Tag Archives: perang

Penolakan di Sintang, Bentrok di Bandung, Meraup Pundi Emas di Tengah Kekacauan

Bagaimana mungkin warga NKRI ditolak untuk menginjakkan kaki di belahan Bumi NKRI juga? Inilah yang terjadi. Menyedihkan memang membaca dan melihat foto-foto Wasekjen MUI Tengku Zulkarnain ke Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat mendapat penolakan dari Pemuda Dayak Kabupaten Sintang, Kamis (12/1/2017) siang.

Terlihat, Tengku hanya sampai di pintu keluar, dan di bawah pesawat telah ada kerumunan masyarakat adat Dayak. Bijaksana ketika Tengku memilih untuk masuk lagi ke pesawat dan meninggalkan lokasi untuk kemudian mendarat di Pontianak, Kalbar.

Meskipun di media sosial ada yang “nyinyir” dengan memberi komen,”Padahal tinggal turun dari pesawat, ia punya kesempatan mati syahid. Tapi ia malah milih masuk ke dalam (pesawat). Sayang sekali.” Jika terjadi kekacauan di sana, tentu saja yang rugi adalah masyarakat Kabupaten Sintang sendiri.

Peristiwa Wasekjen MUI Tengku Zulkarnain ditolak turun dari pesawat oleh Pemuda Dayak Kabupaten Sintang terjadi di hari yang sama dengan bentrok dua kubu FPI dan simpatisannya dengan Gerakan Masyarakat Bawah Indonesia (GMBI) yang mewakili masyarakat Pasundan.

Pada Kamis (12/1) itu, pemimpin FPI Rizieq Shihab diperiksa Polda Jabar terkait aduan atas penghinaan terhadap lambang negara Pancasila. Dua massa berhadap-hadapan, antara FPI dan GMBI.

Masyarakat Pasundan terjangkit rasa antipati terhadap Rizieq Shihab pimpinan FPI karena dianggap menghina sapaan masyarakat Sunda, Sampurasun. Dan ini mengkristal menjadi sikap siap bentrok dengan FPI.

Inilah ekses dari gerakan sekelompok orang yang menganggap diri mereka yang paling benar untuk urusan agama plus menuding-nuding pihak lain “enggak bakalan punya kapling di sorga”. Dalam realitas, sekat-sekat di masyarakat menjadi semakin mengeras.

Pada titik tertentu, mereka akhirnya berhadapan dengan masyarakat yang mengatasnamakan adat. Terjadilah irisan tajam antara “kaum sorban putih” dan “kaum adat”.

Ya saya memakai tanda kutip dengan kesadaran penuh, karena saya meyakini ini cuma kata yang memiliki arti khusus namun tidak mewakili keadaan mayoritas Indonesia pada umumnya.

Ini membangkitkan memori kolosal kita atas peristiwa Perang Padri di tanah Minangkabau, di mana kaum adat diadu domba dengan kaum agama oleh penjajah Belanda. Pada peristiwa ini, Belanda yang menang, bukan pihak-pihak yang berseteru.

Apakah memang ini yang diinginkan para aktor utama kekacauan di negeri ini? Akhirnya sesama anggota masyarakat saling berhadapan, saling membenci, dan mencurigai sehingga gampang diadu-adu demi timbul kekacauan.

Kekacauan pada akhirnya memang bisa diekspolitasi untuk menghasilkan pundi-pundi emas. Contohnya gampang. Pasar Tanah Abang, Jakarta Pusat, saja lihat. Jika Anda membawa kendaraan bermotor, dan bingung karena parkiran enggak jelas mana yang resmi mana yang tidak, pasti akan ada sekelompok preman yang akan “membantu mengaturkan” Anda parkir di mana.

Nah duit parkirnya larilah ke tempat yang tak terlacak. Dan ini baru urusan perparkiran, belum lagi jasa keamanan, dan berbagai jasa lainnya untuk memberi jaminan bahwa segala sesuatunya berjalan normal.

