Tag Archives: Keluarga

Kado Natalmu, Mewakili Isi Hatimu

Film lama, Little House on the Prairie adalah sebuah tayangan serial drama televisi Amerika, tentang keluarga Ingalls yang tinggal di sebuah pertanian di Minnesota, pada tahun 1870an.

Dalam sebuah seri dalam film Little House on the Prairie, ada sebuah kisah yang mengharukan buat saya.

Menjelang natal, keluarga Ingalls sibuk.
Mary, mendadak sibuk dengan waktu di luar rumah, untuk membantu seorang ibu tukang jahit yang sudah tua, tanpa bayaran, katanya untuk menambah pengetahuan. Belakangan ketahuan, rupanya diam-diam Mary belajar menjahit kemeja untuk hadiah natal ayahnya.

Diam-diam, Laura menjual kuda poni-nya untuk membeli kompor masak untuk ibunya. Laura menukar kudanya dengan kompor di toko ayah Nellie, Mister Nels. Nellie menginginkan kuda itu untuk hadiah natalnya.

Kompor masak besar itu dibungkus dan dikirim dengan paket besar ke rumah keluarga Ingalls malam hari sebelum Natal, dan dengan ketentuan, karena sebagai kejutan, tak boleh dibuka hingga besok paginya, di pagi hari Natal. Anak-anak sangat penasaran. Itu kado siapa, untuk siapa, dan isinya apa. Tapi tak seorangpun boleh membukanya.

Tak hanya anak-anak, rupanya ibunya, Caroline juga penasaran, tidak sabar, malamnya sampai tidak bisa tidur, ingin tahu kado besar apa isinya dan dari siapa untuk siapa. Suaminya, Charles sampai tertawa, berkata: Kamu lebih-lebih daripada anak-anak rasa penasarannya.

Yang tak diduga, ketika tiba saatnya bertukar kado natal, rupanya Charles membelikan sadel untuk kuda poni Laura. Hal ini sungguh membuat sedih. Sebab Laura sudah tak lagi memiliki kudanya.

Ibunya juga rupanya sudah menyiapkan kado natal untuk bapaknya, tetapi terpaksa diam-diam menyimpannya kembali, karena sama dengan kado yang diberikan oleh Mary pada ayahnya. Kemeja yang serupa.

Yang paling megharukan adalah ketika ibu mereka, Caroline, mengetahui kado kompor untuknya. Kuda poni Laura ditukar untuk kompor besar itu.

Hati ibu mana yang takkan meleleh melihat kejutan dan pengorbanan yang luar biasa dari seorang anak, seperti itu?

Laura yang masih sekecil itu, sadar ibu mereka butuh kompor untuk memasak bagi semua anggota keluarga. Dia mengorbankan hal yang paling disukainya untuk kepentingan semua anggota keluarga.

Sangat mengharukan melihat keluarga ini berusaha memberikan hadiah terbaik untuk keluarga, orang yang mereka kasihi. Mengorbankan tenaga, usaha, dana, bahkan hal yang paling mereka cintai,

seperti kuda poni Laura. Luar biasa semangat natal dan semangat mengasihi mereka!

Semoga kita semua memiliki semangat natal yang sama, memberikan hadiah terbaik dari diri kita untuk orang yang kita kasihi, seperti Yesus, yang lahir dan mati, dan bangkit, yang telah lebih dulu memberikan teladan dengan memberikan hadiah terbaik untuk kita, yaitu: nyawaNya.

Apa kado natal anda untuk Yesus tahun ini?

*-*

Film “Coco”; Tentang Impian yang Dikekang

Mendengar judulnya, saya pikir film ini ada hubungannya dengan coklat. Coco. Cocolate, saya pikir. Ternyata bukan. Film kartun ini bercerita tentang impian, petualangan dan penyibakan rahasia masa lalu keluarga.

Tokoh utama film ini, Miguel, anak berusia 12 tahun diam-diam bercita-cita jadi musisi terkenal. Tak satupun keluarganya yang tahu bahwa dia menyimpan bakat musik.

Masalahnya, sang nenek buyut Miguel, yang konon trauma ditinggal pergi oleh kakek buyutnya yang musisi terkenal, melarang musik di rumahnya.

Padahal,

impian yang dikekang potensial akan mencetuskan pemberontakan.

Miguel, yang masih belia, tentu tak mudah dilarang. Dia mencari cara untuk mewujudkan impiannya, yang tentu saja jadi sikap yang menentang keluarga besarnya.

Hal ini tentu mengingatkan pada sejarah, kejadian kakek buyutnya, yang dulu kala, ingin go international, hingga meninggalkan keluarga, dan meninggalkan luka yang dalam di hati nenek buyutnya.

Film ini terinspirasi dari sebuah tradisi budaya Meksiko, yaitu sebuah hari khusus untuk mengenang para arwah. Foto arwah dipajang oleh keluarganya dan didoakan, sebab itulah yang konon menjadi ‘tiket’ agar mereka bisa berkunjung ke dunia orang hidup. Bagi arwah yang tak ada dipajang fotonya, tak bisa mengunjungi dunia orang hidup, dan arwahnya akan menghilang secara permanen dari dunia orang mati, dan sedihnya, itu adalah pertanda bahwa tak ada lagi yang mengingat atau mendoakan mereka.

