Category Archives: Inspirasi

Tentang Rumah Ber-DP Nol Rupiah itu

Sebagai warga Jakarta sejak 40 tahun lalu, saya ikut menyaksikan perubahan dan permasalahan masyarakat urban Ibu Kota (transportasi, hunian, perekonomian, dll). Setahuku hampir tak ada lagi lahan untuk membangun pemukiman berjumlah besar (puluhan ribu unit) dan bangunan bersifat horisontal.

Alternatifnya, rumah susun/flat/apartemen, macam Kalibata City dan yang lain. Itupun harus dengan cara membeli atau menggusur permukiman-permukiman padat, wilayah “slum” yang memang masih banyak di lima wilayah kota.

Masalahnya, harga tanah yang relatif mahal dan warga belum tentu mau melepas tanah dan rumah mereka diakuisisi pemprov untuk dikonversi jadi rumah susun (high rise building).

Pilihan lain, membangun permukiman–terutama untuk segmen masyarakat kelas menengah dan bawah–di luar wilayah DKI Jakarta, yakni Bekasi, Bogor, Cibinong, atau Tangerang, seperti proyek-proyek yang dikerjakan pengembang (developer, umumnya korporasi) dalam 20 thn terakhir ini.

Lalu, bila cagub Anies-Sandi berani menawarkan pemilikan rumah tanpa panjar/DP, kira-kira rumah model apa dan dibangun di mana? Bangunan horisontal atau vertikal?

Agak mustahil saat ini membebaskan permukiman padat dengan “harga pemerintah”; bukan harga ala pengembang swasta yang berani menginvestasikan dana raksasa dan tak perlu minta persetujuan DPRD. Bila dipaksakan–atas nama fungsi sosial tanah yg sebenarnya dibolehkan UU Pokok Agraria–berisiko pula digugat warga ke pengadilan, dan diganggu para “aktivis anti penggusuran/relokasi” atas nama keadilan bagi rakyat bawah.

Membangun di luar wilayah DKI? Pilihan hanya ke wilayah Bekasi, Bogor, Cikarang, Karawang, Banten, karena sulit menemukan lahan luas. Bila itu yang dipilih, tentu bukan lagi warga Jakarta yang hendak dibantu cagub tersebut, melainkan warga Bekasi, Bogor, Banten.

Sekadar info, di pinggiran Jakarta arah timur mendekati perbatasan Bekasi, harga tanah termurah kini, per m2 sekitar Rp 5 juta. Menemukan lahan luas untuk membangun perumahan massal hampir mustahil pula, kecuali berani membebaskan dengan harga berlipat-lipat.

Jadi, capek kalian menggunjingkan uang muka 0 persen yang disodorkan Anies. Barangkali beliau tak paham peta dan harga pasar (bukan NJOP) tanah di Jakarta. Bila pemprov mau baik hati membantu penyediaan rumah bagi masyarakat berpenghasilan pas-pasan, hanya cara pemberian subsidi dalam jumlah besar yang harus disiapkan.

Dugaan saya, dia ingin menarik simpati warga pemilih terutama keluarga muda dan lajang yang akan berumah tangga namun belum memiliki rumah. Menggiurkan memang bila sepintas didengar, walau masih bagian dari teks iklan agar dipilih.

Saya pun tak yakin pasangan ini mampu menyelesaikan persoalan banjir–masalah usang Jakarta–tanpa membongkar bangunan-bangunan di bantaran kali/sungai, tak melebarkan kali, dan itu berarti tidak menggusur atau merelokasi warga yang mengokupasi. Kali Ciliwung, contohnya, semakin lama semakin menyempit karena bangunan, timbunan sampah, dan pendangkalan tepian kali, jadi mempersempit aliran air hingga menimbulkan banjir, apalagi bila dapat “kiriman” dari Bogor.

Tapi, begitulah… Orang-orang masih banyak yang lebih suka mengedepankan kebencian ketimbang mengakui hasil perbaikan, seraya mendesak terus pengurus negara/pengelola kota agar mempedulikan rakyat di semua lapisan dan di berbagai aspek.

Aku Salaman dengan Pak Jokowi!

“Aku salaman dengan Pak Jokowi!”, begitu teriak gembira Restu, salah satu anak asuh kami di Yayasan Rumah Impian. Restu dipilih sebagai salah satu perwakilan dari sekolahnya di Kalasan, Yogyakarta untuk menerima langsung Kartu Indonesia Pintar (KIP) dari Presiden Republik Indonesia dalam kunjungannya ke Kulonprogo, tanggal 27 Januari 2017.

“Kaget, bangga, pokoknya luar biasa deh pak!” Begitulah Restu menggambarkan perasaannya hari itu. Dari sekian banyak siswa di sekolahnya, merupakan sebuah kejutan yang membanggakan bahwa Restu bisa dipilih dari Dinas Pendidikan Kabupaten Sleman untuk hadir dalam acara kemarin.

Restu , anak asuh kami yang duduk di kelas IX itu, prestasi di sekolahnya secara akademik memang membanggakan. Oleh karena itu, mungkin wajar kalau dia dipilih mewakili sekolahnya. Akan tetapi, jika mengingat latar belakang Restu sebelum kembali ke sekolah, kebanggaan itu akan menjadi sesuatu yang mengharukan.

Restu sempat putus sekolah dan hidup di jalanan. Kami menemukannya mengamen di bus-bus antar kota di terminal Jombor pada tahun 2010.

Dia kembali ke sekolah pada tahun 2011 dengan status sebagai siswa pendengar karena tidak memiliki dokumen kependudukan. Akan tetapi, kerja kerasnya dan potensi akademiknya akhirnya meyakinkan pihak sekolah untuk menerimanya secara penuh. Restu menyelesaikan jenjang pendidikan SD dengan hasil yang sangat baik, dan sekarang dia bersiap untuk ujian akhir di tingkat SMP.

