Category Archives: Inspirasi

Masih Muda, Jangan Boros!

Akhir-akhir ini saya sering mendengar iklan di radio, yang menyerukan gerakan menabung. Sebagian kata-kata di iklannya yang menarik, kira-kira begini:

Masih muda jangan boros, nanti di hari tua nggak punya apa-apa.

Iklan itu sepertinya ditujukan bagi para manusia modern, atau kawula muda, yang suka nongkrong di café mahal, suka shopping (tergoda sale), berpenampilan wah dan pergaulan berkelas, tapi tak punya simpanan di tabungan.

Tahun ini adalah tahun keenam saya bekerja di bagian keuangan. Dari apa yang sudah saya alami, menurut saya, balance, adalah kata kunci emas dalam pekerjaan akunting dan keuangan. Jika perhitungan sudah balance, artinya itu sudah beres. Kita bisa bernafas lega. Jika belum balance, terus dicek lagi, bahkan sampai lembur, dan bisa stress terbawa mimpi di rumah.

Kata balance bagaikan password pembuka file. Ibarat bisa buka brankas dengan digit tepat, ATM dengan nomor pin yang tepat, atau kepingan terakhir pada susunan puzzle. Kata balance bagaikan setetes air di gurun pasir.

Balance artinya pengeluaran dan pendapatan sebanding. Jika pengeluaran lebih besar, maka akan ada hutang. Jika pendapatan lebih besar, terjadilah surplus. Surplus akan menjadi simpanan/aset, untuk menambah modal berikutnya.

Lalu saya pernah terpikir. Apakah hidup kita balance? Apakah hidup kita sudah ‘pas’?

Seorang adik kelas, secara berkala berganti gadget, yang kadang harganya dua kali lipat gajinya. Demikian juga mantan rekan kerja saya, ponselnya lebih mahal daripada gajinya sebulan, ngalah-ngalahin harga ponsel bos pula! Dia juga mencicil mobil yang lebih mahal dibanding mobil atasan saya yang ekspatriat. Dan tentu saja, tiap bulan dia harus mencicil dengan kartu kredit. Kadang-kadang dia harus ke pegadaian, jika ada kebutuhan yang mendesak. Saya sebagai penonton pun, turut merasa letih melihat cara hidupnya. Dia memberikan gambaran; Hidup penuh dengan keruwetan. Terlalu lelah, tidak sehat, tidak balance.

Saya teringat seorang junior, yang sudah terbiasa hidup bergaya mewah, tetapi ketika dia sudah bekerja, dan sumbangan dari orangtua sudah dihentikan, dia tak bisa menghentikan gaya hidup yang mewah itu, karena gajinya ternyata tidak cukup untuk memenuhi kebutuhannya. Dia jadi meminjam kesana-kemari. Yang pertama dimintai tentu saja orang-orang terdekat, para sahabat. Dan bisa diduga, dia tak bisa mengembalikan pinjaman itu.

Akibatnya, persahabatan rusak, perselisihan timbul. Hubungan baik hancur karena konsumerisme yang tak terbendung.

Orang-orang dekat pun menjauh. Saya kuatir akhirnya dia ada masalah dengan debt collector bank.

Dalam hati kecil saya seolah berkata; “Aduh, nggak balance banget sih hidup loe!”

Tetapi, ada juga teman saya, yang terlihat pendiam dan sederhana, tapi rupanya diam-diam sudah membeli sepetak tanah di daerah ujung Depok, mencicil untuk membangun kontrakan di daerah Bogor, berinvestasi di daerah Cilegon. Ponselnya masih tipe yang lama, mobilnya masih butut, rumahnya belum direnovasi. Dia tak memakai kartu kredit. Jarang pergi ke Starbuck. Bukan penggemar sale di mal. Busana dan penampilannya tidak selalu bermerk. Tapi saya jadi kagum padanya. Menurut saya, hidup dia bukan hanya sekedar balance, dia juga surplus, masih ada sisa penghasilannya untuk jadi aset dan modal di ‘transaksi’ berikutnya.

Minggu kemarin saya ikut sebuah acara retret alumni. Seorang pembicara yang tengah membahas tentang pengelolaan uang, berkata kira-kira demikian: Di rumah masih banyak baju bagus, tapi masih suka belanja hanya karena ada diskon. Uang digunakan bukan karena kebutuhan, tapi karena nafsu. Janganlah kita menjadi orang yang seperti itu. Sesungguhnya, kita adalah tuan atas harta dan uang kita. Kitalah yang harus mengelola dengan bijaksana, sebagai ungkapan syukur atas berkat Tuhan.

Dan, bagaimana dengan kita. Seberapa balance hidup kita?
Apakah minus, balance, atau surplus?

-*-

Jangan Lakukan Kekerasan Anak dan Jangan Sebar Identitas Anak Korban Persekusi

Sehubungan dengan kasus persekusi terhadap anak yang dilakukan oleh sejumlah orang di Cipinang Muara, Jakarta Timur pada Rabu 31 Mei 2017 lalu, Aliansi Penghapusan Kekerasan Terhadap Anak (PKTA) mengimbau kepada masyarakat, media, dan semua pihak untuk meningkatkan kepekaan terhadap hak-hak anak demi kepentingan terbaik anak dengan melindungi anak dari segala bentuk kekerasan fisik maupun psikis.

PKTA juga meminta untuk tidak menyebarkan profil atau foto atau video anak yang menjadi korban persekusi demi proses pemulihan fisik dan mental si anak serta melindungi identitas anak.