Tapi ini akan beda kalau sekonyong-konyong tertancap di situ mesin parkir dengan juru parkir yang semuanya dikelola pemda. Keteraturan lokasi parkir tercipta, pemasukan juga jelas mengalir ke pemda, dan kemacetan juga tidak terjadi. Contohnya yang jelas ya Jalan Sabang, Jakarta Pusat.

Nah, kalau Indonesia kacau, korupsi akan makin merajalela. Konspirasi politik akan makin asyik menari-nari. Tiba-tiba negeri ini apapun bisa dijual ke pihak lain dan dananya masuk ke rekening pribadi para pembesar. Kita akan kembali mundur seperti masa-masa kelam Orba lalu. Mau? Tentu tidak.

Aparat penegak hukum tentu sangat diperlukan ketegasannya agar kekacauan berujung bentrok antarkelompok tidak terjadi. Keberpihakan terhadap hukum positif dan hak asasi manusia jelas harus didahulukan.

Publik pasti sempat bingung, kok bisa-bisanya fatwa MUI jadi landasan kepolisian di daerah buat bertindak. Untung saja, Kapolri tidak ragu untuk menganulir keputusan yang dibuat kepolisian di daerah.

Ketidakraguan memang menjadi jawaban. NKRI harga mati. Ini yang ditegaskan Presiden Jokowi beberapa kali untuk menyatakan bahwa kepastian hukum dan kedaulatan negara adalah segalanya.

Semoga saja preseden buruk kejadian di Sintang dan bentrok FPI dan masyarakat adat tidak menular ke tempat-tempat lain di negeri ini. Bagaimana mungkin warga republik ini tidak bisa berkunjung ke wilayah negerinya sendiri?

Harapan terbesar saya, tidak ada lagi peristiwa penolakan-penolakan antar sesama anak bangsa. Tentu termasuk di dalamnya penolakan terhadap kehadiran Ahok atau Basuki Tjahaya Purnama sebagai calon gubernur DKI saat berkunjung ke sebuah wilayah di Jakarta.

Tahan diri, tahan omongan, jangan gampang menghakimi orang lain, dengan demikian orang lain pun akan hormat dan justru berharap kita datang bertamu ke wilayahnya. Dan ingat, jika kita hanya dalam posisi menjadi korban atau sekadar pion yang dikorbankan oleh para tuan di belakang barisan, jangan mau!

Kita yang rugi, dan orang lain yang menikmati.

 

Foto: Pixabay

“Rogue One: A Star Wars Story”, Harapan Melawan Kehancuran Mobile Casino Online at your Fingertips

Tampang Mad Mikkelsen yang muncul pada adegan dramatis pertama di layar lebar saat menonton Rogue One: A Star Wars Story benar-benar membuat saya berpikir,”Waduh penjahatnya dia lagi, bakalan sadis nih film.”

Mad Mikkelsen adalah jaminan mutu tokoh antagonis kelas wahid, penjahat kakap kelas sadis. Lihat saja deretan filmnya sebagai antagonis atau penjahat, serial film James Bond Casino Royale, dokter psikologi sadis dalam serial Hannibal si pemakan manusia, bahkan yang terbaru sebagai pembunuh lintas dimensi di film Doctor Strange.

Mobile Casino Online at your Fingertips

 

Playing mobile casino online lets you play your favourite games wherever and whenever you want. Looking to enjoy a few spins on your daily commute or while you’re in one of those never-ending queues? LeoVegas has you covered! With a smooth design that looks amazing on mobile, you can enjoy uninterrupted entertainment, spin after spin. Winner of ‘Online Casino of the Year’ at the Global Gaming Awards and ‘Mobile Operator of the Year’ at the International Gaming Awards in 2019, this is mobile casino done right. Speaking of the award-winning app, why not download it for yourself? The LeoVegas mobile app is available on both Android and Apple devices. So, what are you waiting for? It’s time to maximise your mobile casino online escapades!

An Online Casino Bonus that gives You the Royal Treatment

 

The red carpet is rolled out and waiting for you to pass beyond the front door of our online casino. What’s at the end of this carpet? An exceptional online casino bonus that you can use after sign-up and first-rate rewards, of course. These are suitably complemented by clear values of distinction and a genuine appreciation for your loyalty as you play at LeoVegas online casino. Looking for additional free spins, promotions, and even VIP trips? All this and more awaits!

