Category Archives: Uncategorized

“Bohemian Rhapsody”, Kesuksesan Setelah Penolakan

Setelah menonton film Bohemian Rhapsody , saya membaca di Wikipedia, bahwa tahun 2004, lagu Queen “Bohemian Rhapsody” masuk ke dalam Grammy Hall of Fame. Pada tahun 2012, lagu tersebut memuncaki daftar jajak pendapat nasional ITV di Inggris sebagai “Lagu Nomor Satu Favorit Bangsa” sepanjang lebih dari 60 tahun riwayat musik Inggris.

Luar biasa, pikir saya.

Saya sendiri masih menyimpan album kaset Queen, A Night At The Opera. Konon album itu rilis tahun 1975, dan saya belum lahir. Kaset itu sebenarnya adalah milik kakak laki-laki saya, yang umurnya lebih tua sepuluh tahun dari pada saya. Waktu saya kecil, mau tak mau saya ikut mendengarkan lagu-lagu yang kakak-kakak saya putar di rumah, sehingga saya jadi ikut tahu.

‘Love of My Life’, adalah lagu Queen yang paling mengena di hati saya. Tapi memang, lagu yang paling unik, bagi saya, adalah Bohemian Rhapsody. Setelah kuliah, saya baru sadar apa saja kata-kata dalam lirik lagu itu, sekalipun saya sering menyanyikannya sejak kecil, tak menyadari apa artinya secara menyeluruh. Bagi saya, lagu itu mengandung pilihan kosakata yang unik, tempo yang rumit, nada yang tinggi melengking dan tidak tertebak, melodi yang ekstrim, sekaligus kompleks. Tapi sangat jenius.

Ketika melihat iklan film Bohemian Rhapsody di bioskop, saya sudah ingin menonton. Saya agak terkejut, setelah minggu kedua pemutarannya, bioskop masih penuh hingga baris ke depan. Saya bahkan nyaris tidak dapat karcis.

Di dalam bioskop, saya serasa ikut masuk dalam ruangan konser langsung band Queen. Menonton film ini, membuat saya terpingkal, terharu dan terkesima. Dan terinspirasi. Film ini berhasil memancing emosi penonton. Selama menonton, saya tak tahan untuk tidak ikut bernyanyi, dan jadi menyayangkan mengapa Queen sudah tidak eksis lagi, sebab saya jadi rindu lagu-lagu mereka.

Pesan moral, yang paling mengena buat saya dari film ini, berhati-hatilah memilih orang terdekatmu.

Itu setelah saya melihat bahwa manajer Freddie Mercury, Paul Prenter, membuat Freddie jauh dari band-nya, dari Mary, dan nyaris tidak ikut konser besar Live Aid. Terlepas dari fakta apakah manajer Freddie memang betul-betul mengkhianatinya seperti di film itu atau tidak, tapi dalam film ini, sangat jelas terlihat bahwa orang terdekat kita sungguh berpengaruh dalam hidup kita. Mereka memiliki andil yang besar yang membawa kita ke arah yang kita inginkan atau tidak, ke arah lebih baik atau tidak. Itu sebabnya kita harus sungguh jeli memasukkan orang ke jaringan terdekat dalam hidup kita, sebab pergaulan kita juga menentukan jati diri kita.

Dan sering terjadi juga kemungkinan besar, bahwa orang terdekat kita potensial menjadi musuh terbesar kita, menjadi pengkhianat, seperti karakter Prenter, yang sebelumnya adalah eksekutif rekaman yang jadi selingkuhan Freddie, lalu menjadi manajer Freddie, yang di film ini, dendam dan setelah dia dipecat, membeberkan kehidupan pribadi Mercury yang sangat kelam.

Pesan moral lainnya, terlihat dari adegan ketika seorang produser besar, Foster, yang konon menyarankan agar Queen membuat album, tapi menolak lagu ‘Bohemian Rhapsody’ sebagai singel karena dianggap tidak bisa ‘dijual’. Queen tidak menyerah atas penolakan itu dan maju terus mencari produser lain, dan akhirnya lagu ‘Bohemian Rhapsody’ sukses di urutan teratas tangga lagu dunia. Hal ini menunjukkan bahwa penolakan tak lantas membuat mereka berhenti. Persistensi yang luar biasa.