Aksi kekerasan terhadap anak itu terekam di depan kamera dan kemudian videonya telah tersebar di berbagai akun media sosial maupun media lainnya. Aliansi PKTA mengapresiasi respons kepolisian dan beberapa organisasi peduli anak yang telah bertindak cepat mengusut kasus, melindungi dan mendampingi anak yang menjadi korban.

Aliansi PKTA meminta pemerintah, pihak kepolisian, dan semua pihak yang terkait untuk mengusut tuntas kasus kejahatan terhadap anak ini.

Menurut berbagai pemberitaan media yang ada, kejadian yang terjadi di Cipinang Muara Jakarta Timur ini diawali dengan postingan facebook si anak yang diduga menghina pimpinan organisasi masyarakat (ormas) FPI, HRS. Postingan inilah yang kemudian mendorong sejumlah anggota ormas tersebut untuk datang menghampiri
dan melakukan tindakan kekerasan terhadap anak korban.

Video yang berdurasi 2 menit 19 detik tersebut berisi intimidasi dan kekerasan fisik terhadap seorang anak yang diduga masih berusia 15 tahun. Dari video yang tersebar, terlihat sang anak tersebut juga dipaksa untuk menandatangani surat pernyataan di atas materai.

Indonesia telah meratifikasi Konvensi Hak-Hak Anak pada tahun 1990 dan telah mengharmonisasikannya ke
dalam perundang-undangan nasional, dan karena itu berkewajiban mengambil tindakan yang tepat dalam
melindungi anak dari segala bentuk kekerasan fisik dan/ atau psikis.

Tidak ada satu pun bentuk kekerasan terhadap anak yang dapat dibenarkan sehingga di dalam Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, ancaman pidana diberikan bagi setiap orang yang melakukan kekejaman, kekerasan atau ancaman kekerasan, atau penganiayaan terhadap anak.

Di dalam Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak pasal 59 disebutkan bahwa pemerintah, pemerintah daerah, dan lembaga negara lainnya berkewajiban dan bertanggung jawab untuk memberikan Perlindungan Khusus dan pendampingan kepada anak korban kekerasan fisik dan/ atau psikis.

Pasal 72 Ayat 1 juga menegaskan bahwa masyarakat (termasuk media massa) berperan serta dalam perlindungan anak baik secara perseorangan maupun kelompok. Selain itu, Peraturan Dewan Pers No. 6 Tahun 2008 tentang Kode Etik Jurnalistik pasal 2 poin f juga menekankan pentingnya “menghormati pengalaman traumatik narasumber dalam penyajian gambar, foto, suara”.

Karena itu, Aliansi PKTA menghimbau seluruh masyarakat, pemerintah dan media agar:

1. Melindungi anak dari segala bentuk kekerasan fisik maupun psikis dengan tidak menyebarkan profil atau foto atau video anak korban yang mengalami persekusi demi proses pemulihan fisik dan mental anak serta juga untuk melindungi identitas anak.

2. Mendorong penindakan sesuai hukum kepada pelaku tindakan kekerasan terhadap anak.

3. Bertindak pro aktif, jika menemukan kasus/ foto/ video persekusi untuk segera melaporkannya kepada pihak yang berwenang, seperti kepolisian (110), Kementerian Sosial (1500771), Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (08212575123).

Sekretariat Aliansi PKTA:
Wahana Visi Indonesia Jl. Graha Bintaro Blok GB/GK 2 No.09, Pondok Aren, Tangerang Selatan 15228
Telp: +62 21 2977 0123 | Fax +62 21 2977 0101 | email: aliansipkta@gmail.com

Profil Aliansi Penghapusan Kekerasan Terhadap Anak Aliansi Penghapusan Kekerasan Terhadap Anak (PKTA) adalah koalisi masyarakat sipil Indonesia yang anggotanya terdiri dari organisasi-organisasi yang memiliki kesamaan tujuan dalam memperjuangkan penghapusan kekerasan terhadap anak di Indonesia.

Aliansi PKTA memiliki visi meningkatnya dampak dari peran organisasi masyarakat sipil dalam mendukung pencapaianTujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB/ SDGs) Target 16.2 dan target terkait lainnya untuk menghentikan perlakuankejam, eksploitasi, perdagangan, dan segala bentuk kekerasan dan penyiksaan terhadap anak, melalui kolaborasi dan aksi bersama dalam kerangka kemitraan global, regional, nasional dan daerah.

Anggota Aliansi PKTA saat ini terdiri dari 21 organisasi non-pemerintah, sebagai berikut:
1. Aliansi Remaja Independen
2. ChildFund Indonesia
3. Ecpat Indonesia
4. HI-IDTL
5. ICJR
6. ICT Watch
7. MPS PP Muhammadiyah
8. PKBI
9. Plan International Indonesia
10. Puskapa UI
11. Rifka Annisa
12. Rutgers WPF Indonesia
13. SAMIN
14. Sejiwa
15. Setara
16. Smeru
17. SOS
18. TDH
19. Wahana Visi Indonesia
20. Yayasan Sayangi Tunas Cilik
21. Youth Network on Violence Against Children

Angela Yuan: Kisah Seorang Ibu yang Hancur dan Mencari Harapan

Impian menjadi seorang ibu yang membawa anaknya kepada hidup yang sukses lenyap saat dia mendengar anaknya adalah seorang homoseksual. Suaminya tidak lagi seperti yang dia harapkan di saat mereka mulai membangun keluarga.

