Pesparawi XIII dan Secuil Cerita Sumbang

Kontingen Sumatera Utara akhirnya menjadi juara umum Pesta Paduan Suara Gerejawi (Pesparawi) Nasional XIII yang digelar di Yogyakarta. Kontingen ini meraih 12 medali emas dan membawa pulang piala bergilir Presiden RI.

Dilansir dari Antara, Ketua Umum Pesparawi Nasional XIII, Paku Alam X, mengatakan kemenangan itu adalah buah baik dalam falsafah Jawa yaitu sawiji greget sengguh ora mingkuh, yang artinya konsentrasi, semangat, percaya diri, dengan rendah hati dan bertanggung jawab.

Untuk diketahui, Pesparawi tahun ini memperlombakan 12 kategori, yaitu Solo Anak usia 7-9 tahun, Solo Anak usia 10-13 tahun, Paduan Suara Anak 7-13 tahun, Solo Remaja Putri, Solo Remaja Putra, Vocal Group Remaja, Paduan Suara Remaja, Paduan Suara Dewasa Wanita, Paduan Suara Dewasa Pria, Paduan Suara Dewasa Campuran, Musik Pop Gerejawi, dan Musik Gerejawi Nusantara.

Pesparawi selanjutnya, yaitu Pesparawi Nasional XIV akan diselenggarakan di Papua Barat, pada tahun 2025.

Dikutip dari Kumparan, Pesparawi sendiri digelar pertama kali pada 1983, yang merupakan prakarsa dari Direktorat Jenderal Bimas Kristen Kementerian Agama. Saat itu namanya Pesta Paduan Suara Gerejani (Pesparani) dan diadakan di Balai Sidang Senayan, Jakarta, tanggal 16-20 Juni 1983.

Cerita Sumbang

Di balik riuhnya nyanyian dan musik, ada cerita sumbang yang bermunculan di berita maupun di media sosial, yaitu munculnya unjuk rasa dari kontingen Yogyakarta pada saat acara penutupan. Mereka memprotes uang saku dan uang latihan yang tidak diberikan selama karantina.

Dari informasi yang dihimpun oleh KR Jogja, tiap kontingen seharusnya mendapatkan uang latihan sebesar Rp60 ribu setiap latihan dan uang saku selama dikarantina. Namun, kenyataannya kontingen DIY hanya mendapatkan uang latihan Rp7.500 setiap satu kali latihan dan uang saku secara sepihak ditiadakan.

Dikonfirmasi perihal ini, Sekda DIY, Kadarmanta Baskara Aji kepada KR Jogja mengatakan tidak terlalu memahami masalah sebab itu ada di bawah kewenangan Lembaga Pengembangan Pesparawi Daerah (LPPD) dan Kementrian Agama. Melihat situasi yang dialami kontingen Yogyakarta, Baskara Aji mengatakan akan memanggil LPPD dan Kemenag untuk meminta penjelasan.

Semoga masalah ini menemukan penyelesaian dan tidak terulang di Pesparawi berikutnya.

Akibat Dosa dan Keserakahan

Dalam hal tertentu, sesuatu yang ‘terlalu’ itu baik. Misalnya, karena Allah yang terlalu mengasihi kita, sehingga Ia merelakan Anak-Nya menjadi manusia dan mati untuk dosa-dosa kita. 

Tapi kadang, apa yang terlalu itu juga kurang baik. Contohnya makanan yang terlalu manis, kurang baik bagi kesehatan kita. 

Begitu juga dalam hal lain. Seorang yang terlalu lama berkuasa tidak bagus, akan cenderung menjadi otoriter. Seseorang yang memiliki kekuasaan yang terlalu besar, juga tidak baik. Selain otoriter, dia bisa menjadi penguasa yang lalim.

Lord Acton, seorang profesor sejarah modern di Universitas Cambridge punya adagium yang terkenal: “Power tend to corrupt and absolute power corrupt absolutely”. Kekuasaan cenderung korup dan kekuasaan yang absolut, pasti akan korup.

Jauh sebelum Acton bicara, Allah sudah memperingatkan bangsa Israel tentang kekuasaan yang korup dan sewenang-wenang. Melalui Nabi Mikha, Allah memperingatkan mengenai ketidakadilan sosial dan penguasa yang menyalahgunakan kekuasaannya dan merampas hak orang lain.

Pada Mikha 3: 9-12, Firman TUHAN memberikan kita contoh penguasa yang lalim, penguasa yang menyalahgunakan kekuasaan untuk kepentingan mereka sendiri. Mereka itu penguasa yang muak terhadap keadilan dan membengkokkan segala yang lurus (ayat 9). Mereka juga mendirikan kekuasaannya dengan darah dan kelaliman (ayat 10).

Apa yang sudah lurus, malah dibengkokkan. Tatanan hidup moral rakyat yang berlandas pada Taurat TUHAN, malah dirusak. Mereka menolak dan mengabaikan hukum TUHAN yang mengatur hidup, dan yang menjadi landasaan hidup masyarakat Israel pada masa itu.

Bahkan kekuasaan didirikan dengan sampai menumpahkan darah dan perbuatan lalim. Dan bukan cuma itu yang terjadi. Di ayat 11 kita menemukan bahwa mereka yang memiliki kekuasaan hukum juga sudah suap. Kalau di zaman sekarang, otoritas hukum ini antara lain polisi, jaksa, dan hakim. Kalau ketiga otoritas ini bisa disuap, maka tidak ada lagi keadilan. Orang yang tadinya tidak bersalah bisa diputus tidak bersalah dan sebaliknya. Yang penting, wani piro?  

Lalu ada juga golongan imam atau rohaniawan yang mengajar bukan untuk mendidik orang dalam kebenaran, tetapi karena ada bayaran, seperti yang disebut di ayat 11. Begitu juga golongan nabi yang menenung atau dalam terjemahan lain “tells fortune” atau meramal, karena uang. Padahal ironisnya, para nabi ini sering berkata “Kita ini bersandar kepada TUHAN karena Bukankah TUHAN ada di tengah-tengah kita? Maka Tidak akan datang malapetaka menimpa kita!” 

Para nabi itu sebenarnya tidak lagi bersandar kepada TUHAN melainkan kepada uang. Uang dianggap bisa menentukan peruntungan dan masa depan seseorang dan bukan TUHAN!

Segala yang dilandasi karena motivasi akan uang ujung-ujungnya akan melenceng dan korup. Tidak ada lagi tempat TUHAN di sana. Ketika pemimpin agama telah dikendalikan uang, sesungguhnya mereka tidak lagi melayani TUHAN, melainkan melayani mamon, yaitu uang dan keserakahan. Matius 6:24 berkata: “Tak seorang pun dapat mengabdi kepada dua tuan. Karena jika demikian, ia akan membenci yang seorang dan mengasihi yang lain, atau ia akan setia kepada yang seorang dan tidak mengindahkan yang lain. Kamu tidak dapat mengabdi kepada Allah dan kepada Mamon.”

Jadi, bisa kita bayangkan situasi pada waktu moralitas Israel sedang buruk-buruknya. Penguasa menjadi lalim dan otoriter, aparat hukum bisa disuap, para rohaniawan sudah dikuasai uang dan keserakahan. Bagaimana dengan rakyat? Kalau penguasa saja seperti itu, yang terjadi pada rakyat adalah: Kalau tidak ikut-ikutan menjadi lalim, ya menjadi korban kelaliman itu sendiri.

Itulah sebabnya, tidak ada jalan keluar lagi. Nabi Mikha menyampaikan pesan TUHAN yang penting di ayat 12. Dia menyatakan bahwa Sion akan dibajak seperti ladang dan Yerusalem akan menjadi timbunan puing, serta gunung bait Suci akan menjadi bukit berhutan.