Di rumah keluarga Miguel, foto wajah sang kakek buyut sengaja disobek di foto keluarga. Demikianlah cara sang nenek buyut untuk menyatakan bahwa sang kakek buyut bukanlah lagi bagian dari keluarga.

Betapa menyedihkan bila tak ada yang peduli pada kita, tak ada yang mengenang atau mendoakan kita.

Keluarga harusnya menjadi wadah pertama dan utama untuk berbagi kasih sayang, menerapkan kepedulian, menemukan dan mendukung potensi/bakat, dan tempat saling mendoakan.

Miguel yang tak lagi memiliki gitar (karena gitarnya dirusak oleh neneknya), tetap ingin mengikuti kontes, sehingga berniat mencuri gitar musisi terkenal idolanya, Ernesto De La Cruz, yang dia kira adalah kakek buyutnya. Saat itulah dia tanpa sengaja terpindah ke dunia arwah. Di sanalah dia bertemu dengan keluarga buyutnya, tanpa sengaja.

Supaya Miguel bisa kembali ke dunia orang hidup, dia harus mendapatkan restu dari keluarganya dari dunia orang mati. Nenek buyutnya memberi restu, tapi dengan syarat bahwa Miguel tak boleh lagi menyentuh musik.

Tentu saja Miguel tidak mau.

Apalah artinya hidup tanpa sesuatu yang kau cintai.

Musik adalah hal yang sangat dicintai Miguel. Hal ini menunjukkan bahwa

‘passion’ kitalah, yang membuat kita bisa lebih menikmati hidup. Hidup terasa hambar tanpa cita-cita.

Miguel mencari De La Cruz untuk meminta restu, dan menemukannya. Tapi rupanya, dia tidak seperti yang dikira Miguel. Pada pertemuan itulah akhirnya ketahuan kejadian yang sebenarnya mengapa kakek buyutnya tak pernah kembali ke keluarga. Bukan karena tak ingin kembali, tapi karena dibunuh, oleh musisi idola Miguel, De La Cruz, yang mencuri karya-karya kakek buyut Miguel.

Betapa seringnya kita salah mengidolakan seseorang. Kita tak tahu aslinya bagaimana, sebab yang terlihat hanya sisi baiknya yang kebetulan kita sukai. Kita hanya tahu segelintir saja.

Di pihak lain, kakek buyut Miguel sudah kritis, nyaris musnah dari dunia orang mati, karena sudah lama tak lagi ada orang hidup yang memajang fotonya. Miguel harus menyelamatkannya. Tapi De La Cruz tentu tak akan membiarkan hal itu terjadi sebab akan mengakibatkan aibnya terbongkar.

Secara umum, film ini sungguh menghibur. Selain membuat tertawa, film ini juga potensial menguras airmata penonton, seperti pada adegan ketika sang nenek Coco, yang sudah tua dan pikun, nyaris melupakan kakek buyut Miguel, yang bisa membuat sang buyut musnah selamanya dari alam baka, karena tak ada lagi yang mengingatnya. Saat itu, hanya lagu dari Miguel yang bisa mengembalikan memori sang nenek. Rupanya, memang musik bisa membantu menyegarkan memori.

Banyak juga adegan yang jenaka. Salah satu adegan yang membuat terpingkal-pingkal, salah satunya adalah ketika Miguel bernyanyi pada sebuah kontes. Teks lagunya pun sudah lucu.

What color is the sky
You tell me that it’s red
Where should I put my shoes
Ay, mi amor! Ay, mi amor!
You say put them on your head
Ay, mi amor! Ay, mi amor!
You make me Un poco loco (You make me a little bit crazy)

Lagu bernuansa Mexico, ditambah dengan suara Miguel yang empuk dan masih terdengar belia, sungguh merdu dengan aksen khas Mexico di telinga.

Apa yang paling berkesan setelah menonton film ini?

Keluarga adalah tetap yang terutama. Kita tak boleh melupakan keluarga, terutama orangtua kita.

Luka masa lalu bisa membutakan kita akan potensi kita di masa depan. Kita tak bisa berkubang pada masa lalu, sebab memaafkan adalah cara untuk membebaskan diri kita dari luka dendam. Dendam itu tidak baik untuk kesehatan mental dan fisik kita.

Miguel tentu bukannya tak menomorsatukan keluarga dibandingkan cita-citanya, sama seperti kakek buyutnya. Cita-cita yang terbendung, kadang bisa terlihat membuat kita mengorbankan hal yang terutama dalam hidup ini, yaitu keluarga. Padahal mungkin saja itu karena kadang kita berharap, kalau bukan keluarga sendiri, siapa lagi yang paling bisa mengerti dan menerima impian dan cita-cita kita. Tapi memang sering kesalahpahaman terjadi dalam keluarga kita sendiri.

Pada akhirnya, hanya cinta yang bisa membuat kita memaafkan diri kita dan orang lain.

*-*

Kebanggaan yang Diporakporandakan

Lima belas tahun saya memiliki Asisten Rumah Tangga (ART) yang setia. Nyaman. Aman. Itulah yang saya rasakan.

Mulai dari bangun pagi hingga pagi berikutnya menjelang, dia selalu melayani kami sekeluarga dengan begitu baik. Makanan kami selalu enak dan bergizi. Rumah selalu bersih dan tertata rapi. Persediaan air mineral, Sembilan bahan pokok dan bahan makanan juga selalu ada.