Anak pertamanya hidup dengan jalan hidupnya sendiri. Dan terakhir, anak yang diharapkannya menjadi kebanggaan dirinya, ternyata seorang homoseks dan pengedar narkoba pula.

Di saat hampir menyelesaikan studi doktoralnya, anak terkasihnya itu dikeluarkan dari kampus karena diketahui ia adalah seorang gay. Semua usahanya untuk membangun keluarga yang terpandang secara sosial dan ekonomi hancur di saat satu persatu semua yang dicintainya tidak lagi mencintainya.

Lalu untuk apa lagi dia hidup di saat segalanya sudah hancur? Masih adakah harapan baginya?

Sejak diumumkan bahwa akan ada KKR Kesaksian tentang seorang homoseksual dan pengedar narkoba yang menjadi dosen setelah Tuhan mengubah hidupnya, saya langsung menandai kalender untuk hadir. Yang memberi kesaksian adalah seorang penulis, pembicara dan pengajar di Moody Bible Institute: Christopher Yuan.

Sebenarnya harapan saya menghadiri KKR Kesaksian ini adalah ingin mempelajari seluk beluk seseorang yang tadinya homoseksual lalu menjadi normal kembali. Apakah mungkin? Bagaimana pemulihan yang Tuhan lakukan? Itulah tujuan saya hadir pada acara ini.

Saya berhasil mengajak suami untuk menemani saya hadir. Kapasitas Katedral Mesias – RMCI, GRII Pusat di Kemayoran, adalah 4.000-5.000 orang. Saat saya tiba, ruangan sudah hampir penuh.

Wow, ternyata seperti saya, banyak juga yang tertarik pada acara ini. Rupanya kisah pertobatan seorang Christopher Yuan cukup terkenal.

Sejak semula di gereja sudah diumumkan bahwa Christopher Yuan akan hadir bersama kedua orang tuanya–Angela dan Leon Yuan–saat akan memberi kesaksian. Sebelum dan sesudah kesaksian dibawakan, Pdt. DR. Stephen Tong memberikan pemberitaan firman Tuhan yang melengkapi kesaksian yang disampaikan.

Kurang lebih selama 3 jam berada di acara tersebut, saya tidak merasa lelah dan jenuh mendengarkan apa yang disampaikan oleh Keluarga Yuan. Mereka secara bergantian membagikan kisah hidup keluarga itu dari sejak awal dibangun lalu mulai mapan kemudian terjadi guncangan dan akhirnya hancur berantakan.

Hingga pada saat yang sangat kritis Tuhan datang menyelamatkan mereka satu persatu, dimulai dari Angela Yuan, sang ibu.

Angela adalah seorang ibu rumah tangga yang sangat mengutamakan keluarga. Ia membantu suaminya membangun usaha klinik gigi.

Leon Yuan, adalah seorang dokter gigi dengan reputasi yang baik yang memulai kariernya dari bawah bersama Angela. Setelah menikah 20 tahunan hubungan Angela dan Leon menjadi semakin renggang dan dingin. Semua yang semula berawal baik seiring bertambah tahun semakin menuju kehancuran.

Leon dan Angela memiliki 2 anak laki-laki. Christopher adalah anak bungsu yang pada mulanya sangat dekat dengan sang ibu. Hanya, saat dia mengalami pelecehan seksual di usia belasan oleh seorang laki-laki dewasa, maka dia pun mulai kehilangan orientasi seksualnya. Bibit menjadi seorang homoseksual pun sudah mulai tertanam saat itu.

Mendengarkan Angela menceritakan kehancuran hatinya saat anak yang dikasihi memilih menjadi gay, saya pun terbawa emosi. Ia merasa gagal total menjaga pernikahannya dari kehancuran.

Pada saat itu, relasinya dengan suami dan anak tertua sudah semakin renggang dari hari ke hari. Ia merasa telah gagal sebagai seorang ibu ketika Christopher memilih untuk menjadi seorang gay.

Tak terbayang jika saya mengalaminya. Saya dan suami bersama 4 anak laki-laki kami begitu dekat satu sama lain. Apa jadinya saya jika sesuatu yang saya sangat tidak harapkan terjadi pada salah satu anggota keluarga saya?

Sesuatu yang buruk, memalukan dan menghancurkan? Mungkinkah saya akan sama seperti Angela Yuan? Pada saat itu, Angela sudah memutuskan bahwa ia akan mengakhiri hidupnya.

Saya menanti-nantikan bagian dimana Tuhan masuk dalam cerita keluarga Yuan. Sebab, saat pertama memulai kesaksiannya Leon memberitahu bahwa mereka bukanlah keluarga yang mengenal Kristus. Rasa ingin tahu saya membawa saya menyimak setiap perkataan yang disampaikan Angela.

Dia menceritakan bahwa ketika dia memutuskan akan mengakhiri hidupnya, pada saat itu Tuhan memanggilnya. Melalui sebuah traktat yang diberikan seorang pendeta padanya, Tuhan berbicara padanya lewat tulisan yang ada didalam traktat itu.

Angela membaca salah satu bagian dalam traktat itu yang mengatakan bahwa Kristus sudah mati supaya mereka yang percaya padaNya tidak lagi mati.

Lalu ia bertanya-tanya, apakah Kristus juga mati baginya? Bagaimana caranya mengenal Kristus yang mau mati bagi dirinya? Lalu apakah dia masih harus mengakhiri hidupnya jika Kristus sudah mati baginya?