Bertemu dan bersalaman dengan Presiden Republik Indonesia, walaupun hanya singkat, memberikan kesan yang luar biasa bagi Restu. Ketika ditanya apa impiannya sekarang, dia menjawab: “Aku mau belajar lebih keras lagi, pak. Aku mau menjadi pemimpin. Menjadi pemimpin yang merakyat seperti Pak Jokowi.”

Semangat, Restu!

Tentang Tahun Ayam

Hari ini di beberapa grup online yang saya ikuti, banyak ucapan selamat merayakan imlek. Di salah satu grup, banyak juga ucapan dengan bahasa yang tak saya mengerti tapi lucu karena kami semua yang tak mengerti bahasa itu turut menimpali dengan aktif, bahkan ada yang memelesetkan.

Misalnya, Gong xi fat chai, jangan kebanyakan makan nanti jadi fat ya, coy!
Ada juga yang bilang: Selamat tahun ayam, hati-hati jangan sampai rejeki dipatok ayam.
Bahkan ada yang sengaja meng-upload foto ayam goreng, dan menuliskan ‘selamat tahun baru’ di bawahnya.

Apa yang saya suka dalam salah satu grup itu adalah orang-orangnya terbuka dan tak merasa tersinggung walau saling teasing dan sekalipun ada yang suka mlesetin. Mungkin karena anggotanya sudah akrab dan mungkin juga karena memang komunitas itu terdiri dari golongan yang tingkat toleransinya terbilang tinggi. Ciyee…

Kami sudah terbiasa bercanda. Misalnya pas saya merayakan Paskah, seorang teman dari agama lain dengan sengaja mengirim nats (yang dia tahu dari sekolahnya, karena dulu dia kebetulan sekolah Kristen). Rasanya jadi lucu juga karena dia kan sebenarnya tidak mengerti nats itu dan sama sekali tidak nyambung dengan konteks perayaan Paskah, tapi itu tidak bermaksud menyinggung dan itu malah membuat grup kami ramai, tertawa-tawa.

Pernah juga kami merencanakan pertemuan, dan kepada yang beragama islam pun kami suka bergurau, contohnya dengan berkata: Enakan makan di lapo aja, enak lho dagingnya, lo belum pernah ngerasain kan? (Tahu kan di lapo itu pasti ada daging haram, hehehe).

Lalu pernah juga waktu kami makan dalam rangka buka puasa bersama di sebuah restoran arab, seorang teman sengaja mendandani saya dengan pasmina seolah saya mengenakan hijab. Kami makan dan berfoto-foto dengan gembira. Tak ada yang tersinggung. Tak ada yang protes. Sebab kami melakukan itu bukan untuk menistakan siapapun. Kami hanya berusaha beradaptasi dan tampil seperti lingkungan menuntut kami.

Apa yang membuat semua perbedaan itu lancar dan mulus, adalah mungkin karena kami bisa menerima keberadaan kami masing-masing yang memang berbeda.

Toleransi. Menerima perbedaan. Itulah hakikinya nusantara.

Kita tak harus setuju cara orang merayakan sesuatu tapi sikap kita adalah lebih baik menghargai sebab cara kita sendiri juga belum tentu mereka setujui tapi tetap mereka hormati. Itulah yang membuat kita bisa hidup berdampingan dengan damai.

Seorang teman kantor sering membawa bekal makan siang yang bagi orang lain adalah makanan haram, tapi mereka tetap bisa menerima, dan hubungan kami tetap baik. Selera boleh beda, pandangan hidup boleh berbeda, kebiasaan dan pola pikir boleh berbeda, tapi hubungan baik harus tetap dijaga.

Saya pikir itulah sejatinya nusantara yang harus tetap kita jaga dan lestarikan.

Dan seperti kata teman saya yang memang suka bercanda, apapun agamanya yang penting sama-sama menikmati hari liburnya. Hahaha.

Konon menurut zodiak Cina, ini tahun ayam. Mengapa ayam, saya juga kurang paham.
Yang jelas, ayam adalah hewan yang sangat adaptif, mudah hidup di sembarang tempat. Ayam juga adalah peliharaan yang murah dan popular, dan merupakan salah satu sumber protein utama bagi manusia. Kita tahu bahwa protein sangat vital bagi kesehatan dan pertumbuhan manusia.

Apapun artinya tahun ayam dalam zodiak, bagi kita yang tidak merayakannya, saya ingin mengambil makna positif dan menarik makna universalnya, yaitu,

semoga kita bisa semakin memiliki sifat alami ayam, yang, mudah beradaptasi dan menjadi sumber sumbangsih ‘protein’ bagi kehidupan manusia yang universal melalui karya kita masing-masing.

Selamat hari raya tahun baru Imlek, semoga tahun ini semakin damai-sejahtera dalam perbedaan dan nusantara yang semakin makmur.

Dan sama seperti tahun-tahun sebelumnya, kita bisa berpegang pada janji Tuhan:
“Sebab itu janganlah kamu kuatir akan hari besok,… ” (Matius 6:34), “Sebab Aku ini mengetahui rancangan-rancangan apa yang ada pada-Ku mengenai kamu, demikianlah firman TUHAN, yaitu rancangan damai sejahtera dan bukan rancangan kecelakaan, untuk memberikan kepadamu hari depan yang penuh harapan (Yeremia 29:11).

Hal-hal Kecil yang Menyenangkan

Saya sedang gemas. Gemas sekali. Komputer saya sudah hampir dua minggu ini mengalami error. Orang yang menanganinya tidak bisa menuntaskan sampai ke pihak yang bertanggungjawab di bidang itu. Andai itu bidang ekspertis saya, saya akan segera menanganinya. Tapi penanganannya harus tingkat internasional alias di kantor pusat, Tokyo, sebab di dalam komputer itu ada program yang level sekuritinya tingkat atas. Apa daya tangan tak sampai.

