Category Archives: Serba-Serbi

Memonopoli Peci

Presiden pertama Indonesia, Soekarno, punya penampilan khas. Dia sering terlihat dalam berbagai kesempatan mengenakan peci.

Dalam buku otobiografi Bung Karno yang ditulis oleh Cindy Adams, sang presiden mengatakan alasannya selalu mengenakan peci.

Bung Karno mengatakan dia bertekad mengenakan peci sebagai lambang pergerakan. Media menyebut, Soekarno termasuk yang mempopulerkan tutup kepala itu.

Bisa jadi begitu. Sebab begitu populernya, sampai-sampai di kampung orangtua saya di Hinalang, di pelosok Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara, sana, peci adalah atribut penting para bapak dan kakek. (Tentang Hinalang, kalian bisa baca lebih jauh di tautan berikut: https://goo.gl/wNOqUI dan https://goo.gl/N1sq6d)

Malah ada tradisi dalam kebudayaan Batak Simalungun, di mana para anak memberikan peci, sarung, dan tongkat kepada orangtua sebagai perlambang. Bahwa sang bapak sudah layak dipanggil Ompung (kakek).

Dan sejak saat itu namanya tak lagi dipanggil dengan namanya sendiri, atau predikat bapaknya si A atau si B, tapi berganti predikat menjadi ompungnya si C atau si D.

Coba deh perhatikan di makam-makam orang Batak, kalian suka menemukan predikat di bawah nama almarhum, Ompu si A atau Ompu si B, dan sebagainya. Nah, di tradisi kami, semua bermula dari pemberian peci, sarung, dan tongkat.

Peci adalah atribut yang sudah sangat melekat dalam komunitas kami. Sejak kapan? Saya tak tahu. Mungkin saja sejak masa perjuangan merebut kemerdekaan itu. Kakek saya, contohnya, adalah salah satu veteran pejuang kemerdekaan. Ada fotonya memakai seragam tentara dan mengenakan tutup kepala seperti peci.

Peci juga melekat dalam berbagai aspek kehidupan komunitas kami. Dari sekadar bercakap-cakap di warung kopi, beribadah di gereja, berkunjung ke berbagai perhelatan, terlibat dalam berbagai upacara adat, peci takkan ketinggalan. Malah Gotong (tutup kepala) khas simalungun, menggunakan peci sebagai dasarnya.

Saya bukan bermaksud mempertentangkan hal ini dengan orang-orang yang sibuk sekali mengklaim sana mengklaim sini lalu mempertentangkan penggunaan peci, memonopoli penggunaan peci, dan menolak orang di luar mereka mengenakan peci.

Mari melihatnya dalam kerangka kebangsaan saja. Bahwa peci dan sarung sekarang adalah bagian dari kebudayaan Indonesia. Tak perlu meributkan bahwa peci itu ciri agama tertentu atau budaya tertentu. Apa kalian tidak capek?

Saya tak menafikan kabar bahwa konon katanya peci adalah rintisan dari Sunan Kalijaga. Ada pula yang mengatakan, peci dibawa oleh Laksamana Cheng Ho, nahkoda muslim dari China.

Tak apa. Malahan saya bersyukur, karena peci bisa diterima secara universal oleh orang dari suku bangsa mana pun, dari agama apa pun. Keindonesiaan, menurut saya, seharusnya bisa mengeratkan kita dengan segala perbedaan kita.

Foto: commons.wikimedia.org/publicdomain

Kita Tak Butuh Pria Romantis

Mungkin, dibanding teman-teman wanita ‘seperjuangan’, saya mungkin sedikit beda.
Saya tidak suka pria romantis.
Kalau maksudnya romantis di sini adalah pria yang suka memberi bunga, memberi kejutan datang ke kantor membuat surprise party, memberi coklat bergambar hati, membuatkan puisi, memberikan hadiah-hadiah kecil, maka saya anggap itu biasa saja.

Suami saya sama sekali tidak romantis, jika memakai defenisi di atas. Sekian tahun pacaran dan menikah, hanya sekali dia memberikan bunga, yaitu bunga pernikahan, yang dibawa pengantin pria ke rumah pengantin wanita di pagi hari sebelum berangkat ke gereja untuk pemberkatan nikah (namanya acara sibuha-buhai).

Saya juga tak pernah meminta. Saya suka bunga, tapi tidak terlalu mengidam diberi bunga.

Tapi, saya memang suka coklat. Pernah sekali waktu pas hamil, saya mengidam sebuah coklat merk tertentu, dan meminta suami membeli. Yang terjadi, suami saya pas datang menjemput ke kantor, tidak membawa coklat, tapi mengajak saya ke mini market di gedung kantor saya dan menyuruh saya memilih coklat yang saya mau, lalu dia membayar ke kasir. Hahaha… apa romantisnya itu.

Romantis… oh romantis. Apa sih defenisi romantis?

Sekali waktu, pas jam istirahat di kantor, saya sedang membaca ulang sebuah buku lama, Purpose Driven Life, karya Rick Warren. Konon di halaman depan di dalam buku itu ada kolom yang berisikan nama pemberi dan nama penerima (partner). Dan di kolom itu tertulis nama suami saya sebagai pemberi dan di kolom nama penerima buku (partner), ya nama saya, ditulis oleh suami saya tentunya.

Lalu, seorang teman kantor melihat, lalu membolak-balik, dan langsung seolah terpesona, berkata: “Suaminya Mbak, romantis juga ya…!”
What? saya bilang. Romantis apanya?
“Itu sungguh romantis!” kata dia.
Bagi dia, seorang suami memberikan buku kepada istri dan menulis nama mereka berdua di buku, itu hal yang ruuoomantissszzzzz sekaleeee!!!