Segala masalah bisa diselesaikannya. Mulai dari rok sekolah anak saya yang sobek, bisa dijahitnya, sampai urusan yang lebih berat, bisa tertangani dengan baik.

Saya pun diperlakukannya bagaikan putri. Sepulang kantor, jus buah segar selalu tersedia di atas meja. Karena sudah belasan tahun dia meladeni kami sedemikian rupa, kami menjadi biasa.

Sering lupa berterima kasih. Sering tidak peka terhadap kebutuhannya. Semua menjadi take it for granted. Memang seperti itulah, dia seharusnya, begitu kata kami.

Saya dan suami bekerja dari pagi hingga terkadang malam hari. Anak satu-satunya bersekolah dan mengikuti beberapa les dari pagi hingga terkadang sore hari. Si asisten yang lebih sering di rumah, bertemu dengan tukang pos, tukang listrik, tukang sayur dan bahkan beberapa orang yang mencoba menipu hanya untuk bisa masuk ke rumah.

Dia menjaga rumah kami bagaikan malaikat Tuhan. Saya tidak pernah mengunci kamar. Lima belas tahun terbukti, dia sangat jujur.

Saya, suami dan anak saya sangat sayang padanya. Tentu dengan cara kami masing-masing.

Tapi sekali lagi, karena sudah belasan tahun dia melakukan seperti ini kepada kami, kami jadi sering lupa berterimakasih, sering tidak peka terhadap kebutuhannya.

Hingga suatu ketika, kenyamanan kami terusik. ART yang baik hati dan sangat rajin ini pulang kampung karena ayahnya meninggal.

Atas usulan keluarganya, dia diminta tidak kembali lagi kepada saya. Sudah terlalu lama.

Dia meminta maaf. Dia ingin mencoba hal baru, demikian kata keluarganya.

Saya meradang. Menangis berhari-hari. Saya tidak menyiapkan rencana cadangan.

Sudah terlalu percaya diri, bahkan terkesan bangga memiliki ART yang setia. Ketika musim Lebaran tiba, saya selalu pamerkan ART saya yang tidak pulang kampung. Ketika ART teman-teman saya banyak yang gonta-ganti, saya selalu katakan bahwa hal itu tidak pernah terjadi pada saya. Saya terlalu bangga.

Akhirnya kami mendapatkan seorang ART baru sebagai penggantinya. Semua dimulai lagi dari awal. Pelan-pelan dan berproses.

Secara karakter dan kualitas pekerjaan, ART baru jauh berbeda dari ART lama. ART yang baru ini padahal usianya jauh lebih tua dari ART lama.

Hati saya menjadi semakin tak karuan. Kalau mengikuti ego dan kata hati, rasanya ingin mengambil ART lama kembali ke rumah saya.

Segala kebaikan ART lama selalu terbayang di pelupuk mata, sambil air mata saya mengalir. Saya menyesal kenapa saya tidak memikirkan masa depannya waktu itu. Seharusnya dia saya sekolahkan berbagai hal sebagai persiapan masa depannya.

Sampai hari ini, rasa sesak di dada saya tidak kunjung hilang karena penyesalan saya. Kebanggaan saya diporak-porandakan. Kebanggaan yang sudah menjadi berhala. Kebanggaan yang tidak lagi mengandalkan Tuhan.

Semoga ART saya yang lama sukses meraih masa depannya. Dengan tulus, saya mendoakannya. Maafkan kami yang tidak peka dengan kebutuhanmu.

 

Luciana Siahaan

Penulis adalah Ketua Dewan Teruna Gereja Protestan di Indonesia bagian Barat (GPIB)

Foto: Pixabay.com

Kopi Luwak dan Kekudusan Keluarga

Kami berkunjung ke pengrajin kopi luwak. Di sana kami ditunjukkan kotoran hewan luwak. Terlihat butiran-butiran kopi utuh yang menggumpal bersama kotoran lain.

“Biji kopi ini akan diolah menjadi kopi luwak yang harganya mahal,” kata pemandu. Anak saya bergidik melihatnya.

“Tidak usah jijik. Biji-biji kopi ini akan kami pisahkan dari kotoran, lalu dicuci hingga bersih. Setelah itu dijemur. Setelah kering, kulit ari dipecah dan dibuang. Setelah itu, disangrai dengan panas tinggi dan ditumbuk,” terang sang pemandu.

Proses pembuatan biji kopi luwak ini mirip dengan prinsip pengudusan. Arti kata “kudus” atau qadosy (Ibrani) adalah “terpisah” atau dipisahkan. Orang Kristen yang dikuduskan adalah orang yang dipisahkan dari “kotoran” dosa, supaya dapat menjalin relasi dengan Allah.

Mengapa? Karena Allah itu kudus. Maka manusia harus dalam kudus, atau terpisah dari dosa, supaya dapat berhubungan kembali dengan Allah.

Dalam perjanjian lama, seorang imam akan ditahbiskan dalam upacara istimewa. Dia dikuduskan untuk melaksanakan ritual-ritual keagamaan, sebagai perantara antara Allah dengan umat Israel.

Seluruh umat Israel sebagai satu bangsa juga dikuduskan bagi Allah. Mereka dipisahkan dari bangsa-bangsa lain. Mereka tidak sama dengan bangsa-bangsa lain. Jadi yang menjadikan Israel sebagai bangsa yang kudus adalah hubungan mereka dengan Allah. Dalam pengertian ini ‘kudus’ mengacu kepada pengungkapan tertinggi hubungan perjanjian Israel dan Allah.