Sebab seperti orang bijak berkata, jika pintu satu tertutup, kita bisa melompati jendela. Sebuah kesuksesan hanya bisa digapai dengan semangat pantang menyerah.

Itulah hal yang membuat seorang bocah imigran bernama Farrokh Bulsara, menjadi seorang legenda: Freddie Mercury, vokalis Queen, salah satu musisi paling terkenal di dunia, menjadi inspirasi yang patut kita teladani (terlepas dari pilihan gaya hidupnya). Sekalipun akhirnya dia kalah oleh penyakitnya, bukan berarti dia kalah dalam hidupnya, sebab seperti yang dia ucapkan, dia telah memenuhi takdirnya, menikmati hidup dan menjalankan impiannya.

Seorang bohemian yang hidup dalam rapsodi hidupnya.

-*-

Kita Tak Butuh Pria Romantis

Mungkin, dibanding teman-teman wanita ‘seperjuangan’, saya mungkin sedikit beda.
Saya tidak suka pria romantis.
Kalau maksudnya romantis di sini adalah pria yang suka memberi bunga, memberi kejutan datang ke kantor membuat surprise party, memberi coklat bergambar hati, membuatkan puisi, memberikan hadiah-hadiah kecil, maka saya anggap itu biasa saja.

Suami saya sama sekali tidak romantis, jika memakai defenisi di atas. Sekian tahun pacaran dan menikah, hanya sekali dia memberikan bunga, yaitu bunga pernikahan, yang dibawa pengantin pria ke rumah pengantin wanita di pagi hari sebelum berangkat ke gereja untuk pemberkatan nikah (namanya acara sibuha-buhai).

Saya juga tak pernah meminta. Saya suka bunga, tapi tidak terlalu mengidam diberi bunga.

Tapi, saya memang suka coklat. Pernah sekali waktu pas hamil, saya mengidam sebuah coklat merk tertentu, dan meminta suami membeli. Yang terjadi, suami saya pas datang menjemput ke kantor, tidak membawa coklat, tapi mengajak saya ke mini market di gedung kantor saya dan menyuruh saya memilih coklat yang saya mau, lalu dia membayar ke kasir. Hahaha… apa romantisnya itu.

Romantis… oh romantis. Apa sih defenisi romantis?

Sekali waktu, pas jam istirahat di kantor, saya sedang membaca ulang sebuah buku lama, Purpose Driven Life, karya Rick Warren. Konon di halaman depan di dalam buku itu ada kolom yang berisikan nama pemberi dan nama penerima (partner). Dan di kolom itu tertulis nama suami saya sebagai pemberi dan di kolom nama penerima buku (partner), ya nama saya, ditulis oleh suami saya tentunya.

Lalu, seorang teman kantor melihat, lalu membolak-balik, dan langsung seolah terpesona, berkata: “Suaminya Mbak, romantis juga ya…!”
What? saya bilang. Romantis apanya?
“Itu sungguh romantis!” kata dia.
Bagi dia, seorang suami memberikan buku kepada istri dan menulis nama mereka berdua di buku, itu hal yang ruuoomantissszzzzz sekaleeee!!!

Saya hanya mengernyit. Baru kali ini ada yang bilang suami saya romantis. Hanya karena sebuah buku!

“Ya ampun, memangnya kamu nggak pernah dikasih buku ya sama suamimu?” kutanya.
Dia bilang enggak pernah. Padahal dia suka buku.
“Tapi suami pernah kasih bunga, kan?” saya bilang.
“Pernah,” kata dia.
“Nah. Suami saya seumur-umur nggak pernah kasih bunga, kecuali bunga pengantin!” saya bilang.
“Ya ampun, Mbak, suami Mbak kasih buku dan ada nama Mbak ditulis, itu juga romantis! Bukan cuma bunga yang romantis!” kata dia lagi.

Jadi rupanya hal seperti itu juga masuk dalam standar romantis buat dia. Kalau begitu, untuk standar dia, suami saya itu adalah cowok paling romantis sedunia. Sebab sejak kenal, bahkan belum jadi pacar, dia sudah banyak sekali memberikan saya buku-buku! Kebetulan saya suka membaca. Dia juga suka membaca.

