Tag Archives: Gereja

Pesta Bom pada Suasana Natal di Kakas, Minahasa 1941

Desa Talikuran, Kecamatan Kakas, 26 Desember 1941. Halaman muka gereja desa Talikuran, yang terletak di Kecamatan Kakas, Minahasa, sejak pagi-pagi sekali sudah penuh dengan anak-anak yang asyik bermain-main.

Mereka semua tengah menunggu dibukanya acara kebaktian Hari Kedua Natal yang tepat jatuh pada hari Jumat itu. Sementara di ruang dalam gereja, Pendeta Wim Wagay bersama koster (penjaga gereja) sibuk baku atur persiapan-persiapan kebaktian kudus yang dimulai pukul 08.00 pagi.

Menurut rencana, pada pagi hari itu, Pendeta Wagay akan membaptis lima puluh anak-anak muda, termasuk di antaranya seorang lekaki dewasa. Yang terakhir ini adalah Kepala Pengawas Listrik Kecamatan, Ir.Soedarjono. Pemuda Jawa ini akan di baptis, berhubung tak lama lagi bakal menikah dengan seorang gadis asal desa Talikuran, Tine Sumaiku.

Sebagai desa yang terletak di jantung wilayah Minahasa yang penduduknya mayoritas penganut Kristus, sudah barang tentu suasana Natal sangatlah semarak dan penuh pesta pora.

Lagu-lagu Natal bergema semalaman tanpa istirahat di tiap lorong dan relung kampung desa. Dan sampai pagi itupun, lagu-lagu pujian masih terbawa juga oleh kanak-kanak yang riuh di depan gereja.

Suara-suara mereka berbaur di dalam nada-nada yang berbeda, mereka nyanyikan lagu-lagu: Malam Kudus, Damai di Bumi, Yesus telah Lahir, dan lain-lainnya, dan tidak beraturan.

Tetapi apa yang terjadi kemudian? Gema suara yang menggembirakan itu tiba-tiba tersirap oleh suara-suara lain yang sebelumnya belum pernah mereka kenal. Semua mata terdongak ke angkasa raya dari mana sumber suara asing itu meraung-raung.

Maka terlihatlah di udara pada ketinggian tertentu semacam “burung-burung besi” yang membentuk formasi yang mencengangkan. Tampak sangat jelas di atas desa, para “burung besi” memecah dan menukik ke bawah seraya menyemburkan suara-suara ledakan merentet berkesinambungan.

Benda-benda itu sambil memain-mainkan keluasan udara dalam jarak rendah memuntahkan mesiu laksana siraman api yang meledak-ledak memekakan telinga. Baru sadar sekarang, bahwa benda-benda itu tak lain tak bukan adalah pesawat-pesawat tempur jenis “Zero” milik bala Tentara Dai Nippon.

Sasaran-sasaran mereka mengarah tepat di landasan militer Kalawiran, dan juga Pangkalan Udara Tasuka, yang terletak di tepi Danau Tondano.

Sebuah pesawat air jenis “Sikorski” milik KNILM (Koninklijk Nederlandsche Indisch Luchtvaart Maatschappij) yang tengah mengisi bahan bakar menjadi sasaran pertama, seketika itu juga meledak berkeping.

Tak terkecuali juga pesawat air yang lain milik Angkatan Laut Hindia-Belanda jenis “Dornier” yang sedang menanti giliran memperoleh bahan bakar, walaupun sudah berusaha menghalau “tamu-tamu” yang terdiri dari enam pesawat tempur dengan mitraliur ukuran 20 mm, namun agaknya sia-sia belaka.

Sersan No’e dan beberapa rekannya dari Angkatan Laut Hindia-Belanda memang sudah bekerja keras berusaha menyingkirkan pesawat pesawat Jepang itu. Tetapi nasib buruk tetap tak bisa dibendung, karena berondongan peluru dari udara lebih tangkas berperang.

Akibatnya, selain sang “Sikorski”, empat “Dornier” pun menjadi berantakan dalam tempo pendek dan lumat pelan-pelan ditelan air Danau Tondano.

Bom-bom bakar musuh yang menghujani sekitar lapangan terbang Tasuka mengakibatkan mandi darah yang dahsyat bagi anak-anak muda yang pada Malam Natal masih menyanyi lagu-lagu kelahiran kelahiran Kristus.

Seorang Kapten pilot KNILM yang berhasil melompat saat pesawatnya jatuh merenangi Danau Tondano melihat anggota-anggota KNIL di semak-semak yang tidak bergerak sedikit pun dan kembali dengan perahu ke pesawat untuk mengamankan sebanyak mungkin korban yang luka berat. Seorang diri dia berhasil membawa beberapa beberapa orang ke daratan.

Ketika dengan sangat letih sampai di dermaga dengan angkutannya terakhir, dia melihat seorang opsir berpakaian rapih, lengkap dengan tanda-tanda jasa, muncul dari rerumputan yang tinggi.

Si penerbang itu, perwira R, gemetar gemas karena amarah hingga ia berteriak: “Lakukan sesuatu! Tolong orang-orang ini.” Tetapi ia memperoleh jawaban dari opsir ini: “Maaf, tetapi saya tak boleh memberitahu posisi saya sebelum menyerang…”

Keadaan menakutkan yang hadir begitu tiba-tiba itu, menerbitkan kepanikan yang amat sangat bagi penduduk di desa-desa yang mengelilingi kedua lapangan terbang di wilayah Minahasa itu.

Acara suci gereja yang sedianya diusahakan dengan penuh kedamaian, menjelma dengan hiruk pikuk kekacauan. Wanita-wanita berteriak histeris mencari anak-anak mereka, demikian juga tangisan anak anak terdengar melengking-lengking memanggil ibu-ibunya. Masih disebut untung, karena pesawat-pesawat tempur sama sekali tidak mengarahkan sasaran bom-bomnya di pekarangan gereja di desa itu.

Arkian, setelah melakukan penyerangan sekitar tiga puluh menit, pesawat-pesawat tempur itu menghilang di balik pegunungan Lembean. Acara kebaktian batal.

Penduduk sibuk berkemas mengungsi ke kebun-kebun di luar desa, yang dianggap aman oleh mereka. Gerobak-gerobak kayu yang ditarik sapi atau kuda, dan sarat oleh perabotan rumah tangga tampak memenuhi jalan-jalan desa.

Pendeta Wagay pun telah berada di rumahnya. Ia berusaha membujuk puteranya, Johny yang belum berhenti menangis karena saking ketakutannya pada suara-suara ledakan memekakan telinga beberapa selang.

Begitu Johny Wagay berhenti menangis dan sudah terbujuk, Wim Wagay keluar rumah, ingin tahu apa sebenarnya yang terjadi. Di luar rumahnya terlihat sebuah sepeda yang ditinggalkan pemiliknya. Tanpa pikir panjang, dikayuhnya sepeda itu dan langsung ke arah Tasuka yang letaknya sekitar 3 kilometer dari desa Talikuran.

Ketika itu, pintu masuk Tasuka dijaga oleh Sersan Daniel Timbongol, seorang prajurit pensiunan KNIL yang tergabung dalam korps cadangan. Ia bertugas jaga ketika serangan mendadak itu terjadi.

Begitu dari kejauhan ia melihat Pendeta Wagay datang dengan sepeda, seolah mendapat semangat, Timbongol memanggil rekan-rekan yang dalam suasana siaga bercampur panik.

Merekapun berkumpul mengelilingi Wagay saling memperbincangkan peristiwa yang baru saja terjadi. Sementara mereka saling berembuk, tiba-tiba terdengar lagi raungan suara mesin pesawat tempur.