Semua pertanyaan-pertanyaan itu dia pikirkan dalam perjalanan akan menemui Christopher untuk terakhir kalinya sebelum ia memutuskan akan bunuh diri. Saat itu, Angela sudah ingin mati. Ia tidak sanggup hidup lagi. Ia sudah kehilangan harapan dalam hidupnya.

Angela merasa sudah tidak memiliki apa-apa lagi untuk menjadi alasannya tetap hidup. Tetapi pada saat yang sama ia mendengarkan suara Tuhan yang berkata bahwa Tuhan mengasihinya dan Tuhan juga mengasihi Christopher. Dan tidak ada yang akan dapat memisahkan kita dari kasih ALLAH, yang ada dalam Kristus Yesus, Tuhan kita.

Roma 8:38-39 inilah yang Tuhan pakai untuk memanggilnya. Tuhan memanggil Angela untuk menerima kasihNya. Dan inilah permulaan dari pencarian harapan Angela bagi Christpher, anaknya yang terhilang.

Sekalipun acara KKR Kesaksian ini menyoroti pertobatan seorang gay dan drug dealer yang akhirnya sekarang Tuhan pakai menjadi alatNya melayani mereka yang berada didunia yang dulu pernah dihidupi seorang Christopher Yuan, tetapi bagi saya kisah Angela Yuan, sang ibu, itulah yang saya bawa pulang dan jadikan pelajaran baru bagi hidup saya.

Siapa yang tahu jalan di depan hidup kita? Paling tidak jika saya butuh kekuatan, saya tahu ada teladan seorang ibu yang berjuang keras demi kembalinya sang anak kepada Tuhan, setelah ia sendiri Tuhan panggil untuk percaya dan mengikutiNya. Angela tidak henti-hentinya berdoa bagi Christopher dan terus membanjiri Christopher dengan surat-suratnya yang berisi firman Tuhan saat Christopher dipenjara.

Angela memberikan pelajaran pada saya bagaimana seharusnya seorang ibu berjuang dengan segenap hati dan tanpa lelah agar anaknya yang tersesat dapat kembali pulang kepada Tuhan.

Dia adalah seorang ibu yang setelah hidup didalam Tuhan, tidak melepaskan harapannya pada Kristus, dan percaya akan kasihNya melalui keselamatan yang diberikan di atas salib. Dan ibu ini ingin anak terkasihnya yang jatuh dalam kegelapan dosa mendapatkan harapan dan kasih yang sama yang sudah ia terima dari Kristus.

Tidak ada yang akan dapat memisahkan kita dari kasih ALLAH, yang ada dalam Kristus Yesus, Tuhan kita.

Nah, bagi pembaca Petra Online, terutama bagi para wanita, untuk menjadi seperti seorang Angela Yuan yang hidupnya Tuhan perbaharui, dapat kita mulai dari saat masih di bangku kuliah atau pun saat sudah bekerja, saat masih bujang maupun saat sudah berkeluarga. Masalahnya, sudahkah engkau memiliki kasih Kristus?

Soli Deo Gloria

(Silahkan search google untuk lebih mengenal Christopher Yuan dan Angela Yuan yang sudah menulis buku tentang kisah hidup mereka)

Inge Waluyo

Penulis adalah ibu rumah tangga yang mengajar bahasa inggris di sekolah dasar di Bintaro Jaya

Foto: www.challies.com

Menangkal Kaum Radikal, Sisihkan Minimal 3 Menit Berdoa

Rekan-rekanku sebangsa dan seperjuangan di mana pun Anda berada. Sudah baca mengenai kisah ibu dr Fiera Lovita dari RSUD Solok?

Sebagai akibat apa yang ditulisnya di status FB milik pribadinya, sekelompok kaum radikal mengintimidasi dia dan kedua anaknya yang masih kecil. Menurut berita terbaru, akibat peristiwa itu, dia dan keluarga sudah dipindahkan ke Jakarta.

Itu hanya salah satu contoh kecil di negara kita. Dalam kondisi semakin sulit seperti itu, apa yang harus kita lakukan? Banyak, jika kita mau berjuang bersama. Kita tidak boleh diam.

1. BERDOA.

Ketika umat Gereja perdana mengalami berbagai macam ancaman, Alkitab mencatat: “Berserulah mereka bersama-sama kepada Allah” (Kisah 4:24). Karena itu, turutlah berjuang menangkal kaum radikal dan intoleran. Atau istilah saya, kaum perusuh dan pengacau.

Mungkin ada benar-benar masih belum biasa berseru dan turun ke jalan. Masih ragu dan takut. Baik, sebelum Anda mendapat keberanian dari Allah, berjuanglah melalui doa. Tidak ada yang Anda takut kan ketika berdoa?

2. MOHON KEADILANNYA.

Banyak orang Kristen SALAH memahami Alkitab. Mereka hanya berdoa untuk kasih dan pengampunan Allah. Padahal, kasih dan keadilan TIDAK dapat dipisahkan.

Bahkan ketika kita menunjuk SALIB KRISTUS, di sana TIDAK hanya ada kasih dan Allah yang mengampuni umat berdosa. Akan tetapi di salib itu juga sangat nyata KEADILAN ALLAH.

Itu sebabnya Yesus harus menerima murka Allah yang seharusnya ditimpakan kepada kita orang berdosa. Tanpa itu, kasih dan pengampunan mustahil terjadi. Mohon dibaca dan teliti Efesus 2:3-4.