Dalam perjanjian baru, umat Allah yang dikuduskan ini meluas ke bangsa-bangsa lain, yaitu mereka yang percaya kepada Yesus Kristus. Umat percaya ini bergabung dalam sebuah entitas bernama gereja.

Gereja berisi orang-orang yang telah diselamatkan dan dipisahkan agar Allah dapat menjalin hubungan dengan manusia. Sedangkan unit terkecil dari gereja adalah keluarga. Keluarga inti atau batih terdiri dari ayah, ibu, dan anak. Namun ini dapat diperluas dengan kehadiran sanak-keluarga lain yang masih ikut mengindung.

Allah menghendaki agar umat-Nya [baca: keluarga] hidup dalam.

Imamat 19:2b, berkata, “Kuduslah kamu, sebab Aku TUHAN, Allahmu, kudus.” Allah itu kudus, karena itu umat-Nya pun harus kudus.

Karakter umat harus mencerminkan karakter Allah. Allah adalah kudus, artinya Ia bebas terhadap dunia. Allah menguduskan manusia, artinya memilih mereka sehingga menjadi milik-Nya. Allah besar dan baik oleh karena Allah adalah kudus. Tidak ada kejahatan di dalam kebaikan-Nya.

Pada waktu kita diminta untuk hidup kudus, tidak berarti bahwa kita menyamai kemuliaan Allah ini. Kita tidak bakal mampu. Kita dipanggil untuk mencerminkan dan merefleksikan karakter moral dan tindakan Allah. Sebagai keluarga yang telah dipanggil, dipilih dan dikuduskan Allah kita harus senantiasa hidup di dalam standar kekudusan Allah.

Beberapa orang memaknai kekudusan dalam makna sempit, yaitu berkaitan dosa seksual. Misalnya, topik utama dalam menjaga kekudusan pernikahan adalah soal kesetiaan dengan pasangan.

Padahal kehidupan kudus lebih luas daripada itu. Keluarga hidup kudus apabila masing-masing keluarga menjalankan peran masing-masing sesuai perintah Allah.

Seorang suami wajib mengasihi isterinya. Seorang istri hormat dan tunduk kepada suaminya. Dia menjadi penolong yang sepadan. Seorang bapa mendidik anaknya untuk takut kepada Tuhan. Seorang ibu mengasuh anak-anak. Memenuhi segala kebutuhan mereka. Anak-anak patuh kepada orangtua.

Kekudusan keluarga dapat dibentuk apabila masing-masing pribadi dalam keluarga dengan hati yang terbuka mau senantiasa belajar untuk meneladani Allah sebagai PRIBADI yang MAHAKUDUS. Apabila ini tercipta dengan mantap di dalam keluarga maka keluarga ini dapat mempolakan kehidupan yang sama kepada sesama.

Kristus dalam hidup dan sifat-sifat-Nya adalah teladan tertinggi kekudusan Allah. Dalam Dia keadaan kudus bahkan lebih daripada hanya tidak berdosa: itu adalah penyerahan-Nya yang seutuhnya kepada kehendak dan maksud Bapa. Dan untuk itu Yesus telah menguduskan diriNya sendiri (Yoh 17:19).

Kekudusan merupakan keniscayaan bagi keluarga Kristen sebab kita diibaratkan sebagai cabang pohon anggur. Kristus adalah pokok anggur tempat kita menempel. Ini adalah cara agar cabang pohon senantiasa menikmati segala sesuatu yang berasal dari pokok pohon. Bagian yang dapat kita nikmati dari Allah salah satunya adalah kekudusan.

 

Purnawan Kristanto

Tulisan ini dikutip sudah seizin penulis.

Laman asli tulisan ini lihat di: http://renungan.purnawan.web.id/?p=795

Penulis adalah writer | trainer | humanitarian volunteer | video & photo hobyist | jazz & classic lover | husband of priest | father of two daughters |

“Cek Toko Sebelah”, yang mana Diri Anda?

Membaca novel karya penulis Indonesia masih saya lakukan hingga kini. Tapi, menonton film Indonesia sudah lama tidak. Sebagian karena sibuk, sebagian lagi alasan penghematan, seperti kata teman: Sebentar lagi juga tayang di televisi, sayang uangnya.

Jadi ketika suami dan anak-anak mengajak menonton film ini, saya masuk ruangan bioskop dengan setengah berharap.

Tak diduga, baru beberapa adegan, saya ikut tertawa. Lalu adegan berikutnya makin terbawa, dan tak sadar terus tertawa-tawa hingga film selesai. Tak disangka saya juga sempat terharu dalam beberapa adegan.

Bagi saya, film ini sangat membumi. Apa yang diceritakan, adalah representasi kejadian sehari-hari, yang dikemas dalam bentuk yang lebih dramatis. Hampir sebagian besar tokoh, seolah berada dalam kehidupan saya sehari-hari.

Koh Afuk, mengingatkan saya sedikit pada mertua saya, yang sudah ditinggal oleh istrinya. Saya melihat kesedihan dan kesepiannya, sendirian, karena anak-anak sudah memiliki tempat tinggal sendiri.

