Saya dan kakak perempuan saya yang usianya dua tahun lebih tua dari saya sering mengalami banyak hal-hal aneh yang tidak masuk akal. Seiring dengan bertambahnya usia, saya mencoba mencari tahu ada apa dengan saya, dan akhirnya saya menemukan konsep indigo. Saya mencari tahu ciri-ciri orang indigo dari berbagai sumber, dan saya akan coba menceritakan beberapa pengalaman yang saya alami berdasarkan beberapa ciri-ciri yang saya dapatkan:
1. Memiliki daya ingat yang baik, kemampuan yang tajam dalam mengamati.
Saat berbincang-bincang dengan keluarga, saya sering mengenang peristiwa-peristiwa lama, termasuk teman-teman lama. Keluarga saya sering kali heran karena saya masih mengingat kejadian-kejadian yang sudah berlalu selama hampir 30 tahun. Saya juga masih ingat nama-nama teman-teman saya waktu masih kecil. Saya bahkan mengingat teman-teman dari kakak dan adik saya. Kakak dan adik saya sangat heran, karena bahkan mereka sudah banyak lupa nama teman-teman mereka serta kejadian-kejadian tersebut.
Suatu saat, saya mengamat-amati beberapa hal dalam keluarga saya. Saya menghubung-hubungkan hal-hal tersebut dan menemukan suatu kejanggalan. Saya pun tiba-tiba tahu suatu masalah akan terjadi. Dan ketika hal itu terjadi, kami membahas masalah tersebut, dan saya pun membeberkan hal-hal yang sebelumnya telah saya amati tadi, dan menjelaskan hubungan hal-hal tersebut. Akhirnya masalah itu diketahui penyebabnya dan kaitannya satu sama lain. Mama saya terheran-heran dengan tajamnya pengamatan saya terhadap hal-hal yang terjadi dalam keluarga kami dan kaitannya satu sama lain. Seandainya saya tidak bicara, mungkin masalah itu masih belum diketahui dan diselesaikan untuk jangka waktu yang lebih lama.
Suami saya datang dari keluarga besar, dengan 9 bersaudara. Sebagai pendatang, saya berkomitmen untuk mengenal keluarga besar suami saya. Pada tahun-tahun pertama pernikahan kami, saya menemukan kejanggalan-kejanggalan. Misalnya, awalnya suami saya tidak tahu siapa sepupu-sepupunya. Dia juga tidak tahu apa hubungan orang-orang tertentu dengan keluarganya, padahal mereka sering datang berkunjung ke rumah mertua saya. Saya mengamat-amati ipar-ipar saya dan pasangan mereka. Setelah bergerilya mencari informasi tentang keluarga mertua saya, saya minta suami membawa saya mengunjungi keluarga mertua saya yang tidak pernah disebutkan oleh mertua saya. Setelah menghubung-hubungkan berbagai kejadian, percakapan, dan perilaku berbagai orang dalam keluarga besar suami saya, pada akhirnya saya mengungkap bahwa ternyata ada pihak yang menginginkan agar sesuatu dihilangkan, dan suatu hal lain yang dibentuk dalam keluarga mertua saya dan anak-anaknya. Hal tersebut sebenarnya sudah menjadi rahasia umum bagi the extended family (kakak beradik dan sepupu-sepupu dari mertua saya serta keluarganya), namun tidak diketahui oleh suami saya bersaudara. Saat saya menyatakan pengamatan saya ke salah seorang sepupu dari suami saya, dia terheran-heran karena saya mengetahui hal tersebut, Dia bahkan mengira ada yang memberitahukan hal itu pada saya. Namun saya hanya mengatakan bahwa saya mengetahuinya melalui pengamatan saya.