An Online Casino that Cares for You

 

At LeoVegas casino, we take pride in our players. You are what makes us who we are after all! As a way of appreciation, you can expect only the best possible casino care. Browse through the in-depth FAQ pages to find the answers you’re looking for, or take advantage of 24-hour live support from a team of multilingual support agents available through live chat, phone and email. If you have any gambling related concerns, you can visit our responsible gaming resource, LeoSafePlay.

Namun ternyata alur cerita yang berjalan tidak sesuai perkiraan saya. Si antagonis ini malah jadi pusat jalan cerita dari film “sempalan” alias spin off dari Star Wars.

Rogue One menjadi film prolog untuk rangkaian cerita Star Wars. Tidak ada kisah Luke Skywalker dan jedi, meskipun ketika penutupan film Star Wars sebelumnya, The Force Awaken, tahun lalu ditutup dengan penampakan Luke.

Jadi, jika kita tidak mengikuti kisah Star Wars dari awal, film ini masih enak untuk dinikmati. Spin-off Star Wars ini menjadi film pertama dari rangkaian seri Star Wars Anthology yang sedang dibuat.

Balik lagi ke Mad Mikkelsen. Ternyata dia berperan sebagai Galen Erso, seorang ilmuwan Galactic Empire yang menciptakan Death Star, sebuah senjata penghancur massal yang diinginkan Imperial Military untuk menghancurkan Rebellion.

Death Star sendiri telah muncul beberapa kali sebelumnya dalam beberapa sekuel Star Wars. Ini senjata mematikan yang bisa menghancurkan satu planet dalam sekali pancaran laser.

Galen Erso rupanya berubah pikiran, meski dia tak kuasa untuk menahan terciptanya alat paling berbahaya sepanjang kisah Star Wars ini, Galen meletakkan kelemahan tersembunyi pada alat ini.

Kekhawatiran Galen terhadap keselamatan anaknya, Jyn Erso (Felicity Jones), membuat gadis kecil ini harus diselamatkan dan dipercayakan kepada Saw Gerrera (Fores Whitaker). Jyn Erso, anak Galen, pada akhirnya bertugas sekaligus berambisi mencari data dan peta yang diperlukan untuk menghancurkan Death Star.

Petualangan Jyn saat beranjak dewasa membawanya ke markas pusat Rebel Alliance. Di markas tersebut, Jyn ditawarkan sebuah misi, yaitu menemukan ayahnya dan mencari tahu kelemahan dari Death Star.

Jyn yang lama tak bertemu ayahnya, menerima misi tersebut, dan bergabung bersama Kapten Cassian Andor (Diego Luna) dan K-2SO (Alan Tudyk). Di tengah perjalanan, Jyn bertemu dengan Bodhi Rook (Riz Ahmed) – pilot Imperial yang membelot pada Rebellion, serta Chirrut Imwe (Donnie Yen) dan Baze Malbus (Jiang Wen) yang bergabung untuk membantunya melaksanakan misi.

Galen Erso memberi informasi tentang kelemahan Death Star lewat pilot Bodhi Rook. Hologram bicara dari Galen yang jadi pijakan Jyn untuk menerobos ke markas pembuatan Death Star di planet Kyber.

Pada akhirnya, misi hidup dan mati itu adalah mengambil peta struktur Death Star di dalam markas Kyber. Perang besar di angkasa pun terjadi, Aksi kungfu nan magis dari Chirrut Imwe yang diperankan aktor kungfu Donny Yen sangat mewarnai film ini.

Jadi, bayangkan. Galen Erso yang ilmuwan andalannya Darth Vader tiba-tiba memberi kelemahan soal Death Star, senjata mematikan. Jyn Erso cuma tahu infonya dari hologram ayahnya yang berbicara. Bahkan misi “bunuh diri” ke markas Imperial Military saja cuma dibantu oleh sebagian kecil pasukan Rebel Alliance.