“Ngasih buku pakai ada tulisan pesan-pesan dia dan ada nama dia dan nama Mbak kan, mbak?” kata teman saya itu lagi. “Ya itu romantis namanya!”
Dan saya pun tertawa-tawa.

Saya jadi ingat dulu ada teman kampus yang dengan ironik bilang: Kalau suami kasih banyak buku, bahkan sejak sebelum pacaran, itu adalah cara dia investasi, karena akhirnya dia menikah juga dengan saya dan buku itu jadi milik bersama, hahaha…

Saya masih tersenyum-senyum sendiri. Romantis?
Dulu masa remaja sampe kuliah, pernah juga kepingin punya cowok romantis, dalam arti, mengajak candle light dinner, mengirim coklat dan bunga pas valentin, bikin puisi dan kejutan kecil yang memanjakan.

Tapi setelah ketemu suami ini, semua itu terasa tak penting lagi. Mungkin benar juga, kalau soal memberikan buku itu romantis. Sebab, saya suka buku, dan dia memberikan sesuatu yang saya sukai dan butuhkan, juga bagus buat saya. Jadi, bagi saya inilah defenisi romantis itu! Mungkin karena standar romantisme bagi saya sudah berubah atau berbeda. Seorang teman malah menyebut saya pragmatis. Lebih melihat kepada manfaat secara praktis.

Sebab bagi saya, lebih penting dia mengerti dan tanpa cemburu/curiga membolehkan saya sesekali jalan dengan teman-teman daripada dia memberikan saya bunga, lebih penting dia naik genteng membenarkan yang bocor daripada sok mesra hujan-hujanan sepayung berdua, lebih penting dia pulang malam cepat dan makan masakan saya yang kurang lezat daripada candle light dinner berdua, lebih penting dia selalu ada jika saya butuh pendapat, pengertian dan perlindungan jika dalam masalah daripada sebaris puisi atau sekotak coklat valentin, lebih penting selalu ada waktu khusus bersama walau cuma menonton TV di rumah, bersama anak-anak, daripada dia sibuk terus di luar sana berjuang keras untuk bisa membelikan berlian.

Tak terlalu perlu dinner, bunga, coklat dan puisi (eh berlian sih bolehlah, hahaha…). Bagi saya itulah defenisi romantis yang sesungguhnya. Bagaimana dengan anda?

(Jadi ingat ada teman yang katanya punya suami romantis sekali, suka membelikan dia bunga, coklat, dll, dan dinner di tempat elit, tapi ujung-ujungnya minta istrinya yang bayarin, hahaha. Kita tak butuh romantis seperti itu, hahaha.).

Happy Valentine, selamat hari kasih sayang. Mari kita rayakan setiap hari.

-*-

Adat/Tradisi versus Kekristenan, Bagaimana Menyikapinya?

Kita hidup dalam masyarakat yang memiliki tradisi/adat. Tapi ada juga banyak tradisi dalam adat yang tidak sesuai dengan Firman Tuhan. Bagaimana kita menyikapinya?

Verkuyl menulis bahwa kata ‘adat’ berasal dari bahasa Arab ‘ada’ yang berarti cara yang telah lazim atau kebiasaan yang terjadi pada masyarakat.

Adat merupakan hasil karya manusia dalam mengatur kehidupannya serta relasi antar sesamanya agar memiliki ketertiban dan keteraturan untuk menuju kesejahteraan yang diharapkan.

Pertemuan antara kekristenan dan adat sering sekali terjadi proses saling mempengaruhi, baik secara sadar atau tidak. Lalu bagaimana manusia bersikap menghadapi tradisi itu?

Setidaknya ada tiga kecenderungan yang dijadikan panutan sikap manusia menghadapi adat-istiadat di sekelilingnya.

Pertama, sikap antagonistis/penolakan akan segala bentuk adat-istiadat yang tidak diingininya, gejala ini kita lihat dalam bentuk fundamentalisme yang ektrim. Kelompok ini memandang seolah-olah tidak ada sesuatu yang baik didalamnya, alias semuanya jahat.