Dalam Perjanjian Lama, raja-raja lalim seperti Nebukadnezar mengalami penghukuman Allah. Demikian juga, dalam PB, raja Herodes MATI mendadak karena ditampar malaikat Tuhan. Itu akibat kesombongan dan kesewenang-wenangannya (Kisah Rasul 12:23).

Mari kita doakan besok hari di Gereja dengan sungguh-sungguh agar Allah menghukum semua orang, kelompok perusuh dan pengacau di Ibukota dan di Indonesia.

3. BERSATU KITA TEGUH.

Kita sudah sangat akrab dengan istilah di atas. Karena itu, mari terus membangun kesatuan, rapatkan barisan, jangan mau dipecah-pecah.

Dalam kesatuan itu juga kita berjuang dalam doa. “DOA ORANG BENAR BILA DENGAN YAKIN DIDOAKAN, BESAR KUASANYA” (Yakobus 5:16b).

Mari kita sama-sama menyebut nama-nama orang dan kelompok itu kepada Allah yang MAHAKUASA dan MAHAADIL. Kiranya Herodes dan Nebukadnesar masa kini juga dihukum Allah. Sesungguhnya Allah TIDAK TERTIDUR. Demikianlah tertulis dalam Taurat Musa:

Aku telah MEMPERHATIKAN kesengsaraan umatKu…Aku MENGETAHUI penderitaan mereka… .(Keluaran 3:7)

4. ALLAH MEMBERI KELEPASAN.

Apa hasil perjuangan doa itu? Kita membaca: “Aku telah turun MELEPASKAN mereka…”

Mengapa mereka terlepas? Alkitab mencatat: : “SERUAN mereka telah sampai kepadaKU” (ayat 9).

Baik, mari kita berseru-seru kepada Allah kita, dan mari kita nantikan jawaban doa kita. Selamat beribadah.

Soli Deo gloria.

 

Pdt. Dr. Ir. Mangapul Sagala, MTh.

Penulis adalah Alumnus Fakultas Teknik UI Doctor Theology dari Trinity Theological College, Singapore, Cambrige, Roma.

Kepada Prajurit Muda yang Gugur Saat Bertugas; Kepada Nurani Kita

Sudah jamak buat kami, wartawan foto yang bertugas, saat akan memotret demo atau aksi massa, kami akan mengambil gambar dari sisi aparat keamanan, bisa itu polisi atau tentara.

Kenapa begitu? Karena dari sisi keamanan, memotret di belakang aparat dan kamera menghadap ke massa merupakan hal yang jauh lebih baik dan dari segi nilai berita pun jauh lebih tinggi karena pembaca atau pemirsa pun ingin tahu ekspresi demonstran dan apa yang dilakukan para demonstran.

Saya sendiri sebagai wartawan foto di Harian Sinar Harapan dan sekarang di sinarharapan.net juga sering melakukan hal yang sama dengan teman-teman fotografer lainnya.

Karena itulah, tak heran antara wartawan–dalam hal ini wartawan foto atau wartawan tulis–punya kedekatan dengan aparat keamanan.

Kami memang simbiosis mutualisma, selain soal memilih posisi yang aman saat bertugas. Wartawan butuh berita yang sifatnya “paling pertama” diketahui dan sahih yang biasa didapat dari pergerakan aparat yang memberi informasi, dan juga aparat butuh wartawan agar apa yang dilakukan terpublikasi sehingga pesan yang ingin disampaikan ke masyarakat akan teramplifikasi dengan baik.

Wartawan dan aparat keamanan juga sering kali menghadapi bahaya yang bisa saja terjadi di lapangan dan mengancam keselamatan jiwa raga. Banyak kisah wartawan meninggal dalam bertugas di lapangan, sama seperti aparat–baik polisi maupun tentara–yang meregang nyawa dalam bertugas.

Karena itu, saya merasa sedih dan berempati yang amat sangat setiap kali mendengar bom yang diledakkan teroris dan yang menjadi korban adalah aparat keamanan. Akhir-akhir ini, aparat kepolisian memang menjadi incaran aksi teror.

Tak terkecuali ketika bom bunuh diri meledak di Terminal Kampung Melayu, Jakarta, Rabu, 23 Mei 2017, tepatnya di Halte Transjakarta. Korban yang tewas ternyata juga terdiri dari unsur kepolisian.

Bripda Imam Gilang, Bripda Taufan Tsunami, dan Bripda Ridho Setiawan adalah korban yang gugur ketika bertugas mengamankan jalannya pawai obor yang melewati Terminal Kampung Melayu. Dan masih ada enam lagi anggota kepolisian yang berjibaku dengan luka-luka yang mereka alami saat ini.

Sedih.

Para polisi ini baru bertugas sekitar dua-tiga tahun. Usia pun rata-rata baru 21-25 tahun. Karir masih panjang, dan sudah pasti jadi kebanggaan orang tua dan keluarga.

Namun, usia muda dan semangat melayani masyarakat itu hilang lenyap terenggut bom bunuh diri yang ditilik dari segi mana pun enggak akan ketemu faedahnya buat orang-orang yang meledakkan diri itu terlebih lagi bagi masyarakat.

Secara normal, kejadian seperti ini pasti bisa membuat kecut Bripda-bripda lain, meskipun para senior mereka seperti Wakapolri memberi semangat dan kekuatan untuk tidak takut dan terus fokus bertugas.