Sebelum berumah tangga, suami saya tidak merasakan kejanggalan-kejanggalan pada hal-hal yang terjadi di dalam keluarganya. Namun seiring dengan perjalannan rumah tangga kami, apa yang saya amati itu semakin jelas dan akhirnya terjadi. Sesuatu yang ingin dihilangkan dan sesuatu yang ingin dibentuk, telah hampir mencapai puncaknya.
2. Cerdas dan kreatif.
Di antara keempat anak orangtua saya, sayalah satu-satunya yang tidak pernah menjadi juara kelas. Kemampuan akademis saya hanya masuk kategori baik atau cukup, sementara kakak dan adik-adik saya beberapa kali masuk kategori 10 besar di kelas mereka.
Walaupun secara akademis saya anak ‘biasa’ saja, orangtua dan keluarga saya mengatakan bahwa sayalah yang paling cerdas. Menurut Mama, sejak masih kecil saya mampu tetap berpikiran dingin dalam berbagai masalah, dan mengambil tindakan yang logis dan relevan dalam berbagai kondisi darurat. Saya selalu dapat masuk dalam lingkungan baru tanpa masalah, di mana hal ini seringkali menjadi tantangan bagi anak-anak.
Untuk kemampuan penguasaan Bahasa, karunia saya bukan pada penguasaan menggunakan bahasa tersebut, melainkan bagaimana saya menggunakan bahasa untuk mengulas atau menjelaskan sesuatu dengan sangat deskriptif dan rinci. Karena itu, saat masih bersekolah, saat diberi tugas ‘menulis pendek’, baik berupa surat imajiner pada seorang teman, menulis cerita pendek, atau mengarang, seringkali guru saya mengatakan bahwa tulisan saya terlalu panjang.
Sulit bagi saya menulis sesuatu secara padat dan ringkas. Bagi saya untuk membuat suatu tulisan yang padat, berarti harus detil, dan jadinya tidak ringkas. (Tulisan ini salah satu contohnya, hehehe…).
Saya sering mengumpulkan puisi dan lirik lagu yang isinya sesuai isi hati ataupun deskripsi saya tentang suatu hal, misalnya tentang keluarga, cinta, masa depan, iman, dan sebagainya. Walaupun saya jarang menulis karya tulis apa pun, namun saat saya menulis, saya mendapati saya menulis dengan rinci, dan mendalam.
Karena saya sangat deskriptif dalam berbahasa, saya pun bisa menjelaskan hal-hal yang sulit dimengerti oleh orang lain. Sebenarnya penjelasan tentang hal-hal tersebut dapat dengan mudah dicari dari berbagai sumber, namun beberapa orang mengatakan bahwa mereka lebih dapat memahaminya setelah saya jelaskan.
Beberapa contoh misalnya pada Mama dan Tante-tante saya, saya menjelaskan hal-hal yang merupakan hal baru bagi mereka. Misalnya apa itu Internet, Facebook, menggunakan smartphone, online banking, dan lainnya. Pada anak saya…. berbagai hal yang tidak dipahami oleh anak seusianya.
Dalam pekerjaan, saya mengajar bidang studi Literasi Informasi untuk tingkat TK sampai kelas 6 SD. Di Indonesia, belum ada kurikulum khusus untuk bidang studi ini. Banyak sekolah menyisipkan pembelajaran literasi informasi dalam mata pelajaran lain seperti Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris atau bidang studi Pengetahuan Sosial seperti sejarah, PPKN, atau pengetahuan seni dan budaya.
Dengan sendirinya, belum ada juga buku pelajaran untuk bidang studi ini. Di tempat saya bekerja, kurikulum yang digunakan adalah kurikulum internasional, dan saya bisa saja menggunakan kurikulum Literasi Informasi dari negara-negara barat dalam mengajar, serta berbagai materi pelajarannya.
Seiring dengan perjalanan karir saya sebagai seorang guru dalam bidang studi ini, saya belajar bahwa tidak semua hal yang saya dapatkan dari kurikulum dan materi pelajaran literasi informasi dari luar negeri itu dapat diaplikasikan di tempat kerja saya karena konteksnya berbeda. Akhirnya saya mendesain sendiri kurikulum literasi informasi serta materi-materi pelajaran ini, termasuk pula lembar kerja siswa (LKS) serta sistem penilaian bagi siswa.