Natalie, mengingatkan saya akan seorang rekan kerja, yang merasa sudah jauh-jauh kuliah di luar negeri dan bekerja di perusahaan asing, eh akhirnya menikah dengan seorang anak pengusaha toko, pewaris keluarga.

Yohan mengingatkan saya akan seorang sepupu, yang masih terkatung-katung antara hobi dan mencari pekerjaan yang kantor yang tak disukainya, dan akhirnya turut membuat galau anggota keluarganya.

Aming, yang terus-terusan makan cemilan dan jajan, tapi masih terus menyebut dirinya sedang berdiet, adalah perwakilan dari kita semua, hahahaha…

Robert, adalah, -anda tahu-, representasi para pria genit yang suka main perempuan, walau sudah punya anak dan istri di rumah.

Lalu Tini, penjaga toko sebelah, yang kecentilan sama gebetan pembantu tetangga, mengingatkan saya akan ART saya yang dulu.

Ayu? Wah, ini juga kisah seorang sahabat, pernikahan yang berbeda kultur, membuatnya kurang diterima dalam keluarga suami.

Saya dan suami merekomendasikan film ini. Film yang sungguh menghibur dan mengingatkan kita akan prioritas hubungan dengan orang-orang yang kita kasihi. Baik itu orangtua, atau saudara/kakak-adik. Dan bagi saya, pesan moral yang ingin saya bawa pulang adalah, seperti lagu kesukaannya bu Sonya:

Harta yang paling berharga adalah… Keluarga!

Family comes first!

Mengampuni yang Tak Terampuni

Entah sejak kapan selalu suka dan tertarik untuk membaca tentang Afrika terlebih dengan alam dan kehidupannya. Tiga tahun lalu saat menemukan buku ini di salah satu toko buku langganan, semakin membuka mata hati untuk terus belajar menghargai sekitar.

Belajar tentang kasih akan sesama dan kasih dari atas yang tak pernah habis serta mencoba memahami jalanNya. Membaca buku ini dari awal hingga akhir akan membawa jiwa kita menyelami makna hidup, keindahan kasih dan pengampunan.

Felicien terisak, aku merasakan rasa malunya. Dia melihatku sesaat, mata kami bertemu. Aku mendekatinya, menyentuh tangannya dengan lembut, dan dengan tenang kukatakan apa yang ingin kukatakan.

“Aku mengampunimu“

Kurang lebih 1 juta manusia tak berdosa dari suku Tutsi dan Hutu moderat tewas dalam pembantaian etnis di Rwanda selama 100 hari yg dikenal dengan Rwanda genocide 17 tahun silam. Berawal dari terbunuhnya Presiden Juvenal Habyarimana seorang Hutu yang tengah giat menggalang rekonsiliasi antara Hutu yang mayoritas dengan Tutsi yang minoritas.

Secara fisik dua etnis itu sebenarnya memiliki segunung kesamaan, hanya dibedakan oleh bentuk hidung dan postur tubuh; kaum Hutu memiliki hidung lebih pesek dan lebih pendek sedang Tutsi sebaliknya. Habyarimana bersama Presiden Burundi Cyprien Ntarymira menjadi korban ditembak dalam pesawat yang ditumpangi pada 6 April 1994.

Disinyalir, peristiwa penembakan keji itu dilakukan sebagai aksi protes kelompok militan terhadap misi presiden Habyarimana untuk mewujudkan persatuan etnis di Rwanda. Kelompok militan atau interahamwe (mereka yang bersama bergerak menyerang) memandang manusia sebagai kecoak dan ular yang ditakdirkan untuk dibasmi, karena tak layak hidup berdampingan dengan mereka yang sebelumnya adalah tetangga, sahabat bahkan keluarganya sendiri.

Kisah pembantaian Rwanda dapat disaksikan lewat film Sometimes In April atau Hotel Rwanda, beberapa buku juga telah dituliskan oleh saksi hidup dari peristiwa tersebut. Ketika berada di pihak korban, apa yang akan anda lakukan saat mendapat kesempatan bertemu muka dengan seorang pimpinan pemberontak, pembunuh kejam yg telah menganiaya dan menghabisi nyawa keluarga anda, ibu dan saudaramu? Mencaci maki, menyiksa atau membunuhnya?

Left To Tell, Mengampuni Yang Tak Terampuni adalah sebuah catatan perjuangan hidup Immaculée Ilibagiza yg selamat dari kejaran Interahamwe dengan bersembunyi selama 91 hari di dalam kamar mandi kecil terhimpit bersama 7 wanita sebangsanya di rumah seorang Hutu, Pendeta Murinzi.

Suatu perjuangan bathin untuk melawan amarah terhadap para pembunuh yang tak lain adalah sahabat, keluarga dan tetangga. Orang-orang yang selama ini berhubungan baik dengan keluarganya tiba-tiba berbalik 180 derajat menjadi bejat dan brutal menghabisi nyawa orang-orang yang dikasihinya.

Perjuangan meredam dendam digantikan dengan uluran kasih kepada si pembunuh yang seharusnya digampar atas kejahatannya, perjuangan untuk bangkit dari keterpurukan, perjuangan pemulihan hati, mempertahankan iman disaat semua yg dikasihi direnggut secara tidak berperikemanusiaan dan tetap berharap pada satu nama yang punya Kasih dan Kuasa dalam hidup.