Saya hanya mengernyit. Baru kali ini ada yang bilang suami saya romantis. Hanya karena sebuah buku!

“Ya ampun, memangnya kamu nggak pernah dikasih buku ya sama suamimu?” kutanya.
Dia bilang enggak pernah. Padahal dia suka buku.
“Tapi suami pernah kasih bunga, kan?” saya bilang.
“Pernah,” kata dia.
“Nah. Suami saya seumur-umur nggak pernah kasih bunga, kecuali bunga pengantin!” saya bilang.
“Ya ampun, Mbak, suami Mbak kasih buku dan ada nama Mbak ditulis, itu juga romantis! Bukan cuma bunga yang romantis!” kata dia lagi.

Jadi rupanya hal seperti itu juga masuk dalam standar romantis buat dia. Kalau begitu, untuk standar dia, suami saya itu adalah cowok paling romantis sedunia. Sebab sejak kenal, bahkan belum jadi pacar, dia sudah banyak sekali memberikan saya buku-buku! Kebetulan saya suka membaca. Dia juga suka membaca.

“Ngasih buku pakai ada tulisan pesan-pesan dia dan ada nama dia dan nama Mbak kan, mbak?” kata teman saya itu lagi. “Ya itu romantis namanya!”
Dan saya pun tertawa-tawa.

Saya jadi ingat dulu ada teman kampus yang dengan ironik bilang: Kalau suami kasih banyak buku, bahkan sejak sebelum pacaran, itu adalah cara dia investasi, karena akhirnya dia menikah juga dengan saya dan buku itu jadi milik bersama, hahaha…

Saya masih tersenyum-senyum sendiri. Romantis?
Dulu masa remaja sampe kuliah, pernah juga kepingin punya cowok romantis, dalam arti, mengajak candle light dinner, mengirim coklat dan bunga pas valentin, bikin puisi dan kejutan kecil yang memanjakan.

Tapi setelah ketemu suami ini, semua itu terasa tak penting lagi. Mungkin benar juga, kalau soal memberikan buku itu romantis. Sebab, saya suka buku, dan dia memberikan sesuatu yang saya sukai dan butuhkan, juga bagus buat saya. Jadi, bagi saya inilah defenisi romantis itu! Mungkin karena standar romantisme bagi saya sudah berubah atau berbeda. Seorang teman malah menyebut saya pragmatis. Lebih melihat kepada manfaat secara praktis.

Sebab bagi saya, lebih penting dia mengerti dan tanpa cemburu/curiga membolehkan saya sesekali jalan dengan teman-teman daripada dia memberikan saya bunga, lebih penting dia naik genteng membenarkan yang bocor daripada sok mesra hujan-hujanan sepayung berdua, lebih penting dia pulang malam cepat dan makan masakan saya yang kurang lezat daripada candle light dinner berdua, lebih penting dia selalu ada jika saya butuh pendapat, pengertian dan perlindungan jika dalam masalah daripada sebaris puisi atau sekotak coklat valentin, lebih penting selalu ada waktu khusus bersama walau cuma menonton TV di rumah, bersama anak-anak, daripada dia sibuk terus di luar sana berjuang keras untuk bisa membelikan berlian.

Tak terlalu perlu dinner, bunga, coklat dan puisi (eh berlian sih bolehlah, hahaha…). Bagi saya itulah defenisi romantis yang sesungguhnya. Bagaimana dengan anda?

(Jadi ingat ada teman yang katanya punya suami romantis sekali, suka membelikan dia bunga, coklat, dll, dan dinner di tempat elit, tapi ujung-ujungnya minta istrinya yang bayarin, hahaha. Kita tak butuh romantis seperti itu, hahaha.).

Happy Valentine, selamat hari kasih sayang. Mari kita rayakan setiap hari.

-*-

Penemuan Heboh Gua Laut Mati ke-12 (Apa artinya bagi Alkitab?)

Sebuah penemuan arkeologis terbaru dilakukan oleh arkeolog Israel di bukit berbatu di barat Qumran, di barat laut Laut Mati. Mereka menemukan sebuah gua tersembunyi dan diyakini sebagai gua Gulungan Laut Mati yang ke-12. Penemuan ini diumumkan ke publik pada awal pekan ini.

Peneliti yang menemukan gua itu meyakini bahwa itu adalah gua ke-12. Dan ini menjadi penemuan baru sejak penemuan gua ke-11 pada kurang lebih 60 tahun lalu. Gua itu disebut berasal dari masa Second Temple.

Namun, tak seperti gua lainnya, tak ditemukan gulungan naskah di gua itu. Diduga, naskah itu sudah hilang sejak kaum Bedouins menemukan naskah-naskah Laut Mati pada pertengahan abad ke-20.

Tapi tim yang dipimpin Dr. Oren Gutfeld dan Ahiad Ovadia dari Hebrew University di Yerusalem beserta Dr. Randall Price dan mahasiswa Liberty University di Virginia, menemukan jejak-jejak gulungan itu.

Mereka menemukan sejumlah kendi tanah liat bertutup yang tipenya mirip dengan kendi dari periode Second Temple (tahun 530-70 SM). Kendi-kendi itu tersembunyi di relung-relung di dinding gua.

