Bicara tentang kuliner, memang tak ada habisnya. Sekarang trend-nya bukan hanya menyantap kuliner, tapi juga memamerkannya di media sosial. Piknik dan wisata kuliner seolah jadi lifestyle orang akhir-akhir ini, baik muda maupun tua.
Bulan lalu, kami sekeluarga menikmati wisata kuliner ke pinggir luar kota Jakarta. Entah makanan mana yang menyebabkan hingga saya diare, dan makin memburuk hingga ambruk esok harinya, sampai harus masuk UGD dan diopname di rumah sakit. Saya tidak menyalahkan kuliner di tempat tersebut. Bisa saja memang kondisi saya yang kurang fit atau tidak cocok dengan jenis makanan yang saya santap di sana. Mungkin bumbunya yang terlalu banyak atau perut dan lidah saya yang tidak tahan.
Berkaitan tentang kuliner, teman saya, WS, baru saja menonton film “ARUNA DAN LIDAHNYA”. Aruna diperankan oleh Dian Sastro, idolanya. Film ini berkisah tentang Aruna, ahli wabah, wanita lajang berumur pertengahan 30 tahun, pecinta kuliner, dari kecil hobi makan, tapi sedang kebingungan karena sekarang dia sulit menikmati makanan.
Ketika saya tanya bagaimana filmnya, dia merespon dengan sangat berenergi. Dia terlihat sangat bersemangat berkata, film itu sama sekali tidak menggurui, tapi membuat kita merenungkan banyak hal. Buat dia pribadi, bukan karena dia masih jomblo (alasannya) film itu sangat menyenangkan ditonton sendirian (dan saya sengaja menggoda dia dengan mengatakan bahwa saya yakin dia suka film itu karena film itu bagai refleksi kehidupan pergaulan jomblo yang seru, seperti dirinya sendiri, hahaha…). Dia tertawa dan tak menampik. Kami sudah akrab hingga biasa saling mencela.
Katanya, sepanjang film, dia tersenyum-senyum sendiri menyaksikan adegan-adegan dalam film, yang menyadarkannya bahwa begitu banyak hal-hal sederhana dalam hidup ini yang justru sebenarnya sungguh indah tapi sering kita abaikan.
Film itu membuatnya menyadari bahwa hidup ini terlalu indah untuk dihabiskan dengan menyimpan rasa benci atau menghabiskan waktu dengan orang-orang yang tidak kita sukai
(Saya sela lagi dia: “Tuh kan, alasan jomblo lagi kan,” goda saya.). WS bercerita lagi dan saya setuju dengan pesan moral film itu.
Tapi, kata WS, yang paling menarik dari film itu ternyata bukan soal makanan atau hubungan asmara para pelakonnya. Dia malah membahas hal lain yang masih dalam koridor filmnya, yaitu tentang flu burung.
Ketika Aruna berbicara perihal kasus drama flu burung yang dibuat demi mengucurkan dana project Alkes yang memang begitu besar dananya pada saat itu, teman saya si WS jadi teringat, pernah terjadi juga persis pada negara kita pada satu kondisi dimana salah satu menteri kesehatan dulu juga kena kasus yang sama. Kasus drama flu burung ini menyentak si WS pada satu hal, apa yang terjadi dengan project HAM, LSM dan kegiatan yang berkedok sosial lainnya di negera kita? Dia bertanya. Apakah ada dana yang sedang mereka kejar? Atau ada projek yang mereka kerjakan dengan bermain disekitar drama pelanggaran HAM dan sebagainya? Teman saya si jomblo WS ini, sungguh berapi-api, hingga saya tidak berani merespon. Saya kuatir itu bukan koridor saya.
Lalu dia menyambung ke isu sosial yang sedang hangat baru-baru ini, tentang sesosok figur yang dulu begitu vokal sebagai aktifis pelanggaran HAM, tiba-tiba bermutasi menjadi pembuat drama hoax dan menciptakan kegaduhan yang begitu besar, sampai-sampai melibatkan orang-orang besar dan hal ini menjadi senjata empuk bagi pihak-pihak yang bertujuan memperburuk citra pemerintah. Dengan mudahnya orang itu menciptakan kisah penganiayaan dirinya, yang setelah diusut rupanya hanya kebohongan. Mudah sekali menciptakan kebohongan, semudah dia berkata maaf. Lucu sekali.
Teman saya WS dengan gaya lucu berkata:
“Hati saya jadi bertanya-tanya, ‘ADA APAAA YAH SEBENARNYA??’” (Dia mencoba menirukan Aruna, walau dia sadar, pasti tidak seimut Aruna jika dia yang ngomong).
Lanjutnya: “Ada apa dengan lidahnya? Apakah dulu vokal karena mengejar budget untuk project LSM? Apakah sekarang budget untuk LSM sudah begitu mengering sehingga dibutuhkan sebuah drama besar untuk mengembalikan dana itu kembali mengucur? Yang pasti, dalam film, ketika proses investigasi Aruna berhasil memasukkan Priya kedalam sel, saya berharap, di dunia nyata, Nenek pembuat drama yang ini juga bisa merasakan buah drama yang dia ciptakan sendiri!”
Sekali lagi saya tidak berani berkomentar. Saya merasa lidah saya tidak ingin menciptakan kata-kata. Mungkin karena saya sedang lapar dan sudah mulai berhati-hati memilih konsumsi makanan, karena takut diare lagi.
Walaupun saya tidak berkomentar, tapi saya merasa agak setuju dengan teman saya yang kocak, si WS itu.
Saya berpikir, mungkinkah dalam hidup kita pernah mengalami, sedikit seperti Aruna. Walau hidup Aruna meriah dan penuh rasa, tapi masih saja dia merasa hambar. Dia tak bisa menikmati rasa yang dia inginkan. Kita pernah merasa hambar dan mencari sesuatu untuk mengobatinya.
Terkait dengan tokoh yang membuat kabar kebohongan kemarin, mungkinkah dia juga pernah merasa lebih parah daripada Aruna, hidupnya mungkin sangat kurang rasa, hingga dia berusaha mencari sensasi, yang justru berlebihan hingga menjadi bumerang buat dirinya sendiri? Mungkinkah dia mencari sensasi rasa dengan konsumsi yang terlalu banyak bumbu, hingga jadi overdosis? Sebab bukankah makanan terlalu berbumbu bisa membuat muak, mual, sakit bahkan kemungkinan terburuk lainnya?
Apapun itu, kita memang benar-benar harus bisa menjaga lidah kita sendiri. Seperti tertulis di wikipedia, lidah adalah kumpulan otot rangka yang dapat membantu pencernaan makanan dan sebagai indra pengecap. Lidah juga turut membantu dalam tindakan bicara. Ini adalah dua hal penting dari fungsi lidah yang sungguh vital dalam hidup kita.
Sebab seperti tertulis dalam kitab suci, ‘
Orang jahat terjerat oleh pelanggaran bibirnya, tetapi orang benar dapat keluar dari kesukaran
(Amsal 12:13), dan:
“Siapa yang mau mencintai hidup dan mau melihat hari-hari baik, ia harus menjaga lidahnya terhadap yang jahat dan bibirnya terhadap ucapan-ucapan yang menipu”
(1 Petrus 3:10).