“Apa artinya semua itu, Immaculee? Orang itulah yang membunuh keluargamu. Aku membawanya kepadamu untuk ditanyai, jika kamu mau. Tetapi kamu mengampuninya! Bagaimana kamu bisa melakukannya? Mengapa kamu mengampuninya?”

Aku menjawabnya dengan kebenaran “Pengampunan adalah semua yang harus kuserahkan.”

Demikianlah tinggal ketiga hal ini yaitu iman,pengharapan dan kasih, dan yg paling besar diantaranya ialah kasih (1 Kor 13:13)

Ketika kemanusiaan dilukai oleh perseteruan karena berselisih paham, pemikiran, prinsip, etnis dan apa pun itu; hanya satu yang bisa merekatkannya KASIH. Cinta dan Kasih yang tulus dari hati akan membuat cara pandang dan dunia berbeda.

Suatu hari nanti, ketika pundi-pundi terpenuhi dan restu dari atas mengalir,  maka aku kan bertualang ke sini, sendiri atau berdua atau beramai-ramai hayuk waelaaaaah.

Salam kasih, cinta dan damai buat semuanya? [oli3ve].

 

Olive Bendon

Tulisan ini dikutip sudah seizin penulis. Laman asli tulisan ini lihat di:

Mengampuni Yang Tak Terampuni

Penulis adalah Travel Blogger | Old Grave Lover |  Citizen Journalism | Volunteer for The War Graves Photographic Project

Foto: obendon.com

Tradisi Lilin Natal dari Berbagai Belahan Dunia

Menyalakan lilin untuk sebuah peringatan saat ini memang telah menjadi umum. Saat ulang tahun, kita akan meniup lilin di atas kue tart. Saat ada peristiwa penting, seperti tragedi tertentu, kita menyalakan lilin di tanah lapang atau di lokasi kejadian peristiwa.

Saat Natal pun lilin dinyalakan. Penggunaan lilin saat Natal adalah tradisi lama. Tradisi menyalakan lilin Natal berasal dari Festival Cahaya sebagai bagian dari perayaan Yahudi atau sering disebut Hanukkah. Hanukkah pada intinya merupakan ritual menghidupkan 8 lilin Chanukah selama 8 hari festival.

Karena jemaat mula-mula dari kekristenan juga merupakan orang-orang Yahudi, adaptasi pun terjadi. Menyalakan lilin saat Natal sebenarnya lebih ditekankan sebagai menandai kelahiran Yesus Kristus yang adalah Terang Dunia.

Lilin Natal juga disimbolkan sebagai Cahaya dari Surga yang menyediakan kehangatan selama malam musim dingin. Patut diingat, hari Natal selalu jatuh pada musim dingin.

Di abad pertengahan, menyalakan lilin menjadi sebuah kewajiban untuk mewakili Kristus. Kebiasaan ini masih diikuti di sebagian besar gereja-gereja dan rumah-rumah orang Kristen sampai sekarang.

Beberapa negara di belahan dunia pun memiliki tradisi dengan makna tersendiri dalam ritual menyalakan lilin saat Natal. Inilah beberapa tradisi tersebut seperti dikutip dari boldsky.com.

Irlandia

Ayah atau ibu sebagai perwakilan rumah tangga akan menyalakan lilin besar yang dihiasi dengan daun holly. Kemudian seluruh anggota keluarga duduk bersama mengelilinginya dan berdoa untuk semua handai taulan dan orang-orang yang dikasihi, baik yang hidup dan yang telah meninggal.

 

Bangsa-bangsa Slavia

Kebanyakan keluarga-keluarga negeri bangsa-bangsa Slavia ini meletakkan lilin Natal besar di atas meja setelah lilin terswebut diberkati oleh imam di gereja. Menariknya, di Ukraina, mereka meletakkan lilin di tengah-tengah roti berbentuk melingkar dan bolong di bagian tengah.

 

Amerika Selatan

Di banyak negara di Amerika Selatan, lilin ditempatkan dalam lentera kertas dengan simbol Natal dan gambar dari budaya asli untuk dekorasi.

 

Inggris dan Prancis

Tiga lilin diletakkan bersama-sama dalam satu dasar yang menandakan Tritunggal Kudus.

 

Jerman

Lilin Natal ditaruh ke dalam sebuah tempat kemudian digantung di tiang kayu, dan ini tradisi yang telah muncul sejak Abad 17-18 Masehi.

 

Berbagai tradisi ini memiliki kesamaan makna, bagaimana pun cara menyalakannya. Cahaya lilin melambangkan kehadiran Yesus sebagai Terang Dunia. Lilin juga melambangkan iman seseorang kepada Allah sebagai sumber terang dan fakta bahwa kehidupan manusia tidak selamanya. Sama seperti lilin, pada waktunya manusia akan “selesai juga” seperti lilin yang mencair.

 

Foto: pixabay

Siapkan 7 Hal Ini Sebelum Merayakan Natal

Minggu pertama Desember 2016 sudah lewat nih. Itu berarti Hari Natal sudah semakin dekat.
Bagi umat Kristen, Natal menjadi salah satu momen yang sangat dinanti untuk dirayakan. Lewat Natal, kita merajut silaturahmi kembali dengan keluarga besar kita yang bisa saja cuma kita temui setahun sekali.

Bagi anak-anak, Natal selalu berarti keceriaan, banyak kue, dan kado. Masa kecil kita dipenuhi dengan suka cita Natal.