– Mat.15: 6b “… Dengan demikian firman Allah kamu nyatakan tidak berlaku demi adat istiadatmu sendiri”.
– 1Pet.1:18-19 “Sebab kamu tahu, bahwa kamu telah ditebus dari cara hidupmu yang sia-sia yang kamu warisi dari nenek moyangmu itu bukan dengan barang yang fana, bukan pula dengan perak atau emas, melainkan dengan darah yang mahal, yaitu darah Kristus…”

Kedua, sikap terbuka yang kompromistis yang menerima segala bentuk adat-istiadat lingkungannya. Sikap demikian sering terlihat dalam kecenderungan liberalisme ekstrim yang sering menganut faham kebebasan.

Ketiga, sikap dualisme.
Sikap ini tidak mempertentangkan dan tidak mencampurkan faham-faham adat itu, tetapi membiarkan semua adat-istiadat itu berjalan sesuai dengan situasi dan kondisi masing-masing. Sikap ini menggunakan standar ganda, yaitu dilingkungan kristen ia berusaha hidup suci sesuai standar lingkungan jemaatnya tetapi didalam adat dia juga melaksanakan adat sesuai dengan standard perilaku adat yang berlaku.

Bagaimana sikap kita seharusnya?

Rasanya ketiga kecenderungan sikap demikian kurang tepat bagi seorang Kristen. Verkuyl dalam salah satu buku etikanya mengatakan bahwa umat Kristen terjerat diantara daya tarik antara libertinisme dan farisiisme. Di satu segi ia ditarik oleh kecenderungan keterbukaan dengan moralitas bebasnya, di segi lain ia ditarik oleh kecenderungan ketertutupan dengan moralitas kakunya. Kenyataan yang disebutkan Verkuyl itu memang benar, dan sikap di antara itu juga tergoda sikap mendua yang ada di antara kedua kecenderungan itu.

Lalu bagaimana selayaknya gereja bersikap?

Bagi mereka yang takut akan Allah, rasanya semua tindakan kita dalam menerima adat-istiadat perlu berorientasi pada Allah dan kehendak-Nya, ini menghasilkan empat pertimbangan berikut, yaitu

sikap dalam menghadapi adat-istiadat :

(1) Memuji dan memuliakan Allah
(2) Tidak menyembah berhala
(3) Mencerminkan kekudusan Allah
(4) Mengasihi manusia dan kemanusiaan.

Keempatnya berurutan dari atas ke bawah dimana memuji dan memuliakan Allah adalah tugas utama umat Kristen (Mazmur 150) dan ketiga lainnya diukur dari apakah itu meneguhkan kepujian dan kemuliaan Allah atau tidak.

Lalu adakah tingkat-tingkat pertumbuhan yang menentukan umat kristen bersikap?

Kedewasaan umat kristen dalam bersikap perlu mengarah pada kecenderungan transformatif, yaitu ia hidup dengan mentransformasikan setiap adat-istiadat agar sesuai dengan kepujian, kemuliaan dan kehendak Allah.

Ia semula hidup berkajang dalam dosa dan melakukan adat-istiadat dimana kuasa dosa banyak berpengaruh. Pengenalannya akan Tuhan Yesus Kristus membawanya kepada pertobatan (metanoea) dimana ia mulai merasakan perubahan arah dalam hidupnya dari dosa menuju kebenaran, dan seperti apa yang dikatakan oleh rasul Paulus: Jadi siapa yang ada di dalam Kristus, ia adalah ciptaan baru: yang lama sudah berlalu, sesungguhnya yang baru sudah datang (2Kor.5:17).

Dari perubahan yang transformatif inilah ia terus menerus melakukan transformasi dari dosa menuju kebenaran sehingga kehidupannya makin hari makin baik. Rasul Paulus mengatakan bahwa: Bukan seolah-olah aku telah memperoleh hal ini atau telah menjadi sempurna, melainkan aku mengejarnya (Flp.3:12).

Namun, harus disadari bahwa transformasi itu bukanlah hasil usaha manusia dengan kekuatannya sendiri tetapi sebagai hasil interaksi iman kita yang mendatangkan rahmat Allah: Dan semuanya itu dari Allah, yang dengan perantaraan Kristus telah mendamaikan kita dengan diri-Nya dan yang telah mempercayakan pelayanan perdamaian itu kepada kami (2Kor.5:18).