Masalahnya, saya sedang berada pada masa yang ‘kritis’. Tugas-tugas menumpuk dan deadline di depan mata. Ini ibarat, betapa gemasnya ketika kita ingin buru-buru tapi mobil mogok, atau bahkan mesinnya mati. Atau dalam keadaan emergensi ingin menelepon seseorang tiba-tiba ponsel mati.

(Kata teman saya, pilihan kata saya salah, bukan gemas, tapi gondok.)

Oh. Gondok. Betul.
Saya benar-benar gondok. Gondok, yang seperti, ketika kau ingin buru-buru makan spageti, sendoknya jatuh ke kotoran. Tak ada sendok, kan mana enak makan spageti pakai jari?
Ibarat, ketika kau ingin mengirimkan email yang sudah banyak-banyak kau ketik eh tiba-tiba laptop kehabisan baterai dan mati.

Gondok. Dongkol. Bête. Jengkol.Pete. (Eh? Lho? Kok bisa berirama gitu ya? Hehe.) (Dongkol.. bukan tongkol lho yaaaa)

Saya sampai jadi agak malas masuk kantor. Bayangkanlah orang yang yang terbiasa grasa-grusu, tiba-tiba harus diam tak melakukan apa-apa, itu bagaikan penjara kecil. Kalau dalam versi film kartun yang lebay, saya mungkin akan bisa berubah seperti Hulk yang melempar komputer saya pada orang yang tidak bisa menyelesaikan masalah komputer saya itu.

Di satu sisi, kalau mau, saya sebenarnya bisa ambil sikap bodo amat. Saya bebas main, dengan dalih karena tidak bisa bekerja dengan komputer. Saya bisa main HP, main ke luar kantor, mengobrol kesana-kemari, bahkan ngopi dan ngemil-ngemil di pantry kantor.

Tapi masalahnya tak sesederhana itu. Ini urusan tanggungjawab. Ini urusan integritas. Jadi saya tetap harus bekerja, baik dengan cara manual, atau cara lainnya, dengan cara seksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya (hehe), agar kondisi pekerjaan tetap berlangsung dengan kondusif.

Dan tetap saja, ada yang tak lagi bisa dilakukan dengan manual. Kita sudah ketergantungan pada teknologi. Dan itulah yang membuat gondok. Yang membuat kita bagaikan orang tua yang kehilangan tongkat, bagaikan orang rabun yang kehilangan kacamata.

Karena sudah berhari-hari menahan gondok, saya takut jadi gondokan betulan, hahaha. Maka, pagi ini, sekalipun macet dan saya sudah sempat mau tambah gondok karena terancam telat ke kantor, saya memutuskan satu hal: Saya tak mau gondok.

Jadi, sambil menunggu taksi yang saya pesan online (karena sedang promo, lumayan cyin, hihi), saya menuju kafe pastry Perancis, dan membeli sekaligus tiga macam roti! (Ini lapar apa doyan? Hahaha.)

Saya beli roti Real Ganache yang bag croissant berkubah coklat lumer, lalu egg tart, dan grain croquet monsieur (saya hanya lihat bentuknya seperti sandwich, tidak tahu cara bacanya, haha.)
Pagi-pagi saya perlu mood booster, dan itu adalah makanan enak, pikir saya. Benar saja! Setelah menikmati egg tart yang lembut dan enak banget itu, lalu real ganache yang coklat lumernya sampai belepotan di bibir saya, saya pun bisa agak tenang, hahaha…

Yang ingin saya bicarakan di sini adalah hal kecil ini. Jika kita terus berpusat pada hal-hal buruk saja, tak akan ada habisnya. Mencari hal buruk itu paling mudah. Itu kenapa seorang yang paling cemerlang pun dengan sengaja dicari-cari kekurangannya agar bisa dijatuhkan (if you know what I mean 🙂 ).

Yang terbaik adalah,

berpalinglah pada hal-hal kecil yang menyenangkan. Hal-hal besar yang bikin gondok itu rupanya hanya akan menguras energi dan emosi.

Bahkan kata teman saya, bisa bikin kita sakit jantung. Lebay sih, tapi benar. Hahaha.

Maka saya pun mulai berhasil mengatasi kegondokan saya. Bukan hanya karena roti perancis yang enak itu, tapi karena kemudian saya mulai melihat sudut pandang yang lain.

Karena ada waktu luang ini, saya jadi sempat menulis blog lagi di ponsel saya. Saya jadi sempat menelepon ibu saya. Jadi sempat menelepon anak. Jadi sempat membaca-baca. Jadi ada waktu mendengar musik. Jadi sempat mencari makanan enak. Bahkan sempat mengedit-edit foto di ponsel, dan melihat-lihat gambar lukisan bagus di kalender, karena tak ada lagi yang menarik yang bisa dilihat di kalender (karena hanya sedikit tanggal merahnya, hahaha).

Sampai saat ini komputer saya masih error. Tapi saya barusan sudah minum jus buah dan sebentar lagi akan makan kue oleh-oleh dari rekan yang baru dari luar kota. Itu adalah juga hal-hal kecil yang menyenangkan.

Masih gemas? Masih gondok? Masih dongkol? Masih tongkol? #eh… ?

Masih, sedikit. Tapi sebentar lagi juga hilang.

Bye-bye, gondok…!
-*-

Hakim Konstitusi, Orang Farisi, dan Daging Sapi

Salah satu perumpamaan yang paling terkenal yang pernah diucapkan Yesus adalah perumpamaan tentang orang Farisi dan pemungut cukai. Perumpamaan ini bisa dilihat di Lukas 18:9-14.

