Tag Archives: bom

Karena Akal Sehat dan Naluri Manusia

Setiap mengetahui kabar terbunuhnya manusia karena pembunuhan, ledakan bom, ulah teroris,  akibat perang, juga korban bencana alam, saya merasa ada yang merosot dari dalam diri.

Bahkan kematian karena eksekusi hukuman mati pun belum sanggup saya maklumkan, meski hanya mampu terdiam manakala dilakukan–sebab ada sejumlah argumentasi yg mengabsahkan.

Bukan saja karena menganut ajaran yang melarang mencabut nyawa manusia dan menolak segala bentuk kekerasan, tetapi karena sebagai sesama manusia memiliki unsur dan eksistensi yang sama dengan korban.

Apapun alasan, pembunuhan adalah wujud paling kejam dari diri pelaku, walau bisa diberi alasan pembenar, macam bela diri, karena tugas, melaksanakan perintah hukum,  atau demi bela negara.

Bila sikap dan pandanganku tersebut dianggap utopis atau ilusionis, tak mengapa, setidaknya telah kumiliki sikap dasar menyangkut penghormatan atas manusia, di mana pun berada, apa pun ras maupun keyakinan mereka–termasuk yang tidak mengakui Tuhan dan histori penciptaan berdasarkan skriptual agama-kepercayaan.

Akal sehat dan naluri saya sebagai manusialah yang bicara, bukan melulu karena ajaran agama, dan itulah yang menjadi keunggulan sekaligus keluhuran makhluk sosial dibanding makhluk lain.

Saya menyukai kehidupan dan manusia lain pun tentu seperti itu, berhak hidup sebagaimana hak manusia lain. Setiap kematian, tentu pula menimbulkan kesedihan atau duka yang dalam bagi manusia lain.

Membayangkan dukacita itu pulalah yang mengingatkan saya agar tidak membuat orang lain dihantam perasaan yang sama. Dukacita merupakan unsur terlemah dari diri tiap insan waras, pedihnya tak terobati oleh apapun, dan karena itulah maka manusia diyakini lebih mulia dibanding makhluk lain yang berhabitat di bumi ini.

Maka, sekali lagi, alasan saya menentang tiap aksi dan niat melukai apalagi membunuh manusia lain, bukan karena ajaran agama atau keyakinan saya yang melarang, namun yang terutama karena naluri sebagai manusia yang masih sehat akal-pikiran.

Betapa mengerikan dampak ketidakwarasan, namun ironi atau tragisnya,  banyak orang membenarkan karena pelbagai alasan.*

(Bukan pikiran seorang yg agamis)

Kepada Prajurit Muda yang Gugur Saat Bertugas; Kepada Nurani Kita

Sudah jamak buat kami, wartawan foto yang bertugas, saat akan memotret demo atau aksi massa, kami akan mengambil gambar dari sisi aparat keamanan, bisa itu polisi atau tentara.

Kenapa begitu? Karena dari sisi keamanan, memotret di belakang aparat dan kamera menghadap ke massa merupakan hal yang jauh lebih baik dan dari segi nilai berita pun jauh lebih tinggi karena pembaca atau pemirsa pun ingin tahu ekspresi demonstran dan apa yang dilakukan para demonstran.

Saya sendiri sebagai wartawan foto di Harian Sinar Harapan dan sekarang di sinarharapan.net juga sering melakukan hal yang sama dengan teman-teman fotografer lainnya.

Karena itulah, tak heran antara wartawan–dalam hal ini wartawan foto atau wartawan tulis–punya kedekatan dengan aparat keamanan.

Kami memang simbiosis mutualisma, selain soal memilih posisi yang aman saat bertugas. Wartawan butuh berita yang sifatnya “paling pertama” diketahui dan sahih yang biasa didapat dari pergerakan aparat yang memberi informasi, dan juga aparat butuh wartawan agar apa yang dilakukan terpublikasi sehingga pesan yang ingin disampaikan ke masyarakat akan teramplifikasi dengan baik.

Wartawan dan aparat keamanan juga sering kali menghadapi bahaya yang bisa saja terjadi di lapangan dan mengancam keselamatan jiwa raga. Banyak kisah wartawan meninggal dalam bertugas di lapangan, sama seperti aparat–baik polisi maupun tentara–yang meregang nyawa dalam bertugas.

Karena itu, saya merasa sedih dan berempati yang amat sangat setiap kali mendengar bom yang diledakkan teroris dan yang menjadi korban adalah aparat keamanan. Akhir-akhir ini, aparat kepolisian memang menjadi incaran aksi teror.

Tak terkecuali ketika bom bunuh diri meledak di Terminal Kampung Melayu, Jakarta, Rabu, 23 Mei 2017, tepatnya di Halte Transjakarta. Korban yang tewas ternyata juga terdiri dari unsur kepolisian.

Bripda Imam Gilang, Bripda Taufan Tsunami, dan Bripda Ridho Setiawan adalah korban yang gugur ketika bertugas mengamankan jalannya pawai obor yang melewati Terminal Kampung Melayu. Dan masih ada enam lagi anggota kepolisian yang berjibaku dengan luka-luka yang mereka alami saat ini.

Sedih.

Para polisi ini baru bertugas sekitar dua-tiga tahun. Usia pun rata-rata baru 21-25 tahun. Karir masih panjang, dan sudah pasti jadi kebanggaan orang tua dan keluarga.