Benar-benar kecil sekali kemungkinannya bahwa misi akan berhasil. Lebih dari itu, jika pun misi menerobos areal musuh berhasil, tidak ada keyakinan yang cukup pula untuk memastikan bahwa informasi dari Galen Erso itu benar.

“Kita punya harapan!. Pemberontakan ini dibangun di atas harapan, bukan begitu?” kata Jyn Erso. Satu kata magis ini–“harapan”–mengubah dan menggugah sikap pasukan Rebellion.

Film ini mementaskan sebuah tema besar. Harapan. Sebuah kata yang semakin sulit kita dalami maknanya.

Banyak orang yang lebih memegang teguh pada rasa ketakutan–“rasa Darth Vader”–untuk mengambil keputusan, bukan pada harapan untuk mencapai tujuan.

“Takut akan terjadi A, maka kita ambil keputusan B”

“Takut tidak berhasil begini, maka kita putuskan langkah begitu”

Itulah yang sering kali kita pikirkan dalam mengambil keputusan, atau saat ingin mencapai tujuan.

Saat tokoh pemberontak Saw Gerrera berteriak nyaring kepada Jyn Erso,”Selamatkan Rebellion, selamatkan impian!” Saat itulah Jyn Erso yakin, bahwa impian harus dibangun dari harapan.

Jika hanya takut pada Darth Vader dan kekaisarannya, semua usaha akan jadi sia-sia karena semua hanya bersifat antisipatif. Namun, misi inilah kali pertama, harapan bahwa Rebellion selangkah lebih maju.

Keinginan membangun segala sesuatu dan mencapai sebuah tujuan harus dilandasi dengan harapan. Dengan harapan, kita tak akan mudah putus asa meski keinginan yang hendak dicapai masih terasa jauh.

“I’m one with the Force, and the Force is with me.” Chirrut Imwe

Pesta Bom pada Suasana Natal di Kakas, Minahasa 1941

Desa Talikuran, Kecamatan Kakas, 26 Desember 1941. Halaman muka gereja desa Talikuran, yang terletak di Kecamatan Kakas, Minahasa, sejak pagi-pagi sekali sudah penuh dengan anak-anak yang asyik bermain-main.

Mereka semua tengah menunggu dibukanya acara kebaktian Hari Kedua Natal yang tepat jatuh pada hari Jumat itu. Sementara di ruang dalam gereja, Pendeta Wim Wagay bersama koster (penjaga gereja) sibuk baku atur persiapan-persiapan kebaktian kudus yang dimulai pukul 08.00 pagi.

Menurut rencana, pada pagi hari itu, Pendeta Wagay akan membaptis lima puluh anak-anak muda, termasuk di antaranya seorang lekaki dewasa. Yang terakhir ini adalah Kepala Pengawas Listrik Kecamatan, Ir.Soedarjono. Pemuda Jawa ini akan di baptis, berhubung tak lama lagi bakal menikah dengan seorang gadis asal desa Talikuran, Tine Sumaiku.

Sebagai desa yang terletak di jantung wilayah Minahasa yang penduduknya mayoritas penganut Kristus, sudah barang tentu suasana Natal sangatlah semarak dan penuh pesta pora.

Lagu-lagu Natal bergema semalaman tanpa istirahat di tiap lorong dan relung kampung desa. Dan sampai pagi itupun, lagu-lagu pujian masih terbawa juga oleh kanak-kanak yang riuh di depan gereja.

Suara-suara mereka berbaur di dalam nada-nada yang berbeda, mereka nyanyikan lagu-lagu: Malam Kudus, Damai di Bumi, Yesus telah Lahir, dan lain-lainnya, dan tidak beraturan.

Tetapi apa yang terjadi kemudian? Gema suara yang menggembirakan itu tiba-tiba tersirap oleh suara-suara lain yang sebelumnya belum pernah mereka kenal. Semua mata terdongak ke angkasa raya dari mana sumber suara asing itu meraung-raung.

