Tag Archives: Berita

Tips Praktis Memastikan Berita Hoax atau Bukan

Setelah merumuskan tujuh tips praktis untuk mencegah tersebarnya hoax, yang dimulai dari diri sendiri, kali ini kita bicara soal cara menentukan sebuah berita itu hoax atau tidak, secara praktis. (Tentang tips mencegah penyebaran hoax, baca di sini)

Tips ini adalah hasil jajak pendapat komunitas alumni persekutuan mahasiswa Kristen di Fakultas Ilmu Budaya UI, dan inilah hasilnya:

Berita itu hoax kalau:

1. Terkesan bombastis dan timbul perasaan tak enak saat membacanya.
Hehehe.. untuk melakukan ini memang tak bisa instan ya. Kamu harus banyak-banyak membaca berita sehingga tahu mana yang bombastis dan mana yang tidak. Apalagi kalau main perasaan. Kata Yustinus Yuniarto sih, kalau menimbulkan kegalauan nasional, patut dicurigai itu.

2. Tak sesuai logika atau tak masuk akal.
Poin ini cukup banyak responden yang seia sekata. Menurut Sury Waruwu, berita hoax itu pasti tidak logis dan punya kecenderungan menjatuhkan seseorang atau produk.

3. Keterlaluan ngaconya
Eva Sinaga mengatakan, berita hoax itu adalah berita yang aneh dan ngaconya keterlaluan.
Dalam istilah lain, kata Elsye Meilani, kalau berita itu terkesan lebay. “Bikin males nerusin membaca sampai habis,” tutur Tyas.

4. Terlalu berbeda dengan berita-berita lain
Betul juga, kalau mayoritas media bilang A, terutama media-media yang memiliki reputasi baik atau mainstream, tiba-tiba ada yang bilang Z, maka patut dicurigai berita beda sendiri itu adalah hoax.

5. Tidak nyambung
“Berita hoax suka enggak nyambung atau bombastis lebay tralala,” kata Budi Harnata.

6. Kalau sumber-sumber terpercaya sudah mengkonfirmasi
Maksudnya, kalau ada berita yang kamu curigai, ada baiknya lakukan cross check ke mesin pencari, seperti yang dilakukan Dyah Kristiani. Kamu juga bisa tanya-tanya orang yang lebih punya wawasan atau. Lalukan juga cross check ke sumber lain yang punya reputasi.

Mudah-mudahan membantu ya. Semoga kamu termasuk orang yang tak terlalu mudah pada berita-berita yang palsu apalagi menyebarkannya. Say no to hoax. #turnbackhoax

Melawan Berita Hoax

Sebelum era kampanye pilkada DKI Jakarta, istilah hoax mungkin belum seramai sekarang. Padahal, istilah ini sudah lama sekali dikenal.

Hoax berasal dari kata hocus yang artinya “untuk menipu”. Segala yang disebut hoax dimaksudkan untuk menipu. Istilah ini sudah ada sejak akhir abad ke-18.

Begitu pun informasi-informasi yang sekarang dikategorikan sebagai hoax, memang ditujukan untuk menipu.

Sebagai wartawan, melakukan check and recheck terhadap setiap informasi yang kami terima atau baca, adalah sebuah standar.

Berita yang kami terbitkan, seharusnya berangkat dari informasi-informasi yang sudah diverifikasi kebenarannya alias fakta.

Masalahnya, sekarang ada begitu banyak media atau yang menyebut dirinya media. Sulit sekali memastikan bahwa sekian banyak media itu sudah menerapkan prinsip-prinsip jurnalisme yang benar.

Oleh sebab itu, alih-alih mengharapkan media, tak ada salahnya masyarakat awam pun menerapkan check and recheck saat menerima informasi apapun. Terutama berita atau informasi yang beredar di dunia maya dan media sosial.

Untungnya, sekarang sudah ada tools yang bisa kita manfaatkan.

Kalau polisi beberapa waktu lalu punya kampanye melawan kejahatan bernama Turn Back Crime, sekarang pun sudah ada kampanye melawan hoax yang disebut Turn Back Hoax.

Tools ini diciptakan oleh Komunitas Masyarakat Anti Fitnah Indonesia. Ia berbentuk ekstensi peramban. Datanya berdasarkan mekanisme crowdsourcing.

Artinya, kitalah yang berinisiatif melaporkan konten-konten Internet yang diduga sebagai hoax. Kemudian mereka akan menyatukannya jadi satu basis data.

Kita bisa mengunjungi basis data ini melalui PC atau perangkat mobile di website data.turnbackhoax.id. Ia bisa menjadi rujukan bagi kita untuk memilah informasi-informasi yang beredar di dunia maya.