Bagi mereka yang guru ataupun paham dengan dunia pendidikan, tentunya dapat memahami bahwa mendesain suatu kurikulum bukan hal mudah.
Saya mendesain dua kurikulum literasi informasi untuk digunakan di dua sekolah dengan kurikulum berbeda, dan hasil karya saya memuaskan rekan-rekan kerja saya yaitu guru-guru wali kelas, para pimpinan sekolah karena bisa mengakomodasi kebutuhan pembelajaran literasi informasi yang bukan hanya sesuai konteks kurikulum sekolah, tapi juga sesuai dengan letak gegorafis dan budaya.
3. Memiliki jiwa dewasa yang lebih dini dari usianya.
Menurut Mama saya, sejak kecil, yaitu sekitar usia 4 atau 5 tahun, banyak orang mengira saya adalah yang ‘kakak’ di antara anak-anaknya. Awalnya saya kesal dikira lebih tua dari kakak saya. Memangnya wajah saya boros apa? (Hehehe…)
Kakak yang awalnya senang dianggap terlihat lebih muda dari saya, berbalik menjadi sebal pada saya, karena dia sering dimarahi orangtua kami yang menganggapnya bersikap tidak dewasa atau kekanak-kanakan, dan sering menegurnya dengan kalimat: “Coba lihat sikap adikmu!” atau, “Kenapa sih kamu tidak berpikir panjang seperti adikmu?”, dan sejenisnya.
Kelak setelah dewasa, saya berjumpa beberapa “orang pintar” secara tidak sengaja, dan mereka mengatakan bahwa saya terlihat lebih dewasa daripada kakak saya karena saya punya jiwa yang dewasa (I have an old soul).
Sejak saya berusia enam tahun, orangtua saya berencana untuk punya anak lagi, anak ke-4. Pada akhirnya orang tua saya harus menunggu tujuh tahun untuk mendapatkan anak ke-4 mereka, si bungsu kami.
Saat Mama hamil, saya sudah berusia 13 tahun, kakak saya 15 tahun dan adik 12 tahun. Papa, kakak dan adik saya dengan antusias menyambut kedatangan si bayi, tapi saya tidak.
Suatu hari Mama mengajak saya bicara hanya berdua, dan menanyakan mengapa saya tidak setuju Mama dan Papa punya bayi lagi. Mama bilang itu aneh, karena saya sangat suka anak-anak. Keluarga, teman-teman dan tetangga banyak yang memuji saya yang mudah berinteraksi dan mencuri hati anak-anak, sehingga kalau ada acara keluarga, Mama sering meminta saya bermain dengan anak-anak kecil yang dibawa orangtuanya, supaya mereka tenang dan tidak mengganggu.
Saya ingat jawaban saya membuat Mama saya kaget. Saya menjawab bahwa saya bukannya membenci si bayi, tapi saya khawatir akan masa depan calon adik saya itu. Saya bilang, saat dia SMA nanti, Papa sudah pensiun, dan tidak punya cukup uang untuk membiayai pendidikan si bungsu untuk kuliah.
Mama saya sangat sangat heran karena saya punya pikiran yang sangat dewasa dan jauh ke depan. Dia bahkan sedikit marah, karena saya seolah-olah mengguruinya. Dia menekankan, bahwa saya tidak perlu khawatir tentang hal itu, karena itu adalah urusan orangtua.
4. Clairvoyant: kemampuan mengetahui gambaran akan apa yang akan terjadi di masa depan.
Saya sering tiba-tiba tahu sesuatu hal akan terjadi di masa depan. Hal itu terjadi bukan dengan pengelihatan, tapi hanya berupa perasaan tahu yang kuat dan pasti.