Selain menghias pohon Natal, ada banyak hal yang harus dipersiapkan sedini mungkin karena ini kan momen spesial. Yuk, kita tengok, apa saja sih yang harus disiapkan dari sekarang menjelang Natal.

1. Kado Natal
Inilah yang pertama harus kita siapkan. Karena Natal itu selalu membawa sukacita, jadi wajar saja kita bersiap memberi kado spesial sebagai tanda kita mengasihi orang lain. Kado spesial mungkin perlu dipersiapkan untuk sanak saudara, terutama anak-anak kecil.

Supaya tidak lupa, alangkah baiknya Anda mendaftar siapa saja yang perlu diberikan kado pada hari Natal nanti. Satu lagi yang terpenting, jangan berburu kado Natal saat sudah dekat 25 Desember, tetapi berburulah di bulan November atau di awal Desember supaya lebih tenang dan tidak ada yang terlewat.

2. Ayo Bersihkan Rumah
Natal akan semakin nyaman jika Anda sudah siap dengan rumah yang bersih. Bersih-bersihnya lebih baik dilakukan dari jauh hari. Anda dapat memulainya dari sudut rumah yang paling jarang diakses, misalnya gudang atau sudut-sudut rumah.

Selain itu, membersihkan rumah dari jauh hari akan membuat sejumlah pernak-pernik Natal seperti pohon Natal dan semua aksesorisnya bisa enak dilihat saat diletakkan di berbagai sudut ruang.

Apalagi kalau rumah Anda akan menjadi tempat berkumpul keluarga besar, membersihkan rumah sudah jadi kewajiban supaya tamu-tamu spesial yang datang menjadi nyaman.

3. Menghias Rumah
Sudah pasti suasana dan dekorasi rumah harus berubah. Mendirikan pohon Natal saja sudah jelas-jelas akan membuat keadaan di rumah jadi beda. Sekeluarga menghias pohon Natal pasti menjadi momen yang indah.

Lalu, Anda bisa memasang lampu di pekarangan atau teras rumah. Warna-warni lampu yang menyala tentunya akan menambah semarak perayaan Natal di rumah. Warga sekitar rumah pun akan ikut merasakan sukacita Natal melihat kemeriahan pekarangan rumah Anda.

4. Belanja
Belanja kebutuhan Natal bersama orang yang kita sayang, seperti keluarga dan anak-anak tentu tidak boleh dilewatkan. Sisihkan anggaran untuk membeli pakaian dan beberapa aksesori untuk menghias rumah serta pohon Natal. Buat daftar belanja, biar kantong enggak jebol duluan dan semua hal penting terbeli.

Karena ini momen setahun sekali, pilihlah baju yang nyaman dan sesuai selera, dan sepertinya enggak perlu mahal-mahal. Yang terpenting, enak dipakai seharian nanti saat Hari Natal.

5. Menu Khusus
Nah, karena belanja merupakan salah satu hal penting dalam mempersiapkan Natal, tentu belanja menu makanan khusus untuk dihidangkan juga harus ada dalam daftar belanja Anda.

Nastar dan kastengel okelah, wajib itu. Nah, jika Anda biasa menjadi tempat berkumpul keluarga besar, menu-menu makan khusus pastilah harus disiapkan.

6. Rute Kunjungan
Karena Natal bukan sekadar perayaan, tapi juga saat tepat menjalin silaturahmi, penting buat Anda sekeluarga menentukan rute kunjungan sepulang dar gereja. “Kita ke rumah oma dulu, ke tante itu, om ini..”

Daripada berdebat sepulang dari ibadah di gereja karena belum sepakat hendak ke mana, lebih baik dibicarakan  jauh-jauh hari. Sekalian Anda mengecek apakah orang-orang yang mau dituju benar ada di rumah saat akan dikunjungi.

Buat Anda yang masih jomblo, ini dia. Cari waktu yang tepat ya buat ketemu calon mertua alias camer.

7. Rencanakan Liburan
Dan, setelah semua kemeriahan Natal kita jalani, satu hal yang wajib dipersiapkan oleh Anda dan keluarga adalah pergi berlibur. Karena ini juga menentukan dari segi anggaran, jadi Anda wajib mempersiapkan jauh-jauh hari rencana liburan Anda, tentu setelah dibagi-bagi dengan anggaran merayakan Natal.

Setelah perayaan Natal, jalan-jalan bersama keluarga merupakan salah satu kenangan yang juga tak terlupakan. Buat rencana kapan akan berangkat, di mana menginap, transportasi dan sebagainya.

Jadi, setelah “baterai energi” Anda mulai lemah karena menjalani sukacita Natal, Anda bisa menyegarkan kembali fisik dan psikis dengan berlibur bersama keluarga dengan tenang dan nyaman karena sudah direncanakan jauh hari.

Dan jangan lupa, merencanakan liburan di jauh-jauh hari terasa lebih hemat karena hotel biasanya belum menaikkan harga lebih tinggi, tiket pesawat juga belum tinggi-tinggi amat, tiket kereta tidak berebut dan banyak keuntungan lainnya.

 

Tim Penulis PO FIB UI

Foto: Pixabay

Makan Malam Bersama Yesus

Desember telah kembali. Orang Kristen pun mulai bersiap-siap untuk merayakan hari Natal, hari kelahiran Yesus. Tahun ini di rumah kami Natal akan sedikit berbeda, karena perempuan tercantik di rumah kami sedang menunaikan cuti sabatnya yang telah terlalu lama tertunda. Tanpa dia Natal jelas akan berbeda, karena tidak akan ada masakan lezatnya, dan terlebih lagi, ide-ide cemerlangnya.