Pesawat Jepang ternyata kembali lagi. Semuanya berlari berpencar mencari tempat lindung. Ledakan suara keras, seraya terlihat drum-drum minyak beterbangan di udara. Yang menjadi sasaran pesawat penyerang kali ini adalah gudang-gudang logistik bahan bakar.

Mereka hancurkan dengan hujan tembakan mitraliur dan bom. Sungguhpun pesawat itu dihalau juga dengan mitraliur, tetapi kiranya penerbang Nippon cukup lincah menghindar dari peluru-peluru dan langsung menghilang dibalik bukit-bukit.

Penyerangan hari itu berlangsung cukup singkat, tetapi berhasil menghancurkan sebagian dari kekuatan udara pemerintah Hindia-Belanda di wilayah Utara Sulawesi yang menjadi pintu gerbang belahan utara gugusan kepulauan Zamrut Khatulistiwa.

Dengan gebrakan singkat itu berarti invasi pihak Dai Nippon ke Selatan menjadi kenyataan. Pusat militer Hindia-Belanda yang berpusat di Bandung dalam waktu cepat menerima laporan mengenai bobolnya pertahanan di wilayah itu.

Sejak penyerbuan Jepang di Pearl Harbor pada tanggal 7 Desember 1941, usaha invasi berjalan begitu singkat untuk mengadakan perembesan ke wilayah selatan Asia-Timur.

Kekuatan-kekuatan koloni Amerika di Filipina, Prancis di Indo Cina, Inggris di Semenanjung Malaya dan Belanda di Indonesia tidak mendapat dukungan sepenuhnya dari masing-masing pemerintah pusatnya.

Selain karena hancurnya sebagian besar kekuatan armada laut di kawasan Samudera Pasifik, ketika itu Amerika belum lagi memiliki suatu sikap yang jelas menghadapi Jepang dengan tindakan militernya.

Hal ini disebabkan masih kuatnya pengaruh politik isolasi (baca: Doktrin Monroe), hingga belum terlihat adanya ambisi untuk mengambil peranan di dalam percaturan politik global di bidang kekuatan militer, sedangkan di Eropa tengah dilanda peperangan.

 

Harry Kawilarang

Tulisan ini dimuat seizin penulis. Laman asli tulisan ini lihat di halaman Facebook dari Harry Kawilarang

Penulis adalah wartawan senior yang pernah bekerja di Harian Sinar Harapan dan Suara Pembaruan | pemerhati sejarah Indonesia

Sumber Foto dan Bahan Tulisan dari buku Mengindonesiakan Indonesia oleh Harry Kawilarang

Siapkan 7 Hal Ini Sebelum Merayakan Natal

Minggu pertama Desember 2016 sudah lewat nih. Itu berarti Hari Natal sudah semakin dekat.
Bagi umat Kristen, Natal menjadi salah satu momen yang sangat dinanti untuk dirayakan. Lewat Natal, kita merajut silaturahmi kembali dengan keluarga besar kita yang bisa saja cuma kita temui setahun sekali.

Bagi anak-anak, Natal selalu berarti keceriaan, banyak kue, dan kado. Masa kecil kita dipenuhi dengan suka cita Natal.

Selain menghias pohon Natal, ada banyak hal yang harus dipersiapkan sedini mungkin karena ini kan momen spesial. Yuk, kita tengok, apa saja sih yang harus disiapkan dari sekarang menjelang Natal.

1. Kado Natal
Inilah yang pertama harus kita siapkan. Karena Natal itu selalu membawa sukacita, jadi wajar saja kita bersiap memberi kado spesial sebagai tanda kita mengasihi orang lain. Kado spesial mungkin perlu dipersiapkan untuk sanak saudara, terutama anak-anak kecil.

Supaya tidak lupa, alangkah baiknya Anda mendaftar siapa saja yang perlu diberikan kado pada hari Natal nanti. Satu lagi yang terpenting, jangan berburu kado Natal saat sudah dekat 25 Desember, tetapi berburulah di bulan November atau di awal Desember supaya lebih tenang dan tidak ada yang terlewat.

2. Ayo Bersihkan Rumah
Natal akan semakin nyaman jika Anda sudah siap dengan rumah yang bersih. Bersih-bersihnya lebih baik dilakukan dari jauh hari. Anda dapat memulainya dari sudut rumah yang paling jarang diakses, misalnya gudang atau sudut-sudut rumah.

Selain itu, membersihkan rumah dari jauh hari akan membuat sejumlah pernak-pernik Natal seperti pohon Natal dan semua aksesorisnya bisa enak dilihat saat diletakkan di berbagai sudut ruang.

Apalagi kalau rumah Anda akan menjadi tempat berkumpul keluarga besar, membersihkan rumah sudah jadi kewajiban supaya tamu-tamu spesial yang datang menjadi nyaman.

3. Menghias Rumah
Sudah pasti suasana dan dekorasi rumah harus berubah. Mendirikan pohon Natal saja sudah jelas-jelas akan membuat keadaan di rumah jadi beda. Sekeluarga menghias pohon Natal pasti menjadi momen yang indah.

Lalu, Anda bisa memasang lampu di pekarangan atau teras rumah. Warna-warni lampu yang menyala tentunya akan menambah semarak perayaan Natal di rumah. Warga sekitar rumah pun akan ikut merasakan sukacita Natal melihat kemeriahan pekarangan rumah Anda.

4. Belanja
Belanja kebutuhan Natal bersama orang yang kita sayang, seperti keluarga dan anak-anak tentu tidak boleh dilewatkan. Sisihkan anggaran untuk membeli pakaian dan beberapa aksesori untuk menghias rumah serta pohon Natal. Buat daftar belanja, biar kantong enggak jebol duluan dan semua hal penting terbeli.

Karena ini momen setahun sekali, pilihlah baju yang nyaman dan sesuai selera, dan sepertinya enggak perlu mahal-mahal. Yang terpenting, enak dipakai seharian nanti saat Hari Natal.

5. Menu Khusus
Nah, karena belanja merupakan salah satu hal penting dalam mempersiapkan Natal, tentu belanja menu makanan khusus untuk dihidangkan juga harus ada dalam daftar belanja Anda.

Nastar dan kastengel okelah, wajib itu. Nah, jika Anda biasa menjadi tempat berkumpul keluarga besar, menu-menu makan khusus pastilah harus disiapkan.

6. Rute Kunjungan
Karena Natal bukan sekadar perayaan, tapi juga saat tepat menjalin silaturahmi, penting buat Anda sekeluarga menentukan rute kunjungan sepulang dar gereja. “Kita ke rumah oma dulu, ke tante itu, om ini..”

Daripada berdebat sepulang dari ibadah di gereja karena belum sepakat hendak ke mana, lebih baik dibicarakan  jauh-jauh hari. Sekalian Anda mengecek apakah orang-orang yang mau dituju benar ada di rumah saat akan dikunjungi.

Buat Anda yang masih jomblo, ini dia. Cari waktu yang tepat ya buat ketemu calon mertua alias camer.

7. Rencanakan Liburan
Dan, setelah semua kemeriahan Natal kita jalani, satu hal yang wajib dipersiapkan oleh Anda dan keluarga adalah pergi berlibur. Karena ini juga menentukan dari segi anggaran, jadi Anda wajib mempersiapkan jauh-jauh hari rencana liburan Anda, tentu setelah dibagi-bagi dengan anggaran merayakan Natal.

Setelah perayaan Natal, jalan-jalan bersama keluarga merupakan salah satu kenangan yang juga tak terlupakan. Buat rencana kapan akan berangkat, di mana menginap, transportasi dan sebagainya.

Jadi, setelah “baterai energi” Anda mulai lemah karena menjalani sukacita Natal, Anda bisa menyegarkan kembali fisik dan psikis dengan berlibur bersama keluarga dengan tenang dan nyaman karena sudah direncanakan jauh hari.