Saya percaya, tiap orang indigo juga mempunyai karunia berbeda-beda. Mengenai pengalaman saya mengetahui hal yang terjadi di masa depan, tidak pernah tentang hal-hal umum. Dengan kata lain, pengalaman saya mengetahu apa yang akan terjadi di masa depan, selalu seputar tentang diri saya dan keluarga, teman-teman, dan orang-orang yang saya kenal langsung.
Masih berkaitan dengan pembicaraan antara saya dan Mama saya di atas, saat itu saya juga mengatakan pada Mama, bahwa nantinya Papa dan Mama akan mengalami kesulitan membiayai pendidikan si bungsu, dan mereka akan meminta saya akan membantu.
Singkat cerita, bertahun-tahun kemudian, karena krisis moneter yang berawal di tahun 1997, keuangan Papa dan Mama tanpa disangka mengalami kemerosotan. Dan saya pun pada akhirnya harus membantu biaya pendidikan kuliah adik bungsu saya.
Contoh-contoh pengalaman saya lainnya di mana saya mengetahu dengan pasti apa yang akan terjadi:
– Sejak masih belum sekolah, saya tahu akan bekerja di lembaga pendidikan (sekolah). Saya pernah bekerja di lembaga non pendidikan, tapi saya tahu itu hanya akan bersifat sementara
– Saya saat masih SMA, saya sudah mengetahui bahwa saya kuliah di UI.
– Saat masih kuliah, saya tahu anak pertama saya nantinya adalah perempuan.
– Saat baru berkenalan dengan suami saya, saya sudah tahu bahwa dialah yang akan menjadi suami saya.
Saya juga sering mendapat mimpi tentang orang-orang yang saya kenal akan mengalami hal-hal buruk, sakit berat, kecelakaan atau bahkan kematian. Kalau sedang mendapat mimpi seperti itu, saya akan berubah gelisah tak karuan. Ketika peristiwa yang saya mimpikan itu menjadi kenyataan, saya selalu merasa sedih, dan bahkan terkadang merasa bersalah.
Saya merasa mimpi saya itu peringatan, dan mungkin saya harusnya bisa mencegah hal itu untuk terjadi. Tapi dalam perjalanan iman saya, saya belajar bahwa tidak ada satupun yang dapat terjadi di luar kehendak Allah, dan saya mengamininya.
5. Mengetahui keberadaan roh-roh atau sosok astral.
Sejauh ini pengalaman saya melihat sosok astral, hanya berupa sekelebat sosok dan sosok yang meniru sosok seseorang. Saya tidak pernah melihat sosok-sosok seperti kuntilanak, pocong, gondoruwo, tuyul dan sebangsanya.
Saat saya usia sekitar dua tahun, Papa mendapat tugas belajar di ITB, dan kami sekeluarga pun pindah ke Bandung. Saat itu adik saya yang paling bungsu belum lahir.
Di Bandung, kami menempati sebuah rumah di daerah yang padat. Rumah itu punya sumur timba dengan dinding setinggi dada orang dewasa. Di samping sumur ada tempat untuk mencuci pakaian, mandi, dan kloset kecil. Saya tidak mau mandi ataupun buang air di dekat sumur, karena sangat takut dengan sumur itu. Saya merasa ada kekuatan besar dari dalam sumur yang menarik saya. Saya juga tidak merasa nyaman berada di dapur rumah tersebut, karena sering mendengar orang lalu lalang di sana, padahal tidak ada orang di dapur.
Saat usia saya sekitar enam tahun, kami sekeluarga kembali ke kota kediaman kami semula, yaitu Pontianak. Selama bertahun-tahun kemudian, kami berpindah-pindah dari rumah yang satu ke rumah yang lainnya.