Yesus berkisah tentang orang Farisi yang masuk ke Bait Allah dan berdoa,”Ya Allah, aku mengucap syukur kepada-Mu, karena aku tidak sama seperti semua orang lain.”

Dan selanjutnya, doa yang diucapkan si Farisi ini memperlihatkan kesombongan rohani karena dia berkata bahwa dia bukan orang jahat, tidak berzinah, sering puasa, dan Tuhan pasti senang dengan dia karena telah menjalankan semua perintah Tuhan.

“Aku tidak sama dengan semua orang lain”. Keren sekali doanya. Percaya diri tinggi, seolah sekaveling sorga telah menanti untuk dihuni.

Kemudian Yesus melanjutkan perumpamaannya, tentang seorang pemungut cukai yang saat berdoa malah berdiri jauh-jauh dari orang lain. “Tetapi pemungut cukai itu berdiri jauh-jauh, bahkan ia tidak berani menengadah ke langit, melainkan ia memukul diri dan berkata: Ya Allah, kasihanilah aku orang berdosa ini.”

Kaum Farisi adalah pemimpin spiritual Yahudi pada masa Bait Allah ke-2, sekitar abad ke 2 SM. Sementara itu, pemungut cukai semacam aparatur negara, dalam hal ini Romawi, yang bertugas mengumpulkan pajak dari masyarakat Yahudi untuk diserahkan kepada pemerintah Romawi di Palestina.

Dan Yesus berkata selanjutnya, dan ini salah satu ucapan yang paling sering kita dengar: “Sebab barangsiapa meninggikan diri, ia akan direndahkan dan barangsiapa merendahkan diri, ia akan ditinggikan.”

 

Ditinggikan, Direndahkan

Mendengar penangkapan Hakim Mahkamah Konstitusi Patrialis Akbar, saya teringat pada perumpamaan orang Farisi dan pemungut cukai ini. Dan sepertinya pembandingan ini juga sudah menghiasi dunia media sosial.

Tak lama setelah Patrialis ditangkap, meme telah beredar bagaimana Patrialis pernah mengatakan,”Jangan pilih pemimpin kafir.” Jelas ini merujuk pada Pilkada DKI dimana pasangan nomor urut 2, Basuki Tjahaya Purnama, yang beragama Kristen maju bertarung.

Loh, kapasitasnya padahal Hakim Konstitusi yang bisa memutuskan perubahan UU, seharusnya dia bisa bersikap netral atau bahkan malah lebih mumpuni memahami permasalahan baik dari sisi keagamaan maupun politik kebangsaan.

Seram sekali. Pantas jika kita mencurigai judicial review yang diajukan Basuki atau Ahok sebelum masa kampanye terkatung-katung dan sekarang kita tidak tahu juntrungan-nya.

Ketika orang sekapasitas begini malah menunjuk orang lain sebagai kafir. Jika begitu, pastilah dia telah menempatkan dirinya di posisi lebih tinggi secara keimanan dan “kedekatannya pada Tuhan” dari pada orang yang ditunjuk kafir.

Uniknya, Ketua Dewan Etik Hakim Mahkamah Konstitusi Abdul Mukthie Fadjar mengungkapkan bahwa Hakim Konstitusi Patrialis Akbar termasuk yang paling sering diperiksa bahkan ditegor. “Beliau hakim konstitusi yang sering diperiksa oleh Dewan Etik. Dia malah ingin ikutan aksi demo Ahok di Monas itu. Ya saya larang, saya bilang, jangan bikin kegaduhan,” kata Mukthie kepada sebuah stasiun televisi.

“Sebab barangsiapa meninggikan diri, ia akan direndahkan dan barangsiapa merendahkan diri, ia akan ditinggikan.”

Nah, dunia Patrialis sekarang berbalik 180 derajat. Operasi Tangkap Tangan alias OTT yang dilakukan KPK jadi penyebabnya. Patrialis ditangkap di sebuah mal saat berjalan dengan seorang wanita.

Suap diduga terkait pengurusan perkara judicial review (uji materi) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan. UU ini mengatur impor daging sapi berbasis zona, bukan berbasis negara. Nah deja vu! Lagi-lagi urusan daging sapi.

Pemberi suap dalam perkara ini adalah pengusaha Basuki Hariman yang telah muncul ke publik saat menjadi saksi kasus suap impor daging sapi yang melibatkan PT Indoguna dengan mantan Presiden PKS Luthfi Hasan Ishaaq.

Namun, ini seperti yang dikatakan mantan Ketua MK Mahfud MD,”Lebih seram! Karena ini mengubah UU dan ini harganya bisa puluhan miliar.”

“Harga satu kasus pilkada saja Rp 2-5 miliar seperti yang terungkap dari kasus Akil Muchtar, tapi kalau kasus sekarang lebih gila lagi karena ini mengubah UU dan ini harganya bisa puluhan miliar, karena mempengaruhi banyak orang bukan kayak pilkada yang dirugikan cuma orang-orang yang berperkara,” kata Mahfud.

Nah, kalau sudah tertangkap KPK begini, jadilah Patrialis “seseorang yang meninggikan diri kemudian direndahkan.” Jabatan di bidang politik dan hukum yang pernah dia jabat, seperti anggota DPR dua periode, Menteri Hukum dan HAM, dan terakhir Hakim di Mahkamah Konstitusi, membuat Patrialils mungkin merasa terbang tinggi di alam bebas seperti burung elang yang terbang tinggi, namun kemudian tertubruk gunung egonya sendiri.