Sebagai kesimpulan:
1. Penerimaan dan penghargaan kita terhadap Adat tersebut sebenarnya juga sejalan dengan Alkitab baik Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru.
2. Kita harus selektif terhadap Adat, menerima yang sesuai dan menolak yang bertentangan dengan Alkitab.
3. Kita juga harus mengikuti teladan Tuhan Yesus, yang tidak hanya selektif terhadap Adat, tapi juga terus menerus membaharuinya.
4. Dalam penerapan Adat tersebut, kita harus selalu waspada agar tidak tersesat dan menghambat pertumbuhan Iman kita. Sikap waspada tersebut sesuai dengan pemahaman kita tentang doktrin manusia, termasuk diri sendiri, yang telah jatuh ke dalam dosa.
5. Penerimaan dan penghargaan kita terhadap Adat secara umumnya, juga sejalan dengan pengakuan dan penghargaan kita kepada nilai luhur kemanusiaan kita yang dicipta menurut gambar dan rupa Allah.
6. Penerimaan dan penghargaan kita terhadap Adat dapat juga dilihat sebagai penghargaan kita kepada karya nenek moyang sebagai salah satu warisan sangat berharga. Karena itu, kita bukan saja bersikap menerima Adat tersebut tetapi juga terus menerus membaharuinya.
7. Penerimaan dan pengakuan kita terhadap Adat juga dapat dilihat sebagai pengakuan dan penghargaan akan karya Allah yang sanggup bekerja di dalam diri nenek moyang, entah mereka menyadari hal itu atau tidak.
8.

Penerimaan dan penghargaan kita terhadap Adat juga dapat menjadi sarana bersaksi. Jadi jika kita menolak adat, maka kita sebenarnya kehilangan kesempatan utk bersaksi.

Ingat kesaksian rasul Paulus pada Gal.1:14-16; 1Kor.9:19-23.

“Di dalam agama Yahudi aku jauh lebih maju dari banyak teman yang sebaya dengan aku di antara bangsaku, sebagai orang yang sangat rajin memelihara adat istiadat nenek moyangku” (Gal.1:14).
-“Sungguhpun aku bebas terhadap semua orang, aku menjadikan diriku hamba dari semua orang, supaya aku boleh memenangkan sebanyak mungkin orang. Demikianlah Bagi orang Yahudi aku menjadi seperti orang Yahudi, supaya aku memenangkan orang-orang Yahudi…bagi orang-orang yang lemah aku menjadi seperti orang yang lemah, supaya aku dapat menyelamatkan mereka yang lemah. Bagi semua orang, aku telah menjadi segala-galanya, supaya aku sedapat mungkin memenangkan beberapa orang dari antara mereka. Segala sesuatu ini aku lakukan karena Injil… ” (1Kor.9:19-23).

-*-

“Cek Toko Sebelah”, yang mana Diri Anda?

Membaca novel karya penulis Indonesia masih saya lakukan hingga kini. Tapi, menonton film Indonesia sudah lama tidak. Sebagian karena sibuk, sebagian lagi alasan penghematan, seperti kata teman: Sebentar lagi juga tayang di televisi, sayang uangnya.

Jadi ketika suami dan anak-anak mengajak menonton film ini, saya masuk ruangan bioskop dengan setengah berharap.

Tak diduga, baru beberapa adegan, saya ikut tertawa. Lalu adegan berikutnya makin terbawa, dan tak sadar terus tertawa-tawa hingga film selesai. Tak disangka saya juga sempat terharu dalam beberapa adegan.

Bagi saya, film ini sangat membumi. Apa yang diceritakan, adalah representasi kejadian sehari-hari, yang dikemas dalam bentuk yang lebih dramatis. Hampir sebagian besar tokoh, seolah berada dalam kehidupan saya sehari-hari.

Koh Afuk, mengingatkan saya sedikit pada mertua saya, yang sudah ditinggal oleh istrinya. Saya melihat kesedihan dan kesepiannya, sendirian, karena anak-anak sudah memiliki tempat tinggal sendiri.

Natalie, mengingatkan saya akan seorang rekan kerja, yang merasa sudah jauh-jauh kuliah di luar negeri dan bekerja di perusahaan asing, eh akhirnya menikah dengan seorang anak pengusaha toko, pewaris keluarga.