Hampir di setiap rumah, selalu ada bagian rumah yang saya tidak suka. Saya akan merasa adanya tekanan kuat pada diri saya di tempat tersebut sampai-sampai saya merasa kepanasan. Terkadang mendengar suara-suara orang lalu lalang, dan terkadang bahka sekelebat sosok manusia lewat.
Mulanya saya mengira itu salah satu anggota keluarga, karena sekarang keluarga kami menjadi lebih ramai dengan adanya tiga orang sepupu yang tinggal dengan kami. Tapi saya sering ketakutan saat beberapa kali mendapatkan bahwa ternyata anggota keluarga berada di ruangan yang lain, dan tidak ada yang sedang atau baru dari ruangan di mana saya melihat sekelebat sosok itu.
Pernah juga beberapa kali saya melihat sosok yang saya kira seseorang, tapi ternyata orang tersebut sedang tidak di tempat atau berada di ruangan lain di rumah saya. Ketika saya kembali lagi untuk memeriksa, sosok tersebut sudah tidak ada.
Beberapa contohnya:
Saat itu saya sudah duduk di bangku SMP. Suatu siang, saya sedang berkaca pada sebuah cermin yang berada di atas westafel di ruang makan rumah kami. Dari kaca saya dapat melihat ruang tamu dan pintu depan yang mengarah ke teras.
Tiba-tiba pintu depan itu terbuka dan Papa saya masuk. Tapi kemudian sosok Papa tersebut masuk menembus dinding kamar tidur Papa dan Mama. Saya terkesiap dan segera masuk kamar itu. Di dalam kamar hanya ada Mama dan kata Mama, Papa belum pulang dari kantor.
Di rumah yang sama, saya yang juga masih SMP, terbangun tengah malam, karena mendengar handle pintu kamar tidur saya berbunyi. Saya bangun dan melihat handle pintu bergoyang, seperti ada yang mau membuka pintu kamar tidur saya dari luar.
Saya pun bangkit dari tempat tidur dan membukakan pintu yang memang terkunci. Saya melihat nenek saya masuk ke kamarnya yang berhadapan dengan kamar tidur saya. Dia menoleh saat saya membuka pintu kamar saya, tapi tidak berkata apa-apa.
Dengan perasaan kesal, saya kembali ke kamar dan melanjutkan untuk tidur. Saya berpikir, mungkin nenek mengira sudah pagi, dan hendak membangunkan kami, seperti yang biasa dia lakukan.
Esok paginya ketika saya menanyakan hal itu padanya, nenek bilang dia tidur lelap dan tidak terbangun sedikit pun kemarin malam, apalagi keluar kamar.
Saya terkejut dan bertanya-tanya, kalau bukan nenek, jadi siapa yang saya lihat tadi malam. Tapi keluarga saya tidak memperdulikan kebingungan saya, dan berkata saya hanya bermimpi.
Hal ini terulang beberapa kali, namun tetap keluarga mengatakan saya hanya bermimpi. Sampai akhirnya kakak saya mengaku bahwa dia pun pernah mengalami hal yang sama beberapa kali.
Di rumah yang saat ini saya tempati, saya juga pernah mengalami hal serupa. Saat itu anak saya masih berusia setahun atau dua tahun sedang bermain-main dengan suami saya sambil nonton TV. Sementara saya sedang mencuci pakaian di ruang cuci “semi outdoor” di bagian belakang rumah.
Pintu dari ruang cuci menuju dapur saya biarkan terbuka. Saya kemudian melihat suami saya masuk ke dapur untuk mengambil minum. Lalu dia kembali ke ruang TV. Setelah selesai mencuci, saya masuk rumah dan melihat suami memakai baju yang berbeda dengan yang tadi saya lihat dia kenakan saat dia ke dapur.
Saya bertanya apakah di sudah mandi, karena itu sudah berganti baju, tapi suami saya bilang tidak. Saya merasa aneh, dan menceritakan bahwa tadi saya melihat dia masuk dapur untuk ambil minum. Dan suami saya bilang, dia tidak meninggalkan ruang TV sedetik pun.