Sementara orang yang ditunjuk-tunjuk sebagai kafir, yang didemo habis-habisan saat demo 411 dan 212–demo yang ingin diikuti si Hakim Konsititusi ini–karena dianggap menista agama, sekarang sedang menikmati arus balik dukungan. Setidaknya sampai saat ini, beberapa polling center memberi data bahwa pasangan Ahok-Djarot mulai kembali berada di posisi satu menuju kursi DKI 1.

Pesan moral dari kasus Hakim Konstitusi Patrialis Akbar ini: Hati-hatilah dalam bersikap, rendah hatilah, karena dengan rendah hati dan merendahkan diri di hadapan Tuhan, Anda akan dihormati dunia. Namun, jika Anda merasa lebih tinggi dan berhak memberi cap negatif ke orang lain, Anda juga yang akan terpeleset dan terjerembab ke posisi terendah.

Kalah? Memangnya Kenapa?

Beberapa waktu yang lalu, komunitas kami mengadakan sebuah lomba. Ini adalah jenis lomba yang baru pertama kalinya diselenggarakan di komunitas itu jadi memang pesertanya tidak terlalu banyak.

Ketika kami mengumumkan hasil lomba tersebut, seorang peserta langsung mengirim pesan pada saya yang berisikan ketidakpuasannya pada hasil lomba. Sekalipun dia mengatasnamakan komplain dari orang lain, bisa diduga bahwa sebenarnya itu komplain dari dia sendiri. Yang sangat jelas terlihat dari komplain itu adalah bahwa dia merasa harusnya menang, merasa kualifikasi dirinya lebih bagus daripada peserta lain, dan menganggap juri tidak kompeten.

Betapa lucu dan sekaligus menyakitkannya hal itu.

Sebab, jika kita telusuri, orang yang komplain ini justru tidak layak menang. Itulah kenapa dia tidak menang. Entah mengapa dia merasa dia harus menang. Dan betapa mudahnya bagi dia untuk menyalahkan dan menganggap rendah juri, sebab juri-juri tersebut kualifikasinya sudah terbukti.

Jika dibuat sebuah perumpamaan, orang ini ibarat anak kecil yang baru belajar bernyanyi lalu ikut kontes menyanyi yang jurinya adalah juara Indonesian Idol, dan yang menang adalah penyanyi cilik juara lomba menyanyi kecamatan tahun lalu, dan dia merasa lebih hebat dari juara lomba kecamatan tersebut, dan ketika dia tidak menang, dia menganggap jurinya tidak kompeten.

Mungkin masalahnya ada dua. Dia terlanjur berharap akan menang. Dia tak bisa menerima kekalahan. Kedua, dia tak bisa mengenali kemampuan dirinya sendiri. Mungkin dia kurang wawasan, kurang bisa melihat bahwa di luar sana banyak yang lebih baik darinya. Apalagi ini adalah lomba pertama baginya, harusnya dia siap dengan segala resiko, dan jangan terlanjur bermimpi muluk akan keajaiban menang pada lomba pertama seperti dalam dongeng-dongeng.

Saya tak mau menyalahkan dia. Yang membuat saya agak gemas adalah ketika dia merendahkan juri dan menganggapnya tidak kompeten. Apa iya dia merasa lebih kompeten dari juri, ya? Apa dia tidak tahu ada alasannya mereka terpilih jadi juri, ada alasannya mengapa mereka yang di sana dan bukan dirinya.

Seperti itulah juga mungkin dalam bidang hidup kita yang lain. Sering kita menghakimi atau merendahkan orang tanpa kita sengaja atau sadari. Kita mengomel dan menyerapah: Petugas tak bagus. Pegawai tak benar. Pemerintah tak becus.

Seolah kita lebih becus. Seolah kita lebih bisa jika kita dalam posisi mereka. Padahal belum tentu. Coba deh, anda mungkin pernah mengatai polisi tidak becus dalam mengurai kemacetan, nah kita yang belum pernah menjadi polisi, disuruh mengatasi kemacetan itu, apa ya bisa? Itu hanya contoh.

Memang, kalah itu tidak enak. Kalah itu menyakitkan. Kalah itu bahkan bisa memalukan.

Banyak contoh nyata lain yang menunjukkan betapa beratnya menerima kekalahan.

Saya tak mau membahas politik, tapi jika kita lihat contoh, dari hasil PEMILU misalnya, kekalahan bisa membuat para pengikut yang pilihannya kalah menjadi liar, nakal, brutal, membuat semua orang menjadi gempar dan tak terkendali (eh, kok jadi kayak lagunya film Kera Sakti? Hehehe.).

Saya suka masakan padang, terutama rendang. Kalau makan di sebuah restoran, saya tak akan komentar kalau rendang itu tidak enak, sebab saya sadar tak bisa memasak lebih enak (sekalipuan saya yang bayar). Saya tahu diri. Jangan-jangan lidah saya yang salah, bukan rendangnya yang tidak enak, hahaha…

Setiap kita punya kelebihan di bidang masing-masing. Jangan merasa diri kita lebih baik daripada orang lain tanpa bukti nyata. Terimalah kekurangan kita dan kekalahan, sebab itu proses yang alami untuk membuat kita belajar lebih baik. Tidak semua orang selalu menang. Tidak semua orang selalu nomor satu. Bahkan yang terbaik dan tersukses pun pernah ada saatnya kalah dan berada di belakang atau di urutan bawah.

Oleh sebab itu, yang terbaik adalah menyadari siapa kita dan berhati-hati menilai orang lain, sebab ketika satu telunjuk kita menunjuk pada orang lain, tiga jari lain menunjuk pada diri kita sendiri.
Saya jadi ingat waktu kecil anak-anak saya saling berlomba mengejar sesuatu, dan ketika adiknya mengalahkan si kakak, si adik meledek: Yee, kakak kalah. Lalu si kakak menjawab: Memangnya kenapa kalau kalah?

Betul. Memangnya kenapa kalau kalah?