Dan jangan lupa, merencanakan liburan di jauh-jauh hari terasa lebih hemat karena hotel biasanya belum menaikkan harga lebih tinggi, tiket pesawat juga belum tinggi-tinggi amat, tiket kereta tidak berebut dan banyak keuntungan lainnya.

 

Tim Penulis PO FIB UI

Foto: Pixabay

St. Eustorgio, Milan : Makam 3 Orang Majus

Setiap Natal, kisah tentang kelahiran bayi Yesus yang dikunjungi oleh tiga orang majus menjadi cerita yang seragam dilantunkan di gereja di seluruh dunia.

Namun apakah orang majus itu nyata? Siapakah mereka, dimana mereka sekarang?

Pertanyaan-pertanyaan itu selalu memenuhi benak saya sampai suatu ketika calon suami saya (saat ini sudah menjadi suami) mengajak saya mengunjungi Basilica St. Eustorgio, sebuah gereja tua yang terletak di Piazza Sant’Eustorgio No.1, Milan.

Saya masih ingat, Januari 2009, hari itu awan mendung menggelayut, warna langit kelabu cenderung menyedihkan. Saya yang kala itu tengah mengunjungi Milan sebagai turis menjadi gundah, sebab cuaca kurang mendukung. Calon suami saya paham betul tidaklah nyaman berjalan-jalan di hari yang mendung.

Namun, ia mencoba menghibur saya dengan mengatakan : daripada gundah gulana karena cuaca kurang menggembirakan, mendingan kita jalan-jalan ke St. Eustorgio. Saya oke-oke saja, meskipun dalam hati bertanya-tanya memangnya ada apa di sana, nama gerejanya juga tampaknya kurang begitu “beken”.

Sambil berpayung kami berjalan kadang meloncat kecil menghindari genangan air. Kami membeli tiket kereta bawah tanah metropolitana sampai ke pusat kota Milan di Piazza Duomo.

Bersamaan dengan hentinya metropolitana, saya lihat orang-orang menghambur keluar dalam ritmik pacu jalan kaki yang sulit saya tandingi. Mereka terbiasa berjalan cepat. Keluar dari koridor bawah tanah, saya lihat orang orang mengembangkan payung, warna-warni alat pelindung tubuh dari percik air hujan itu menjadi dekorasi indah menghiasi pandangan mata sepanjang trotoar.

Hujan bulan Januari di Milan itu kejam sekali, suhu menukik sampai 3°C, calon suami saya berkata : untung saja suhu tidak turun sampai 0°C, karena pada suhu tersebut air hujan bisa berubah menjadi salju. “Oh” dalam hati, “sayang sekali, saya justru ingin melihat salju”.

Meskipun dingin menggigit, orang Milan lebih memilih berjalan kaki daripada menggunakan kendaraan pribadi. Terima kasih kepada pemerintah kota Milan bersama perusahaan daerah dan swasta yang bekerja sama membangun transportasi dalam kota serta juga kepada warga Milan yang rela menyisihkan 40% penghasilannya sebagai pagu pajak sehingga transportasi publiknya sangat memadai, nyaman, efektif dan efisien.

Dari sana kami melanjutkan perjalanan dengan trem. Tak lama, calon suami saya memencet bel untuk memberi tanda bahwa kami akan berhenti di perhentian yang akan datang. Trem tidak berhenti di sembarang tempat, ada semacam stanplat yang menandai dimana trem bisa berhenti.

Tiba di stanplat kami melompat saja, jalan sedikit kemudian oh, sebuah gereja berwarna terracotta dengan menara di belakangnya, tua namun indah. Calon suami saya kemudian menunjuk kepada menara gereja : “Kamu lihat itu di atas menara, ada semacam arah mata angin dengan hiasan bintang besar”. “Ya ya, aku bisa melihatnya, ” sahutku.

Oke, mari masuk ke dalam katanya sambil membuka pintu utama gereja. Aku turut masuk ke dalam, gelap. Beberapa berkas cahaya dari jendela di atas gedung memberikan sedikit sinar. Kulihat beberapa pengunjung tampak duduk di bangku-bangku, mereka terdiam, sunyi dalam pikiran masing-masing.

Aku berjalan agak ragu, kemudian di altar aku terpesona, sebuah salib berwarna keemasan, tampaknya memang dilapisi emas.

Ternyata bukan itu yang menjadi alasan calon suamiku membawaku ke tempat itu, ia menjentikkan tangannya padaku dan mengajakku berjalan ke arah kanan gedung. (Kebanyakan gereja di Eropa berbentuk salib, sehingga setelah gang yang panjang terhadap ruangan di sisi kiri dan sisi kanan yang juga kadang digunakan untuk misa kecil).

Ternyata di sebelah kanan ruangan terdapat sebuah bangunan aneh berwarna putih, semacam peti tetapi besar sekali. Apakah ini? Tanya saya padanya.

“Ini adalah makam tiga orang Majus, beberapa bagian tubuh ketiga orang majus ini dimakamkan di sini,” ujarnya.

Saya terpana, terharu dan tak menyangka. Di Milan ternyata ada makam tiga orang Majus! Jadi cerita Alkitab yang selalu bergaung setiap Natal di gereja itu, benar adanya, bukan fiksi, bukan sekedar kisah yang indah untuk dijadikan produksi drama di gereja.

Dalam hati saya berteriak, “Oh mereka eksis! Tiga orang tokoh pintar yang hebat, penuh dedikasi dan melakukan perjalanan jauh karena jeli melihat kuasa Tuhan saat berbicara melalui alam semesta pada dua ribu tahun lalu itu ada! Oh, saya lega sekali!”

Pada salah satu kolom terlihat semacam relief yang menggambarkan lembu yang sedang mengangkut peti mati dari batu (sarcopagus). Ahli sejarah menyebutkan, lembu tersebut dikemudikan oleh Santo Eustorgio yang membawa peti mati ketiga orang Majus tadi dari Constantinopel.

Berdasarkan literatur pada abad ke tiga setelah masehi, atau sekitar 300 tahun setelah Yesus wafat, Ratu Helena yang adalah bunda dari Kaisar Konstantin dari Konstantinopel pernah berziarah ke Yerusalem pada dan mengumpulkan tulang-belulang para orang Majus.

Kabarnya ketiga orang Majus ini turut berjalan ke Golgota dan menyaksikan penyaliban Yesus, mereka kemudian menetap disana dan meninggal di sana. Itulah mengapa Ratu Helena bisa mendapatkan tulang-belulang ketiga orang Majus.

Konstantin sang putera, kemudian menyerahkan hasil pengumpulan bundanya tersebut kepada Eustorgio saat ia berkunjung ke Konstantinopel sebelum menjabat sebagai Uskup Milan, sekitar tahun 344 Masehi.

Eustorgio kemudian membawa hadiah berupa peti mati berisi tulang-belulang tiga orang Majus dari Konstantinopel tersebut dengan menggunakan lembu. Setelah memasuki kawasan pintu Gerbang Milan yang bernama Porta Ticinese, lembu tidak dapat bergerak karena terjebak lumpur.

Eustorgio menyatakan, inilah tempat dimana Tuhan berkenan dan kemudian ia menempatkan sarcopagus dan membangun gereja di lokasi tersebut, hingga kini gereja tersebut dinamai sesuai nama sang Uskup.

Sayangnya delapan abad kemudian atau pada tahun 1164, kota Milan diserang oleh pasukan Frederick I Barbarosa dari Jerman yang merampas juga sarkopagus ketiga orang majus tersebut dan menyerahkannya kepada Rainald von Dassel di Cologne, Jerman. Semua usaha untuk mengembalikan peti mati dan kerangka ketiga orang majus tersebut gagal.