Membajak ladang itu tindakan yang menghancurkan tanah yang keras agar bisa ditanami tanaman. Orang Israel yang keras hati perlu diremukkan dan dihancurkan. Maka TUHAN akan menyerahkan bangsa itu ke tangan bangsa lain. Harga diri mereka yang tinggi diruntuhkan. Mereka akan menjadi bangsa buangan, tidak punya identitas, nasibnya ditentukan oleh bangsa lain.  

Yerusalem akan menjadi timbunan puing. Ini nubuatan tentang kehancuran kota Yerusalem yang megah, yang sebelumnya menjadi pusat sosial, budaya, politik, dan agama bangsa itu, sebelum hancur pada abad 8 SM, ketika bangsa Babel datang. Kota mereka dibakar dan dihancurkan. Tak ada yang tersisa pada apa yang dulu mereka bangga-banggakan. 

Bahkan bukit Bait Allah yang dibangun oleh Raja Salomo pada abad ke-10 SM untuk menggantikan Kemah Suci, dirobohkan dan dihancurkan oleh Bangsa Babel di bawah Nebukadnezar pada tahun 586 SM. Bukit itu ditinggalkan dan menjadi semak-semak dan hutan.

Sedih sekali kalau kita bisa membayangkan keadaan pada masa itu. Semua terjadi karena dosa dan keserakahan. Firman ini memberitahu kita betapa mengerikannya dampak dosa dan keserakahan. Tidak hanya mengubah tatanan yang baik menjadi buruk, tapi pada akhirnya adalah kehancuran belaka.

Perbuatan dosa akan selalu ada ganjarannya. TUHAN kita memang penuh kasih dan pengampunan. Tapi kita perlu tahu bahwa TUHAN juga Maha Adil. Untuk setiap perbuatan jahat pasti ada ganjarannya. Jadi mari berhenti melakukan apa yang jahat di mata TUHAN, sebelum semuanya menjadi terlambat, Ketika kita tidak lagi punya kesempatan untuk bertobat.

Firman TUHAN di 1 Yohanes 3:6 berkata: “Karena itu setiap orang yang tetap berada di dalam Dia, tidak berbuat dosa lagi; setiap orang yang tetap berbuat dosa, tidak melihat dan tidak mengenal Dia.” 

Seperti kata Firman TUHAN, Tetaplah di dalam Dia. Maka kita tidak akan berbuat dosa. Mari terus membangun pengertian yang benar tentang Yesus, Sang Kebenaran, yaitu dengan bergaul dengan FIrman TUHAN. Berapa kali Anda baca Alkitab dalam sehari? Apakah Alkitab menjadi kompas hidup saudara? Pengertian yang benar akan semakin menguatkan iman kita kepada-Nya.

Dan “berada di dalam yang benar” artinya kita tinggal dalam hidup yang berpatokan pada hidup Yesus sendiri. Bagaimana Yesus hidup sebagaimana yang diceritakan di dalam kitab Injil, begitulah seharusnya kita menjalani dan melakukan kehidupan kita.

Saya percaya, itu akan membantu kita lepas dari jeratan dosa. Tapi kalau jatuh lagi, bangkit lagi, berjuang lagi. Selama kita masih hidup, itu artinya kita masih diberikan kesempatan oleh TUHAN. Jangan sia-siakan, sebelum semuanya terlambat.

Tak ada yang mau celaka

Siapa yang mau celaka? Tentu tak ada yang mau. Tetapi tahukah Anda bahwa perbuatan Anda yang tercela akan mengganjar Anda dengan respons yang sepadan atau malah celaka?

Itulah yang mau kita renungkan dari secuplik Firman Tuhan yang ada di Mikha 2:1-3.

Tiga ayat ini merupakan bagian dari pasal 2 Kitab Mikha yang secara garis besar bicara tentang dosa-dosa umat Allah yaitu bangsa Israel. Ayat 1-5 berbicara tentang hukuman untuk dosa keserakahan dan keangkuhan.

Pada ayat 1-3 Nabi Mikha menyebutkan tentang malapetaka bagi orang yang berkuasa tapi mereka memeras orang lain untuk kepentingan mereka sendiri.

Di ayat 1 dikatakan orang-orang yang serakah ini sudah merancangkan kejahatan sejak fajar. Artinya hidupnya penuh dengan kejahatan. Pikirannya dipenuhi dengan kejahatan. Padahal mereka itu orang yang memiliki kekuasaan.

Lalu di ayat 2 diceritakan, tak hanya merancangkan jahat, mereka juga serakah. Mereka menginginkan apa yang bukan haknya, mereka menginginkan ladang dan rumah orang lain. Dan untuk memilikinya mereka merampas, mereka menyerobot. dan mereka juga tega menindas dan menyakiti pemiliknya.

Ganjaran bagi mereka, kata Nabi Mikha mengutip firman TUHAN, adalah malapetaka. Mereka akan celaka! Keangkuhan mereka akan berakhir dan itu tidak terhindarkan. Ini bicara tentang hukuman Tuhan yang kelak dijatuhkan melalui kedatangan bangsa Asyur, yang mengakhiri segala kejahatan bangsa itu, merampas tanah dan harta mereka, lalu membawa mereka ke tanah pembuangan.

Saya suka dengan ungkapan orang Jawa yang berbunyi: “Gusti ora sare”. Tuhan tidak tidur!

Ungkapan ini kabarnya muncul karena orang Jawa percaya, bahwa Tuhan memiliki sifat Maha Mengetahui, Maha Memberi dan memiliki sifat tidak tidur. Sehingga segala pengaduan atau permohonan kita akan selalu didengar-Nya.

Di dalam kekristenan, Alkitab juga mengajarkan sifat TUHAN yang seperti itu. Di keluaran 3:7 Dan TUHAN berfirman: “Aku telah memperhatikan dengan sungguh kesengsaraan umat-Ku di tanah Mesir, dan Aku telah mendengar seruan mereka yang disebabkan oleh pengerah-pengerah mereka, ya, Aku mengetahui penderitaan mereka.

Di Ayub 34:28-29 firman TUHAN berkata: sehingga mereka menyebabkan jeritan orang miskin naik ke hadapan-Nya, dan Ia mendengar jeritan orang sengsara. –Kalau Dia berdiam diri, siapa akan menjatuhkan hukuman? Kalau Dia menyembunyikan wajah-Nya, siapa akan melihat Dia, baik itu sesuatu bangsa atau orang seorang?

Firman ini disampaikan Allah kepada bangsa Israel melalui perantaraan utusan-Nya. Sehingga bangsa Israel yang seharusnya paling tahu dan paling mengalami sifat TUHAN ini. Tapi di kitab Mikha kita tahu bahwa kini bangsa Israel menjadi pelaku penindasan dan pemerasan.

Mereka lupa betapa TUHAN mendengar jeritan orang yang teraniaya. Mereka lupa pada malapetaka yang akan menimpa para penindas. Dan itulah yang kemudian akan terjadi pada bangsa itu.

Apa artinya firman ini bagi hidup kita sekarang? Kita harus tahu salah satu atribut Allah adalah bahwa Allah itu tidak berubah.

Maleakhi 3:6 berkata: Bahwasanya Aku, TUHAN, tidak berubah, dan kamu, bani Yakub, tidak akan lenyap.

Lalu rasul Yakobus juga berkata di Yakobus 1:17 “Setiap pemberian yang baik dan setiap anugerah yang sempurna, datangnya dari atas, diturunkan dari Bapa segala terang; pada-Nya tidak ada perubahan atau bayangan karena pertukaran.”

