Tag Archives: Kampung Melayu

Mengenal Kampung Melayu

Kampung Melayu adalah kelurahan di kecamatan Jatinegara, Jakarta Timur. Kelurahan ini memiliki luas 47,83 hektare, terdiri atas 114 Rukun Tetangga dan 8 Rukun Warga.

Wilayah kelurahan Kampung Melayu berbatasan dengan rel kereta api Kelurahan Kebon Manggis di sebelah utara; Jl. Sungai Ciliwung, Kelurahan Bukit Duri di sebelah barat; Jl. Jatinegara Barat dan Jl. Matraman Raya, Kelurahan Bali Mester di sebelah timur; serta Jl. Kampung Melayu Kecil, Kelurahan Bidara Cina di sebelah selatan.

Kampung Melayu termasuk wilayah yang rawan banjir karena terletak di tepi sungai Ciliwung . Namun pada masa pemerintahan Gubernur DKI, Basuki Tjahaya Purnama atau dikenal dengan panggilan singkat, Ahok, daerah ini dapat diatasi dengan memindahkan penduduk yang menghuni bantaran Sungai Ciliwung ke rumah susan. Sementara itu, Sungai Ciliwung dinormalisasi kembali dari berbagai hambatan hingga daerah ini tidak banjir.

Pada zaman penjajahan dahulu, wilayah ini menjadi pemukiman etnis Melayu. Kampung Melayu juga merupakan nama sebuah stasiun pemberhentian kendaraan umum yang penting di Jakarta Timur.

Pada 1900, wilayah ini memiliki tempat penyeberangan perahu di Sungai Ciliwung di bagian selatan daerah Meester Cornelis, Weltevreden (Batavia).

Kawasan Kampung Melayu merupakan wilayah Kelurahan Kampung Melayu dan sebagian dan wilayah Kelurahan Balimester, Kecamatan Jatinegara, Jakarta Timur. Kawasan tersebut dikenal dengan sebutan demikian, karena dipertengahan abad ke-17 dijadikan tempat pemukiman komunitas Melayu pimpinan Kapten Wan Abdul Bagus .

Wan Abdul Bagus adalah anak Encik Bagus, kelahiran Patani, Thailand Selatan. Ia terkenal pada zamannya sebagai orang sangat cerdas dan piawai dalam melaksanakan tugas, baik administrasif maupun di lapangan sebagai perwira.

Selama hidupnya ia membaktikan diri pada Kompeni, dimulai sebagai juru tulis, juru bahasa, bahkan sebagai duta atau utusan.

Sebagai prajurit, ia sering terlibat dalam berbagai peperangan, seperti di Jawa Tengah, pada waktu Kompeni “membantu” Mataram menghadapi Pangeran Trunojoyo . Demikian pula pada perang Banten, ketika Kompeni “membantu” Sultan Haji menghadapi ayahnya sendiri, Sultan Ageng Tirtayasa.

Waktu menghadapi pemberontakan Kapitan Jonker yang asal Ambon, Kapten Wan Abdul Bagus terluka cukup parah. Menjelang akhir hayatnya ia dipercaya oleh VOC untuk bertindak selaku Regeringscommisaris, semacam duta, ke Sumatera Barat.

Kapten Wan Abdul Bagus meninggal dunia tahun 1716, ketika usianya genap 90 tahun. Kedudukannya sebagai kapten orang–orang Melayu digantikan oleh putranya yang tidak resmi, Wan Abdullah, karena ahli waris tunggalnya, Wan Mohammad, meninggal dunia mendahului ayahnya.

Yang juga menarik adalah daerah Cawang yang juga merupakan komunitas Melayu. Nama ini berasal dari nama Eche (Tuan) Awang Abdullah, yang pada abad 18 berperan sebagai penterjemah antara orang Belanda dengan pemuka-pemuka pribumi dipedalaman. Merekapun mendapat peta pemukiman di daerah Condet.

 

Harry Kawilarang

Tulisan ini dimuat seizin penulis. Laman asli tulisan ini lihat di halaman Facebook dari Harry Kawilarang

Penulis adalah wartawan senior yang pernah bekerja di Harian Sinar Harapan dan Suara Pembaruan | pemerhati sejarah Indonesia

Foto:
1. Getek penyeberangan di tepi Sungai Ciliwung mengangkut mobil. di Kampung Melayu.
2. Pemukiman Kampung Melayu di masa silam.

Kepada Prajurit Muda yang Gugur Saat Bertugas; Kepada Nurani Kita

Sudah jamak buat kami, wartawan foto yang bertugas, saat akan memotret demo atau aksi massa, kami akan mengambil gambar dari sisi aparat keamanan, bisa itu polisi atau tentara.