Baru pada tahun 1904, Kardinal Ferrari, archbishop Milan kemudian berhasil memboyong sebagian dari kerangka ketiga orang majus, yaitu masing masing bagian fibula (tulang di bagian betis), tibia (tulang kering) dan vertebrata (tulang punggung) yang diserahkan oleh archbishop Cologne Mgr. Fischer pada sebuah pesta epifani yang masih terus dirayakan hingga sekarang.

Keluar dari gereja tersebut, sekali lagi aku memandangi menara gereja. Di ujung menara tersebut bukan bentuk salib yang saya lihat melainkan sebentuk bidang berujung delapan, sebuah simbol yang mengingatkan kembali pada bintang yang diikuti oleh para orang majus.

Ah, suatu saat saya juga ingin ke Cologne, Jerman dan melihat juga sebagian peninggalan ketiga tokoh luar bisa tersebut.

*Referensi tambahan : Secret Milan, Massimo Polidoro, Jonglez Publishing, 2012.

Rieska Wulandari

Catatan: Tulisan ini dikutip sudah seizin penulis. Laman asli tulisan ini lihat di

http://www.kompasiana.com/rieskawulandari/st-eustorgio-milan-makam-3-orang-majus_552a6154f17e61a504d623c0

Penulis adalah lulusan jurusan jurnalistik, Fakultas Ilmu Komunikasi (Fikom), Universitas Padjajaran dan menetap di Italia.

Foto: museomilano.it

Saat Natal Tiba Lebih Cepat di Pusat Belanja

Fotoin aku di sini!” demikian permintaan si ibu setengah teriak ke anaknya seorang lelaki ABG, yang buru-buru mengarahkan smartphone warna putih ke si ibu.

Sang ibu membetulkan kaca mata hitam yang ditarik ke atas sehingga menyerupai bando di kepala, plus dengan kaos putih ketat dan celana jeans panjang sebetis, berdiri condong ke pohon Natal yang penuh dengan hiasan. Cantik lah gaya si ibu.

Ketika si ABG bersiap mengabadikan dengan smartphone..”Ibu maaf, dilarang mengambil gambar di sini,” tiba-tiba seorang petugas keamanan muncul.

Saya sempat mendengar lebih jauh perdebatan antara si ibu yang sudah bergaya dengan petugas keamanan. Intinya, si petugas keamanan mengatakan bahwa ini pernak-pernik perhiasan Natal bukan properti publik karena dijual, dan kebetulan memang ditata seapik mungkin biar pengunjung tertarik pada perhiasan-perhiasan Natal ini.

Nah, wajah kesal si ibu tak bisa disembunyikan. Dia pun meninggalkan titik yang memang dipenuhi dengan perhiasan Natal dan pohon Natalnya itu yang ada di sebuah pusat perbelanjaan di Jakarta Selatan tersebut.

Peristiwa ini saya saksikan langsung minggu lalu, masih jauh dari masa-masa perayaan Natal di gereja. Jujur saja, bukan cuma mal di Jakarta Selatan ini yang bisa dilihat oleh pengunjung telah memasang pernak-pernik Natal, banyak pusat belanja telah melakukannya.

Rupanya, Natal datang lebih cepat di pusat-pusat perbelanjaan.

Gereja padahal baru merayakan Minggu Adven Pertama pada hari Mimggu ini, 27 November 2016. Akan ada empat Minggu Adven dirayakan dalam setiap ibadah, sehingga puncaknya pada 25 Desember saat seluruh umat kristiani merayakan hari kelahiran Kristus.

Bisa dilihat di wikipedia makna dari Adven:

Adven diambil dari kata Latin Adventus yang artinya adalah Kedatangan. Dalam masa Adven umat Kristen Katolik Roma maupun Protestan menyiapkan diri untuk menyambut pesta Natal dan memperingati kelahiran dan kedatangan Yesus yang kedua kalinya pada akhir zaman.

Dan Natal, narasinya selalu tentang suka cita, kebahagiaan.

Lalu kata malaikat itu kepada mereka: “Jangan takut, sebab sesungguhnya aku memberitakan kepadamu kesukaan besar untuk seluruh bangsa: Hari ini telah lahir bagimu Juruselamat, yaitu Kristus, Tuhan. (Lukas 2:10-11)

Akan tetapi, kalau sudah masuk ke ranah bisnis, semua itu bisa berubah. Suka cita Natal pun bisa “dibelokkan” menjadi suka cita belanja saat Natal. Natal penuh harga diskon. Berbahagialah belanja saat Natal, karena banyak potongan harga. Inilah spirit komersialisasi Natal.

Jadi, saat si ibu tadi kesal karena dilarang oleh petugas keamanan untuk berfoto ria di dekat pernak-pernik Natal di sebuah mal, ya itulah “spirit bisnis Natal”. Kalau nggak beli, cuma mau jeprat-jepret foto-foto, ya maaf, enggak bisa dengan tenang bergaya.

Narasi Natal yang sesungguhnya, yaitu suka cita dan damai sejahtera, memang tidak bisa diganti dengan pernak-pernik unik di mal. Spirit Natal yang sesungguhnya tak akan pernah membuat kita misuh-misuh, atau menggerutu.

Meski tidak semua orang bisa merayakan Natal dengan baju baru ke gereja, atau meletakkan sestoples kastengel di meja, tetap saja Natal akan selalu memberi memori kebahagiaan.

Tak sabar rasanya merayakan Natal bersama keluarga, bersuka cita dalam jalinan silaturahmi dengan handai taulan.

Selamat menjalankan Minggu Advent Pertama.

 

Foto: Pixabay

Tak Ingin seperti Kaum “Mardjiker”

Tasum Sudarohi hanya penjual es dan teh botol di depan Gereja Sion, di Jl. Pangeran Jayakarta. Kala ibadah gereja di hari Minggu selesai dan jemaat keluar dari gedung gereja hendak pulang, itulah momen terbaik bagi Tasum.

Dagangannya bakal laris manis. Itu semua dijalaninya pada tahun 1983.

Memang Tasum tak hanya mengandalkan momen selesainya ibadah gereja. Tak akan cukup momen seminggu sekali itu untuk memenuhi kebutuhannya. Ia pun mengambil bagian trotoar jalan, tetap di depan Gereja Sion, untuk mangkal sehari-hari. Saat itu, Jl Pangeran Jayakarta belum dilebarkan seperti sekarang ini.

Sepanjang hari, sepanjang minggu, Tasum dengan setia berdagang di depan Gereja Sion. Mau tak mau, interaksi pun terjadi. Gereja Sion yang dibangun pada tahun 1695 ini sekarang telah menjadi gereja tertua di Jakarta. Gereja Sion memang terkesan gagah dan anggun baik dari luar maupun dari dalam, namun keramahan dan kesahajaan rupanya tetap berpendar.

Melihat kesetiaan Tasum berdagang di depan gereja, akhirnya pengurus gereja pun tergerak untuk membuat nasibnya lebih baik. Pada tahun 1987, Tasum pun ditawari bekerja di gereja.

Tasum tak menunggu lama untuk mempertimbangkan tawaran yang datang itu. Ini pekerjaan yang jauh lebih baik dengan gaji yang lebih pasti, pikirnya.

Tasum pun diangkat menjadi pegawai gereja pada 12 Oktober 1987. Tugasnya bermacam-macam, dari merawat halaman gereja, menjaga kebersihan gereja, sampai mempersiapkan berbagai peralatan yang diperlukan saat gereja akan melaksanakan ibadah. Gaji tetap pun ia terima.