Allah tidak berubah, sehingga sikapnya terhadap kejahatan manusia pada ribuan tahun yang lalu, masih sama terhadap kejahatan manusia pada masa kini. Sejak semula Allah tidak bisa menolerir dosa.

Dan dosa sejak zaman Adam sampai zaman kita sama saja dampaknya. Dosa itu merusak hubungan kita dan TUHAN. Dosa itu menjerumuskan kita dalam jurang kekelaman.

Tetapi Allah kita juga adalah Allah yang kasih. Sehingga sejak semula Dia telah merancangkan sebuah jalan keluar, yaitu dengan membatasi diri-Nya sendiri berinkarnasi menjadi manusia dalam diri Yesus Kristus, sehingga kita bisa keluar dari jerat dosa melalu kasih dan pengampunan.

Hal inilah yang sudah diserukan dan diharapkan oleh Nabi Mikhadi Mikha 7:18. nabi Mikha berkata: Siapakah Allah seperti Engkau yang mengampuni dosa, dan yang memaafkan pelanggaran dari sisa-sisa milik-Nya sendiri; yang tidak bertahan dalam murka-Nya untuk seterusnya, melainkan berkenan kepada kasih setia?

Nabi Mikha tahu bahwa Allah adalah Kasih, yang mau mengampuni dosa. Apa yang didoakan Mikha itulah yang dijawab Tuhan dalam karya penebusan Yesus Kristus, beratus-ratus tahun kenudian.

Allah menyatakan kasih dan pengampunan-Nya dalam karya Yesus Kristus. Dan yang terpenting adalah Yesus Kristus menjadi korban penebusan tunggal atas dosa-dosa manusia dari segala abad dan zaman. Barang siapa percaya pada-Nya, tidak akan binasa karena dosa mereka. Itulah yang membuat keadilan dan kasih Tuhan selalu relevan bagi kita di zaman sekarang.

Berpegang pada Kebenaran

Bagaimana cara TUHAN mendidik kita dalam kebenaran? Tidak lain dan tidak bukan adalah dengan Firman-Nya, sebagai sumber kebenaran yang hakiki dalam iman Kristen.

Saya teringat Mazmur 119 yang secara garis besar termasuk ke dalam Mazmur-mazmur yang merenungkan cara-cara TUHAN dalam mendidik kita mengenai kebenaran. Mazmur 119 diawali dengan perkataan yang penting: Berbahagialah!

Berbahagia kenapa? Siapa orang yang akan berbahagia?

Pada ayat 1 dikatakan: berbahagialah orang-orang yang hidupnya tidak bercela, yang hidup menurut Taurat TUHAN.

Jadi dari mana dasar kebahagiaan sejati kita, tidak lain dan tidak bukan, dari Firman TUHAN. Kebahagiaan sejati akan kita nikmati ketika kita hidup dalam kebenaran.

Banyak orang yang mulai mempertanyakan kebenaran Firman TUHAN dan mengujinya dengan sains dan bahkan membandingkannya dengan kitab agama lain.

Tapi kita diajar bahwa Firman TUHAN tidak diwahyukan sebagai penguji ilmu pengetahuan, walaupun di dalamnya banyak kebenaran tentang sains.

Firman TUHAN diwahyukan untuk menuntun anak-anak Adam kembali ke Taman EDEN! Sebab sebagai orang percaya, kita diberikan kehidupan atau diciptakan semata-mata untuk berpegang pada Ketetapan TUHAN. Ya, kalau tidak berpegang pada ketetapan TUHAN, ya sebenarnya kita sama saja dengan mati!

Seperti yang disebutkan di Mazmur 119:5 “Sekiranya hidupku tentu untuk berpegang pada ketetapan-Mu!” Hakikat kita adalah mendengarkan TUHAN dan berpegang pada ketetapan-Nya, tidak yang lain.

Dan akhirnya, dengan berpegang kepada Firman Tuhan kita tidak akan dipermalukan! Mazmur 119:6 berkata: “Maka aku tidak akan mendapat malu, apabila aku mengamat-amati segala perintah-Mu.”

Dalam perspektif lain kita bisa membaca di Yeremia 6:15: “Seharusnya mereka merasa malu, sebab mereka melakukan kejijikan; tetapi mereka sama sekali tidak merasa malu dan tidak kenal noda mereka. Sebab itu mereka akan rebah di antara orang-orang yang rebah; mereka akan tersandung jatuh pada waktu Aku menghukum mereka, Firman TUHAN.”

Dengan kata lain, mereka yang tidak bergaul dengan Firman TUHAN, di mana lagi mereka berada? Kecuali melakukan berbagai kejijikan dan akhirnya akan terjatuh dan dihukum TUHAN? Semoga tidak di antara kita yang berada dalam barisan orang-orang ini.

Peran Kaum Awam di Gereja: Studi Kasus GSRI

Laity menurut kamus Merriam-Webster memiliki pengertian : (1) orang-orang yang beragama yang dibedakan dari para klerus, (2) kelompok massa yang dibedakan dari mereka yang memiliki profesi tertentu atau mereka yang memiliki keahlian khusus.

Di dalam catatan sejarah gereja, pemisahan peran laity dan klerus (kaum imam) belum tampak pada gereja abad pertama. Barulah pada pertengahan abad ketiga, ketika orang Kristen semakin banyak, ikatan persatuan tidak lagi terkait eschatological hope, melainkan soal sakramen yang dikelola oleh kaum klerus. Apostolic Constitutions pada awal abad ke-empat melahirkan definisi laity yang lebih tepat dan kaum rohaniawan memiliki peran yang lebih besar di gereja, serta terjadinya pemisahan kaum laity dan klerus dalam ibadah .

Tapi bila hari-hari ini adalah masanya gereja, maka pastilah ini adalah masanya kaum laity di gereja. Sebab tak ada masa-masa seperti ini di dalam sejarah, di mana kita bisa mengakui bahwa orang-orang Kristen, apapun kedudukan dan statusnya, sama-sama dipanggil untuk memenuhi hidup sebagai orang Kristen. Semua umat Allah bisa berdialog, berbagi ide dan wawasan, tentang fungsi khas mereka di gereja .

Kesetaraan ini nampak nyata di Gereja Santapan Rohani Indonesia (GSRI). Meski pemisahan peran tetap berlaku, namun partisipasi kaum laity di GSRI terbilang signifikan. Tak hanya terlibat dalam berbagai pelayanan dan program gerejawi, kaum laity juga diizinkan menyampaikan kotbah di mimbar pada ibadah raya hari Minggu, dan menjadi ketua Badan Pengurus Sinode. Mengapa kaum laity mendapat peran sedemikian besar di GSRI?

Latar Belakang Gereja
Pada Juni 1942, Pendeta Timothy Dzao Zse Kwang dan lima rekan kerjanya mendirikan badan misi bernama Ling Liang Church di Shanghai. Ling Liang di Shanghai ini selanjutnya menjadi gereja induk bagi Ling Liang World-Wide Evangelistic Mission. Pada musim gugur tahun 1947, Gereja Ling Liang mengangkat Rev. Chuanzhen Lan dan Rev. Moses Chou sebagai pendeta misionaris. Rev. Lan dan istrinya diutus ke Calcutta, India, sedangkan Rev. Moses Chou ditugaskan melayani di Jakarta, Indonesia

Jejak pelayanan di Indonesia sebelumnya sudah dirintis oleh Pendeta Timothy Dzao Zse Kwang yang mengunjungi Indonesia pada 1941 dan mendirikan Gereja Sidang Kristus Batavia. Ke gereja inilah Pendeta Moses Chow diutus pada 1947 dan ditugaskan sebagai Gembala Sidang. Pada tanggal 25 November 1950, gedung gereja baru diresmikan dan tanggal ini ditetapkan sebagai tanggal berdirinya GSRI. Pada 27 Februari 1961 gereja ini resmi menyandang nama Gereja Santapan Rohani Indonesia.

