Setiap mengetahui kabar terbunuhnya manusia karena pembunuhan, ledakan bom, ulah teroris, akibat perang, juga korban bencana alam, saya merasa ada yang merosot dari dalam diri.
Bahkan kematian karena eksekusi hukuman mati pun belum sanggup saya maklumkan, meski hanya mampu terdiam manakala dilakukan–sebab ada sejumlah argumentasi yg mengabsahkan.
Bukan saja karena menganut ajaran yang melarang mencabut nyawa manusia dan menolak segala bentuk kekerasan, tetapi karena sebagai sesama manusia memiliki unsur dan eksistensi yang sama dengan korban.
Apapun alasan, pembunuhan adalah wujud paling kejam dari diri pelaku, walau bisa diberi alasan pembenar, macam bela diri, karena tugas, melaksanakan perintah hukum, atau demi bela negara.
Bila sikap dan pandanganku tersebut dianggap utopis atau ilusionis, tak mengapa, setidaknya telah kumiliki sikap dasar menyangkut penghormatan atas manusia, di mana pun berada, apa pun ras maupun keyakinan mereka–termasuk yang tidak mengakui Tuhan dan histori penciptaan berdasarkan skriptual agama-kepercayaan.
Akal sehat dan naluri saya sebagai manusialah yang bicara, bukan melulu karena ajaran agama, dan itulah yang menjadi keunggulan sekaligus keluhuran makhluk sosial dibanding makhluk lain.
Saya menyukai kehidupan dan manusia lain pun tentu seperti itu, berhak hidup sebagaimana hak manusia lain. Setiap kematian, tentu pula menimbulkan kesedihan atau duka yang dalam bagi manusia lain.
Membayangkan dukacita itu pulalah yang mengingatkan saya agar tidak membuat orang lain dihantam perasaan yang sama. Dukacita merupakan unsur terlemah dari diri tiap insan waras, pedihnya tak terobati oleh apapun, dan karena itulah maka manusia diyakini lebih mulia dibanding makhluk lain yang berhabitat di bumi ini.
Maka, sekali lagi, alasan saya menentang tiap aksi dan niat melukai apalagi membunuh manusia lain, bukan karena ajaran agama atau keyakinan saya yang melarang, namun yang terutama karena naluri sebagai manusia yang masih sehat akal-pikiran.
Betapa mengerikan dampak ketidakwarasan, namun ironi atau tragisnya, banyak orang membenarkan karena pelbagai alasan.*
(Bukan pikiran seorang yg agamis)