Menerima kekalahan adalah tanda kedewasaan.

Terimalah kekalahan itu dengan lapang dada. Itu bukan akhir dunia.

Dunia belum berakhir. Masih ada banyak kesempatan lain. Mungkin.

-*-

Film ‘Ballerina’, Tentang Usaha Menggapai Impian

Film Perancis-Kanada ini berkisah tentang seorang gadis kecil yatim piatu bernama Felicie, bersama temannya, Victor, dengan latar belakang tahun 1880an.

Keduanya melarikan diri dari panti asuhan di desa Brittany, ke Paris. Felicie suka menari dan ingin menjadi ballerina, sedangkan Victor bercita-cita menjadi penemu.

Awalnya Felicie hanya bisa menjadi pembantu seorang Cleaning Service wanita bernama Odette, dan Victor menjadi seorang office boy di bengkel Gustave Eiffel. Kemudian dengan identitas palsu (sebagai Camille), Felicie mendapat kesempatan untuk ikut audisi di sekolah ballet terkenal, untuk mendapatkan peran Clara di The Nutcracker pada Opera Ballet Paris.

Felicie menghadapi banyak tekanan, keletihan, kerja keras, kegagalan, kepahitan, penolakan dan tantangan. Tapi berkat kerja keras dan kemauan yang besar, ditambah bantuan Odette, dia akhirnya berhasil.

Apa yang saya fokuskan pada film ini adalah dua hal berikut ini:

Pertama.
Ibu Camille, menginginkan anaknya menjadi ballerina terkenal. Dia sampai menyogok orang agar anaknya bisa mengikuti audisi itu. Camille pun berusaha keras untuk memenuhi impian ibunya itu. Dia sendiri tak ingin menjadi ballerina. Itu bukan impiannya. Dia hanya ingin mengikuti perintah ibunya.

Betapa banyak orangtua yang seperti ibu Camille. Orangtua yang memaksakan anak, misal untuk ikut les ini itu, ambil jurusan ini itu, bahkan memilihkan jodoh, dengan alasan: orangtua lebih tahu yang terbaik buat anak.

Apakah anda pernah begitu? Sayakah salah satunya? Yang memaksakan mimpi kita pada anak, padahal dia tidak menginginkannya, dan tanpa sadar membuat anak menderita, tidak bahagia. Kita pun sebagai orangtua bisa menjadi tidak sejahtera, mungkin oleh rasa bersalah, jika semuanya berakhir tidak seperti yang diharapkan.

Melihat ibu Camille, saya jadi ingat seorang figur terkenal yang memaksakan anaknya mengikuti jejaknya padahal anaknya mungkin tidak menyukai bidang itu dan tidak capable. Kasihan sekali anak itu. Kasihan sekali menjadi bahan celaan orang. Tanpa disadari, ambisi orangtua bisa menjadi neraka atau racun bagi anaknya.

Kedua.
Seperti Felicie dan Victor, milikilah passion. Felicie memiliki keberanian untuk mengikuti hasrat (passion)nya dan bekerja keras untuk meraih mimpi dengan membuatnya menjadi kenyataan.

Tekad yang besar, latihan, usaha keras dan bimbingan ahli, adalah kunci kesuksesan.

Tak ada impian yang bisa dicapai dengan mudah. Jika terlalu mudah, mungkin itu bukan impian, melainkan kebetulan. Hahaha

-*-

7 Tips Mengatasi Hoax yang Wajib Kamu Coba

Berita palsu alias hoax yang beredar akhir-akhir ini telah menimbulkan keprihatinan kita. Dunia maya dan media sosial menjadi saluran penyebaran hoax yang sulit sekali dikendalikan.

Sebetulnya, untuk menangkal hoax bisa kita mulai dari diri sendiri. Sebab tak bisa dicegah, kita semua bisa terpapar hoax. Yang bisa kita lakukan adalah mencegah hoax itu tersebar lagi dengan berhenti menyebarkannya ke lingkaran pertemanan kita.

Ada beberapa tips untuk menghentikan peredaran hoax di Internet, berdasarkan survei kecil-kecilan yang dilakukan PETRA di komunitas alumni persekutuan mahasiswa Kristen Fakultas Ilmu Budaya UI, baru-baru ini:

1. Pastikan kebenarannya
Cukup mudah memastikan kebenaran sebuah informasi di era googling saat ini. Kita tinggal mengetik di kolom pencarian. “Baca baik-baik, lihat sumber beritanya,” kata Dyah Kristiani. Kalau sudah pasti hoax, “Langsung saya hapus,” ujar Sury Waruwu.

2. Kalau ragu
Kamu bisa memanfaatkan komunitasmu, keluarga, orang dekat, atau siapa saja yang kemungkinan besar punya informasi yang lebih bisa dipercayai mengenai sebuah berita, kalau kamu meragukan kebenarannya.

3. Jangan terpikat kata pancingan
Kata “Ini bener enggak ya?” bisa jadi pemancing yang baik dan pembuat hoax tahu itu. Karena itu tepat seperti kata Job Palar, “Saya enggak bakal teruskan atau share meskipun dengan embel-embel kalimat itu, saya akan delete.”

Terlepas dari adanya pancingan, Aster Silalahi memilih membaca saja hoax yang ada, “Sambil nyela-nyela beritanya, tapi dalam hati saja.”

4. Cuekin
Langkah ini paling banyak dipilih oleh responden Petra dan ini ampuh untuk membuat berita hoax berhenti di kamu, tidak tersebar ke mana-mana lagi.

5. Tegur pengirimnya
Cara ini dipandang ampuh untuk membuat si pengirim hoax tak meneruskan aksinya, khususnya kalau si pengirim adalah orang yang kamu kenal. Ingat, sampaikan teguran melalui jalur pribadi, kata Sury.