Dalam usaha untuk memenuhi rencana jangka panjang, GSRI membuka Sekolah Latihan Pengabaran Injil di Kebayoran Baru, yang ditutup tak lama kemudian sebagai imbas peristiwa perpolitikan nasional. Dengan anugerah Tuhan, gedung Sekolah Latihan Pengabaran Injil ini dikembalikan pada tahun 1979 dan sekolah pekabaran Injil dibuka kembali pada 1981 dengan nama Institut Misi Alkitab Nusantara (IMAN), kini dikenal dengan nama STT Iman Jakarta.

GSRI kini terdiri dari 25 gereja mandiri yang tersebar di berbagai wilayah di Indonesia, dari Sumatera sampai ke timur Indonesia.

Sistem Pemerintahan GSRI
Tata Gereja GSRI pasal 15 tentang Majelis Jemaat pada ayat 1 menyebutkan, sesuai dengan bentuk Gereja Santapan Rohani Indonesia yang presbiterial, maka pelayanan Sidang Jemaat dilaksanakan oleh Majelis Jemaat Gereja Santapan Rohani Indonesia. Pada ayat 2 disebutkan, Majelis Jemaat terdiri dari para pejabat gereja yaitu (Pendeta, Guru Injil) bersama-sama dengan para penatua.

Sistem ini mengatur, pemerintahan gereja ada di tangan pejabat-pejabat gerejawi yang secara kolektif disebut Majelis Jemaat. Setiap anggota Majelis Jemaat mempunyai kedudukan yang sama, tidak ada seorang pun yang lebih tinggi atau lebih rendah dari yang lain. Masing-masing juga memiliki tugasnya sendiri.

Apabila kita mengamati tata gereja di atas, dapat disimpulkan bahwa GSRI memiliki sistem pemerintahan presbiterian. Pada sisi lain, GSRI juga menyelenggarakan pertemuan-pertemuan yang mengikat dan cenderung menerapkan sistem sinodal. Maka GSRI, dan tentu saja GSRI Depok, dapat dikatakan menganut sistem pemerintahan yang disebut presbiterian sinodal.

Ciri lain sistem presbiterian sinodal adalah kepenuhan dalam kesatuan. Tiap-tiap jemaat yang dipimpin oleh Majelis Jemaat mempunyai kemandirian penuh; tetapi pada saat yang sama tiap-tiap jemaat yang ada berada dalam kesatuan dengan jemaat-jemaat lain dalam satu sinode.

Hal ini mempunyai implikasi positif sebagai berikut: Jemaat mempunyai otonomi (kemandirian penuh) tetapi terbatas; yang membatasinya ialah sinode. Sebaliknya Sinode mempunyai kekuasaan tetapi terbatas; yang membatasinya ialah jemaat-jemaat. Dalam sistem presbiterial sinodal, semua keputusan diambil berdasarkan kesepakatan bersama bukan berdasarkan wewenang yang ada pada salah satu pihak.

Pembahasan
Kaum laity memiliki peran yang cukup signifikan di GSRI, bahkan sejak dari berdirinya. Di dalam sejarah misinya, GSRI termasuk gereja Tionghoa di mana kaum awam atau jemaat biasa berperan besar dalam mengabarkan injil kepada sesamanya dan berbuah banyak. Hal ini menepis anggapan bahwa kekristenan di Jawa Barat semata-mata adalah warisan badan zending. Para pekabar Injil Tionghoa tersebut, dianggap juga sebagai soko guru bagi beberapa jemaat di wilayah ini .

Di dalam sistem pemerintahannya, berdasarkan tata gereja di atas, dapat dikatakan bahwa Jemaat mandiri memiliki kekuasaan yang lebih besar ketimbang sinode, dan di dalam jemaat ini, kaum laity berperan besar. Ambil contoh GSRI Depok yang pernah diobservasi oleh penulis, hamba Tuhan atau pendeta di GSRI Depok secara otomatis termasuk ke dalam Majelis Jemaat, begitu juga Guru Injil. Adapun anggota Majelis Jemaat yang lain berasal dari jemaat laity, yang dipilih oleh sesama jemaat secara aklamasi dan terbuka dalam Sidang Jemaat.

Majelis Jemaat di GSRI Depok menjabat selama 3 tahun dan otomatis diperpanjang satu kali lagi. Setelah dua periode, mereka harus berhenti. Setelah satu periode berselang, jemaat yang pernah menjadi majelis, berhak untuk dipilih lagi menjadi anggota Majelis Jemaat. Anggota Majelis Jemaat yang berasal dari kaum laity mendapat gelar Penatua.

Tidak hanya di dalam pemerintahan, GSRI juga memberikan kesempatan yang besar bagi jemaat awam untuk melayani di berbagai bidang, termasuk berkotbah di mimbar ibadah raya. Tentu dengan kualifikasi tertentu dan telah mendapat persetujuan dari Gembala Sidang dan Majelis Jemaat. Kaum awam juga berkesempatan untuk melayani di bidang-bidang lain, seperti menjadi pemimpin kelompok sel, pemimpin pujian, pendoa, pengumpul persembahan, pembaca warta, pemusik, singers, usher, panitia hari besar gereja, dan sebagainya. Pendeta Ayub Rusmanto M.Th, gembala siding GSRI Depok berkata: “Keterlibatan kaum awam sangat nyata dan memberikan dampak positif di tengah tengah jemaat, karena dalam penggembalaan, seorang pendeta bukanlah semata-mata menjadi sentral pelayanan. Tetapi pendeta adalah pembina, pembimbing jemaat untuk terus bertumbuh di dalam Kristus melalui salah satunya adalah pelayanan di gereja.”

GSRI bahkan melangkah lebih jauh ketimbang gereja-gereja lain. Gereja ini juga memberikan kesempatan kepada laity untuk menjadi Ketua Sinode. Mengapa ini bisa terjadi?

Rupanya sistem pemerintahan gereja ini memang membuka peluang tersebut. Sebab menurut pasal 8 Tata Gereja GSRI , Sinode Gereja Santapan Rohani Indonesia (G.S.R.I) adalah suatu badan yang dibentuk/didirikan oleh Sidang-sidang Jemaat Gereja Santapan Rohani Indonesia (G.S.R.I) sebagai suatu wadah organisasi yang telah diakui dan mendapat pengesahan dari pemerintah (Dirjen Bimas Kristen Protestan) Kementerian Agama RI. Sinode, berdasarkan aturan ini, bukanlah pemerintah melainkan sekadar organisasi.

Organ Sinode GSRI terdiri dari: (1) Badan Penasihat Sinode, dan (2) Badan Pengurus Sinode. Badan Penasihat terdiri dari paling sedikit 5 (lima) orang dan para kandidatnya diajukan oleh Sidang Jemaat GSRI Mandiri dalam Sidang Raya Sinode. Untuk menjadi anggota Badan Penasihat, syaratnya antara lain: (1) mengetahui sejarah dan latar belakang Gereja Santapan Rohani Indonesia, (2) pernah menjadi anggota Badan Pengurus Sinode GSRI.

Adapun Badan Pengurus Sinode terdiri dari Ketua, Wakil Ketua, Sekretaris dan Bendahara, yang dipilih, diangkat dan disahkan dalam Sidang Raya Sinode. Syarat menjadi anggota Badan Pengurus Sinode antara lain: (1) Anggota GSRI, (2) sekurang-kurangnya berusia 30 (tiga puluh) tahun dan paling sedikit sudah 10 (sepuluh) tahun menjadi anggota GSRI, dan (3) Jabatan Ketua Badan Pengurus Sinode dapat dijabat oleh pejabat gereja atau penatua. Jika ketua Sinode seorang pejabat gereja, maka wakilnya seorang penatua dan sebaliknya.