Namun, usia muda dan semangat melayani masyarakat itu hilang lenyap terenggut bom bunuh diri yang ditilik dari segi mana pun enggak akan ketemu faedahnya buat orang-orang yang meledakkan diri itu terlebih lagi bagi masyarakat.

Secara normal, kejadian seperti ini pasti bisa membuat kecut Bripda-bripda lain, meskipun para senior mereka seperti Wakapolri memberi semangat dan kekuatan untuk tidak takut dan terus fokus bertugas.

Yang lebih membuat sedih, kematian para pemuda ini pun masih ada yang menganggapnya sebagai bagian dari rekayasa polisi untuk mengalihkan isu dan untuk menghantam “umat”.

Rasa kemanusiaan sudah tumpul. Jasad para polisi muda itu baru saja tertutup tanah, dan keluarga belum kering air matanya. Bagaimana perasaan keluarga dan orang-orang tercinta para Bripda ini jika mereka mengetahui tuduhan-tuduhan seperti itu di jagat media sosial?

Beberapa orang di medsos memicu isu rekayasa untuk memuaskan dahaga mereka sendiri atas teori konspirasi, tetapi menafikan adanya nyawa orang lain. Hai kawan, nurani Anda sudah matikah?

Bagaimana jika ada orang lain bermain-main dengan teori rekayasa yang memakai nyawa orang-orang tercinta Anda sendiri?

“Eh besok dari keluarga lu bakal ada yang kenapa-kenapa deh kayaknya. Nah kalau benar, jangan-jangan itu cuma pengalihan isu doang” …Apakah Anda ingin ada orang yang berbicara seperti itu depan muka?

Nurani kita harus bicara. Jika nurani sudah mati, setidaknya ingatlah bahwa kita tidak ingin hal-hal buruk terjadi atas orang-orang yang kita cintai, sehingga janganlah berpikir hal-hal yang buruk tentang orang lain, karena orang lain itu juga ada yang mencintai.

 

Foto: Jessica Wuysang, wartawan foto Kantor Berita Antara Biro Kalimantan Barat.

Keterangan foto: Dua prajurit TNI AD berupaya menahan aksi warga saat terjadi keributan di Jalan Gajahmada, Pontianak, Kalbar, Sabtu (20/5/17).

 

Keadilan itu Bersifat Impersonal dan Imparsial

Satu gereja di Samarinda dibom! Korban jatuh. Apakah saya ikut ‘terluka’? Tentu saja. Namun, ‘keterlukaan’ saya pun harus kukendalikan sekuatnya dgn tenang agar tak jadi memantik api kebencian baru. Caranya, cukup saya berdoa, juga istri-anak. Tak perlu mengumbar ke dunia maya sebab tak ada kuasa saya mengubah apa-apa, walau sejuta status, meme, kusebarkan di mana-mana.

Tetapi, diam-diam saya berdoa. Doa yang sama pun kupanjatkan bagi pemilik semesta untuk mereka yang tertindas, terluka, terbunuh, karena keyakinan mereka, juga akibat kekejaman dan kerakusan manusia.

Bahkan orang-orang yang tak seiman dengan saya pun kadang kubawa dalam doa bila sontak teringat. Para korban perang di Suriah, Irak, Libya, Yaman, dan lain-lain, juga para pengungsi yang mempertaruhkan nyawa menuju negara pelarian–tak pandang apakah sekeyakinan atau tidak dengan saya–turut saya doakan.

Saya sering membayangkan penderitaan para wanita, anak-anak, dan perjuangan para ayah untuk menyelamatkan istri-anak mereka; mengganggu tidur, mengoyak unsur terdalam dalam diri saya.

Tuhan yang saya imani, mengajarkan saya mencintai manusia tanpa memandang suku-bangsa dan keyakinan. Dari situlah terbangun kesadaran memperlakukan tiap insan sama berharga.

Pengetahuan, bacaan, pendidikan, juga pergaulan, yang saya telan dan lakukan sekian lama, berperan pula mengajari saya bahwa keadilan dan kemanusiaan itu besifat impersonal dan imparsial. Tak membeda-bedakan, tak memisah-misah, dan barangsiapa tak mampu menerapkan, sesungguhnya hanya mengutamakan diri dan kaumnya; suatu pemihakan yang ekslusif, sementara persoalan manusia bersifat universal dan kebajikan bersifat terbuka.

Sungguh tak ada yang istimewa bila seseorang hanya membela yang sesuku, seiman, sealiran dng dirinya, karena yang ditonjolkan hanya kepentingan dan naluri purba.

Maka, meski tak seiman-sekeyakinan dan tak harus “berteriak” di dunia maya, saya pun bersimpati pada orang-orang yang terusir karena kepercayaan mereka, yang dianiaya atau dibunuh karena kekukuhan pada yang diyakini, pula mereka yang dihukum karena tak percaya adanya Tuhan.

Membebaskan pikiran dari pemihakan karena alasan sesuku, seiman, atau dorongan naluri dasar, memang bukan perkara gampang. Butuh kontempelasi panjang dan mendalam selain kesediaan memahami problematiknya kehidupan–termasuk dalam berkeyakinan. Hidup dan pergumulan manusia tak sesederhana yang terbangun dalam pikiran.

Agaknya, di situlah perbedaan kita yang paling mendasar! Namun, saya akan tetap berpihak pada humanisme dan kedamaian, semoga yang sependapat denganku semakin banyak dan akal sehat, nurani, harus diusahakan bersama jadi pemenang, mengalahkan kepicikan dan kebiadaban.

Foto: Johnhain/Pixabay