Media sosial kita berisi banyak berita palsu. Apalagi di tengah suasana pemilihan kepala daerah yang panasnya luar biasa. Ini sungguh menyedihkan.
Banyak media abal-abal bermunculan dengan ‘berita-berita’ bombastis. Keberpihakan ditunjukkan dengan begitu telanjangnya.
Bahkan ada juga media yang bisa disebut kredibel, juga jatuh ke jurang yang sama.
Ini semua mengangkangi upaya sungguh-sungguh para wartawan di luar sana yang jujur menyampaikan berita berdasarkan fakta.
Di tengah situasi semakin sulitnya membedakan mana fakta dan mana yang bukan fakta di dunia online, menurut saya, media harus tetap berpegang pada ‘kitab suci’ jurnalisme.
Wartawan harus bekerja dengan prinsip check and recheck, cover both sides, prinsip-prinsip jurnalisme yang menjadi andalan dalam menyajikan berita.
Sebab ini adalah gerbang pertahanan para pewarta. Tak boleh ada kompromi. Apalagi dibutakan oleh nafsu mengejar traffic atau click belaka. Kredibilitas jadi taruhannya.
Berita itu Berdasarkan Fakta..
Sebagai wartawan, saya belajar banyak di media tempat saya bekerja sebelumnya. Salah satu senior di sana pernah berkata: “Berita dibangun berdasarkan fakta.”
Apa itu fakta? Fakta adalah informasi yang sudah diverifikasi. Kalau belum diverifikasi, sifatnya masih informasi belaka. Bisa benar dan bisa hanya rumor saja. Fakta pun, kalau hendak disiarkan, harus punya newsvalue atau nilai berita.
Menurut saya, media yang gemar ‘bermasturbasi’ dengan hoax atau berita palsu, sesungguhnya masih belum sampai pada fakta. Atau mungkin memang sengaja dibangun untuk mengaburkan fakta. Entahlah.
Kalau sudah begini, pembacalah yang harus cerdas dan banyak usaha. Informasi apapun yang beredar di media (apalagi yang abal-abal) dan media sosial harus dicek sebaik-baiknya.
Tak apa membandingkan informasi yang sama dari media lain, meski tak sepaham dengannya. Karena kadang memang sebuah cerita memang bisa jadi punya nuansa yang berbeda meski mengacu pada fakta yang sama.
Ini sih memang karena sudut pandang saja.
Foto juga dengan mudah bisa dicek kebenarannya. Sekarang kan sudah ada mesin pencari yang pintar luar biasa. Cukup drag and drop foto itu di kolom pencarian. Saya cukup sering melakukan hal ini. Biasanya, foto-foto hoax bisa dengan mudah diketahui benar atau tidaknya.
Kamu cuma dimanfaatkan
Pembaca perlu menyadari adanya dugaan tentang persoalan ekonomi di balik kehadiran media penyebar berita palsu itu.
Target mereka adalah mengejar pengunjung sebanyak-banyaknya. Makin banyak pengunjungnya, makin besar trafffic-nya. Makin besar traffic-nya, patut diduga makin besar kemungkinan mendapatkan uang masuk dari pengiklannya.
Kadang mereka tak peduli pada konten yang disajikan. Itu hanyalah pemancing, perangkap, saja.
Tapi mereka ini sedang bermain-main dengan api. Dan kamu pembaca, entah sadar atau tidak, ikut ambil bagian di dalamnya.
Sebab berita palsu berpotensi besar jadi penyebab perpecahan, pertikaian, dan masalah-masalah berbahaya lainnya, ketika kamu menyebarkan berita palsu itu begitu rupa.
Sebab, penyakit pembaca yang tak acuh pada fakta adalah bahwa mereka juga tak acuh juga saat menyebarkan/men-share lagi hoax itu di lingkaran sosialnya. Lalu berita palsu itu menyebar ke mana-mana, dan seterusnya, dan seterusnya.
Waspada aturan penjeratnya
Kita punya undang-undang nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik atau biasa disebut UU ITE, yang mengatur soal hoax atau berita palsu ini.
Pada bab mengenai “Perbuatan yang Dilarang”, pasal 28 disebut begini:
(1) Setiap Orang dengan sengaja, dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang
mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik.
(2) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan
rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku,
agama, ras, dan antar golongan (SARA).
Penegakan undang-undang ini memang masih perlu dipertanyakan keseriusan dan kepastiannya. Meskipun begitu, kita harus tetap berhati-hati, sebab bisa jadi kita termasuk golongan yang mencicipi penjara karena tak acuh pada fakta.
Foto: Pixabay/Mattysimpson