Maka terlihatlah di udara pada ketinggian tertentu semacam “burung-burung besi” yang membentuk formasi yang mencengangkan. Tampak sangat jelas di atas desa, para “burung besi” memecah dan menukik ke bawah seraya menyemburkan suara-suara ledakan merentet berkesinambungan.

Benda-benda itu sambil memain-mainkan keluasan udara dalam jarak rendah memuntahkan mesiu laksana siraman api yang meledak-ledak memekakan telinga. Baru sadar sekarang, bahwa benda-benda itu tak lain tak bukan adalah pesawat-pesawat tempur jenis “Zero” milik bala Tentara Dai Nippon.

Sasaran-sasaran mereka mengarah tepat di landasan militer Kalawiran, dan juga Pangkalan Udara Tasuka, yang terletak di tepi Danau Tondano.

Sebuah pesawat air jenis “Sikorski” milik KNILM (Koninklijk Nederlandsche Indisch Luchtvaart Maatschappij) yang tengah mengisi bahan bakar menjadi sasaran pertama, seketika itu juga meledak berkeping.

Tak terkecuali juga pesawat air yang lain milik Angkatan Laut Hindia-Belanda jenis “Dornier” yang sedang menanti giliran memperoleh bahan bakar, walaupun sudah berusaha menghalau “tamu-tamu” yang terdiri dari enam pesawat tempur dengan mitraliur ukuran 20 mm, namun agaknya sia-sia belaka.

Sersan No’e dan beberapa rekannya dari Angkatan Laut Hindia-Belanda memang sudah bekerja keras berusaha menyingkirkan pesawat pesawat Jepang itu. Tetapi nasib buruk tetap tak bisa dibendung, karena berondongan peluru dari udara lebih tangkas berperang.

Akibatnya, selain sang “Sikorski”, empat “Dornier” pun menjadi berantakan dalam tempo pendek dan lumat pelan-pelan ditelan air Danau Tondano.

Bom-bom bakar musuh yang menghujani sekitar lapangan terbang Tasuka mengakibatkan mandi darah yang dahsyat bagi anak-anak muda yang pada Malam Natal masih menyanyi lagu-lagu kelahiran kelahiran Kristus.

Seorang Kapten pilot KNILM yang berhasil melompat saat pesawatnya jatuh merenangi Danau Tondano melihat anggota-anggota KNIL di semak-semak yang tidak bergerak sedikit pun dan kembali dengan perahu ke pesawat untuk mengamankan sebanyak mungkin korban yang luka berat. Seorang diri dia berhasil membawa beberapa beberapa orang ke daratan.

Ketika dengan sangat letih sampai di dermaga dengan angkutannya terakhir, dia melihat seorang opsir berpakaian rapih, lengkap dengan tanda-tanda jasa, muncul dari rerumputan yang tinggi.

Si penerbang itu, perwira R, gemetar gemas karena amarah hingga ia berteriak: “Lakukan sesuatu! Tolong orang-orang ini.” Tetapi ia memperoleh jawaban dari opsir ini: “Maaf, tetapi saya tak boleh memberitahu posisi saya sebelum menyerang…”

Keadaan menakutkan yang hadir begitu tiba-tiba itu, menerbitkan kepanikan yang amat sangat bagi penduduk di desa-desa yang mengelilingi kedua lapangan terbang di wilayah Minahasa itu.

Acara suci gereja yang sedianya diusahakan dengan penuh kedamaian, menjelma dengan hiruk pikuk kekacauan. Wanita-wanita berteriak histeris mencari anak-anak mereka, demikian juga tangisan anak anak terdengar melengking-lengking memanggil ibu-ibunya. Masih disebut untung, karena pesawat-pesawat tempur sama sekali tidak mengarahkan sasaran bom-bomnya di pekarangan gereja di desa itu.

Arkian, setelah melakukan penyerangan sekitar tiga puluh menit, pesawat-pesawat tempur itu menghilang di balik pegunungan Lembean. Acara kebaktian batal.

Penduduk sibuk berkemas mengungsi ke kebun-kebun di luar desa, yang dianggap aman oleh mereka. Gerobak-gerobak kayu yang ditarik sapi atau kuda, dan sarat oleh perabotan rumah tangga tampak memenuhi jalan-jalan desa.