Yohan mengingatkan saya akan seorang sepupu, yang masih terkatung-katung antara hobi dan mencari pekerjaan yang kantor yang tak disukainya, dan akhirnya turut membuat galau anggota keluarganya.

Aming, yang terus-terusan makan cemilan dan jajan, tapi masih terus menyebut dirinya sedang berdiet, adalah perwakilan dari kita semua, hahahaha…

Robert, adalah, -anda tahu-, representasi para pria genit yang suka main perempuan, walau sudah punya anak dan istri di rumah.

Lalu Tini, penjaga toko sebelah, yang kecentilan sama gebetan pembantu tetangga, mengingatkan saya akan ART saya yang dulu.

Ayu? Wah, ini juga kisah seorang sahabat, pernikahan yang berbeda kultur, membuatnya kurang diterima dalam keluarga suami.

Saya dan suami merekomendasikan film ini. Film yang sungguh menghibur dan mengingatkan kita akan prioritas hubungan dengan orang-orang yang kita kasihi. Baik itu orangtua, atau saudara/kakak-adik. Dan bagi saya, pesan moral yang ingin saya bawa pulang adalah, seperti lagu kesukaannya bu Sonya:

Harta yang paling berharga adalah… Keluarga!

Family comes first!

Antara Identitas dan Kualitas (Tips Memilih Pemimpin)

Di Indonesia, walaupun bukan semuanya, masih ada fenomena kalau jadi pemimpin harus membuat aturan atau kebijakan baru yang berbeda dengan pendahulunya. Penekanan yang berbeda ini bukan di proses atau hasil dari kebijakan itu, tapi pada “keberbedaan”nya dengan sang pendahulu. Mau bagus atau tidak, yang penting beda. Mau pendahulunya tadinya sudah punya program bagus yang bisa diteruskan atau memang harus dirombak atau diganti, itu tidak penting. Yang penting adalah “Saya harus segera beri gebrakan. Gebrakan yang berbeda. Gebrakan yang akan membuat orang, terutama pemilih saya, terkesima.”

Ini berarti masih ada (kalaupun bukan banyak) pemimpin di Indonesia yang lebih mengutamakan masalah identitas daripada kualitas. Walaupun bukan berarti keduanya bisa saja seiring sejalan, tapi penekanan yang lebih besar pada identitas, di banyak hal, belum tentu membawa banyak manfaat. Alih-alih mengendapkan dulu dan menimbang sedalam-dalamnya apa yang harus diputuskan, dalam beberapa kejadian di tingkat nasional maupun daerah, tampak beberapa pemimpin yang cenderung ingin cepat-cepat untuk menunjukkan identitasnya sebagai pejabat berwenang yang baru.

Kecenderungan ini sebenarnya yang perlu jadi prioritas pertimbangan kita sebagai rakyat ketika kita diberi kesempatan untuk memilih pemimpin, seperti pada masa pilkada ini. Perlu menjadi prioritas, ya karena ini kecenderungan yang masih khas di Indonesia.

Jika kita sebagai rakyat mau hidup kita di negeri ini aman, damai, dan mempunyai kualitas hidup yang lebih baik, ya pilihlah pemimpin yang menekankan untuk membuat dan melaksanakan kebijakan yang berkualitas, bukan pemimpin yang menekankan kejelasan identitasnya pada setiap kebijakan yang dibuatnya. Bukan pemimpin yang menekankan “Ini lho kebijakan saya”, tapi yang mengedepankan “kebijakan yang matang dipikirkan untuk kepentingan bersama”.

Jadi, sudah tahu siapa yang mau dipilih di Pilkada nanti? ?

Tentang Tuan-Puan yang Ingin Menjadi Pembesar

Saya suka takjub sekaligus agak jengah, apabila dalam sebuah pesta misalnya, tiba-tiba ada saja tamu besar yang datang.

Mereka ini biasanya dikenali dari sejumlah prevelese atau hak istimewa yang mereka dapatkan mendadak dalam perhelatan itu.

Namanya disebut dengan ‘megah’ berikut jabatan dan gelar-gelarnya. Mereka akan berhak memotong antrean panjang. Itu pun lengkap dengan kata “berkenan”.