Tapi kendi-kendi itu sudah pecah dan isinya tak ada, kecuali satu kendi yang berisi gulungan perkamen kosong tanpa tulisan. Gulungan lain diduga sudah diambil kaum Bedouins modern karena ditemukan sepasang kepala kapak penggali dari tahun 1950-an di dalam terowongan.

“Walaupun sampai akhir tak ditemukan gulungan kecuali segulung perkamen kosong, temuan ini mengindikasikan tanpa keraguan bahwa gua ini sebelumnya mengandung gulungan yang sudah dicuri,” kata Gutfeld.

Bukti bahwa di situ pernah ada gulungan, selain temuan pecahan kendi, kata Gutfeld, adalah tali kulit untuk mengikat gulungan, kain untuk membungkus gulungan, tendon, dan potongan-potongan kulit yang menghubungkan fragmen, dan lain-lain.

Di samping temuan dari era Second Temple, juga ditemukan peninggalan prasejarah di sana. Berupa sebuah stempel batu dari bahan batu akik.

Apa Arti Naskah Laut Mati

Gulungan Laut Mati memberikan sumbangan penting karena banyaknya naskah Alkitab yang ditemukan. Sebelumnya, naskah Perjanjian Lama yang tertua, disalin pada abad ke-9 dan ke-10 Masehi oleh sekelompok penyalin Yahudi yang disebut kaum Masoret.

Sedangkan naskah Laut Mati disusun oleh penyalin dari daerah Qumran, 1000 tahun sebelumnya. Identiknya naskah yang disusun di Qumran dengan Perjanjian Lama mengindikasikan betapa sungguh-sungguhnya penyalin Yahudi selama berabad-abad dalam menyusun Alkitab secara akurat. Sehingga diyakini bahwa Perjanjian Lama benar-benar menggambarkan kata-kata yang diberikan kepada Musa, Daud, dan para nabi.

Naskah Laut Mati pertama kali ditemukan pada Januari 1947 oleh seorang penggembala dari kaum Bedouin bernama Juma. Kambing-kambingnya memanjat tebing terlalu tinggi sehingga dia harus menjemputnya.

Saat memanjat, Juma melihat dua celah kecil. Dia melemparkan batu ke dalam celah dan mendengar ada yang pecah. Dia segera memanggil sepupunya untuk menggali temuannya, karena mengira bakal menemukan harta karun.

Sayangnya, bukan harta karun yang mereka temukan, melainkan tujuh naskah pertama dari Gulungan Laut Mati yang terkenal sedunia. Naskah-naskah yang berasal dari masa ratusan tahun sebelum kelahiran Yesus Kristus. Berikutnya ditemukan gua-gua lain yang mengandung ruang penyimpanan, saluran air, pemandian ritual, ruang pertemuan, dan ruang kitab tempat sebagian besar naskah Gulungan Laut Mati diduga disalin oleh penyalin kitab.

Tentang Tahun Ayam

Hari ini di beberapa grup online yang saya ikuti, banyak ucapan selamat merayakan imlek. Di salah satu grup, banyak juga ucapan dengan bahasa yang tak saya mengerti tapi lucu karena kami semua yang tak mengerti bahasa itu turut menimpali dengan aktif, bahkan ada yang memelesetkan.

Misalnya, Gong xi fat chai, jangan kebanyakan makan nanti jadi fat ya, coy!
Ada juga yang bilang: Selamat tahun ayam, hati-hati jangan sampai rejeki dipatok ayam.
Bahkan ada yang sengaja meng-upload foto ayam goreng, dan menuliskan ‘selamat tahun baru’ di bawahnya.

Apa yang saya suka dalam salah satu grup itu adalah orang-orangnya terbuka dan tak merasa tersinggung walau saling teasing dan sekalipun ada yang suka mlesetin. Mungkin karena anggotanya sudah akrab dan mungkin juga karena memang komunitas itu terdiri dari golongan yang tingkat toleransinya terbilang tinggi. Ciyee…

Kami sudah terbiasa bercanda. Misalnya pas saya merayakan Paskah, seorang teman dari agama lain dengan sengaja mengirim nats (yang dia tahu dari sekolahnya, karena dulu dia kebetulan sekolah Kristen). Rasanya jadi lucu juga karena dia kan sebenarnya tidak mengerti nats itu dan sama sekali tidak nyambung dengan konteks perayaan Paskah, tapi itu tidak bermaksud menyinggung dan itu malah membuat grup kami ramai, tertawa-tawa.

Pernah juga kami merencanakan pertemuan, dan kepada yang beragama islam pun kami suka bergurau, contohnya dengan berkata: Enakan makan di lapo aja, enak lho dagingnya, lo belum pernah ngerasain kan? (Tahu kan di lapo itu pasti ada daging haram, hehehe).

Lalu pernah juga waktu kami makan dalam rangka buka puasa bersama di sebuah restoran arab, seorang teman sengaja mendandani saya dengan pasmina seolah saya mengenakan hijab. Kami makan dan berfoto-foto dengan gembira. Tak ada yang tersinggung. Tak ada yang protes. Sebab kami melakukan itu bukan untuk menistakan siapapun. Kami hanya berusaha beradaptasi dan tampil seperti lingkungan menuntut kami.

Apa yang membuat semua perbedaan itu lancar dan mulus, adalah mungkin karena kami bisa menerima keberadaan kami masing-masing yang memang berbeda.

Toleransi. Menerima perbedaan. Itulah hakikinya nusantara.

Kita tak harus setuju cara orang merayakan sesuatu tapi sikap kita adalah lebih baik menghargai sebab cara kita sendiri juga belum tentu mereka setujui tapi tetap mereka hormati. Itulah yang membuat kita bisa hidup berdampingan dengan damai.