Pendeta Wagay pun telah berada di rumahnya. Ia berusaha membujuk puteranya, Johny yang belum berhenti menangis karena saking ketakutannya pada suara-suara ledakan memekakan telinga beberapa selang.

Begitu Johny Wagay berhenti menangis dan sudah terbujuk, Wim Wagay keluar rumah, ingin tahu apa sebenarnya yang terjadi. Di luar rumahnya terlihat sebuah sepeda yang ditinggalkan pemiliknya. Tanpa pikir panjang, dikayuhnya sepeda itu dan langsung ke arah Tasuka yang letaknya sekitar 3 kilometer dari desa Talikuran.

Ketika itu, pintu masuk Tasuka dijaga oleh Sersan Daniel Timbongol, seorang prajurit pensiunan KNIL yang tergabung dalam korps cadangan. Ia bertugas jaga ketika serangan mendadak itu terjadi.

Begitu dari kejauhan ia melihat Pendeta Wagay datang dengan sepeda, seolah mendapat semangat, Timbongol memanggil rekan-rekan yang dalam suasana siaga bercampur panik.

Merekapun berkumpul mengelilingi Wagay saling memperbincangkan peristiwa yang baru saja terjadi. Sementara mereka saling berembuk, tiba-tiba terdengar lagi raungan suara mesin pesawat tempur.

Pesawat Jepang ternyata kembali lagi. Semuanya berlari berpencar mencari tempat lindung. Ledakan suara keras, seraya terlihat drum-drum minyak beterbangan di udara. Yang menjadi sasaran pesawat penyerang kali ini adalah gudang-gudang logistik bahan bakar.

Mereka hancurkan dengan hujan tembakan mitraliur dan bom. Sungguhpun pesawat itu dihalau juga dengan mitraliur, tetapi kiranya penerbang Nippon cukup lincah menghindar dari peluru-peluru dan langsung menghilang dibalik bukit-bukit.

Penyerangan hari itu berlangsung cukup singkat, tetapi berhasil menghancurkan sebagian dari kekuatan udara pemerintah Hindia-Belanda di wilayah Utara Sulawesi yang menjadi pintu gerbang belahan utara gugusan kepulauan Zamrut Khatulistiwa.

Dengan gebrakan singkat itu berarti invasi pihak Dai Nippon ke Selatan menjadi kenyataan. Pusat militer Hindia-Belanda yang berpusat di Bandung dalam waktu cepat menerima laporan mengenai bobolnya pertahanan di wilayah itu.

Sejak penyerbuan Jepang di Pearl Harbor pada tanggal 7 Desember 1941, usaha invasi berjalan begitu singkat untuk mengadakan perembesan ke wilayah selatan Asia-Timur.

Kekuatan-kekuatan koloni Amerika di Filipina, Prancis di Indo Cina, Inggris di Semenanjung Malaya dan Belanda di Indonesia tidak mendapat dukungan sepenuhnya dari masing-masing pemerintah pusatnya.

Selain karena hancurnya sebagian besar kekuatan armada laut di kawasan Samudera Pasifik, ketika itu Amerika belum lagi memiliki suatu sikap yang jelas menghadapi Jepang dengan tindakan militernya.

Hal ini disebabkan masih kuatnya pengaruh politik isolasi (baca: Doktrin Monroe), hingga belum terlihat adanya ambisi untuk mengambil peranan di dalam percaturan politik global di bidang kekuatan militer, sedangkan di Eropa tengah dilanda peperangan.

 

Harry Kawilarang

Tulisan ini dimuat seizin penulis. Laman asli tulisan ini lihat di halaman Facebook dari Harry Kawilarang

Penulis adalah wartawan senior yang pernah bekerja di Harian Sinar Harapan dan Suara Pembaruan | pemerhati sejarah Indonesia

Sumber Foto dan Bahan Tulisan dari buku Mengindonesiakan Indonesia oleh Harry Kawilarang

Dokter Lintas Batas: Memenuhi Panggilan Jiwa dan Kemanusiaan di Wilayah Konflik

Seorang gadis kecil berlari-lari kecil mengekor di belakang ibunya yang tergesa melintas di depan puing bangunan yang hancur dihantam bom lewat serangan udara di satu kota kecil yang mereka tinggali di Afrika. Sebentar ia berhenti, menengok ke kanan, matanya sembab dan berair, ada riak di pipinya yang berkilat disorot kamera, tangan kanannya teracung.