“Mohon kiranya Bapak Kepala blablabla berkenan memberikan restu kepada mempelai..”. “Sudi kiranya Ibu Ketua blablabla berkenan berfoto dengan keluarga mempelai..”.

Bukan berarti bahwa itu salah lho ya. Kan saya bilang, saya hanya jengah saja. Tapi kenapa saya yang jengah yak?

Bisa saja memang begitulah tata krama kita terhadap orang yang dianggap penting, dianggap besar, dianggap very very important.

Tapi bagaimana dengan orang-orang yang memang pada dasarnya ingin dianggap penting, ingin dianggap besar, atau bahkan yang hebatnya, ingin menjadikan dirinya sendiri besar? Bukankah akhir-akhir ini kita melihat orang-orang macam begini?

Saya ingat perumpamaan yang disebutkan Yesus Kristus pada Lukas 14: 8-10

“Kalau seorang mengundang engkau ke pesta perkawinan, janganlah duduk di tempat kehormatan, sebab mungkin orang itu telah mengundang seorang yang lebih terhormat dari padamu, supaya orang itu, yang mengundang engkau dan dia, jangan datang dan berkata kepadamu: Berilah tempat ini kepada orang itu. Lalu engkau dengan malu harus pergi duduk di tempat yang paling rendah. Tetapi, apabila engkau diundang, pergilah duduk di tempat yang paling rendah. Mungkin tuan rumah akan datang dan berkata kepadamu: Sahabat, silakan duduk di depan. Dan dengan demikian engkau akan menerima hormat di depan mata semua tamu yang lain. Sebab barangsiapa meninggikan diri, ia akan direndahkan dan barangsiapa merendahkan diri, ia akan ditinggikan.”

Kisah ini dipicu kejadian pada hari Sabat, ketika Yesus diundang ke rumah seorang pemimpin Farisi dan ia melihat ada banyak tamu yang berusaha menduduki tempat kehormatan.

Kalau dibayang-bayangkan kocak juga suasana ‘rebutan’ tempat terhormat itu. “Sori, bro, jabatan gue lebih tinggi dari lo, gue lebih berhak di sini,” kata mereka satu sama lain.

Suasana rebutan kursi kehormatan itu menjadi begitu riuh, begitu menarik perhatian. Sampai-sampai Yesus melihat dan akhirnya menegur mereka.

Kalimat akhir, “Sebab barangsiapa meninggikan diri, ia akan direndahkan dan barangsiapa merendahkan diri, ia akan ditinggikan,” itu makjleb banget.

Saya tentu tak mau jadi yang dipermalukan macam begitu. Saya yakin, kalian juga.

 

Tentang #fitsahats dan BAP

Sedang trending #fitsahats di media sosial. Bermula dari keterangan salah satu saksi kasus dugaan penistaan agama oleh Basuki Tjahaja Purnama di dalam BAP alias Berita Acara Pemeriksaan.

Saya bukan pakar hukum, tapi saya pernah berurusan dengan hukum beberapa kali. Sebagai wartawan, saya juga pernah ditugaskan meliput kasus-kasus hukum. Karena itu, mau tak mau, saya harus belajar mengenai hukum, perundang-undangan, hukum pidana, perdata, sampai hukum acaranya.

Tujuannya, supaya saat memberitakan sebuah kasus kepada publik, saya bisa memahami persoalannya dan bisa menulis dengan jernih.

Makanya, saya mengerti pentingnya BAP ini. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) pada pasal 187 huruf (a) sudah mengatur bahwa berita acara, termasuk berita acara pemeriksaan saksi, merupakan alat bukti surat.

Pakar hukum juga mengatakan bahwa sesungguhnya berita acara itu dapat disamakan dengan suatu keterangan saksi yang tertulis. Ia adalah bukti yang sah di pengadilan.

Sebagai bukti hukum yang sah, adalah sebaiknya BAP ini disusun dengan sebenar-benarnya. Soalnya kalau keterangannya palsu, di pemberi kesaksian bisa kena pidana.

Saya ingat, dalam pemeriksaan untuk pembuatan BAP di depan polisi yang pernah saya jalani, petugas akan mengkonfirmasi betul keterangan yang saya ucapkan.