Supaya input yang diterima tak salah, para pengguna bisa saling memverifikasi laporan yang masuk. Tata cara untuk melapor bisa dibaca di sini.

Foto: Pixabay.com

Tulisan ini dikutip dari blog sendiri: http://bangdeds.com/2017/01/09/melawan-hoax/

Jadilah Cerdas di Tengah Berita Palsu yang Mendera

Media sosial kita berisi banyak berita palsu. Apalagi di tengah suasana pemilihan kepala daerah yang panasnya luar biasa. Ini sungguh menyedihkan.

Banyak media abal-abal bermunculan dengan ‘berita-berita’ bombastis. Keberpihakan ditunjukkan dengan begitu telanjangnya.

Bahkan ada juga media yang bisa disebut kredibel, juga jatuh ke jurang yang sama.

Ini semua mengangkangi upaya sungguh-sungguh para wartawan di luar sana yang jujur menyampaikan berita berdasarkan fakta.

Di tengah situasi semakin sulitnya membedakan mana fakta dan mana yang bukan fakta di dunia online, menurut saya, media harus tetap berpegang pada ‘kitab suci’ jurnalisme.

Wartawan harus bekerja dengan prinsip check and recheck, cover both sides, prinsip-prinsip jurnalisme yang menjadi andalan dalam menyajikan berita.

Sebab ini adalah gerbang pertahanan para pewarta. Tak boleh ada kompromi. Apalagi dibutakan oleh nafsu mengejar traffic atau click belaka. Kredibilitas jadi taruhannya.

Berita itu Berdasarkan Fakta..

Sebagai wartawan, saya belajar banyak di media tempat saya bekerja sebelumnya. Salah satu senior di sana pernah berkata: “Berita dibangun berdasarkan fakta.”

Apa itu fakta? Fakta adalah informasi yang sudah diverifikasi. Kalau belum diverifikasi, sifatnya masih informasi belaka. Bisa benar dan bisa hanya rumor saja. Fakta pun, kalau hendak disiarkan, harus punya newsvalue atau nilai berita.

Menurut saya, media yang gemar ‘bermasturbasi’ dengan hoax atau berita palsu, sesungguhnya masih belum sampai pada fakta. Atau mungkin memang sengaja dibangun untuk mengaburkan fakta. Entahlah.

Kalau sudah begini, pembacalah yang harus cerdas dan banyak usaha. Informasi apapun yang beredar di media (apalagi yang abal-abal) dan media sosial harus dicek sebaik-baiknya.

Tak apa membandingkan informasi yang sama dari media lain, meski tak sepaham dengannya.  Karena kadang memang sebuah cerita memang bisa jadi punya nuansa yang berbeda meski mengacu pada fakta yang sama.

Ini sih memang karena sudut pandang saja.

Foto juga dengan mudah bisa dicek kebenarannya. Sekarang kan sudah ada mesin pencari yang pintar luar biasa. Cukup drag and drop foto itu di kolom pencarian. Saya cukup sering melakukan hal ini. Biasanya, foto-foto hoax bisa dengan mudah diketahui benar atau tidaknya.

Kamu cuma dimanfaatkan

Pembaca perlu menyadari adanya dugaan tentang persoalan ekonomi di balik kehadiran media penyebar berita palsu itu.

Target mereka adalah mengejar pengunjung sebanyak-banyaknya. Makin banyak pengunjungnya, makin besar trafffic-nya. Makin besar traffic-nya, patut diduga makin besar kemungkinan mendapatkan uang masuk dari pengiklannya.

Kadang mereka tak peduli pada konten yang disajikan. Itu hanyalah pemancing, perangkap, saja.

Tapi mereka ini sedang bermain-main dengan api. Dan kamu pembaca, entah sadar atau tidak, ikut ambil bagian di dalamnya.

Sebab berita palsu berpotensi besar jadi penyebab perpecahan, pertikaian, dan masalah-masalah berbahaya lainnya, ketika kamu menyebarkan berita palsu itu begitu rupa.

Sebab, penyakit pembaca yang tak acuh pada fakta adalah bahwa mereka juga tak acuh juga saat menyebarkan/men-share lagi hoax itu di lingkaran sosialnya. Lalu berita palsu itu menyebar ke mana-mana, dan seterusnya, dan seterusnya.

Waspada aturan penjeratnya

Kita punya undang-undang nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik atau biasa disebut UU ITE, yang mengatur soal hoax atau berita palsu ini.

Pada bab mengenai “Perbuatan yang Dilarang”, pasal 28 disebut begini:

(1) Setiap Orang dengan sengaja, dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang
mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik.
(2) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan
rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku,
agama, ras, dan antar golongan (SARA).