Gereja Sion dulu dikenal dengan nama gereja Portugis. Ada dua gereja yang dikenal dengan sebutan gereja Portugis, pertama Gereja Sion yang dijuluki “Gereja Portugis di luar Kota” dan Gereja Binnenkerk yang disebut “Gereja Portugis di dalam Kota”. Namun, yang terakhir ini telah habis terbakar pada tahun 1808, sementara Gereja Sion tetap berdiri tegak dengan segala kemegahannya sampai hari ini.

Sebutan untuk “Kota” di atas mengacu pada wilayah Batavia sebagai pusat pemerintahan Hindia Belanda.
Orang Portugis sendiri tidak pernah berkuasa di Batavia. Sebutan Gereja Portugis muncul karena banyaknya budak belian dari pesisir India, khususnya Pantai Koromandel dan Malabar, dan dari Bengal dan Arakan, atau Sri Lanka yang diangkut Belanda sebagai tawanan perang ke Batavia.

Sebelumnya, para budak belian itu milik Portugis, namun Portugis kalah perang dalam perebutan sumber rempah-rempah di Asia oleh Belanda.

Para budak belian itu masuk ke Batavia sekitar tahun 1628, dan mereka berbahasa Portugis. Mereka adalah penganut Katolik yang taat, tetapi pemerintah Belanda menekan mereka untuk tidak mengamalkan agama mereka. Akhirnya sedikit demi sedikit mereka beralih ke Protestan, dan mereka pun dibebaskan dari status budak. Jadilah istilah “Mardjiker” muncul yang memiliki kesamaan makna dengan “merdeka”.

Orang Kampung
Apa kata orang kampungnya di Cirebon yang tahu Tasum kerja di gereja? Tasum notabene beragama Islam, dan sampai saat ini pun dia tetap seorang muslim.

“Ah, biarin aja. Kan saya kerja halal. Lagian, orang gereja juga baik-baik sama saya. Saya nggak pernah diajak ikut kebaktian. Jadi, saya nggak khawatir sama anggapan orang kampung saya,” katanya.

Walau begitu, Tasum mengakui ada suara-suara miring tentang keberadaan Tasum di Gereja Sion, namun dia tak ambil pusing. “Emangnya orang-orang itu yang mau kasih makan anak-istri saya di kampung?” katanya.

Sayangnya, gaji Tasum belum cukup untuk membuat dia mampu bertahan bersama keluarga di sebuah kota metropolitan semacam Jakarta. “Mending duitnya saya kirim buat keluarga di kampung. Di sini mah saya bisa urus diri saya sendiri. Saya cukup-cukupkan saja kebutuhan hidup di sini. Yang jelas, saya nggak mau dagang lagi. Saya sudah dikasih yang jauh lebih baik oleh gereja, saya juga tidak akan nuntut macam-macamlah,” katanya.

Yang membuat dia betah tetap kerja di gereja dan rajin mempersiapkan segala kebutuhan gereja untuk ibadah adalah interaksi yang bersahabat antara dia dan para jemaat. “Jemaatnya baik-baik, saya punya banyak kenalan di sini.”

Perayaan Natal menjadi sesuatu yang ditunggu-tunggu juga oleh Tasum. Pengelola gereja memberi tunjangan hari raya dan bingkisan-bingkisan. “Pas Lebaran, saya malah nggak dapat apa-apa,” katanya.

Tapi itu tak masalah bagi Tasum. Kepedulian pengurus gereja dan jemaat menjadi bagian terpenting bagi Tasum sehingga dia betah bekerja di sana.

Harapan
Harapan Tasum ke depan tak banyak. Dia hanya ingin gereja ini terpelihara dengan baik dan pemda peduli pada gedung gereja ini. Gereja Sion memang telah ditetapkan menjadi jagar budaya oleh Pemda DKI Jakarta, namun wilayahnya telah terkikis sedikit demi sedikit atas nama pembangunan.

Tasum tak ingin seperti Kaum Mardjiker yang saat ini telah menghilang dari lingkungan Gereja Sion. Tak ada lagi “jemaat asli” di Gereja Sion. Keturunan Kaum Mardjiker telah menyingkir dari sana dan kebanyakan dari mereka menetap di Gereja Tugu.

Tasum sebagai pendatang yang mengadu nasib di Ibu Kota akhirnya mampu bertahan dan hidup berkat gereja yang mempekerjakannya. Dia tak bisa membayangkan jika tiba-tiba gereja memberhentikannya sehingga dia harus menyingkir.

“Saya akan di sini sampai gereja sudah tak membutuhkan saya lagi,” katanya mantap.

Di sisi lain, tak ada niat sedikit pun bagi pengurus gereja untuk mempengaruhi keimanan Tasum, dan Tasum pun tak terusik dengan kegiatan kerohanian yang setiap kali diadakan di gereja. Dia malah membantu mempersiapkan segala yang diperlukan untuk kebutuhan ibadah.

Benci Eric Clapton, Pengampunan dari Samarinda

Ya, benar. Saya benci Eric Clapton, bukan orangnya sih tapi lagunya. Dan bukan semua lagu juga, tapi–ini dia sumber masalahnya–lagu terbaik yang pernah dia ciptakan: “Tears in Heaven”.

Semenjak anakku si putri hadir pada 2007 lalu, semenjak itulah, sampai sekarang, 2016, saya tetap benci lagu ini. Masalahnya, lagu ini diputar di mana-mana. Dari pertama kali keluar tahun 1992, sampai saat ini, saya sering mendengar lagu ini diputar di mal-mal dan di kafe-kafe adem.

Jujur saja, ini lagu yang menakutkan buat saya. Lagu yang tidak ingin saya nyanyikan.

Eric Clapton membuat lagu ini–dibantu Will Jenning–untuk menyuarakan isi hatinya karena kesedihan mendalam. Lagu ini dipersembahkan untuk sang anak tercinta Conor Clapton yang meninggal.

Seperti tertulis di wikipedia, pada 20 Maret 1991 tepat jam 11 siang, Conor yang berusia 4 tahun meninggal karena terjatuh dari jendela lantai 53 di apartemen New York City.

“Tears in Heaven” merupakan lagu kontemplasi kesedihan Clapton yang mengurung diri selama 9 bulan. Clapton menuangkan kesedihannya dan sekaligus mewujudkan penerimaan lewat lagu ini.

Grammy Awards 1993 menobatkan “Tears in Heaven” dengan tiga penghargaan untuk lagu terbaik, rekaman terbaik, dan penyanyi pria terbaik.. Album Unplugged yang berisi lagu ini menjadi album terlaris Clapton sepanjang sejarah bermusiknya.

Would you know my name
If I saw you in heaven
Will it be the same
If I saw you in heaven
I must be strong, and carry on
Cause I know I don’t belong
Here in heaven

Lagu yang indah, namun saya tak ingin menyanyikannya, dan akhirnya memilih membencinya. Saya punya dua anak sekarang, dan seram rasanya menyanyikan lagu ini. Ada ketakutan saya, ini kok seperti membayangkan anak-anak saya kenapa-kenapa. Oh, tidak!

Ketika saya mendapat kabar, akhir pekan lalu, bahwa kawan dekat saya kehilangan buah hatinya yang masih bayi baru lahir, lagu ini pun tiba-tiba mengiang-ngiang di pikiran. Beberapa kawan menulis di wall Facebook sebagai tanda simpati, “kau sudah tenang di surga sana adik kekasih”.

Tak terbayangkan rasanya saat kawan saya mendengar lagu “Tears In Heaven”. “Apakah kau kenal papa saat kita ketemu di surga, nak?” Ahhhh saya benci.

