemacetan dan polusi tinggi. Setiap hari kejadian yang sama berulang kembali, tak ada habisnya. Tak ada kapoknya! Jakarta dengan daya pukau yang luar biasa, telah membuat siapa saja rela jatuh bangun mengejarnya (seperti lagu dangdut deh).

Dan rekan saya itu tidak sendirian. Saya sendiri yang hanya perjalanan dalam kota, bisa tiga sampai empat jam di jalan untuk pulang-pergi bekerja. Itu artinya 4/24 jam atau 1/6 waktu saya terbuang di jalan tiap hari.

Empat jam terbuang di jalan? Sayang sekali. Empat jam itu bukan waktu yang sedikit. Kalau dipikir-pikir, empat jam itu juga adalah jarak tempuh Jakarta-Brebes, atau bolak-balik Jakarta-Bandung. Empat jam itu adalah separuh dari total jam kerja saya di kantor sehari. Empat jam itu dokter sudah bisa melakukan dua kali operasi bedah. Dalam empat jam saya sudah bisa melakukan satu paket komplit perawatan di salon (hehe…).

Nah, dalam kemacetan perjalanan selama empat jam, apa yang bisa kita lakukan?

  1. Membaca

Anda mungkin bisa membuka ponsel atau gadget, membaca berita terkini, mencari bacaan hiburan, informasi terbaru terkait pekerjaan, mencari bacaan tentang ide penghasilan tambahan, atau sekedar mencari resep masakan, dan sebagainya. Dalam empat jam anda bisa selesai membaca sebuah buku yang tipis. Beberapa buku atau novel tebal yang saya beli, kebanyakan habis saya baca beberapa hari dalam perjalanan ke kantor. Sebagai seorang ibu, saya tak punya waktu luang sebanyak itu di rumah. Pernah juga saya di jalan membantu PR anak saya dengan browsing internet. Teman saya bahkan tiap pagi menggunakan jam di jalan untuk membaca kitab suci dan merenungkan prinsip hidupnya.

2. Mendengarkan musik atau menonton via gadget

Bagi anda yang bisa mengakses internet, hiburan melalui media elektronik akan lumayan mengendurkan kepenatan. Favorit saya adalah mendengarkan radio yang penyiarnya humoris dan informatif. Tertawa adalah obat mujarab yang membuat sehat dan awet muda. Lagu dari radio atau youtube, atau film dari streaming bisa membuat kita lupa akan kemacetan. Teman saya penggemar drama pop, dalam empat jam bisa menonton beberapa season drama serial sekaligus!

3. Menulis

Memang tidak semua orang suka menulis. Padahal sekedar menumpahkan isi hati dalam bentuk tulisan bisa mengurangi beban psikologis lho, seperti menulis buku harian. Saat macet, mungkin kita bisa mengetik curhatan kita di ponsel (beberapa ponsel memiliki fitur notes). Bagi yang suka menulis blog atau jurnal, satu atau dua topik singkat bisa ditulis dalam empat jam ini.

4. Berbincang dalam komunitas online

Saya mengikuti beberapa grup online, dan ketika jam macet adalah saat paling tepat untuk bisa turut berbincang di sana, baik untuk saling berbagi info, atau sekedar saling bercanda. Mungkin anda juga punya grup chat yang anggotanya seperti teman-teman ‘gila’ saya. Sore-sore dalam kemacetan, akan terasa betapa nikmatnya saling mencela tanpa rasa sakit hati, dan penuh dengan tawa.

5. Berbincang dengan teman seperjalanan

Selain bercanda dengan teman-teman di media sosial atau grup chat, mungkin tak ada salahnya berbincang dengan orang di sebelah anda. Baik supir taksi, teman penumpang bus atau bahkan kenek. Saya pernah dapat nomor yayasan babysitter dari sopir taksi, tahu tentang tempat belanja murah-meriah dari sesama penumpang bus, dan tahu tempat makanan enak dari kenek. Berbincang dengan orang asing ini bisa juga ternyata menambah wawasan dan memperkental sentuhan kemanusiaan di tengah era digital ini. Saya pernah dapat supir taksi teladan yang selalu diutus membawa delegasi tamu pejabat asing (termasuk waktu KTT di Bali tahun lalu yang juga dihadiri kantor saya). Juga supir yang mengaku pernah ikut melakukan pembangunan galian lubang rahasia di salah satu pulau di Indonesia. Kisah yang wow!

6. Menikmati sekitar

Macet itu penuh cerita. Ada saja anak-anak sekolah yang selalu gaduh bergurau di angkutan umum. Dari mulai saling mencela ukuran badan sampai membawa-bawa nama Ahok untuk dijadikan tempat melaporkan pelecehan.  Saya suka senyum-senyum sendiri melihat mereka, bagai mengingat masa lalu.

Saya juga suka memandangi iklan di baliho di pinggir jalan. Kadang kita bisa terinspirasi oleh bintang iklannya yang cantik. Dengan iseng saya juga kadang cuci mata menghitung kenderaan mewah yang jarang terlihat.

Tetapi, yang paling mengesankan bagi saya adalah, suatu pagi ketika berangkat ke kantor, pernah ada penumpang bus patas di sebelah saya, seorang ibu bekerja, sedang merajut sweater di dalam bus. Betapa sebuah kreatifitas tanpa batas! Saya kagum. Warga Jakarta memang luar biasa! Warga Jakarta yang tahan banting!

7. Membawa cemilan

Jika memungkinkan, bawalah cemilan kecil di dalam tas. Sebagai pengusir lapar dan jenuh, makanan kecil berupa permen karet, kacang, biskuit, coklat atau keripik bisa membuat anda lebih kebal pada kemacetan.

Berapa jam waktu yang anda miliki untuk diri sendiri (me time) setiap hari, di luar jam kerja, jam mengurus rumah/anak-anak, jam kuliah/belajar? Mungkin seperti saya, tak pernah lebih dari empat jam. Waktu di jalan lebih banyak daripada me time di rumah. Ironis bukan? Jadi, daripada jadi tua di jalan, mengapa tidak menjadikan jam macet ini sebagai me time yang efektif?

Ayo, warga Jakarta, tetap semangat!

🙂

-*-