Yang lebih membuat sedih, kematian para pemuda ini pun masih ada yang menganggapnya sebagai bagian dari rekayasa polisi untuk mengalihkan isu dan untuk menghantam “umat”.

Rasa kemanusiaan sudah tumpul. Jasad para polisi muda itu baru saja tertutup tanah, dan keluarga belum kering air matanya. Bagaimana perasaan keluarga dan orang-orang tercinta para Bripda ini jika mereka mengetahui tuduhan-tuduhan seperti itu di jagat media sosial?

Beberapa orang di medsos memicu isu rekayasa untuk memuaskan dahaga mereka sendiri atas teori konspirasi, tetapi menafikan adanya nyawa orang lain. Hai kawan, nurani Anda sudah matikah?

Bagaimana jika ada orang lain bermain-main dengan teori rekayasa yang memakai nyawa orang-orang tercinta Anda sendiri?

“Eh besok dari keluarga lu bakal ada yang kenapa-kenapa deh kayaknya. Nah kalau benar, jangan-jangan itu cuma pengalihan isu doang” …Apakah Anda ingin ada orang yang berbicara seperti itu depan muka?

Nurani kita harus bicara. Jika nurani sudah mati, setidaknya ingatlah bahwa kita tidak ingin hal-hal buruk terjadi atas orang-orang yang kita cintai, sehingga janganlah berpikir hal-hal yang buruk tentang orang lain, karena orang lain itu juga ada yang mencintai.

 

Foto: Jessica Wuysang, wartawan foto Kantor Berita Antara Biro Kalimantan Barat.

Keterangan foto: Dua prajurit TNI AD berupaya menahan aksi warga saat terjadi keributan di Jalan Gajahmada, Pontianak, Kalbar, Sabtu (20/5/17).

 

Semakin Tangguh!

Selamat memaknai hari kenaikan Tuhan Yesus! Sebuah hari raya dalam kalender gereja, yang mungkin kurang terdengar gaungnya dibanding Natal dan Paskah.

Natal, Paskah, dan kenaikan Tuhan Yesus adalah satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dalam karya pelayanan Yesus di dunia. Peristiwa Natal adalah awal, penyaliban dan Paskah adalah penggenapan, kenaikan Tuhan Yesus adalah akhir pelayananNya di dunia secara kasat mata.

Akhir kehidupan Yesus di dunia membawa implikasi untuk para pengikutNya: awal menghidupi kehidupan yang berpusatkan pada Kristus tanpa pendampingan dari Kristus secara lahiriah.

Hal ini bukan hal mudah. Menghidupi kehidupan yang berpusatkan pada Kristus di tengah-tengah dunia yang semakin lama terasa semakin buruk. Namun, tantangan itu ada untuk membuat kita menjadi semakin tangguh.

Jika Kristus tidak naik ke surga, maka tidak akan ada ketangguhan Petrus, Paulus, Filipus. Rasul-rasul tidak akan punya kisah sendiri untuk dituliskan, tidak akan ada surat-surat yang menguatkan dari Paulus.

Pada akhirnya, “what makes us a human? A story that we tell.” Semoga kita semua memiliki dan selalu memiliki kisah-kisah baik untuk dibagikan dan diwariskan kepada setiap umat di bumi tercinta ini.

Selamat merayakan Hari Kenaikan Tuhan Yesus.

Rouli Esther Pasaribu

Penulis adalah pengajar paruh waktu di Program Pascasarja Kajian Wilayah Jepang UI.

“Tuhan Akan Menyelesaikannya Untukku!”

Surat buat Ahok.

Bisa jadi ini surat seperti sebuah ikut-ikutan karena lagi musim surat terbuka. Betul Pak Ahok, saya suka ikut-ikutan.

Kemarin waktu ramai di depan Balai Kota saya ikut-ikutan juga, terus pengen ikut-ikutan nyalain lilin, saya enggak ikut karena jam 9 malam saya sudah mengantuk. Entah kenapa Pak Ahok, beberapa waktu terakhir ini cuma Bapak aja nih yang seliweran di kepala saya. “Kok bisa gini dan kok bisa gitu ya”.

Kemarin waktu dengar soal batal banding, saya cuma melongo makin gagal paham sama cara pikir Bapak. Ini orang bodoh apa kepinteran sih?

Lalu seketika saya jadi lesu dan semangat untuk mengumandangkan “Silent Majority Speak Up!” sirna sudah dengan surat bapak yang dibacakan oleh ibu Vero. Iki piye Pak? Perjuangan belum selesai tapi kok diselesaikan sebelum berjuang, begitu saya pikir.

Paginya istri mengajak berdoa buat Pak Ahok, eh kita berdoa malah nangis. Entah karena sedih apa karena frustasi mau ngapain ya; kayaknya kok gak rela melihat ketidakadilan kayak gini.

Sedih tapi ya damai juga, bahagia melihat ada orang kayak Pak Ahok, dan bukan cuma sebuah bacaan di sebuah kisah alkisah, tapi beneran kejadian. Jadi nangisnya itu campur aduk antara bahagia, kagum, damai dan seketika saya merasa Oh, Tuhan itu beneran ada toh. Ya, karena melihat Pak Ahok itu.

Nah Pak Ahok, pagi ini saya merasa iri luar biasa. Pak Ahok keenakan dipakai Tuhan untuk pekerjaan yang luar biasa, lewat pak Ahok seluruh alam semesta mendengar “Tuhan akan menyelesaikannya untukku!” Mazmur 138:8 menjadi sebuah pujian yang indah banget dan semua menggumamkannya dalam hati.