Sebuah kalimat berjalan tak jauh dari kakinya, tepat saat jarinya menunjuk ke mata saya yang terpana di depan layar … WHAT’S WRONG WE HAVE DONE?

Mata itu menatap penuh tanya dan harap; menyedot energi yang melesak ke dalam sorotnya. Mengingatkan pada tatap tak berdosa anak -anak Nyanga dalam Black Butterflies, juga sorot mata anak-anak dan perempuan dalam Sometimes in April.

Visualisasi penggalan kisah perjalanan James Maskalyk saat bertugas sebagai dokter Médecins Sans Frontières (MSF) di Abyei, Sudan di buku A Doctor without Borders yang saya baca beberapa tahun lalu. Buku berisi catatan-catatan James yang sebelumnya dituangkan dalam blog pribadinya Six Months in Sudan.

Apa yang dialami oleh gadis kecil dan ibunya, serupa dengan yang terjadi dan dirasakan oleh mereka yang tinggal di beberapa bagian dunia yang sehari-hari was-was karena pertikaian yang masih saja berlangsung di negaranya. Potongan film dokumenter di atas bukan di Abyei tapi Abs, Yaman Utara, saat rumah sakit yang dikelola oleh MSF terkena serangan udara pada Senin, 15 Agustus 2016 lalu.

Dr Lukman Hakim, salah seorang dokter MSF asal Indonesia yang bertugas di Abs sejak Juni 2016 mengisahkan, pk 15.00 waktu setempat ketika selasar UGD rumah sakit Abs yang selalu ramai dengan pasien dihantam bom menyebabkan 11 orang meninggal termasuk seorang staf MSF dan 19 orang luka-luka.

Dirinya hari itu sedang berada di kantor MSF, 10 km dari rumah sakit. Mereka hanya diberi waktu 3 (tiga) jam untuk mengecek kondisi di rumah sakit pasca pengeboman. Esoknya, semua staff MSF dievakuasi ke kota dan pelayanan di rumah sakit diambil alih oleh staf pemerintahan setempat.

Dalam aturan dasar Hukum Humaniter Internasional (International Humanitarian Law) disebutkan bahwa lambang palang merah harus dihormati sebagai tanda perlindungan. Karenanya dilarang menyerang petugas medis atau kendaraan atau tempat yang mengenakan lambang palang merah.

Dalam setiap misinya MSF sendiri telah memasang lambang tersebut di setiap tempat yang mudah untuk dilihat. Entah kenapa dan siapa yang telah menjatuhkan bom di atas rumah sakit di Abs sampai hari ini belum ada yang mengaku bertanggung jawab.

Atas beberapa serangan yang terjadi terhadap fasilitas medis yang dialaminya, MSF pun melancarkan protes EVEN WAR HAS RULES. Menggalakkan kampanye untuk menarik perhatian, mengajak dunia membuka mata agar menghormati hukum humaniter; mereka bekerja untuk kemanusiaan dan berada pada posisi netral untuk membantu siapapun yang membutuhkan bantuan kesehatan.

Médecins Sans Frontières (MSF)/Doctors without Borders/Dokter Lintas Batas adalah organisasi kemanusiaan medis internasional yang didirikan di Perancis pada 1971 dengan misi pertama ke Nikaragua pada 1972.

Kegiatan MSF mencakup perawatan kesehatan dasar, layanan kesehatan ibu dan anak, pembedahan, upaya menangani wabah, merehabilitasi dan mengelola rumah sakit dan klinik, vaksinasi massal, mengoperasikan pusat-pusat gizi, layanan kesehatan jiwa, serta memberikan pelatihan kepada tenaga kesehatan setempat.

