Surat buat Ahok.
Bisa jadi ini surat seperti sebuah ikut-ikutan karena lagi musim surat terbuka. Betul Pak Ahok, saya suka ikut-ikutan.
Kemarin waktu ramai di depan Balai Kota saya ikut-ikutan juga, terus pengen ikut-ikutan nyalain lilin, saya enggak ikut karena jam 9 malam saya sudah mengantuk. Entah kenapa Pak Ahok, beberapa waktu terakhir ini cuma Bapak aja nih yang seliweran di kepala saya. “Kok bisa gini dan kok bisa gitu ya”.
Kemarin waktu dengar soal batal banding, saya cuma melongo makin gagal paham sama cara pikir Bapak. Ini orang bodoh apa kepinteran sih?
Lalu seketika saya jadi lesu dan semangat untuk mengumandangkan “Silent Majority Speak Up!” sirna sudah dengan surat bapak yang dibacakan oleh ibu Vero. Iki piye Pak? Perjuangan belum selesai tapi kok diselesaikan sebelum berjuang, begitu saya pikir.
Paginya istri mengajak berdoa buat Pak Ahok, eh kita berdoa malah nangis. Entah karena sedih apa karena frustasi mau ngapain ya; kayaknya kok gak rela melihat ketidakadilan kayak gini.
Sedih tapi ya damai juga, bahagia melihat ada orang kayak Pak Ahok, dan bukan cuma sebuah bacaan di sebuah kisah alkisah, tapi beneran kejadian. Jadi nangisnya itu campur aduk antara bahagia, kagum, damai dan seketika saya merasa Oh, Tuhan itu beneran ada toh. Ya, karena melihat Pak Ahok itu.
Nah Pak Ahok, pagi ini saya merasa iri luar biasa. Pak Ahok keenakan dipakai Tuhan untuk pekerjaan yang luar biasa, lewat pak Ahok seluruh alam semesta mendengar “Tuhan akan menyelesaikannya untukku!” Mazmur 138:8 menjadi sebuah pujian yang indah banget dan semua menggumamkannya dalam hati.
Setiap orang yang putus harap dan frustasi, sejak kemarin menggumamkan kata iman yang sama “Tuhan akan menyelesaikannya untukku”. Ya ampun, Hok. Baru kali ini jutaan orang seketika menjadi punya iman dan harapan; bahwa Tuhan itu berdaulat dan sedang bekerja untuk menyelesaikan segala perkara kita (apa saja) untuk kebaikan kita.
Lilin langsung saya potek-potek, ini enggak penting. Pak Ahok sudah jadi lilin yang sejati yang mengajarkan teladan, soal menjadi terang dan garam. Saya mah masih cuma bisa nyalain lilin yang artifisial, sama ngutip-ngutip ayat Alkitab sambil merasa udah suci sembari hidung kembang kempis; ujung-ujungnya masih nyari kepuasan diri sendiri dan maksimal sampai ke keluarga biar senang.
Nah, Pak Ahok, you are not comparable to anyone of us ( yang saya kenal ya) makanya saya bilang saya iri setengah mati sama Bapak. Tuhan sepertinya sayang Pak Ahok 100 kali lipat dari pada ke saya.
Karena itu pak Ahok, saya enggak pantas mengucapkan “Stay Strong ya Pak!”. Bapak duluan sudah menunjukkan soal setrong dan lemah itu, saya yang perlu dikasih tahu, “Eh Cok, stay strong ya jangan lemah gitu dong baru juga disenggol Ojek udah sewot”.
Sesungguhnya Bapak sudah bebas, komplit bebas merdeka! Bahkan jeruji besi tidak sanggup memenjarakan sukacita pak Ahok. Pak Ahok, Tuhan bapak luar biasa sayangnya ya.
Pak Ahok, ajarin saya seperti bapak. Saya masih “terpenjara”.
Salam dari Panggang Ucok.
Ucok Gultom.
Penulis adalah pemerhati kesedihan, pecinta kopi yang tak pandai menabung, sekarang berkantor di Panggang Ucok, Jl Otista Raya no 149.
Sebuah teladan yg tak mungkin sanggup dikerjakan manusia yg tdk bergantung kpd Tuhan Yang Maka Kuasa..