Seorang teman kantor sering membawa bekal makan siang yang bagi orang lain adalah makanan haram, tapi mereka tetap bisa menerima, dan hubungan kami tetap baik. Selera boleh beda, pandangan hidup boleh berbeda, kebiasaan dan pola pikir boleh berbeda, tapi hubungan baik harus tetap dijaga.

Saya pikir itulah sejatinya nusantara yang harus tetap kita jaga dan lestarikan.

Dan seperti kata teman saya yang memang suka bercanda, apapun agamanya yang penting sama-sama menikmati hari liburnya. Hahaha.

Konon menurut zodiak Cina, ini tahun ayam. Mengapa ayam, saya juga kurang paham.
Yang jelas, ayam adalah hewan yang sangat adaptif, mudah hidup di sembarang tempat. Ayam juga adalah peliharaan yang murah dan popular, dan merupakan salah satu sumber protein utama bagi manusia. Kita tahu bahwa protein sangat vital bagi kesehatan dan pertumbuhan manusia.

Apapun artinya tahun ayam dalam zodiak, bagi kita yang tidak merayakannya, saya ingin mengambil makna positif dan menarik makna universalnya, yaitu,

semoga kita bisa semakin memiliki sifat alami ayam, yang, mudah beradaptasi dan menjadi sumber sumbangsih ‘protein’ bagi kehidupan manusia yang universal melalui karya kita masing-masing.

Selamat hari raya tahun baru Imlek, semoga tahun ini semakin damai-sejahtera dalam perbedaan dan nusantara yang semakin makmur.

Dan sama seperti tahun-tahun sebelumnya, kita bisa berpegang pada janji Tuhan:
“Sebab itu janganlah kamu kuatir akan hari besok,… ” (Matius 6:34), “Sebab Aku ini mengetahui rancangan-rancangan apa yang ada pada-Ku mengenai kamu, demikianlah firman TUHAN, yaitu rancangan damai sejahtera dan bukan rancangan kecelakaan, untuk memberikan kepadamu hari depan yang penuh harapan (Yeremia 29:11).

Tips Praktis Memastikan Berita Hoax atau Bukan

Setelah merumuskan tujuh tips praktis untuk mencegah tersebarnya hoax, yang dimulai dari diri sendiri, kali ini kita bicara soal cara menentukan sebuah berita itu hoax atau tidak, secara praktis. (Tentang tips mencegah penyebaran hoax, baca di sini)

Tips ini adalah hasil jajak pendapat komunitas alumni persekutuan mahasiswa Kristen di Fakultas Ilmu Budaya UI, dan inilah hasilnya:

Berita itu hoax kalau:

1. Terkesan bombastis dan timbul perasaan tak enak saat membacanya.
Hehehe.. untuk melakukan ini memang tak bisa instan ya. Kamu harus banyak-banyak membaca berita sehingga tahu mana yang bombastis dan mana yang tidak. Apalagi kalau main perasaan. Kata Yustinus Yuniarto sih, kalau menimbulkan kegalauan nasional, patut dicurigai itu.

2. Tak sesuai logika atau tak masuk akal.
Poin ini cukup banyak responden yang seia sekata. Menurut Sury Waruwu, berita hoax itu pasti tidak logis dan punya kecenderungan menjatuhkan seseorang atau produk.

3. Keterlaluan ngaconya
Eva Sinaga mengatakan, berita hoax itu adalah berita yang aneh dan ngaconya keterlaluan.
Dalam istilah lain, kata Elsye Meilani, kalau berita itu terkesan lebay. “Bikin males nerusin membaca sampai habis,” tutur Tyas.

4. Terlalu berbeda dengan berita-berita lain
Betul juga, kalau mayoritas media bilang A, terutama media-media yang memiliki reputasi baik atau mainstream, tiba-tiba ada yang bilang Z, maka patut dicurigai berita beda sendiri itu adalah hoax.

5. Tidak nyambung
“Berita hoax suka enggak nyambung atau bombastis lebay tralala,” kata Budi Harnata.

6. Kalau sumber-sumber terpercaya sudah mengkonfirmasi
Maksudnya, kalau ada berita yang kamu curigai, ada baiknya lakukan cross check ke mesin pencari, seperti yang dilakukan Dyah Kristiani. Kamu juga bisa tanya-tanya orang yang lebih punya wawasan atau. Lalukan juga cross check ke sumber lain yang punya reputasi.

Mudah-mudahan membantu ya. Semoga kamu termasuk orang yang tak terlalu mudah pada berita-berita yang palsu apalagi menyebarkannya. Say no to hoax. #turnbackhoax

Adat/Tradisi versus Kekristenan, Bagaimana Menyikapinya?

Kita hidup dalam masyarakat yang memiliki tradisi/adat. Tapi ada juga banyak tradisi dalam adat yang tidak sesuai dengan Firman Tuhan. Bagaimana kita menyikapinya?

Verkuyl menulis bahwa kata ‘adat’ berasal dari bahasa Arab ‘ada’ yang berarti cara yang telah lazim atau kebiasaan yang terjadi pada masyarakat.

Adat merupakan hasil karya manusia dalam mengatur kehidupannya serta relasi antar sesamanya agar memiliki ketertiban dan keteraturan untuk menuju kesejahteraan yang diharapkan.

Pertemuan antara kekristenan dan adat sering sekali terjadi proses saling mempengaruhi, baik secara sadar atau tidak. Lalu bagaimana manusia bersikap menghadapi tradisi itu?