Tentang tugas dan wewenang Badan Pengurus Sinode bisa dilihat pada pasal 14 Tata Gereja GSRI, antara lain: (1) memelihara hubungan dan kerjasama di antara Sidang Jemaat GSRI dalam usaha untuk mencapai tujuan jemaat setempat dan kepentingan bersama, (2) melaksanakan semua keputusan yang telah ditetapkan dalam Sidang Raya Sinode, (3) bertanggung jawab atas pemberlakuan ketentuan-ketentuan Tata Gereja dan Tata Laksana GSRI, (4) mempersiapkan Sidang Raya Sinode, (5) menyampaikan laporan pertanggung jawaban, usul-usul dan saran-saran kepada Sidang Raya Sinode, dan (6) dalam rangka penggembalaan, Badan Pengurus Harian Sinode menyelenggarakan perlawatan pada Jemaat.

Jadi jelas, di dalam kewenangannya, Badan Pengurus Sinode hanya berfungsi sebagai pemelihara hubungan/fasilitator kerjasama antar Sidang Jemaat di GSRI. Tak mengherankan apabila kaum laity memiliki ruang berkontribusi yang besar di sini.

Penutup

Kaum awam atau laity adalah orang-orang yang beragama yang dibedakan dari para klerus atau pendeta (imam). Sekarang adalah masanya kesetaraan antara laity dan klerus. Hal ini bisa dipelajari dari kasus Gereja Santapan Rohani Indonesia (GSRI). Di Gereja ini, laity dan klerus sama-sama dipanggil untuk memenuhi hidup sebagai orang Kristen dan bisa berdialog, berbagi ide dan wawasan, tentang fungsi khas mereka di gereja.

Meski pemisahan peran tetap berlaku, partisipasi kaum laity di GSRI terbilang signifikan. Kaum laity mendapatkan porsi yang cukup besar dalam aktivitas gerejawi, dari pemerintahan sampai berbagai macam bentuk pelayanan, bahkan menjadi ketua Badan Pengurus Sinode. Hal ini memang dimungkinkan oleh Tata Gereja yang menempatkan Badan Pengurus sebagai organ gereja yang berfungsi sebagai fasilitator dan pengelola belaka, bukan merupakan bagian dari sistem pemerintahan.

Daftar Pustaka

Firdaus, Yogi Fitra. “Peran Orang-Orang Tionghoa Dalam Pekabaran Injil: Kajian Historis Terbentuknya Jemaat Tionghoa Di Jawa Barat.” Jurnal Abdiel: Khazanah Pemikiran Teologi, Pendidikan Agama Kristen, dan Musik Gereja 4, no. 1 (2020): 77–97.
Parrella, Frederick. “The Laity in the Church.” In Proceerings of the Catholic Theological Society of America, 265–266, 1980.
“Laity | Definition of Laity by Merriam-Webster.” Accessed November 12, 2020. https://www.merriam-webster.com/dictionary/laity.
“Sejarah GSRI – Sinode GSRI.” Accessed November 17, 2020. http://sinodegsri.com/sinode/index.php/2015/07/20/sejarah-gsri/.
Tata Gereja Santapan Rohani Indonesia. Jakarta: Badan Pengurus Sinode GSRI, 2018.

Aku, Kau, dan Batu

Selama masa lock down pandemi ini, batu menjadi sesuatu yang menarik perhatian saya, mungkin karena punya waktu untuk mengamati taman-taman bunga dengan batu hias yang menarik di kompleks tempat tinggal saya.

Kisah tentang batu, rupanya sudah menjadi ilham dari banyak kisah menarik bagi saya pribadi sejak kecil.

Yang teranyar adalah kisah tentang batu infiniti di dalam kisah fiksi film Avenger, End Game. Di mana jika kelima batu infiniti itu terkumpul, akan menjadi kekuatan tanpa batas dan kemudian dimanfaatkan oleh Thanos untuk menghancurkan setengah penduduk dunia.

Kisah batu lainnya yang berkesan sejak masa kecil, adalah cerita di masa Sekolah Minggu, tentang batu ketapel yang dipakai oleh Daud untuk membidik jidat raksasa pendekar tentara Filistin, panglima perang Mesir. Batu kecil yang bisa membuat raksasa rubuh dan mati seketika.

Di dalam injil Markus, disebutkan bahwa jika ada seorang yang menyesatkan iman seorang anak kecil, maka penyesat itu harus dihukum dengan batu kilangan yang diikatkan ke lehernya lalu dibuang ke laut.

Lalu legenda tentang Malin Kundang, anak durhaka yang malu mengakui ibu kandungnya. Dia dikutuk menjadi batu, di mana tubuhnya berubah menjadi batu dalam kondisi tengah bersujud meminta ampun pada ibunya.

Kemudian, sebuah legenda tentang Batu Gantung di tepi Danau Toba, yang dianggap perwujudan seorang gadis yang patah hati karena dijodohkan dengan pria yang tidak dicintainya. Gadis itu terperosok dalam lubang batu dan meminta batu menelan dirinya yang tak lagi ingin hidup. Batu itu pun menggantung dengan bentuk mirip tubuh gadis itu.

Yang paling menohok adalah tentang batu yang dijadikan perumpamaan oleh Yesus dalam kisah perempuan yang berzina. Ketika sang perempuan yang berzina diarak massa dan akan dihukum rajam atau dilempari dengan batu, maka Yesus berkata kepada massa: Siapa yang tidak berdosa, silakan melempar batu pada wanita itu. Namun rupanya pada akhirnya tak seorangpun yang melemparinya batu.

Batu adalah benda kecil, yang banyak gunanya. Bukan hanya untuk bangunan, batu juga bisa untuk hiasan atau perhiasan.
Saya ingat beberapa tahun lalu ketika keluarga besar kami menjahitkan kebaya seragam untuk acara pernikahan saudara, yang membedakan seragam kami adalah hiasan pada kebaya itu. Salah satu hiasan terindah pada kebaya itu adalah batu manik-manik hias yang berkilau.

Manfaat batu bermacam-macam. Batu bisa mempercantik taman, bisa dipakai untuk melukai orang, untuk memperkokoh bangunan, mengusir binatang, menjadi hiasan, bahkan ada yang percaya mitos, batu dipercaya jika diikat dalam baju, bisa menahan mual perjalanan, atau menolak bala.

Sejatinya, batu adalah barang yang fungsional, meski sering dipakai dalam makna konotasi. Kepala batu, artinya manusia keras kepala. Berhati batu, artinya keras hati. Makna positif contohnya dalam kata Batu Karang, yang artinya kuat dan teguh dalam guncangan problema, atau Gunung Batu, artinya tempat pertahanan dan perlindungan.

Dari semua kisah dan fungsi batu di atas, yang paling bikin saya bergidik adalah batu rajam. Di jaman Yunani Kuno, Rajam adalah hukum mati dengan melempari orang dengan batu sampai mati. Hukuman rajam ini terdengar sebagai cara yang keji untuk mati, mengerikan dan seolah tak beradab, serta tak berperikemanusiaan.

Saya teringat suatu kali pernah berhasil menangkap tikus dengan jerat lem tikus di rumah. Karena takut tikus terlepas lagi, buru-buru saya minta tukang sampah membuangnya, namun rupanya kepala si tikus dipukul dulu dengan batu hingga berdarah. Melihat itu seketika saya merasa mual ingin muntah. Saya membayangkan betapa mengerikan hukum rajam, melempari orang hingga mati, pasti seluruh kepala/badannya luka-luka berdarah.