6. Unfollow
Kalau penyebar hoax ada di jejaring sosialmu, langkah ini dipandang efektif untuk menghindarkan kamu dari hoax dan tak terjebak ikut menyebarkannya. “Sedang berita hoax-nya, abaikan saja, tidak diteruskan,” kata Sarwendah Palupi.

7. Tertawakan
Tips ini lucu dan menarik juga. “Tertawa ngakak atau tertawa miris lalu lupakan,” kata Eva Sinaga.

***

Kamu bisa baca tulisan saya yang lain soal hoax di:  http://bangdeds.com/2017/01/09/melawan-hoax/

Babi dan Orang Gila

Hari-hari ini sedang ramai dipergunjingkan orang soal festival kuliner serba babi di Semarang, yang kemudian ‘dipaksa’ untuk dibatalkan penyelenggaraannya.

Babi adalah sumber protein bagi sebagian manusia. Kenapa sebagian? Sebab ada agama, seperti Yahudi (kemudian Islam), yang sungguh-sungguh mengharamkan binatang ini. Bagi orang Yahudi, jangankan dimakan, mereka yang kedapatan memelihara dan memakan babi, akan dihukum menurut hukum Musa.

Dalam kisah orang gila yang kerasukan setan di Gerasa, Yesus memerintahkan setan keluar dari tubuh orang itu. Tapi setan punya penawaran: “Jika Engkau mengusir kami, suruhlah kami pindah ke dalam kawanan babi itu.” (Matius 8:31). Pada Markus 5, dijelaskan lebih mendetail soal peristiwa ini. Bahwa si setan itu menyebut dirinya Legion karena mereka banyak.

Kawanan babi itu, yang menurut Kitab Markus jumlahnya mencapai 2.000 ekor, kemudian dirasuki setan, loncat ke danau, dan mati. Waduh, 2.000 ekor sekaligus loncat dari tebing ke danau dan mati bersamaan.

Kisah di Gerasa ini menarik bukan karena peristiwa ‘bunuh diri’ bareng babi-babi itu. Melainkan bagaimana Tuhan menghargai satu jiwa manusia yang sudah diabaikan oleh manusia lain, lebih dari apapun juga.

Kita ini seringkali tak peduli pada orang lain, apalagi pada orang-orang yang kita sebut ‘gila’. Menghargai manusia lain, memanusiakan orang lain, itulah yang saya maksudkan dari kisah babi dan orang gila dari Gerasa. Seberapa pun berbedanya kita dengan mereka. (Tulisan lain soal memanusiakan manusia lain, silakan baca pada artikel ini)

Seberapapun berbedanya kita dengan orang lain (termasuk bahwa mereka kemudian boleh menikmati sesuatu yang haram menurut kepercayaan kita), orang lain wajib dihargai melebihi tembok-tembok perbedaan.

Saya kira, itulah kunci persatuan dan kesatuan. Sehingga tak perlulah sampai festival kuliner serba babi di Semarang bikin sewot kemudian ‘dipaksa-paksa’ untuk dibatalkan.

Foto: Pixabay/Mutinka

Adat/Tradisi versus Kekristenan, Bagaimana Menyikapinya?

Kita hidup dalam masyarakat yang memiliki tradisi/adat. Tapi ada juga banyak tradisi dalam adat yang tidak sesuai dengan Firman Tuhan. Bagaimana kita menyikapinya?

Verkuyl menulis bahwa kata ‘adat’ berasal dari bahasa Arab ‘ada’ yang berarti cara yang telah lazim atau kebiasaan yang terjadi pada masyarakat.

Adat merupakan hasil karya manusia dalam mengatur kehidupannya serta relasi antar sesamanya agar memiliki ketertiban dan keteraturan untuk menuju kesejahteraan yang diharapkan.

Pertemuan antara kekristenan dan adat sering sekali terjadi proses saling mempengaruhi, baik secara sadar atau tidak. Lalu bagaimana manusia bersikap menghadapi tradisi itu?

Setidaknya ada tiga kecenderungan yang dijadikan panutan sikap manusia menghadapi adat-istiadat di sekelilingnya.

Pertama, sikap antagonistis/penolakan akan segala bentuk adat-istiadat yang tidak diingininya, gejala ini kita lihat dalam bentuk fundamentalisme yang ektrim. Kelompok ini memandang seolah-olah tidak ada sesuatu yang baik didalamnya, alias semuanya jahat.

– Mat.15: 6b “… Dengan demikian firman Allah kamu nyatakan tidak berlaku demi adat istiadatmu sendiri”.
– 1Pet.1:18-19 “Sebab kamu tahu, bahwa kamu telah ditebus dari cara hidupmu yang sia-sia yang kamu warisi dari nenek moyangmu itu bukan dengan barang yang fana, bukan pula dengan perak atau emas, melainkan dengan darah yang mahal, yaitu darah Kristus…”

Kedua, sikap terbuka yang kompromistis yang menerima segala bentuk adat-istiadat lingkungannya. Sikap demikian sering terlihat dalam kecenderungan liberalisme ekstrim yang sering menganut faham kebebasan.

Ketiga, sikap dualisme.
Sikap ini tidak mempertentangkan dan tidak mencampurkan faham-faham adat itu, tetapi membiarkan semua adat-istiadat itu berjalan sesuai dengan situasi dan kondisi masing-masing. Sikap ini menggunakan standar ganda, yaitu dilingkungan kristen ia berusaha hidup suci sesuai standar lingkungan jemaatnya tetapi didalam adat dia juga melaksanakan adat sesuai dengan standard perilaku adat yang berlaku.

Bagaimana sikap kita seharusnya?