Setidaknya ada tiga kecenderungan yang dijadikan panutan sikap manusia menghadapi adat-istiadat di sekelilingnya.

Pertama, sikap antagonistis/penolakan akan segala bentuk adat-istiadat yang tidak diingininya, gejala ini kita lihat dalam bentuk fundamentalisme yang ektrim. Kelompok ini memandang seolah-olah tidak ada sesuatu yang baik didalamnya, alias semuanya jahat.

– Mat.15: 6b “… Dengan demikian firman Allah kamu nyatakan tidak berlaku demi adat istiadatmu sendiri”.
– 1Pet.1:18-19 “Sebab kamu tahu, bahwa kamu telah ditebus dari cara hidupmu yang sia-sia yang kamu warisi dari nenek moyangmu itu bukan dengan barang yang fana, bukan pula dengan perak atau emas, melainkan dengan darah yang mahal, yaitu darah Kristus…”

Kedua, sikap terbuka yang kompromistis yang menerima segala bentuk adat-istiadat lingkungannya. Sikap demikian sering terlihat dalam kecenderungan liberalisme ekstrim yang sering menganut faham kebebasan.

Ketiga, sikap dualisme.
Sikap ini tidak mempertentangkan dan tidak mencampurkan faham-faham adat itu, tetapi membiarkan semua adat-istiadat itu berjalan sesuai dengan situasi dan kondisi masing-masing. Sikap ini menggunakan standar ganda, yaitu dilingkungan kristen ia berusaha hidup suci sesuai standar lingkungan jemaatnya tetapi didalam adat dia juga melaksanakan adat sesuai dengan standard perilaku adat yang berlaku.

Bagaimana sikap kita seharusnya?

Rasanya ketiga kecenderungan sikap demikian kurang tepat bagi seorang Kristen. Verkuyl dalam salah satu buku etikanya mengatakan bahwa umat Kristen terjerat diantara daya tarik antara libertinisme dan farisiisme. Di satu segi ia ditarik oleh kecenderungan keterbukaan dengan moralitas bebasnya, di segi lain ia ditarik oleh kecenderungan ketertutupan dengan moralitas kakunya. Kenyataan yang disebutkan Verkuyl itu memang benar, dan sikap di antara itu juga tergoda sikap mendua yang ada di antara kedua kecenderungan itu.

Lalu bagaimana selayaknya gereja bersikap?

Bagi mereka yang takut akan Allah, rasanya semua tindakan kita dalam menerima adat-istiadat perlu berorientasi pada Allah dan kehendak-Nya, ini menghasilkan empat pertimbangan berikut, yaitu

sikap dalam menghadapi adat-istiadat :

(1) Memuji dan memuliakan Allah
(2) Tidak menyembah berhala
(3) Mencerminkan kekudusan Allah
(4) Mengasihi manusia dan kemanusiaan.

Keempatnya berurutan dari atas ke bawah dimana memuji dan memuliakan Allah adalah tugas utama umat Kristen (Mazmur 150) dan ketiga lainnya diukur dari apakah itu meneguhkan kepujian dan kemuliaan Allah atau tidak.

Lalu adakah tingkat-tingkat pertumbuhan yang menentukan umat kristen bersikap?

Kedewasaan umat kristen dalam bersikap perlu mengarah pada kecenderungan transformatif, yaitu ia hidup dengan mentransformasikan setiap adat-istiadat agar sesuai dengan kepujian, kemuliaan dan kehendak Allah.

Ia semula hidup berkajang dalam dosa dan melakukan adat-istiadat dimana kuasa dosa banyak berpengaruh. Pengenalannya akan Tuhan Yesus Kristus membawanya kepada pertobatan (metanoea) dimana ia mulai merasakan perubahan arah dalam hidupnya dari dosa menuju kebenaran, dan seperti apa yang dikatakan oleh rasul Paulus: Jadi siapa yang ada di dalam Kristus, ia adalah ciptaan baru: yang lama sudah berlalu, sesungguhnya yang baru sudah datang (2Kor.5:17).

Dari perubahan yang transformatif inilah ia terus menerus melakukan transformasi dari dosa menuju kebenaran sehingga kehidupannya makin hari makin baik. Rasul Paulus mengatakan bahwa: Bukan seolah-olah aku telah memperoleh hal ini atau telah menjadi sempurna, melainkan aku mengejarnya (Flp.3:12).

Namun, harus disadari bahwa transformasi itu bukanlah hasil usaha manusia dengan kekuatannya sendiri tetapi sebagai hasil interaksi iman kita yang mendatangkan rahmat Allah: Dan semuanya itu dari Allah, yang dengan perantaraan Kristus telah mendamaikan kita dengan diri-Nya dan yang telah mempercayakan pelayanan perdamaian itu kepada kami (2Kor.5:18).