Penegakan undang-undang ini memang masih perlu dipertanyakan keseriusan dan kepastiannya. Meskipun begitu, kita harus tetap berhati-hati, sebab bisa jadi kita termasuk golongan yang mencicipi penjara karena tak acuh pada fakta.

Foto: Pixabay/Mattysimpson

Perkataan Yang Menyenangkan

Waktu remaja, saya ingat ibu saya selalu mengingatkan saya untuk berhati-hati memilih teman bergaul. Tak disangka, sampai usia sedewasa ini pun ternyata dalam hidup ini kita tetap harus cermat dalam menyeleksi pertemanan, sebab menjadikan teman atau sahabat berarti membuka pintu bagi orang itu untuk masuk dalam kehidupan kita. Sedikit banyak kehadirannya akan memengaruhi hidup kita. Hidup kita bisa lebih baik, atau jadi lebih buruk.

Beberapa waktu lalu, dalam sebuah komunitas, ada seorang teman baru yang terlihat asyik, lucu, gaul, pokoknya fun banget. Kami semakin dekat, dan tadinya saya pikir dia akan jadi sahabat baru saya (dalam hati saya tertawa; emak-emak punya sahabat baru nih yeee).

Tapi waktu memang menunjukkan keaslian pribadi seseorang. Setelah beberapa lama saya dekat dengannya, saya merasa ada yang berbeda. Teman ini memang sungguh menyenangkan, tapi bigosnya luar biasa. Biang gosip. Tanpa saya sadari, hubungan saya menjadi kurang baik dengan beberapa orang karena salah kaprah oleh omongannya. Teman ini rupanya suka membuat sensasi dengan menyampaikan omongan seseorang ke orang lain dan menambahkan bumbu-bumbu yang merusak makna omongan orijinalnya. Dan hal itu potensial disalahartikan oleh pihak lain. Sebab watak manusia sungguh berbeda, dan cara pandangnya juga beraneka ragam, dan itu tak bisa kita kendalikan, serta kesalahkaprahan kata-kata ini bisa menyebabkan perang.

Lama-lama saya merasa, sejak dekat dia saya bawaannya jadi agak gelisah. Gosip melulu. Bawa berita buruk melulu. Bawa cerita omongan orang lain melulu. Setelah memerhatikan dari beberapa kejadian, saya memutuskan lebih baik menarik diri dari pertemanan kami. Yang biasanya kami nyaris chatting tiap hari, perlahan mulai saya kurangi dan nyaris tak pernah saya balas lagi jika tak dirasa ada yang penting.

Dia sadar dengan perubahan itu. Beberapa kali dia menanyakan kok nggak pernah balas chat lagi dan tak mau ketemuan lagi. Saya tidak menjawab dengan apa-adanya, sebab saya yakin efeknya akan panjang lagi. Maka dengan klise saya jawab sibuk. Sejujurnya, hidup memang lebih seru dengannya, penuh tawa canda, tapi hidup saya lebih baik tanpa dia. Lebih tenang dan damai. Dengannya saya hanya menghabiskan waktu untuk bersenang-senang tanpa ada pengembangan diri yang positif.
Ada beberapa hal yang saya pelajari dari kejadian tersebut, seperti di berikut ini:

1. Pilihlah teman yang positif, yang membuatmu semakin baik.

Ada seorang teman yang disebali teman lain karena jarang muncul hang out. Tapi saya suka dan kagum sama dia karena dia memang sedang sibuk ambil kursus untuk pengembangan diri dan bisnis. Saya belajar banyak darinya.

2. Jangan mudah terbawa berita atau terhasut.

Bukalah wawasan, dengarlah berita tapi seleksi dengan akal sehat, banyak-banyak bertanya pada orang bijak, supaya tahu mana yang betul mana yang hanya provokasi. Berpikir positif lebih baik daripada berburuk sangka.

3. Janganlah menjadi pembawa gosip atau kabar burung, atau kabar buruk.

Seperti tertulis di Amsal: Perkataan yang menyenangkan adalah seperti sarang madu, manis bagi hati dan obat bagi tulang-tulang. Sedapat-dapatnya jadilah pembawa berita positif dan damai. Terkadang, sekalipun omongan orang lain benar, kita tak perlu menyampaikannya pada orang lain. Itu bisa membuat perpecahan. Marilah berusaha membawa berita yang benar dan positif dengan bijak. Hati-hatilah dengan ucapan kita sebab itu bisa membawa teman atau musuh.

Untuk kenyamanan hidup, mungkin kita perlu menutup pintu bagi pembawa gosip, orang picik, provokator atau perusak kedamaian. Cukup saksikan mereka sesekali dari balik kaca jendela rumah anda yang tertutup. Anda pun tak sudi jadi orang yang demikian, bukan?

-*-

Foto: Pixabay