Tak berapa lama bom molotov dilempar dan melukai anak-anak yang baru saja Sekolah Minggu dan sedang bermain di areal parkir di Gereja Oikumene, Samarinda, Kalimantan Timur. Empat balita menjadi korban luka bakar.

Dan kisah sedih dialami Intan Olivia Banjarnahor, 2,5 tahun, yang harus pergi meninggalkan dunia ini, mengembuskan nafas terakhir. Tak terperikan rasa duka mendalam yang harus dihadapi oleh orang tua terkasih. “Apakah akan sama, ketika kita ketemu di surga nanti, nak?” Terngiang lagi…

Namun, ini seperti linear, seperti ada kesejajaran peristiwa baik yang menghiasi lagu Eric Clapton ini, maupun bom Samarinda.

Pada tahun 2003, 12 tahun setelah kematian anaknya, Eric Clapton memutuskan untuk tidak menyanyikan lagi lagu “Tears in Heaven”. Ia merasa telah bisa merelakan kepergian anaknya.

Dan kejutan muncul pada 2013, di Crossroads Guitar Festival 2013, di Amerika Serikat, Eric Clapton menyanyikan kembali lagu ini. Setelah 10 tahun! Eric melantunkan lagu ini dengan nada yang berbeda, slow reggae, tidak dengan ciri khas ngelangut seperti awal.

Seperti Clapton yang telah ikhlas, kabar pengampunan pun datang dari keluarga Trinity Hutahaean (4), salah satu korban ledakan bom molotov Samarinda. Lewat Roina Simanjuntak, kakak dari ibu Trinity, keluarga mengatakan bahwa “Kami tidak mengutuk, tetapi mengampuni yang jahat.”

Keluarga Trinity, bocah yang masih berjibaku dengan luka bakarnya, mengampuni pelaku terorisme, Juhanda alias Jo.

Saya seperti tersadar bahwa segala sesuatu ada prosesnya. Proses itu akan selalu berlanjut terus menuju jalannya, bagaimana kita memilih, apakah proses itu menuju yang terburuk atau menuju titik terbaik–titik di mana yang buruk terputus–kemudian berlanjut menjadi lebih baik.

Saya berharap tidak terdengar lagi dari keluarga korban bom molotov, berita duka. Saya rasa seminggu ini cukup lagu itu mengiang-ngiang di pikiran saya.

Saya berdoa: Trinity kuatlah. Tuhan pulihkan adik kekasih ini.

 

Foto: wikimedia

The Call

(Merenungkan Kisah Para Rasul 10)

 

Cerita di dalam Kisah Para Rasul 10 adalah cerita yang sangat penting bagi sejarah gereja. Cerita ini menegaskan panggilan gereja untuk menjadi terang bagi dunia, membawa kabar baik kasih karunia Allah kepada segala bangsa.

Dikisahkan tentang Kornelius, seorang perwira (centurion) Romawi yang mengepalai pasukan yang disebut resimen Italia. Kornelius memegang jabatan yang cukup tinggi atas sebuah resimen yang elit di dalam militer Romawi, namun ternyata dia adalah seorang yang takut akan Allah. Dia memberi banyak sedekah untuk orang Yahudi. Menurut hukum taurat seorang asing yang bukan Yahudi tidak layak di hadapan Allah. Oleh karena itu, sedekah ataupun kesalehannya tidak akan berarti. Akan tetapi, berbeda dengan Kornelius. Allah menerima apa yang Kornelius lakukan dan mengutus malaikat-Nya untuk memberi konfirmasi, serta menyuruhnya untuk memanggil Petrus datang ke Kaisaria, kota tempat ia tinggal.

Petrus sedang berada di Yope. Di siang hari ketika ia merasa lapar dan menunggu makanan disiapkan, Allah memberikan sebuah penglihatan kepadanya, “Tampak olehnya langit terbuka dan turunlah suatu benda berbentuk kain lebar yang bergantung pada keempat sudutnya, yang diturunkan ke tanah. Di dalamnya terdapat pelbagai jenis binatang berkaki empat, binatang menjalar dan burung. Kedengaranlah olehnya suatu suara yang berkata: “Bangunlah, hai Petrus, sembelihlah dan makanlah!” Petrus yang terkejut dan menolak karena semua binatang yang ditawarkan itu adalah haram menurut hukum taurat ditegur sampai tiga kali oleh Allah, “Apa yang dinyatakan halal oleh Allah, tidak boleh engkau nyatakan haram.

Kasih karunia Allah adalah bagi semua manusia, tanpa memandang suku bangsa, atau apapun juga. Petrus yang diutus kepada Kornelius menyambut kebenaran yang baru ini, dan semua orang Yahudi yang bersamanya tercengang-cengang, karena melihat, bahwa karunia Roh Kudus dicurahkan ke atas bangsa-bangsa lain juga.

Gereja adalah pembawa berita kabar baik kepada segala bangsa. Oleh karena itu, gereja harus menjadi tempat di mana semua orang, siapapun dia, entah dari latar belakang seperti apapun, dapat datang dan bertemu dengan Allah yang memberikan kasih karunia. Dunia yang berdosa membuat begitu banyak pembedaan di antara manusia. Yang berbeda menjadi yang ditolak. Akan tetapi, tidak demikian dengan Gereja. Gereja adalah tempat di mana yang kaya bisa bersekutu dengan yang miskin. Yang terpelajar dengan yang tidak terpelajar. Hitam atau putih, rambut lurus atau rambut keriting, mata sipit atau mata belo, semua bisa bersekutu di dalam kasih karunia Allah.

Gereja harus menjadi teladan bagi dunia tentang kasih Allah, dan kasih Allah adalah bagi semua orang tanpa memandang bulu. Gereja bukan tempat penghakiman dan pembuangan orang yang berdosa, sebaliknya harus menjadi tempat pelarian dan pemulihan. Petrus menyadari: Tetapi Allah telah menunjukkan kepadaku, bahwa aku tidak boleh menyebut orang najis atau tidak tahir. (10:28). Biarlah itu juga menjadi kesadaran Gereja, kesadaran kita, dan itu adalah panggilan kita.

#stillstanding

Tidak tahukah kamu, bahwa kamu adalah bait Allah dan bahwa Roh Allah diam di dalam kamu? Jika ada orang yang membinasakan bait Allah, maka Allah akan membinasakan dia. Sebab bait Allah adalah kudus dan bait Allah itu ialah kamu. (1 Korintus 3:16-17 ITB)

Pagi-pagi buta saya dikejutkan oleh teriakan seorang jemaat gereja yang menggedor-gedor pintu rumah kami. Rupanya dia terpaksa melompati pagar karena telah beberapa lama memanggil-manggil dari luar tanpa mendapat jawaban dari kami yang sedang tertidur lelap. Dia datang untuk mengabari bahwa gedung gereja kami sedang terbakar.

Kami pun bergegas menuju ke gereja yang berjarak kurang dari 1 km dari rumah. Sampai di sana kami hanya bisa menyaksikan api yang telah memakan habis ruang ibadah utama kami beserta semua yang ada di dalamnya. Alat musik, sound sistem, lampu, kursi-kursi yang sudah ditata rapi untuk ibadah pagi ini, semuanya dilalap api. Tidak ada yang bisa kami lakukan.