Sebagai kesimpulan:
1. Penerimaan dan penghargaan kita terhadap Adat tersebut sebenarnya juga sejalan dengan Alkitab baik Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru.
2. Kita harus selektif terhadap Adat, menerima yang sesuai dan menolak yang bertentangan dengan Alkitab.
3. Kita juga harus mengikuti teladan Tuhan Yesus, yang tidak hanya selektif terhadap Adat, tapi juga terus menerus membaharuinya.
4. Dalam penerapan Adat tersebut, kita harus selalu waspada agar tidak tersesat dan menghambat pertumbuhan Iman kita. Sikap waspada tersebut sesuai dengan pemahaman kita tentang doktrin manusia, termasuk diri sendiri, yang telah jatuh ke dalam dosa.
5. Penerimaan dan penghargaan kita terhadap Adat secara umumnya, juga sejalan dengan pengakuan dan penghargaan kita kepada nilai luhur kemanusiaan kita yang dicipta menurut gambar dan rupa Allah.
6. Penerimaan dan penghargaan kita terhadap Adat dapat juga dilihat sebagai penghargaan kita kepada karya nenek moyang sebagai salah satu warisan sangat berharga. Karena itu, kita bukan saja bersikap menerima Adat tersebut tetapi juga terus menerus membaharuinya.
7. Penerimaan dan pengakuan kita terhadap Adat juga dapat dilihat sebagai pengakuan dan penghargaan akan karya Allah yang sanggup bekerja di dalam diri nenek moyang, entah mereka menyadari hal itu atau tidak.
8.

Penerimaan dan penghargaan kita terhadap Adat juga dapat menjadi sarana bersaksi. Jadi jika kita menolak adat, maka kita sebenarnya kehilangan kesempatan utk bersaksi.

Ingat kesaksian rasul Paulus pada Gal.1:14-16; 1Kor.9:19-23.

“Di dalam agama Yahudi aku jauh lebih maju dari banyak teman yang sebaya dengan aku di antara bangsaku, sebagai orang yang sangat rajin memelihara adat istiadat nenek moyangku” (Gal.1:14).
-“Sungguhpun aku bebas terhadap semua orang, aku menjadikan diriku hamba dari semua orang, supaya aku boleh memenangkan sebanyak mungkin orang. Demikianlah Bagi orang Yahudi aku menjadi seperti orang Yahudi, supaya aku memenangkan orang-orang Yahudi…bagi orang-orang yang lemah aku menjadi seperti orang yang lemah, supaya aku dapat menyelamatkan mereka yang lemah. Bagi semua orang, aku telah menjadi segala-galanya, supaya aku sedapat mungkin memenangkan beberapa orang dari antara mereka. Segala sesuatu ini aku lakukan karena Injil… ” (1Kor.9:19-23).

-*-

Ironi Sebuah Pilihan

Pilihan itu adalah sebuah kemewahan. Pilihan itu adalah sesuatu yang menarik. Pilihan itu memberi rasa kemerdekaan, kedewasaan, dan kemanusiaan.

Tapi di sisi lain, pilihan juga bisa menakutkan, sebab kita tidak tahu mana yang benar pada akhirnya.

Pilihan itu pun disertai dengan resiko. Jika pilihan tepat, semua berjalan baik. Jika pilihan salah, siap-siap menanggung resikonya.

Seorang teman pernah curhat. “Kayaknya gue salah pilih suami deh,” katanya. Saya hanya diam mendengarkan. Sejujurnya saya pernah menduga hal ini sejak awal. Tak seorangpun dari pihak keluarganya yang merestui rencana pernikahan mereka sejak semula. Saya sendiri sebagai teman pun bisa melihat bahwa lelaki itu bukan tipe suami yang tepat untuknya.

Tapi nasi sudah jadi bubur. Yang perlu dia lakukan sekarang adalah memberi bumbu dan ‘aksesoris’ pelengkap agar bubur itu bisa tetap dinikmati.

Rekan saya dulu juga pernah menyesal telah salah pilih dalam merekrut karyawan untuk jadi anak buahnya. Program dan kondite tim-nya memburuk karena karyawan ini. Untungnya karyawan tersebut masih dalam masa kontrak, sehingga bisa diterminasi tanpa masalah.

Salah pilih pembantu rumah tangga pun, bisa sangat merugikan kita. Seorang teman lama saya, pernah mengalami kejadian buruk, babysitter yang dipilihnya dari yayasan ternama, mencoba membawa kabur anaknya yang yang masih bayi tapi berhasil digagalkan, dan itu sempat membuatnya trauma.

Seorang sepupu saya, salah memilih jurusan waktu kuliah. Dia tidak suka jurusan itu dan dia tidak bisa mengikutinya. Akibatnya, dia drop out. Dia telah menghabiskan beberapa tahun dengan percuma, rugi waktu, uang, energi dan korban perasaan diri sendiri dan kekecewaan orangtua, hanya karena kesalahpilihan itu.

Saya suka alpukat. Tapi sampai kini, saya paling tidak bisa memilih alpukat yang bagus. Kadang saya dapat yang bagus, tapi lebih sering dapat yang tidak bagus. Dan itu kadang membuat saya jadi agak malas membeli alpukat. Saya menyebut hal ini sebagai resiko pilihan. Betapa pilihan itu kadang tidak mudah, memusingkan dan bikin frustasi.

Ironi sebuah pilihan adalah ketika kita sudah tahu sesuatu hal itu tidak baik, tapi tetap kita pilih juga.
Saya pernah salah pilih teman gaul. Untungnya saya segera sadar karena ibu saya mengingatkan. Kalau tidak, saya mungkin akan sama nasib dengannya sekarang, luntang-lantung tanpa pekerjaan yang jelas.

Seorang teman saya di kampus dulu, pernah mengakui bahwa dia buruk sekali dalam hal pilihan pacar. Dia sudah tahu lelaki itu buaya, tapi karena dia ganteng, dia suka pada lelaki itu, dia akan memilihnya jadi pacar. Dan tak lama kemudian mereka akan putus, dia akan kecewa dan patah hati, dan menangis mengadu pada saya.