Barangkali memang, seperti kata seorang bijak, kita semua memiliki ‘batu’ dalam diri kita. Batu itu bisa kita keluarkan dalam wujud bahasa atau tindakan. ‘Batu’ kita bisa menjadi benteng buat diri kita. ‘Batu’ kita juga bisa menjadi kerikil bagi orang lain. Kita bisa melempari ‘batu’ pada orang lain dengan bahasa yang kasar atau tindakan yang jahat. Sebaliknya, orang lain juga bisa melakukannya pada kita. Sadar tak sadar, kita bisa perang ‘batu’ dengan saling menghakimi, walau akhirnya kita semua yang terluka.

Namun, sesungguhnya siapakah kita hingga berhak melempar ‘batu’ pada orang yang kita anggap berdosa. Padahal kita juga sama, sesama pendosa. Hanya saja, mungkin dosa kita tidak terekspos.

Alangkah indah dan lebih baik jika kita bisa ‘mengolah batu’ kita untuk manfaat positif. Untuk memperindah, membuat lebih baik, dan membangun. Bukan untuk menjadi senjata untuk melukai sesama kita.

Bukan Tanpa Akhir

Ada sebuah restoran favorit keluarga kami, yang minimal sekali dalam sebulan kami kunjungi. Salah satu menu favorit saya adalah mie lamian khas yang mereka buat secara langsung. Biasanya sambil menunggu pesanan dimasak, saya memerhatikan proses pembuatan mie lamian itu. Tepung yang diadon, diremas, diputar, ditekan, diulen, dibanting, diregang, dibanting, ditarik lagi, berulang-ulang, sampai berkali-kali, hingga bisa dibentuk menjadi mie.

Bagi saya mie lamian itu enak. Beda dengan mie lainnya. Mungkinkah karena proses pembuatannya lebih ‘keras’ dan lama? Mungkin kalau hanya diulen sekali lalu dipotong-potong, bisa saja bentuk atau rasanya berbeda, bukan? Seperti kata orang, proses tidak mengkhianati hasil.

Lalu saya terpikir, apakah hidup kita memang kadang seperti itu. Ketika ada pergumulan, kita merasa menderita seolah hati kita diremas, ditarik, diputar, dibanting-banting, dipukul, disayat-sayat, berulang-ulang, seolah tak ada akhirnya.

Pada akhirnya semuanya ternyata berakhir juga. Dan tanpa sadar, kita sudah setingkat lebih kuat, lebih dewasa, lebih berpengalaman, lebih tahan banting. Naik kelas.

Kalau dianalogikan dengan mie lamian tadi, kita sudah sampai pada fase proses akhir, terbentuk menjadi mie, siap dihidangkan, dan menjadi hidangan nikmat, membawa kesenangan bagi yang menikmati.

Saya jadi ingat, minggu lalu setelah ulang tahunnya yang keenam belas, suatu pagi anak saya ke dapur dan bertanya: Mam, susu sarapanku mana?
Saya menjawab: Mama nggak bikin.
Dia bertanya: Mengapa. Tapi minuman adek Mama bikin.
Saya jawab: Kamu bisa bikin sendiri, kan?
Dia sahuti: Kan biasanya Mama yang bikin.
Jawab saya: Kamu lupa ya, umurmu sudah berapa. Saatnya kamu sudah harus belajar bisa mandiri.
Dia manyun sebentar. Lalu saya mengambil gelas dan memberikan padanya. Dia mengambil susu dan air panas dan menyeduhnya sendiri.

Saya ingat setelah pesta ulang tahun saya ke-17, saya pernah mengeluh, bahwa menjadi dewasa itu tidak enak. Tidak bisa bermanja-manja lagi, semua harus saya kerjakan sendiri. Apalagi kedua orangtua saya bekerja. Kami tidak ada pembantu, saya harus membersihkan rumah sendiri ditambah harus les tiap hari untuk persiapan ujian masuk perguruan tinggi.

Proses pendewasaan itu memang tidak enak, tapi kita harus melaluinya, kata orangtua. Salah satu contoh proses yang ‘menyebalkan’ itu adalah perubahan. Saat itu saya harus bisa mengadaptasi perubahan dari bangun menjadi lebih pagi dan tidur lebih malam, pekerjaan rumah dan pelajaran yang lebih banyak.

Orang yang paling kuat adalah orang bisa beradaptasi dengan perubahan. Begitu kata bapak saya.

Kalau saya ingat hal itu sekarang, terutama dalam kondisi pandemi saat ini, kata-kata itu menjadi motivasi bagi saya untuk saya teruskan pada anak-anak.

Virus Covid-19 entah kapan berakhir, kita harus siap berubah dan menghadapi kondisi ‘new normal’. Semua takkan sama lagi. Kita harus siap menghadapi perubahan, dan terus beradaptasi.

Mungkin saat ini kita sedang dalam fase diregang-regang dan dibanting-banting seperti adonan tepung mie lamian. Mari, bersabarlah, dan tetap bertahan, nanti akan indah pada waktunya.

Jarak antara Kita

Jika ada dua kata yang mendadak familiar dan populer tahun ini bagi saya adalah: Corona dan Masker.

Hampir tiap hari kita menyebutkan atau membaca kedua kata tersebut.

Kedua kata ini, bagi saya, mengandung selipan makna: jarak, atau batas. Karena virus Corona, kita menjaga jarak dengan orang lain. Dengan masker, kita membuat batas dengan orang lain, agar tidak tertular virus Corona.

Karena pandemi ini, kita perlu batas dan jarak dengan orang lain, agar aman. Berbeda dengan kondisi normal, orang-orang menggaungkan pendobrakan batas, mengagungkan pembauran dan memangkas jarak.  

Yang lucu, sementara saya dan teman-teman sudah saling merindu, dan ingin cepat-cepat kopi darat lagi, ada seorang teman, sebutlah X, yang mengungkapkan demikian: Saya lebih suka masa karantina ini. Saya jadi tak perlu bertemu orang-orang yang (sebenarnya) tak saya sukai. Saya tidak masalah tidak harus bertemu orang lain. Yang tak saya sukai di masa karantina ini adalah tidak bisa ke luar rumah untuk melakukan hobi, seperti ke pusat kebugaran atau kafe.

Kalau dipikir-pikir, di satu sisi, si X ada benarnya juga. Hidup kita memang dipenuhi orang-orang, yang tak semuanya kita sukai, atau menyukai kita, tapi kita tak bisa menghindari mereka. Seperti seorang teman lain, Y, yang rupanya, setelah masa karantina ini, baru menyadari, hidupnya selama ini dihabiskan dengan bergaul bersama orang-orang yang tak terlalu ‘berguna’ bagi hidupnya. Si Y merasa lebih bahagia, karena ternyata tanpa teman-teman pergaulannya itu, hatinya lebih damai.

Masa karantina ini memang masa yang bisa membuat orang lebih banyak mengenali dirinya sendiri. Dalam ‘kesendirian’, orang bisa jadi lebih mengetahui apa yang paling diinginkannya dan apa yang paling perlu baginya. Masa isolasi ini, bagaikan masa pemurnian, menjadi wadah bagi kita untuk menyaring lingkaran orang yang berarti bagi kita, yang paling penting dan yang paling kita kasihi.

Sejak beberapa minggu ini sejak pandemi Covid-19, sudah tak ada lagi acara kumpul-kumpul. Physical distancing. Tempat hiburan sudah ditutup. Pesta pun, ada yang dibubarkan. Bahkan ibadah di tempat ibadah pun resmi dilarang. Semua, demi menghindari penularan virus. Orang yang sakit tak lagi boleh dibesuk, orang yang meninggal pun tak lagi bisa dihadiri.  