Kalau ada keterangan yang kurang jelas, polisi akan meminta saya mengulang atau mengejanya. Termasuk untuk penyebutan kata-kata asing, nama, tempat, dan sebagainya.

Setelah itu, polisi akan membacakan kembali keterangan itu, meminta saya memastikan bahwa semua keterangan sudah benar adanya. Setelah itu, saya akan diminta menandatangani BAP.

Typo dalam pengetikan? Sebetulnya biasa saja terjadi.

Tapi sepanjang pengalaman saya bekerja di dunia tulis menulis, kalau typo sampai dua suku kata, menurut saya sih bukan typo namanya. Itu mah sengaja. Bisa jadi, si saksi memang menginginkan keterangannya begitu.

Atau polisi mungkin menulis persis seperti pengucapan saksi. Tapi kan habis itu si saksi disuruh periksa sebelum ditandatangani.

Meski begitu, kalau melihat materinya, sebetulnya enggak signifikan banget sih soal #fitsahats ini dalam kasus hukum yang sedang berproses di pengadilan itu. Kurang ngaruh lah.

Kita ambil hikmahnya saja rame-rame ini. At least, ada hiburan baru di media sosial yang panas. Sesuatu yang bikin kita bisa ketawa bareng. Kalau ada yang kupingnya panas, ya mohon maap yak. Bukan maksud.

Bagaimana Mencapai Resolusi Tahun Baru

Menjelang pergantian tahun, ada tradisi yang ditularkan dari kebudayaan asing kepada kita, yaitu membuat resolusi tahun baru.

Tapi itu tak ada salahnya kok membuat resolusi tahun baru untuk diri kita sendiri menjelang pergantian tahun. Biasanya resolusi ini berhubungan dengan perubahan kebiasaan atau perilaku.

Tapi yang terpenting adalah bagaimana agar resolusi tak sekadar jadi resolusi di bibir. Resolusi harus menjadi kenyataan pada tahun depan.

Supaya persentase keberhasilannya tinggi, jangan banyak-banyak bikin resolusi. Satu saja, supaya kita lebih fokus dan lebih besar peluang kesuksesannya sebab energi kita tercurah pada satu aspek saja dari perilaku yang hendak kita ubah.

Jangan tunggu sampai pergantian tahun untuk memilih resolusi macam apa yang hendak kita lakukan. Harusnya kita sudah memikirkannya beberapa hari sebelum hari ini, untuk memutuskan apa yang hendak kita capai pada tahun depan.

Pilihlah resolusi yang memang benar-benar kita inginkan untuk hidup kita. Tentukan resolusi yang baru, sebab mengulang-ulang resolusi lama hanya akan membuat kita jatuh ke dalam rasa frustasi dan kekecewaan.

Kalau bisa, breakdown resolusi kita menjadi beberapa langkah konkret dan terukur serta berdasarkan pada sebuah kerangka waktu. Bikin beberapa sub-goal untuk mencapai goal yang sesungguhnya.

Ceritakan pada teman dan keluarga apa resolusi yang ingin kita capai pada tahun depan. Kita akan terbantu karena ada teman dan keluarga yang bisa mendukung dan mengingatkan kita kapan saja.

Supaya tetap termotivasi, buatlah checklist, apa saja hal-hal yang akan kita capai kalau resolusi kita berhasil. Kalau sebuah sub-goal tercapai, berilah penghargaan pada diri sendiri supaya kita makin termotivasi dan terasa adanya kemajuan.

Bikin perencanaan untuk mencapai tujuan kita pada jurnal atau tulisan di papan untuk selalu mengingatkan kita. Kalau ada kegagalan, anggaplah kemunduran sementara, bukan kegagalan keseluruhan resolusi kita.

Misalnya, kalau kita bermaksud mengurangi berat badan, tentukan berapa banyak bobot tubuh yang hendak dikurangi. Lalu breakdown menjadi beberapa sub-goal yang harus dicapai.

Misalnya mencapai pola makan yang sehat. Tentukan latihan fisik yang efektif untuk menurunkan berat badan. Ada banyak informasi di Internet yang bisa kita manfaatkan untuk melakukan upaya penurunan berat badan yang sehat, efektif, terukur dan bertahan lama.

Foto: Pixabay/Unsplash