Seorang rekan kantor yang sedang diet, tahu bahwa gorengan tidak bagus untuknya, tapi jika disodorkan pilihan gorengan atau buah segar, dia akan tak tahan untuk tidak memilih gorengan. Bagaimana bisa sukses dietnya kalau begitu? Sudah tahu lemak harus dikurangi, tapi masih dimakan.

Masa kita sudah tahu dia koruptor tapi kita suka karena ganteng, kita memilih dia jadi pemimpin, misalnya? Sudah tahu dia punya istri, masa kita mau memilihnya jadi suami, mau menjadi istri simpanan? Sudah tahu dia mata keranjang, tapi kita masih mau jadi pacarnya?

Ketika kita sudah tahu bahwa sesuatu itu tidak baik, walau kita menyukainya, beranikah kita, sanggupkah kita, kuatkah kita, untuk tidak memilihnya?

Sesungguhnya, pilihan kita menunjukkan siapa kita. Jika kita memilih pemimpin koruptor, jangan protes nanti jika pembangunan tidak berjalan, dan masa depan negara dan anak-cucu kita suram.
Hidupmu pilihanmu. Pilihan ada di tanganmu. Jangan karena alasan sentimental karena subjektifitas sekedar rasa suka saja, karena ganteng, karena kenalan atau kerabat, sesuku atau seagama, menjadi alasan untuk tidak memilih kandidat yang sebenarnya paling bagus untuk jadi pemimpin.

Saya tidak suka sayur dan air putih. Tapi saya memilih untuk memaksa diri makan sayur dan minum air putih secukupnya setiap hari, sebab saya ingin tetap sehat, segar dan awet muda.

Demikian saya coba aplikasikan dalam bidang kehidupan lainnya. Sekalipun misalnya guru anak saya galak, kalau memang dia bagus membuat anak saya disiplin, saya akan memilihnya.

Jika harus memilih, saya akan memilih pemimpin yang walaupun berbeda dengan saya, tapi memiliki integritas untuk mengabdi pada bangsa dan negara, bukan yang diam-diam menggerogoti uang negara untuk kepentingan pribadi dan membiarkan ketidakadilan terjadi.

‘Salah pilih’. Kata yang sangat mengerikan. Betapa fatalnya jika kita salah pilih. Salah pilih suami, rumah tangga hancur. Salah pilih karyawan, perusahaan hancur. Salah pilih pembantu, menimbulkan masalah besar. Salah pilih pekerjaan, tidak bahagia.

Salah pilih pemimpin?

-*-

Melawan Berita Hoax

Sebelum era kampanye pilkada DKI Jakarta, istilah hoax mungkin belum seramai sekarang. Padahal, istilah ini sudah lama sekali dikenal.

Hoax berasal dari kata hocus yang artinya “untuk menipu”. Segala yang disebut hoax dimaksudkan untuk menipu. Istilah ini sudah ada sejak akhir abad ke-18.

Begitu pun informasi-informasi yang sekarang dikategorikan sebagai hoax, memang ditujukan untuk menipu.

Sebagai wartawan, melakukan check and recheck terhadap setiap informasi yang kami terima atau baca, adalah sebuah standar.

Berita yang kami terbitkan, seharusnya berangkat dari informasi-informasi yang sudah diverifikasi kebenarannya alias fakta.

Masalahnya, sekarang ada begitu banyak media atau yang menyebut dirinya media. Sulit sekali memastikan bahwa sekian banyak media itu sudah menerapkan prinsip-prinsip jurnalisme yang benar.

Oleh sebab itu, alih-alih mengharapkan media, tak ada salahnya masyarakat awam pun menerapkan check and recheck saat menerima informasi apapun. Terutama berita atau informasi yang beredar di dunia maya dan media sosial.

Untungnya, sekarang sudah ada tools yang bisa kita manfaatkan.

Kalau polisi beberapa waktu lalu punya kampanye melawan kejahatan bernama Turn Back Crime, sekarang pun sudah ada kampanye melawan hoax yang disebut Turn Back Hoax.

Tools ini diciptakan oleh Komunitas Masyarakat Anti Fitnah Indonesia. Ia berbentuk ekstensi peramban. Datanya berdasarkan mekanisme crowdsourcing.

Artinya, kitalah yang berinisiatif melaporkan konten-konten Internet yang diduga sebagai hoax. Kemudian mereka akan menyatukannya jadi satu basis data.

Kita bisa mengunjungi basis data ini melalui PC atau perangkat mobile di website data.turnbackhoax.id. Ia bisa menjadi rujukan bagi kita untuk memilah informasi-informasi yang beredar di dunia maya.

Supaya input yang diterima tak salah, para pengguna bisa saling memverifikasi laporan yang masuk. Tata cara untuk melapor bisa dibaca di sini.

Foto: Pixabay.com

Tulisan ini dikutip dari blog sendiri: http://bangdeds.com/2017/01/09/melawan-hoax/

Tentang #fitsahats dan BAP

Sedang trending #fitsahats di media sosial. Bermula dari keterangan salah satu saksi kasus dugaan penistaan agama oleh Basuki Tjahaja Purnama di dalam BAP alias Berita Acara Pemeriksaan.

Saya bukan pakar hukum, tapi saya pernah berurusan dengan hukum beberapa kali. Sebagai wartawan, saya juga pernah ditugaskan meliput kasus-kasus hukum. Karena itu, mau tak mau, saya harus belajar mengenai hukum, perundang-undangan, hukum pidana, perdata, sampai hukum acaranya.