MSF adalah organisasi independen yang menjalankan misinya tanpa membedakan suku, agama, ras, gender maupun pandangan politik. Tidak pula bergantung pada pendanaan pemerintah dan institusi. Pendanaan MSF 92% berasal dari donatur individu dan 7% dari donasi lembaga publik.

Staf MSF dibagi ke dalam 2 (dua) kelompok besar, pekerja di lapangan dan pekerja di kantor. Mereka adalah gabungan dari tenaga medis dan juga tenaga dari berbagai disiplin ilmu yang saling menopang satu dengan yang lain. Mereka berasal dari berbagai negara yang terpanggil untuk memberikan layanan kemanusiaan dan kesehatan secara profesional.

Dr Lukman Hakim adalah salah satu tenaga medis asal Indonesia, mulai bergabung dengan MSF pada misi pertamanya di Karachi, Pakistan pada 17 Oktober 2013. Abs, Yaman menjadi tempat penugasan ketiganya di Juli 2016 setelah menyelesaikan tugas di Lamkien, Sudan Selatan.

Tak hanya terjun ke wilayah konflik, karena pada dasarnya kegiatan MSF menyediakan layananan kesehatan berkualitas yang dibutuhkan di satu daerah baik dalam situasi non-darurat maupun kondisi stabil.

Di Indonesia, MSF pun telah mengambil bagian dalam penanganan medis yang dilakukan di beberapa provinsi sejak 1995 hingga 2009 seperti membantu kegiatan tanggap darurat pasca gempa di Jambi, penanganan wabah Malaria dan kesehatan ibu anak di Papua, penanganan tuberkulosis (TBC) di Ambon, serta tanggap darurat dan rehabilitasi tsunami Aceh.

Pada kegiatan MSF & Bloggers Meet Up yang diadakan di Jakarta Sabtu (26/11/2016) lalu, Intan Febriani, Communication Manager MSF Indonesia mengatakan, ada satu kondisi di satu tempat seseorang dianggap berbahaya namun di sisi lain dia adalah pahlawan bagi kelompoknya. Dalam kondisi seperti inilah perlunya organisasi netral.

Untuk mengenal lebih dekat kegiatan-kegiatan yang telah dilakukan oleh MSF, MSF Indonesia mengajak masyarakat Indonesia untuk mengunjungi Photo Exhibition & Film Screening yang akan diadakan pada 8-16 Desember 2016 di Grand Indonesia, Jakarta. Pameran ini terbuka untuk umum dan GRATIS.

msf_no-borders

Jika kamu penasaran seperti apa keseharian staf MSF di lapangan, silakan untuk melihat keseharian Vincent Pau, seorang perawat dari Hongkong yang bergabung dengan MSF sejak 2012 lewat film dokumenter A Day on the Front Line: Doctors without Borders berikut.

Risiko akan selalu ada di mana pun kita berkegiatan. Pada salah satu tulisan dalam blog pribadinya, Dr Lukman menuliskan mimpinya yang sederhana, mengabdi di tempat-tempat yang jauh, di mana perbedaan bahasa, budaya dan adat istiadat bukanlah kendala tapi jembatan untuk memahami keberagaman.

Meski perang menakutkan, sebelum meninggalkan Abs Agustus lalu, dirinya berjanji akan kembali ke sana menyelesaikan misinya bersama MSF bila kondisi sudah memungkinkan mereka untuk masuk kembali ke Yaman. Somebody has to do it!

Setiap kita punya pilihan. Dr Lukman dan dokter-dokter lintas batas memilih untuk mengabdikan diri di wilayah konflik. Bagaimana dengan kamu? Apa yang sudah kamu lakukan untuk sesamamu? Bila pergi jauh dari rumah adalah halangan, cobalah buka mata dan lihat sekelilingmu, sudahkah kita menghargai keberagaman? saleum.

 

Laman asli tulisan ini lihat di:

Dokter Lintas Batas: Memenuhi Panggilan Jiwa dan Kemanusiaan di Wilayah Konflik

Foto: doctorswithoutborders.org