Kenapa begitu? Karena dari sisi keamanan, memotret di belakang aparat dan kamera menghadap ke massa merupakan hal yang jauh lebih baik dan dari segi nilai berita pun jauh lebih tinggi karena pembaca atau pemirsa pun ingin tahu ekspresi demonstran dan apa yang dilakukan para demonstran.

Saya sendiri sebagai wartawan foto di Harian Sinar Harapan dan sekarang di sinarharapan.net juga sering melakukan hal yang sama dengan teman-teman fotografer lainnya.

Karena itulah, tak heran antara wartawan–dalam hal ini wartawan foto atau wartawan tulis–punya kedekatan dengan aparat keamanan.

Kami memang simbiosis mutualisma, selain soal memilih posisi yang aman saat bertugas. Wartawan butuh berita yang sifatnya “paling pertama” diketahui dan sahih yang biasa didapat dari pergerakan aparat yang memberi informasi, dan juga aparat butuh wartawan agar apa yang dilakukan terpublikasi sehingga pesan yang ingin disampaikan ke masyarakat akan teramplifikasi dengan baik.

Wartawan dan aparat keamanan juga sering kali menghadapi bahaya yang bisa saja terjadi di lapangan dan mengancam keselamatan jiwa raga. Banyak kisah wartawan meninggal dalam bertugas di lapangan, sama seperti aparat–baik polisi maupun tentara–yang meregang nyawa dalam bertugas.

Karena itu, saya merasa sedih dan berempati yang amat sangat setiap kali mendengar bom yang diledakkan teroris dan yang menjadi korban adalah aparat keamanan. Akhir-akhir ini, aparat kepolisian memang menjadi incaran aksi teror.

Tak terkecuali ketika bom bunuh diri meledak di Terminal Kampung Melayu, Jakarta, Rabu, 23 Mei 2017, tepatnya di Halte Transjakarta. Korban yang tewas ternyata juga terdiri dari unsur kepolisian.

Bripda Imam Gilang, Bripda Taufan Tsunami, dan Bripda Ridho Setiawan adalah korban yang gugur ketika bertugas mengamankan jalannya pawai obor yang melewati Terminal Kampung Melayu. Dan masih ada enam lagi anggota kepolisian yang berjibaku dengan luka-luka yang mereka alami saat ini.

Sedih.

Para polisi ini baru bertugas sekitar dua-tiga tahun. Usia pun rata-rata baru 21-25 tahun. Karir masih panjang, dan sudah pasti jadi kebanggaan orang tua dan keluarga.

Namun, usia muda dan semangat melayani masyarakat itu hilang lenyap terenggut bom bunuh diri yang ditilik dari segi mana pun enggak akan ketemu faedahnya buat orang-orang yang meledakkan diri itu terlebih lagi bagi masyarakat.

Secara normal, kejadian seperti ini pasti bisa membuat kecut Bripda-bripda lain, meskipun para senior mereka seperti Wakapolri memberi semangat dan kekuatan untuk tidak takut dan terus fokus bertugas.

Yang lebih membuat sedih, kematian para pemuda ini pun masih ada yang menganggapnya sebagai bagian dari rekayasa polisi untuk mengalihkan isu dan untuk menghantam “umat”.

Rasa kemanusiaan sudah tumpul. Jasad para polisi muda itu baru saja tertutup tanah, dan keluarga belum kering air matanya. Bagaimana perasaan keluarga dan orang-orang tercinta para Bripda ini jika mereka mengetahui tuduhan-tuduhan seperti itu di jagat media sosial?

Beberapa orang di medsos memicu isu rekayasa untuk memuaskan dahaga mereka sendiri atas teori konspirasi, tetapi menafikan adanya nyawa orang lain. Hai kawan, nurani Anda sudah matikah?

Bagaimana jika ada orang lain bermain-main dengan teori rekayasa yang memakai nyawa orang-orang tercinta Anda sendiri?

“Eh besok dari keluarga lu bakal ada yang kenapa-kenapa deh kayaknya. Nah kalau benar, jangan-jangan itu cuma pengalihan isu doang” …Apakah Anda ingin ada orang yang berbicara seperti itu depan muka?

Nurani kita harus bicara. Jika nurani sudah mati, setidaknya ingatlah bahwa kita tidak ingin hal-hal buruk terjadi atas orang-orang yang kita cintai, sehingga janganlah berpikir hal-hal yang buruk tentang orang lain, karena orang lain itu juga ada yang mencintai.

 

Foto: Jessica Wuysang, wartawan foto Kantor Berita Antara Biro Kalimantan Barat.

Keterangan foto: Dua prajurit TNI AD berupaya menahan aksi warga saat terjadi keributan di Jalan Gajahmada, Pontianak, Kalbar, Sabtu (20/5/17).