Tujuannya, supaya saat memberitakan sebuah kasus kepada publik, saya bisa memahami persoalannya dan bisa menulis dengan jernih.

Makanya, saya mengerti pentingnya BAP ini. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) pada pasal 187 huruf (a) sudah mengatur bahwa berita acara, termasuk berita acara pemeriksaan saksi, merupakan alat bukti surat.

Pakar hukum juga mengatakan bahwa sesungguhnya berita acara itu dapat disamakan dengan suatu keterangan saksi yang tertulis. Ia adalah bukti yang sah di pengadilan.

Sebagai bukti hukum yang sah, adalah sebaiknya BAP ini disusun dengan sebenar-benarnya. Soalnya kalau keterangannya palsu, di pemberi kesaksian bisa kena pidana.

Saya ingat, dalam pemeriksaan untuk pembuatan BAP di depan polisi yang pernah saya jalani, petugas akan mengkonfirmasi betul keterangan yang saya ucapkan.

Kalau ada keterangan yang kurang jelas, polisi akan meminta saya mengulang atau mengejanya. Termasuk untuk penyebutan kata-kata asing, nama, tempat, dan sebagainya.

Setelah itu, polisi akan membacakan kembali keterangan itu, meminta saya memastikan bahwa semua keterangan sudah benar adanya. Setelah itu, saya akan diminta menandatangani BAP.

Typo dalam pengetikan? Sebetulnya biasa saja terjadi.

Tapi sepanjang pengalaman saya bekerja di dunia tulis menulis, kalau typo sampai dua suku kata, menurut saya sih bukan typo namanya. Itu mah sengaja. Bisa jadi, si saksi memang menginginkan keterangannya begitu.

Atau polisi mungkin menulis persis seperti pengucapan saksi. Tapi kan habis itu si saksi disuruh periksa sebelum ditandatangani.

Meski begitu, kalau melihat materinya, sebetulnya enggak signifikan banget sih soal #fitsahats ini dalam kasus hukum yang sedang berproses di pengadilan itu. Kurang ngaruh lah.

Kita ambil hikmahnya saja rame-rame ini. At least, ada hiburan baru di media sosial yang panas. Sesuatu yang bikin kita bisa ketawa bareng. Kalau ada yang kupingnya panas, ya mohon maap yak. Bukan maksud.

Rasisme dalam Industri Perfilman Barat

Matt Damon kesal bukan kepalang. Dia menyangkal tuduhan bahwa telah terjadi praktek whitewashing dalam film The Great Wall, yang sebentar lagi tayang di Indonesia.

The Great Wall adalah film anyar yang berkisah tentang misteri di balik pembangunan Tembok Besar China. Film ini adalah garapan perdana dari Legendary East, studio milik Wanda Group asal China di Hollywood.

Whitewashing adalah praktek penggunaan aktor berkulit putih untuk memerankan tokoh dari ras yang lain. Konsep ini dekat juga dengan yellowface, yakni ketika peran tokoh Asia diperankan oleh aktor berkulit putih yang di-makeup sedemikian rupa.

Kepada kantor berita Associated Press baru-baru ini, Damon mengatakan peran utamanya di film The Great Wall bukanlah whitewashing. Dia menegaskan, tuduhan itu sangat menghina.

Dalam film itu, Damon berperan sebagai orang Eropa yang menyusup ke China untuk mencuri bubuk mesiu. Dia menduga, masalah whitewashing didengungkan sekadar untuk mengejar klik atau trafik di media online.

Tapi memang menarik untuk sekadar mengulas sedikit masalah rasisme dalam film-film Hollywood. Khususnya film-film teranyar. Bukan apa-apa, di zaman macam sekarang, apa iya masalah rasisme masih kental di industri perfilman barat?

Faktanya, bukan sekali ini lho tudingan whitewashing atau yellowface dilontarkan ke industri perfilman barat. Dalam film Doctor Strange dari Marvel misalnya, tudingan yellowface muncul melalui karakter Ancient One, sosok yang berlatar belakang Tibet (Seperti disebut di komiknya). Tapi tokoh ini diperankan oleh Tilda Swinton, aktris keturunan Skotlandia.

Konon, ada unsur politik juga sih dalam kasus Ancient One. Penggawa film ini ingin merangkul penonton China dengan menghindari unsur-unsur Tibet.

Kasus yellowface lain juga terdeteksi dalam film Iron Man 3, melalui karakter Mandarin yang diperankan oleh Ben Kingsley.

Sementara, kasus whitewashing tak hanya melanda ras Asia, tapi juga Afrika dan suku Indian. Dan praktek ini sudah terjadi lamaaa sekali di industri perfilman barat.

Awalnya sih, karena masih sedikit aktor dari ras bersangkutan yang bisa diandalkan. Makanya Warner Oland dipilih untuk memerankan detektif Charlie Chan dalam film Charlie Chan Carries On tahun 1931.

Tapi bukannya berhenti, praktek yang rasis itu terus dipelihara. BBC mengatakan, praktek aktor berkulit putih memerankan karakter dari ras lain terus terjadi, meski seringkali dikritik dan diprotes.

Ada dua alasan menurut BBC. Pertama, karena praktek rasialisme yang institusional di industri perfilman barat, dan kedua, keyakinan para produser bahwa aktor berkulit putih memiliki nilai jual yang lebih tinggi. Sungguh memprihatinkan.

Foto: Pixabay/OpenClipartVectors

Artikel ini dikutip dari tulisan sendiri di: http://bangdeds.com/2017/01/03/memelihara-rasisme-dalam-industri-perfilman-barat/