Lalu, suatu hari, di Jakarta, tiba-tiba saja, di bulan April ini, seorang artis di Jakarta meninggal dunia. Dan, uniknya, semua aturan pembatasan itu seolah tak berlaku. Seolah tak ada aturan physical distancing, ratusan orang lebih, mendatangi jenazah dan berbondong-bondong mengantarkannya hingga ke pemakaman. Tak ada pihak berwajib yang menghalangi atau menahan massa.

Mengapa? Siapa dia, bukan pejabat, bukan rohaniwan terkenal, bukan milyuner, bukan petinggi negara, tetapi mengapa dia begitu istimewa? Sebelumnya juga ada artis yang meninggal dunia, tapi tak boleh dikerumuni banyak orang. Apa yang berbeda dengan orang ini?

Konon, dia tak hanya sekedar artis. Dia juga adalah influencer yang peduli masyarakat dan menjadi penggerak pekerja seni untuk lebih bersumbangsih positif pada negeri ini. Selain suara merdu, otaknya juga cerdas, berjiwa sosial dan berhati tulus.

Bagi saya pribadi, masa muda saya, dipenuhi dengan lagu-lagunya yang penuh arti dan penghayatan. Saya tak mengenalnya secara personal, tapi ada celah dalam hidup saya yang dimasukinya dan dibuatnya lebih indah. Padahal dia tak mengenal saya. Secara tak langsung, dia memberi pengaruh yang baik dalam hidup saya, dan saya berterima kasih atas hal itu, walaupun dia totally stranger dalam hidup saya.

Demikian juga dengan teman saya si X, yang diam-diam sangat berat hati jika harus bertemu dengan kerabatnya, begitu mendengar artis ini meninggal dunia, langsung loncat dan pergi mendatangi rumah duka. Dia juga tak kenal artis ini. Artis ini juga tak mengenalnya. Ini murni hubungan artis dan penggemar. Rupanya Corona pun tak bisa membatasi atau menghalangi rasa ‘kasih’ yang dia miliki bagi orang yang sebenarnya bukan ‘siapa-siapa’nya. Mengapa? Karena, lebih besar dari kadar yang saya punya, bagi si X, artis ini memberi banyak pengaruh positif dalam hidupnya.   

Memang agak ironis.

Kita bisa dekat dengan orang lain secara fisik, tapi bisa jadi hati kita tak berada di sana. Bisa saja kita jauh secara fisik, tapi hati kita berada pada orang-orang yang kita pedulikan, dan orang yang sungguh kita kasihi serta mengasihi kita.

Akan tetapi, jika kita cukup bijak, kita tentu boleh kurang setuju dengan sikap si X. Kita tak bisa hidup hanya dengan orang-orang yang kita sukai saja. Ada kalanya, orang-orang yang tidak kita sukai itu justru bersumbangsih positif dalam hidup kita. Mau tak mau, mereka membuat kita lebih baik, atau harus berubah lebih baik. Bukankah kita memang sering terpaksa oleh keadaan? Contohnya, karena terbiasa bergaul dengan tukang gossip, kita jadi ‘terpaksa’ belajar untuk memilih ucapan dan menyimpan rahasia. Hal itu baik, bukan?

Bagaikan emas, mungkin mereka adalah api yang membakar dan menyepuh kita hingga kita memiliki bentuk yang lebih bagus.

Mungkin bukan analogi yang paling tepat, tapi, seperti seorang bayi yang dilemparkan ke kolam renang, dia bisa bertahan dengan belajar terus bergerak agar terapung dalam air, walaupun itu melelahkan dan tak menyenangkan. Demikian juga hidup. Kita harus bisa bertahan dengan kehadiran orang lain, kita sukai atau tidak, memberi sumbangsih dalam pembentukan karakter hidup kita. Manusia menajamkan sesamanya. Kita tak bisa hidup tanpa orang lain.

Terkadang orang hadir dalam hidup kita dengan peran yang  berbeda. Tapi kita harus bisa menerimanya, semuanya. Itu mungkin sudah satu paket. Tak bisa kita tawar, jika kita ingin mengalami pertumbuhan.

Orang-orang hadir dalam hidup kita dengan alasan atau tujuan tertentu. Ada orang yang hadir dalam hidup kita untuk menjadi ujian bagi kita, ada untuk menjadi berkat. Percayalah. Semua itu baik untuk kita, eventually.

Memang mudah untuk dikatakan, tak semudah prakteknya.

Hehehe.

Pelangi di Langit Jakarta

Beberapa waktu setelah Pemerintah mengumumkan wabah Covid-19 resmi masuk ke Indonesia, di media sosial seorang teman memposting sebuah gambar pelangi di langit Jakarta. Saya suka caption-nya. ‘Semoga pandemi ini segera berakhir dan kita menyongsong hari esok yang lebih baik.’

Virus Corona telah memaksa kita berdiam di rumah, menjauh dari orang lain. Kita bagai dipaksa ‘bertapa’. Tak bisa bertemu kerabat atau sahabat, tak bisa pergi ke tempat-tempat hiburan, dan setiap saat dilanda rasa kuatir. Rasanya memang tidak nyaman. Tapi mari lihat sisi lainnya.

Hari-hari pertama tinggal di rumah, masih serasa libur atau sedang cuti. Beberapa hari berikutnya mulai terasa bingung. Setiap hari, karena semua anggota di rumah, rasanya senang tapi jadi lebih lelah. Rumah tak sempat rapi, makanan harus selalu tersedia, anak-anak juga banyak PR dari sekolah.

Minggu berikutnya, para Ibu sudah mulai bingung mau memasak menu apa. Tapi Ibu-ibu Indonesia memang luar biasa. Di media sosial bertebaran gambar hasil masakan. Seorang teman pebisnis, yang saya kira mengupas bawang pun tak bisa, ternyata bisa membuat masakan yang terbilang rumit. Yang terbiasa berparfum mahal, sekarang bau bawang dan asap di dapur. Yang biasa menenteng tas bermerk, sekarang selalu memakai celemek. Luar biasa.

Bagi yang kreatif, masa karantina ini memang bisa menjadi ajang mencoba resep-resep masakan baru. Teman saya bilang, setelah dua minggu, inilah rekor terlama dalam hidup dia tiap hari memasak di rumah dan tak pernah makan di luar. Lalu teman-teman lain yang tak pernah masak, mendadak jadi chef. Dan keluhan yang paling banyak, adalah, coba tebak…
(Berat badan meningkat!)

Mereka yang suka kerajinan tangan, kini jadi kreatif membuat karya, baik jahitan, berupa masker, sulaman, taplak, kain lap, dan lainnya. Bagi yang suka berkebun, saat ini pas untuk bercocok tanam sederhana, mulai menanam benih atau menata taman/pekarangan.

Untuk mereka yang suka membaca, karantina ini menjadi waktu yang memadai untuk menghabiskan bacaan favorit. Baik itu novel atau bacaan e-book. Mereka yang suka menonton film atau drama berseri, saat ini adalah waktu yang berlimpah untuk ikut baper-ria. Bagi yang hobi main ponsel, waktu luang digunakan main tebak-tebakan dengan teman-teman di dalam grup chatting. Dari mulai tebak-tebakan gambar, hitungan, menyusun puzzle huruf, hingga tebak muka artis lawas. Yang terakhir, bikin seorang teman terpingkal-pingkal, karena ada foto Rano Karno muda yang sangat tampan, hingga anaknya tidak percaya kalau itu Rano Karno, katanya.