Rasanya ketiga kecenderungan sikap demikian kurang tepat bagi seorang Kristen. Verkuyl dalam salah satu buku etikanya mengatakan bahwa umat Kristen terjerat diantara daya tarik antara libertinisme dan farisiisme. Di satu segi ia ditarik oleh kecenderungan keterbukaan dengan moralitas bebasnya, di segi lain ia ditarik oleh kecenderungan ketertutupan dengan moralitas kakunya. Kenyataan yang disebutkan Verkuyl itu memang benar, dan sikap di antara itu juga tergoda sikap mendua yang ada di antara kedua kecenderungan itu.

Lalu bagaimana selayaknya gereja bersikap?

Bagi mereka yang takut akan Allah, rasanya semua tindakan kita dalam menerima adat-istiadat perlu berorientasi pada Allah dan kehendak-Nya, ini menghasilkan empat pertimbangan berikut, yaitu

sikap dalam menghadapi adat-istiadat :

(1) Memuji dan memuliakan Allah
(2) Tidak menyembah berhala
(3) Mencerminkan kekudusan Allah
(4) Mengasihi manusia dan kemanusiaan.

Keempatnya berurutan dari atas ke bawah dimana memuji dan memuliakan Allah adalah tugas utama umat Kristen (Mazmur 150) dan ketiga lainnya diukur dari apakah itu meneguhkan kepujian dan kemuliaan Allah atau tidak.

Lalu adakah tingkat-tingkat pertumbuhan yang menentukan umat kristen bersikap?

Kedewasaan umat kristen dalam bersikap perlu mengarah pada kecenderungan transformatif, yaitu ia hidup dengan mentransformasikan setiap adat-istiadat agar sesuai dengan kepujian, kemuliaan dan kehendak Allah.

Ia semula hidup berkajang dalam dosa dan melakukan adat-istiadat dimana kuasa dosa banyak berpengaruh. Pengenalannya akan Tuhan Yesus Kristus membawanya kepada pertobatan (metanoea) dimana ia mulai merasakan perubahan arah dalam hidupnya dari dosa menuju kebenaran, dan seperti apa yang dikatakan oleh rasul Paulus: Jadi siapa yang ada di dalam Kristus, ia adalah ciptaan baru: yang lama sudah berlalu, sesungguhnya yang baru sudah datang (2Kor.5:17).

Dari perubahan yang transformatif inilah ia terus menerus melakukan transformasi dari dosa menuju kebenaran sehingga kehidupannya makin hari makin baik. Rasul Paulus mengatakan bahwa: Bukan seolah-olah aku telah memperoleh hal ini atau telah menjadi sempurna, melainkan aku mengejarnya (Flp.3:12).

Namun, harus disadari bahwa transformasi itu bukanlah hasil usaha manusia dengan kekuatannya sendiri tetapi sebagai hasil interaksi iman kita yang mendatangkan rahmat Allah: Dan semuanya itu dari Allah, yang dengan perantaraan Kristus telah mendamaikan kita dengan diri-Nya dan yang telah mempercayakan pelayanan perdamaian itu kepada kami (2Kor.5:18).

Sebagai kesimpulan:
1. Penerimaan dan penghargaan kita terhadap Adat tersebut sebenarnya juga sejalan dengan Alkitab baik Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru.
2. Kita harus selektif terhadap Adat, menerima yang sesuai dan menolak yang bertentangan dengan Alkitab.
3. Kita juga harus mengikuti teladan Tuhan Yesus, yang tidak hanya selektif terhadap Adat, tapi juga terus menerus membaharuinya.
4. Dalam penerapan Adat tersebut, kita harus selalu waspada agar tidak tersesat dan menghambat pertumbuhan Iman kita. Sikap waspada tersebut sesuai dengan pemahaman kita tentang doktrin manusia, termasuk diri sendiri, yang telah jatuh ke dalam dosa.
5. Penerimaan dan penghargaan kita terhadap Adat secara umumnya, juga sejalan dengan pengakuan dan penghargaan kita kepada nilai luhur kemanusiaan kita yang dicipta menurut gambar dan rupa Allah.
6. Penerimaan dan penghargaan kita terhadap Adat dapat juga dilihat sebagai penghargaan kita kepada karya nenek moyang sebagai salah satu warisan sangat berharga. Karena itu, kita bukan saja bersikap menerima Adat tersebut tetapi juga terus menerus membaharuinya.
7. Penerimaan dan pengakuan kita terhadap Adat juga dapat dilihat sebagai pengakuan dan penghargaan akan karya Allah yang sanggup bekerja di dalam diri nenek moyang, entah mereka menyadari hal itu atau tidak.
8.

Penerimaan dan penghargaan kita terhadap Adat juga dapat menjadi sarana bersaksi. Jadi jika kita menolak adat, maka kita sebenarnya kehilangan kesempatan utk bersaksi.

Ingat kesaksian rasul Paulus pada Gal.1:14-16; 1Kor.9:19-23.

“Di dalam agama Yahudi aku jauh lebih maju dari banyak teman yang sebaya dengan aku di antara bangsaku, sebagai orang yang sangat rajin memelihara adat istiadat nenek moyangku” (Gal.1:14).
-“Sungguhpun aku bebas terhadap semua orang, aku menjadikan diriku hamba dari semua orang, supaya aku boleh memenangkan sebanyak mungkin orang. Demikianlah Bagi orang Yahudi aku menjadi seperti orang Yahudi, supaya aku memenangkan orang-orang Yahudi…bagi orang-orang yang lemah aku menjadi seperti orang yang lemah, supaya aku dapat menyelamatkan mereka yang lemah. Bagi semua orang, aku telah menjadi segala-galanya, supaya aku sedapat mungkin memenangkan beberapa orang dari antara mereka. Segala sesuatu ini aku lakukan karena Injil… ” (1Kor.9:19-23).

-*-