Pemuda-pemuda yang sudah ada di sana kemudian sedikit bercerita bagaimana mereka susah payah memanggil bantuan pemadam kebakaran. Lokasi kami berjarak hanya sepelemparan batu dari Akademi Angkatan Udara dan Bandara Adisucipto, namun pihak AAU tidak dapat membantu pemadaman karena terkendala prosedur “chain of command” mereka, yang katanya sungkan untuk membangunkan komandan di pagi-pagi buta seperti itu. Lokasi kami juga berjarak lebih dekat dengan wilayah kotamadya Yogyakarta daripada pusat pemerintahan kabupaten Sleman, walaupun secara administrasi kami berada di kabupaten Sleman. Ketika menghubungi pemadam kebakaran Kodya, jawabannya juga sama, kami merupakan tanggung jawab kabupaten Sleman. Akhirnya memang kami harus pasrah menunggu kedatangan pemadam kebakaran kabupaten Sleman yang markasnya berjarak dua kali lebih jauh daripada pemadam kebakaran Kodya. Beberapa jemaat yang tiba dengan segera ke lokasi pun menunggu cukup lama sambil menangis memandangi api yang merembet dan membesar membakari tempat ibadah kami. Puji Tuhan ada bapak-bapak polisi yang menemani mereka dalam ratapan mereka.

Ah sudahlah. Kami tidak ingin menyalahkan siapa-siapa. Kami menerima kejadian ini sebagai musibah yang diizinkan Tuhan terjadi. Penyebab kebakaran yang katanya masih mau diselidiki, apakah benar karena arus pendek (korslet) atau penyebab lain, tidak lagi terlalu kami hiraukan. Kami mau belajar menerima dan memaknai bahwa Tuhan sanggup mendatangkan kebaikan yang lebih besar bagi kami melalui peristiwa ini.

Tempat ibadah kami ini belum lama kami tempati . Kira-kira satu setengah tahun yang lalu kami pindah ke tempat ini. Sedikit demi sedikit kami mendandani tempat itu, yang aslinya adalah rumah tua yang sudah lama kosong, sampai menjadi salah satu gereja kecil dengan interior paling cantik di Jogja. Mungkin itu yang akan kami rindukan. Ada banyak spot untuk berfoto selfie di dalam gereja kami yang terbakar itu.

Ah sudahlah. Saat ini kami mau mulai berdoa dan beriman bahwa Tuhan akan mencukupkan kami untuk merenovasi kembali tempat ibadah dan menyewa tempat ibadah sementara selama renovasi berlangsung. Anggota jemaat kami, yang datang dari berbagai kalangan seperti wirausahawan, mahasiswa, mantan narapidana, ODHA (Orang Dengan HIV AIDS), mantan anak jalanan, keluarga-keluarga prasejahtera, semua percaya Tuhan kami adalah Bapa kami yang sempurna, yang mengasihi kami dan sanggup menolong kami. Tulisan ini saya buat bukan untuk meraih simpati atau menunjukkan bahwa kami patut dikasihani. Yang terbakar hanya tempat ibadah, sesungguhnya gereja tidak terbakar, karena gereja adalah kami, setiap orang yang percaya kepada kasih karunia dalam Kristus Yesus.

Don’t cry with me, because I don’t.
Smile with me, stand by me.
For I know whom I have believed
He who is good, and He is able

 

Foto : Shine Jogja

10 Gedung Gereja Unik di Dunia, Dari Bikin Merinding sampai Mirip Pesawat UFO

Gereja memang bukanlah soal gedung atau menaranya, tetapi gereja adalah jemaat itu sendiri yang dipanggil keluar Tuhan dari kegelapan (bahasa Portugis: igreja; bahasa Yunani: ekklêsia). Namun, tak dapat dipungkiri, gedung gereja yang menjadi tempat ibadah bagi umat kristiani pun merupakan sarana sakral untuk kita berhubungan dengan Tuhan.

Nah, bentuk gedung gereja ternyata juga bermacam-macam. Gedung gereja di bawah ini memiliki desain yang sangat unik, tidak ada duanya. Kesemuanya menggambarkan kemegahan kuasa Tuhan, meskipun dirancang oleh manusia.

1. Sedlec Ossuary, Ceko

sedlec-ossuary

Gereja Sedlec Ossuary yang berada di Kota Kutna Hora, Republik Ceko, memiliki keunikan tersendiri namun juga bikin merinding. Betapa tidak, di dalamnya terdapat sekitar 40.000-70.000 kerangka tulang manusia.

Wajar jika gedung gereja ini dikenal sebagai “The Bone Church”. Kerangka manusia dibuat dengan nilai dekorasi seni yang tinggi. Lampu-lampu yang terbuat dari tulang manusia menerangi hampir di seluruh ruangan. Sedlec Ossuary (Kostnice Osuarium Beinhaus) dibangun pada tahun 1400.

 

2. Las Lajas Sanctuary, Kolombia

las-lajas-sanctuary-basilica

Las Lajas Sanctuary adalah sebuah katedral yang terletak di Kota Ipiales, Kolombia. Uniknya, gedung gereja ini dibangun di dalam ngarai dari Sungai Guaitara, dan menjadi bagian dari jembatan yang menghubungkan kedua sisi ngarai.

Arsitektur katedral ini berciri gothic. yang dibangun dari tanggal 1 Januari 1916 hingga 20 Agustus 1949. Di sini pula dipercaya sebagai salah satu lokasi penampakan Bunda Maria.

Pada 1951, Gereja Katolik Roma secara resmi mengakui penampakan itu. Pada 1954, Gereja Katolik Roma menyatakan Las Lajas Sanctuary sebagai Basilika Minor.

 

3. San Francisco de Asis Mission Church, Amerika Serikat

san-francisco-de-asis

Gereja ini dibangun pada 1772 dan selesai pada tahun 1815 oleh Pastor Franciscan dan patron Santo Francis d’Assisi yang sebagian besar terbuat dari adobe, sejenis bata yang dijemur.

Agar tetap terjaga, dinding gereja selalu dilapisi ulang dengan semen yang terbuat dari campuran tanah. Di tahun 1970, gereja ini dinobatkan sebagai National Historic Landmark dan World Heritage Church.

 

4. La Sagrada Familia, Spanyol

la-sagrada-familia

Gedung Gereja La Sagrada Familia di Kota Barcelona, Spanyol, menjadi sebuah pekerjaan konstruksi bangunan dengan pengerjaan terlama sepanjang sejarah. Hampir 2 abad lamanya hanya untuk membuat sebuah gereja dengan luas wilayah 5 hektare.

Lamanya pembangunan gedung gereja tidak terlepas dari kematian mendadak sang perancang Antoni Gaudi (1852 – 1926). Saat itu kondisi konstruksinya baru 20%. Pengerjaan dilanjutkan lewat gambar kerja dan interpretasi arsitektur yang melanjutkannya. La Sagrada Familia bahkan masih dibangun sampai hari ini.

Pembangunan sangat memperhatikan detail tiap kolom dan lekukan bangunan dengan gaya gothic yang kental. Gereja ini rencanaya akan diselesaikan tahun 2026, tepat dua abad memperingati kematian Antoni Gaudi.

 

5. Cathedral of Brasilia, Brasil

cathedral-brasilia-brazil

Gedung Cathedral of Brasilia di Brasil terlihat seperti pesawat UFO yang sedang mendarat di tanah datar. Gedung ini terdiri dari 16 pilar beton yang seakan-akan seperti dua tangan yang mengarah ke langit.

Cathedral yang dirancang oleh arsitek terkenal Oscar Niemeyer ini diresmikan pada 31 Mei 1970. Di dalamnya terdapat adegan-adegan kehidupan dari Maria. Kemudian, fitur artistik empat lonceng, kolam seperti cermin, dan patung-patung malaikat yang menggantung di langit-langit kaca.

 

6. Gereja Harajuku, Jepang

harajuku

Gereja Harajuku merupakan Gereja Protestan futuristik yang terletak di Tokyo, Jepang. Gereja ini didirikan perusahaan desain Ciel Rouge pada tahun 2005. Desainnya memang terkesan seperti gaya berpakaian Harajuku dengan “gaya jalanan” yang bebas dari gaya bangunan umumnya.