Setiap orang yang putus harap dan frustasi, sejak kemarin menggumamkan kata iman yang sama “Tuhan akan menyelesaikannya untukku”. Ya ampun, Hok. Baru kali ini jutaan orang seketika menjadi punya iman dan harapan; bahwa Tuhan itu berdaulat dan sedang bekerja untuk menyelesaikan segala perkara kita (apa saja) untuk kebaikan kita.

Lilin langsung saya potek-potek, ini enggak penting. Pak Ahok sudah jadi lilin yang sejati yang mengajarkan teladan, soal menjadi terang dan garam. Saya mah masih cuma bisa nyalain lilin yang artifisial, sama ngutip-ngutip ayat Alkitab sambil merasa udah suci sembari hidung kembang kempis; ujung-ujungnya masih nyari kepuasan diri sendiri dan maksimal sampai ke keluarga biar senang.

Nah, Pak Ahok, you are not comparable to anyone of us ( yang saya kenal ya) makanya saya bilang saya iri setengah mati sama Bapak. Tuhan sepertinya sayang Pak Ahok 100 kali lipat dari pada ke saya.

Karena itu pak Ahok, saya enggak pantas mengucapkan “Stay Strong ya Pak!”. Bapak duluan sudah menunjukkan soal setrong dan lemah itu, saya yang perlu dikasih tahu, “Eh Cok, stay strong ya jangan lemah gitu dong baru juga disenggol Ojek udah sewot”.

Sesungguhnya Bapak sudah bebas, komplit bebas merdeka! Bahkan jeruji besi tidak sanggup memenjarakan sukacita pak Ahok. Pak Ahok, Tuhan bapak luar biasa sayangnya ya.

Pak Ahok, ajarin saya seperti bapak. Saya masih “terpenjara”.

Salam dari Panggang Ucok.

Ucok Gultom.

Penulis adalah pemerhati kesedihan, pecinta kopi yang tak pandai menabung, sekarang berkantor di Panggang Ucok, Jl Otista Raya no 149.

“Semoga Kamu Mendapatkan Hidayah”

Ini dia kalimat yang sering banget sekarang kita baca di media sosial. Sedikit-sedikit, jika perdebatan atau perang posting di akun media sosial makin tinggi tensinya, keluarlah kalimat sakti “semoga kamu mendapatkan hidayah”.

Di Kamus Besar Bahasa Indonesia, hidayah artinya “petunjuk atau bimbingan dari Tuhan”. Merujuk dari “semoga dapat hidayah”, ini menyiratkan yang mengucapkan duluan sudah dapat hidayah dan lawan bicaranya belum dapat.

Apalagi sekarang, menjelang Pilkada DKI Jakarta, di mana isu Suku Agama Ras dan Antargolongan (SARA) “digoreng-goreng” dengan tujuan memenangkan pasangan calon tertentu yang menjadi peserta kontestan Pilkada.

Perang ide dan gagasan sudah bergeser jadi perang keimanan. Parahnya lagi ini justru SARA ini lebih menentukan daripada program apa yang terbaik dari masing-masing pasangan calon. Sampai Tuhan “diminta-minta” untuk memberikan hidayah ke pihak-pihak tertentu.

Tapi di kehidupan Kristen itu unik. Hidayah enggak bisa kita dapatkan serta-merta meski kita sudah mencari hidayah itu.

Di kekristenan yang terjadi adalah kita mesti PERCAYA dulu, baru kita bisa memperoleh dan merasakan hidayah. Petunjuk dari Tuhan sedahsyat apapun, senyata apapun–misalkan gunung tiba-tiba terbang dan pindah dari sisi kiri ke kanan–tak akan ada gunanya. Yang terjadi malah kita akan sibuk membahas “kenapa gunung itu bisa pindah? Bagaimana analisis tekstur tanahnya? Elevasinya?” dan segala analisis yang njelimet.

Namun, jika kita percaya terlebih dahulu bahwa Yesus mati, lalu hari ketiga Dia bangkit dari antara orang mati, mengalahkan maut dan kegelapan buat menebus dosa manusia, maka segala sesuatu akan menjadi lebih mudah dicerna. Bahkan hidayah sekecil apapun kadarnya, kita langsung bisa mensyukurinya.

1 Kor 15:17: Dan jika Kristus tidak dibangkitkan, maka sia-sialah kepercayaan kamu dan kamu masih hidup dalam dosamu.

Menjadi Kristen memang tidak seperti yang biasa kita alami di kehidupan sehari-hari, dimana kita biasanya merasakan terlebih dahulu baru percaya.

Tunggu sampai kita sendiri yang di Danau Toba, baru kita yakin dan benar-benar percaya bahwa pemandangan Danau Toba memang indah, kalau enggak bisa juga kita hanya bilang “aaah ini permainan sudut pandang kamera saja”, “jangan-jangan sebenarnya nggak indah-indah amat”, “ini cuma karena dioprek-oprek di software foto,” dst.

Paling parah, saking siriknya dengan kehebatan seseorang mencapai sesuatu dan kita enggak percaya atas apa yang dicapai, lalu kita langsung memberi stempel “HOAX!”