Teman lain tak kalah kreatif, dia membuat hand sanitizer dan menjadikannya peluang bisnis. Juga seorang kerabat yang berjiwa sosial tinggi, sibuk mengajak teman lain mengumpulkan donasi untuk membantu kalangan yang terkena dampak Covid-19.

Selama karantina ini, kita jadi punya waktu lebih untuk melakukan hal-hal yang sebelumnya tak sempat kita lakukan. Baik itu olahraga bersama keluarga, beribadah di rumah, olahraga bersama, berjemur bersama (serasa di pantai, hehehe), makan pagi-siang-malam bersama, dan bisa melakukan hobi.
Seorang teman saya bahkan sempat menggunakan waktu untuk membongkar barang-barang lama, dan menemukan buku harian, koleksi prangko waktu remaja dan surat cinta dari bekas pacar. Seru, kan, jadi bisa nostalgia. Hehehe.

Dari semua kreatifitas itu, masa karantina ini adalah waktu yang paling menyenangkan bagi mereka yang hobi tidur. Seperti lagu lucu-lucuan: Bangun tidur, tidur lagi, kalau lupa, tidur lagiiii…

Tanpa kita sadari, semua itu adalah contoh sisi positif yang tak kita duga dalam masa pandemi ini. Jika orang bijak mengatakan, penderitaan itu baik buat kita, maka inilah salah satu contohnya. Kita menderita karena kuatir wabah Covid-19, karena ruang gerak kita terbatas, atau karena kehilangan orang yang dikasihi, atau karena jadi kekurangan mata pencarian, dan lain sebagainya.

Akan tetapi jika kita pikir lagi, dengan adanya peristiwa ini, kita dituntut menjadi pribadi yang lebih baik, lebih tangguh, lebih kuat dan lebih kreatif, serta lebih bersyukur.

Bagaimana kita tidak bersyukur, kita bisa menikmati waktu lebih bersama dengan keluarga. Kita ada waktu untuk berkreasi, menemukan kemampuan lainnya dalam diri kita. Kita ada waktu untuk meneliti diri, merenung dan menyadari, arti hidup yang sesungguhnya. Bahwa tak ada yang abadi, materi bukanlah segalanya, dan keluarga adalah milik kita yang paling berharga.

Seperti pelangi yang muncul setelah badai, kita semua berdoa, semoga pandemi ini segera berakhir dan kita menyongsong hari esok yang lebih baik.

Penyesalan

Wahai Petrus,

Ingatkah kau,

di malam Perjamuan Terakhir,

Ketika Yesus berkata,

“Malam ini kamu semua akan tergoncang iman karenaKu.”

Lalu dengan lantang kau langsung lebih dulu menyahut,

“Bukan aku, Tuhan! Mereka semua mungkin tergoncang imannya, tapi aku tidak akan!”

Ah, Simon, nelayan dari Galilea. Mentang-mentang kau adalah murid pertama yang direkrut Yesus, kau merasa paling hebat rupanya.

Lalu Yesus menatapmu dan berkata,

“Sebelum ayam berkokok, engkau telah menyangkal Aku tiga kali.”

Tatapan itu tajam dan dalam. Sendu.

Tapi kau tetap terlihat percaya diri. Kau tidak yakin. Kau memang selalu begitu. Pernahkah ucapan Yesus salah?

Lupakah kau, di danau Genesaret, ketika Yesus menyuruhmu menebarkan jala, setelah semalaman tidak mendapatkan ikan, terjadi mujizat, kau mendapat ikan dalam jumlah besar.

Duhai Petrus,

Ketika Yesus ditangkap,

Kau sedang duduk di luar di halaman.

Tak diduga, seorang hamba perempuan,

mengenali kau dan berkata,

“Kamu terlihat sering bersama Yesus, kan?”

Kau adalah murid yang paling sering bersama Yesus di depan orang banyak. Misalnya ketika Yesus bertemu pemungut cukai, ketika Yesus mengamuk di Bait Suci karena dijadikan tempat berdagang, atau ketika Yesus mengutuk pohon ara. Kau tentu populer.

Hamba perempuan itu sampai-sampai bisa mengenalimu. Dia hanya seorang hamba, pun seorang perempuan, tetapi bisa membuat kau ketakutan:

“Apa kau bilang, aku nggak mengerti ucapanmu! Ngawur saja!” jawabmu dan pergi menjauh.

Di mana keberanianmu, seperti yang kau tunjukkan, dulu.

Di danau Galilea, ketika kau juga ingin berjalan di atas air, seperti Yesus. Oh rupanya, sama saja, kala itu pun kau menjadi takut dan mulai tenggelam, lalu Yesus memegangmu naik ke kapal.

Lalu di pintu gerbang,

Masih saja ada, seorang hamba lain, yang mengenalimu juga.

“Bukannya kau sering bersama Yesus?”

Hanya seorang hamba, tapi kau makin ketakutan:

“Sembarangan, aku tidak kenal sama dia!” sahutmu makin garang.

Tak kuduga sikapmu sepengecut itu. Padahal ketika Yesus akan ditangkap, kau sungguh gagah, menghunus pedang dan memotong telinga kanan  Malkhus, hamba Imam Besar yang mencoba menangkap Yesus.

Lalu orang-orang di sekitarnya pun memerhatikanmu

Karena logat bahasamu berbeda.

“Pasti kamu teman Yesus, ketahuan dari logat bahasamu,” kata mereka, mulai mendesakmu.

Lalu kamu panik, tak kuasa menahan ketakutan,

Mulai mengutuk dan bersumpah:

“Sumpah! Aku tidak kenal orang itu.”

Orang itu, katamu. Orang itu, Yesus.

Yang beberapa jam lalu kau katakan dengan percaya diri yang berlebihan:

 “Sekalipun aku harus mati bersama-sama Engkau, aku takkan menyangkal Engkau.”

Dan pada saat itu berkokoklah ayam.

Lalu berpalinglah Tuhan memandang kau, Petrus.

Lihat. MataNya penuh kesedihan.

Ucapanmu terngiang: “Imanku tak akan tergoncang! Mereka semua mungkin tergoncang imannya, kecuali aku!”

Kemudian kau teringat ucapan Yesus.

Ayam berkokok baru sekali, kau sudah menyangkal Yesus tiga kali.

Lalu kau hanya bisa melarikan diri menyembunyikan tangis.

Aduhai, Petrus,

kau yang paling suka tampil, selalu ingin di depan, sok gagah, sok kuat, sok pemimpin, sok paling hebat,

ternyata kau

Tak lebih baik dari murid-murid yang lain.

Tak juga lebih baik dari aku.

Aku, tak menyangkali Yesus di depan orang lain.

Aku bahkan menyapa dan menciumNya di hadapan para Imam dan Farisi.

Aku,

yang tak mengira Yesus diam saja ketika ditangkap.

Bukankah Dia anak Allah? Bisa melakukan mujizat?

Aku tak menyangka Yesus terima saja dijatuhi hukuman mati.

Bukankah mudah saja bagiNya melepaskan diri?

Mengapa Dia diam saja disesah, disiksa dan dihukum tanpa bukti, lalu disalibkan?

Mengapa?

Mengapa harus aku yang menjualNya hanya dengan uang tiga puluh perak,

yang kukembalikan ke pada imam kepala dan Tua-tua tapi ditolak,

lalu kulempar ke Bait Suci,

itu tak sebanding dengan nyawa Tuhanku!

Kita sama saja, rupanya, Petrus.

Kau menyangkal, aku berkhianat.

Kita sama-sama melarikan diri

dalam tangis dan penyesalan.

-*-

10Apr20 -Good Friday-