Konsep desain bangunannya sendiri didasarkan pada angka keberuntungan tujuh, sehingga ada tujuh lengkungan lembut di tengah gereja. Gereja juga berfungsi sebagai ruang konser dengan akustik sempurna.

 

7. Hallgrimur, Islandia

gereja-hallgrimur

Gedung Gereja Hallgrimur adalah sebuah gereja di Kota Reykjavík, Islandia. Ini adalah gereja terbesar di Islandia. Gereja ini dirancang oleh arsitek Guðjón Samuelsson pada tahun 1937. Dengan tinggi gereja 74,5 meter, gereja ini juga digunakan sebagai menara observasi oleh pemerintah setempat.

Gereja dirancang menyerupai lava basalt yang mengalir di Islandia. Gereja terlihat seperti V terbalik yang kuat dan terbuat dari balok putih tipis.

 

8. Temppeliaukio Kirkko, Finlandia

temppeliaukio-church-helsinki-finland

Temppeliaukio Kirkko atau disebut juga Gereja Batu Karang adalah karya arsitektur modern yang sangat mengesankan di Helsinki, Finlandia. Gereja yang seluruhnya dibangun di bawah tanah dan plafonnya berkerangka kawat tembaga ini selesai dirancang pada tahun 1952 oleh dua arsitek bersaudara, yaitu Timo dan Tuomo Suomalainen dan pembangunannya selesai pada tahun 1969.

Mereka memilih batu karang yang tersingkap naik sekitar 40 kaki di atas jalan, membangun ruang gereja di dalamnya dan menjadikan batu karang itu sebagai dindingnya. Gereja ini adalah salah satu tempat wisata yang paling populer di Helsinki dan sering dipenuhi pengunjung.

 

9. Iglesia el Rosario, El Salvador

iglesia-el-rosario

Waktu terbaik untuk mengunjungi Iglesia el Rosario, atau Gereja Rosario, di pusat San Salvador, El Salvador, adalah pada hari yang cerah. Pada sudut yang tepat, cahaya akan jatuh di atap yang tersusun seperti kipas dan memantul di kaca warna-warni, sehingga menciptakan efek pelangi yang indah.

 

10. Cadet Chapel

cadet-chapel

Gedung gereja yang memiliki nama lengkap United States Air Force Academy Cadet Chapel ini selesai pada tahun 1962 dan didesain oleh Walter Nesch. Berada di kawasan pangkalan militer Angkatan Udara Amerika Serikat di Colorado, wajar saja kalau kapel ini terinspirasi oleh pesawat terbang.

Bangunan dengan 17 menara ini selesai pada tahun 1992 dan masuk dalam U.S. National Historic Landmark pada tahun 2004.

 

Job Palar

 

Sumber Berita dan Foto: http://www.cntraveler.com/

 

My First Funeral

Kematian adalah sesuatu yang tidak dirayakan. Kesedihan yang mendalam karena ditinggalkan oleh orang yang dikasihi, ketidakpastian yang menyeruak, akan hari esok yang harus dijalani tanpa orang yang dikasihi, dan berbagai macam emosi yang lain, bercampur aduk di dalam dada ketika kematian itu datang menjemput orang yang kita kasihi.

Sebagai pendeta yang menggembalakan jemaat, kematian juga bukan peristiwa yang saya rayakan. Melayani kebaktian tutup peti, kebaktian pemakaman, ataupun kebaktian penghiburan kepada keluarga yang ditinggalkan, adalah pelayanan yang paling sulit saya lakukan. Saya selalu merasa, siapakah saya, sehingga bisa mengucapkan kata-kata penghiburan kepada mereka yang sedang dirundung kesedihan yang begitu hebat? Yang saya bisa sampaikan hanyalah kata-kata Tuhan yang tercatat di dalam kitab suci, karena saya yakin, Tuhan-lah yang paling bisa memberikan penghiburan, karena Tuhan jualah yang paling tahu apa yang dibutuhkan mereka yang sedang dirundung kesedihan.

Saya memang belum banyak melayani kebaktian-kebaktian seperti di atas, karena jemaat yang saya gembalakan baru seumur jagung, dan usia kebanyakan anggota jemaat relatif muda sampai paruh baya. Akan tetapi, saya tidak dapat melupakan kebaktian pemakaman yang pertama saya pimpin, beberapa tahun silam.

Kebaktian itu adalah kebaktian pemakaman seorang pria yang wafat di akhir usia 50-an tahun. Kami biasa memanggil dia dengan sebutan Pak Toni. Beliau datang ke gereja kami pada bulan Januari dan beliau wafat di bulan Juni. Ketika beliau pertama kali datang ke gereja, tidak ada yang istimewa dengan dirinya. Beliau duduk di belakang dan mengikuti ibadah. Ketika menyampaikan kotbah, saya langsung bisa mengenali bila ada orang yang baru di dalam ibadah, karena jumlah anggota jemaat ketika itu tidak lebih dari 30 orang. Ketika saya melihat beliau, di dalam hati saya terdengar suara lembut berbisik, yang saya yakini adalah suara Roh Kudus, “Itu anak-Ku. Aku mengasihi dia. Berikan pelukan hangat kepadanya karena dia sudah datang ke gereja hari ini.” Ketika ibadah selesai, seperti biasa saya menyalami semua jemaat yang hadir, dan kepada Pak Toni saya menaati bisikan yang saya dengar, saya meminta izin untuk dapat memberikan pelukan hangat selamat datang. Dia mengizinkan, dan kami berpelukan.

Pak Toni kemudian selalu datang ke ibadah dengan setia setiap Minggu. Dia juga mengikuti persekutuan kelompok sel (komsel) yang diadakan di tengah minggu. Saya kemudian mendapatkan informasi bahwa Pak Toni ternyata sudah 30 tahun meninggalkan imannya kepada Yesus, dan hari Minggu di mana saya memeluknya, adalah hari pertama dia kembali ke gereja. Bukan hanya itu, saya juga menemukan bahwa beliau ternyata mempunyai masalah kesehatan. Ternyata beliau adalah seorang pengidap HIV positif, dan sebagai komplikasi dari itu, beliau mengidap pneumonia. Meskipun demikian beliau tetap setia datang setiap Minggu, dan mengikuti komsel. Padahal beliau tinggal cukup jauh, sekitar 20 km dari gereja kami. Terkadang ketika mengikuti komsel beliau harus meminta izin untuk berbaring di sofa, karena kondisi kesehatan beliau.

Suatu hari kondisi kesehatan Pak Toni memburuk. Hari Senin kami membawa beliau ke rumah sakit. Hari Selasa saya mengunjunginya untuk mendoakannya. Hari Rabu pagi beliau pergi. Beliau telah mengakhiri perjuangannya di dunia. Saya menangis ketika memimpin pemakaman beliau. Saya menangis karena saya kembali mendengar suara lembut berbisik di hati saya, “terima kasih karena telah memeluknya enam bulan yang lalu. Dia ada dalam pelukan-Ku sekarang.” Saya menangis karena diizinkan bertemu dengan seorang anak yang hilang yang kembali kepada Tuhan, menemaninya selama sisa hidupnya di dunia, dan mengantarkannya pulang ke pelukan Bapa yang kekal.

Kematian memang tidak dirayakan, tetapi kematian bagi kita yang percaya, juga tetap membawa damai.

Akulah kebangkitan dan hidup; barangsiapa percaya kepada-Ku, ia akan hidup walaupun ia sudah mati, dan setiap orang yang hidup dan yang percaya kepada-Ku, tidak akan mati selama-lamanya. Percayakah engkau akan hal ini?” (Yohanes 11:25-26)

 

Foto: Koleksi Pribadi