Nah di kekristenan semua serba terbalik jadinya, kan. Hancurkan dulu ego, singkirkan perasaan penuh analitis dan dialektika, percayai sepenuhnya bahwa Kristus mati dan bangkit buat menebus dosa manusia, setelah itu barulah hidayah itu mendapat jalannya. Baru setelah itu, hidayah bisa kita rasakan.

Dan Paskah di tahun 2017 ini terasa pas, setelah kita merayakan kebangkitan Yesus Kristus dalam ibadah subuh penuh khidmat, bolehlah kita mengucapkan dengan takzim:

“Semoga kalian semua mendapatkan hidayah”.

 

Foto: pixabay.com

Memberi Uang pada Anak Jalanan, Anda Merampas Hak Mereka

“Saya enggak mau kembali ke jalan lagi. Sudah enak begini.” Febri, 12 tahun, mengatakan ini dengan nada yang terdengar mantab.

Wajah sumringah Febri menjelaskan semuanya. “Saya sekarang belajar dan bermain saja, nggak mau cari duit lagi. Kan, ibu sudah kerja,” katanya lagi.

Febri jadi salah satu kisah sukses anak jalanan yang berhasil “dikembalikan” menjadi anak yang memang tugasnya bermain dan belajar sesuai usianya. Di bawah binaan Yayasan Rumah Impian, Febri seperti menemukan kembali keceriaan.

Saat ditemui di sela-sela kegiatan Charity Expo yang diadakan Yayasan Rumah Impian, di Main Atrium Jogja City Mall, Yogyakarta, Sabtu (18/2), Febri sempat mengisahkan tentang bagaimana dia berjibaku mencari uang di jalanan.

“Saya cari uang di lampu merah di Bantul. Lupa saya Kak nama daerah lampu merahnya. Pagi, siang, malam ya di situ aja saya nggak kemana-mana, sama kakak dan ibu,” kata Febri.

Tap kini, anak terakhir dari lima bersaudara ini sudah tidak perlu lagi mencari uang receh dengan mengamen di lalu lintas Bantul. “Sekarang ibu sudah ada pekerjaan. Rumah Impian sudah kasih ibu kerjaan. Ibu dimodalin angkringan buat jualan di pinggir jalan,” katanya.

Yayasan Rumah Impian sendiri memang merupakan organisasi pendamping anak jalanan. “Kalau orang tua masih mengandalkan anak buat cari nafkah, kami dari Rumah Impian harus bisa mencoba buat memberi alternatif sumber mata pencaharian, supaya orang tua anak-anak jalanan ini punya penghasilan,” kata Founder Rumah Impian Samuel Lapudooh.

Dan ini yang paling penting: Jangan kasih uang ke anak jalanan! Dengan memberi uang, kita merampas masa depan anak jalanan.

Loh kok bisa begitu? “Memberi uang kepada mereka membuat mereka akan di jalan terus, orang tua mereka juga akan bergantung terus pada mereka. Seorang anak itu seharusnya belajar dan bermain, itulah dunia anak-anak. Dan, ini penting buat masa depan mereka,” kata Samuel.

Jadi jelas. Memberi uang pada anak jalanan tidak tepat, dan ini tidak pula membuat kita terlihat pelit.

Gunakan sumber daya kita untuk membantu anak jalanan lewat yayasan atau organisasi yang memang peduli akan nasib anak jalanan, seperti Yayasan Rumah Impian yang beroperasi di Yogyakarta ini misalnya.

 

Foto: Dok pribadi

Pengen Jemur-Jemur di Pantai (Keranjingan Politik)

Bila anda generasi yang kuliah di era 80-an, suka membaca buku dan jurnal ilmu sosial kayak Prisma, pun tertarik diskusi mengenai permasalahan-permasalahan negara yang digelar di kampus-kampus dengan izin yang sulit didapat,  akan terpaku dengan pendapat pakar-pakar ilmu politik yang saat itu masih bisa dihitung dengan jari, antara lain: Miriam Budiarjo, Alfian, Arbi Sanit, dan lain-lain.

Hampir semua menekankan pentingnya partisipasi politik masyarakat dan menolak politik Orba yang menghendaki: massa mengambang (floating mass). Itu-itu saja rasanya saripati dari tiap diskusi atau kajian dalam jurnal-jurnal ilmiah yang membahas politik.

Kini, setelah Orde Baru disingkirkan, masyarakat Indonesia seperti keranjingan isu-isu politik–terutama pra dan pasca Pilpres 2014. Topik dan persoalan politik-kekuasaan seperti santapan harian, di kota maupun di desa, pada masyarakat kelas atas hingga bawah.

Partisipasi politik masyarakat kian menguat (indikatornya bisa dilihat dari pilpres dan pilkada) dan massa mengambang (mungkin) telah digantikan oleh apa yang disebut swing voters.

Dalam bentuk lain, para pengguna media internet terutama, seperti keranjingan pada isu-isu politik. Ada yang tiap jam memposting, walau isinya itu-itu saja dan sering data yang tak bisa dipertanggungjawabkan, juga berita bohong.

Saya tidak tahu, apakah Rezim Orba yang patut diminta pertanggungjawaban karena dulu bersikap otoriter dan membatasi hak-hak bersuara warga negara, atau Jokowi dan Ahok karena sejak kehadiran mereka di kancah politiklah membuat masyarakat negara ini “heppot” (heboh), getol dan seperti kecanduan pada politik.

Gue udah eneg, pengen jemur-jemur body di pantai berpasir putih sambil dengar musik, dan nonton lawak-lawak Srimulat dari DVD (ada gak sih?) Asyik tenan