Di antara Natal yang pernah kami rayakan di rumah, ada satu Natal yang tidak akan pernah terlupakan. Itu adalah Natal sepuluh tahun yang lalu. Ketika itu istriku mengusulkan untuk memberi hadiah Natal yang istimewa kepada Yesus. Dia mengundang Yesus untuk makan malam di rumah kami.

Sejak pagi, kami menyiapkan makan malam istimewa itu. Memilih beras yang terbaik, menyiapkan ayam panggang, sayur-sayuran yang paling segar, dan minuman yang paling memuaskan dahaga.

Beberapa teman datang membantu. Ada yang membantu menyiapkan makanan, ada yang membantu membersihkan rumah dan menyiapkan tempat.

Anakku pun tidak ketinggalan. Dia meminta membelikan snack dan kue-kue untuk Yesus yang akan datang ke rumah kami. Tidak lupa dia menyiapkan mainan kesukaannya dan film kartun favoritnya untuk dinikmati bersama Yesus.

Menjelang malam, Yesus pun datang ke rumah kami. Ah, ini bukan tulisan metafisis atau gaib. Injil Matius mencatat perkataan Yesus: “Sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku.” Jadi, kami mengumpulkan 30 anak jalanan untuk menikmati makan malam istimewa di hari Natal itu.

Mereka pun datang. Gembira, ramai, dan bahkan berisik (setidaknya keesokan harinya kami harus menjelaskannya kepada para tetangga). Dimulai dengan sedikit permainan, kemudian makan-makan, dan ditutup dengan nonton dan bermain bersama; ah, aku tidak akan bisa melupakan hari Natal itu.

Itu adalah hari Natal yang paling melelahkan, namun luar biasa. Istriku puas karena makanan yang disediakannya licin tandas. Anakku gembira karena bisa bermain dan bahkan berteriak bersama dengan begitu banyak anak.

Dan aku, suaraku menjadi serak, karena harus terus berbicara selama beberapa jam, termasuk beberapa kali memisahkan pertengkaran di antara tamu-tamu istimewa kami itu.

Ya, di hari Natal itu kami makan malam bersama Yesus. Aku akan selalu mengingat malam itu. Malam itu begitu istimewa sehingga sejak waktu itu, anak-anak jalanan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kami. Terima kasih Tuhan, Engkau mau datang, sudah datang. Haleluya!

 

Foto: Dok Pribadi

 

Realitas Pernikahan yang Tak Terungkap di Media Sosial

Banyak pasangan yang ‘memamerkan’ indahnya pernikahan atau hubungan mereka di media sosial. Tapi realitas biasanya tak sesempurna gambaran yang terlihat di postingan-postingan itu.

Jay Hill, seorang penulis dan psikolog bercerita, setidaknya ada beberapa realitas pernikahan yang takkan banyak kamu temukan di media sosial. Ini dia:

Adu pendapat, itu seni…

Saat kita tinggal bersama pasangan kita, berhari-hari, berbulan, bahkan bertahun-tahun, adu argumentasi takkan terelakkan. Tak peduli betapa kamu sangat mengasihi pasanganmu. Kadang-kadang, hal yang sepele, konyol, bisa membuat suami meninggikan suara dan sebaliknya. Biasanya, argumentasi-argumentasi kecil akan berakhir dan dilupakan dalam waktu singkat. Pasangan mudah jatuh dalam perdebatan kalau kalian sama-sama tak mau kalah. Bahkan, siapa yang harusnya membuang sampah pun bisa jadi perdebatan sengit.

Tidur dan mendengkur…

Apa lagi yang lebih romantis ketimbang saat kamu tertidur di samping pasangan pada akhir hari yang panjang dan melelahkan. Tapi pada foto-foto yang kelihatan romantis itu pasti ada hal-hal lain yang takkan bisa tergambarkan. Misalnya suara dengkuran berisik pasanganmu, atau bahkan suara dengkuranmu sendiri. Dan selama bertahun-tahun, kalian sudah terbiasa dengan keberisikan itu.

Maunya sih ngobrol dulu…

Teorinya, masa menjelang tidur, kamu dan pasangan menciptakan waktu berkualitas dengan ngobrol apa saja di atas tempat tidur, mulai dari hal-hal remeh sampai yang serius. Faktanya, kalian berdua sudah terlalu capai dengan pekerjaan atau mengurus rumah tangga. Ketika sampai di atas ranjang, dorongan untuk tidur lebih besar ketimbang ngobrol.

Bebersih rumah…

Mungkin ada yang nge-posting tentang kegiatan gotong royong bareng pasangan membersihkan kamar atau rumah. Faktanya, tak sehari-hari seperti itu dan kebanyakan pasangan tak begitu. Apalagi pasangan yang sama-sama bekerja. Kalau tak ada asisten rumah tangga, maka yang terjadi adalah: sesampainya di rumah, dorongan terbesar adalah untuk merebahkan badan dan istirahat, ‘berdamai’ dengan rumah yang berantakan. Sampai akhirnya, pada satu titik, salah satunya memaksa diri bangun dan mengambil sapu atau vacuum cleaner.

Foto: Pixabay/Unsplash