6. Sensitif dan intuitif.
Saya sensitif dan intutif terhadap orang-rang yang dekat dengan saya. Contohnya, saat saya masih SMA dulu, saya pernah dekat dengan seseorang. Saya sangat menyayangi dia, begitu pula dia terhadap saya. Saya selalu tahu kalau dia sedang sakit atau ada masalah. Saya akan menanyakan langsung hal itu padanya dan hal itu selalu benar.
Kalau saya memilih untuk mau mencari tahu, saya bisa tahu siapa yang suka/tertarik pada siapa. Dalam banyak kasus saya memilih untuk “menjadi batu” alias pura-pura tidak tahu dengan ketertarikan orang tersebut pada saya, karena saya sudah tahu orang tersebut tidak akan menjadi pasangan yang tepat bagi saya.
Pernah saya membandel, menerobos intuisi saya. Beberapa kali saya mejalin hubugan dengan beberapa orang, walaupun saya tahu tak satu pun dari mereka adalah orang yang tepat bagi saya. Dan akhirnya hubungan-hubungan itu berakhir dengan kepahitan.
Saya juga tahu kalau teman atau keluarga saya punya masalah, namun seringkali tidak menunjukkan pada mereka kalau saya tahu apa yang sedang mereka hadapi. Hal ini karena saya tidak mau mencampuri urusan orang lain, kalau tidak diminta.
Saat orangtua saya hendak memutuskan perkara besar, seperti misalnya membuka usaha baru, pindah rumah, memilih tempat kuliah bagi anak-anaknya, saya mendapatkan perasaan kuat bahwa terkadang pilihan-pilihan mereka tidak tepat. Saya mencoba menyampaikannya pada mereka, dan tentu saja, mereka tidak memperdulikan saya.
Dalam banyak hal, intusisi saya menjadi kenyataan. Misalnya saat orangtua mencoba berbisnis di bidang transportasi yaitu taksi, berakhir dengan kondisi nyaris bangkrut.
Kakak saya didaftarkan kuliah di bidang studi yang asing bagi dia, sementara minatnya adalah di Bahasa Inggris. Saya memperingatkan orangtua saya bahwa hal itu tidak sesuai panggilan Kakak saya. Namun, lagi-lagi saya tidak diperdulikan. Kamu masih anak-anak, orangtua lebih tahu, kata mereka.
Sebagai anak, kami menuruti saja kemauan orang tua, dan kakak menyelesaikan kuliahnya dengan baik. Namun saat ini, karier kakak saya adalah di bidang Bahasa Inggris, yaitu sebagai penterjemah.
Jadi, saya ini indigo atau bukan?
Sampai sekarang, saya belum merasa perlu berkonsultasi ke psikolog untuk mengetahui apakah saya indigo atau bukan. Alasan pertama, karena karunia ini tidak menyakiti/melukai saya (secara fisik), atau pun menempatkan saya dalam situasi bahaya (sampai sekarang).
Alasan kedua, saya terlebih dahulu ingin mempelajari lebih banyak tentang perspektif Kristen mengenai fenomena indigo. Saya mendapatkan fenomena ini belum banyak dibahas dalam prespektif Kristen, bahkan terkesan hal tabu untuk dibicarakan.
Beberapa teman dan keluarga bahkan mengatakan sebaiknya saya tidak menggali lebih jauh tentang karunia-karunia saya, terutama dalam mengetahui apa yang terjadi dalam masa depan. Mereka memperingatkan, bahwa saya bisa dituduh melakukan tenung atau guna-guna melalui mimpi agar orang-orang tertentu mengalami sakit, kecelakaan ataupun meninggal dunia.
Sementara, menggunakan tenung dan guna-guna adalah hal-hal yang bertentangan dengan iman Kristen. Walaupun kemampuan-kemampuan unik saya ini bukan saya dapatkan dengan ‘berguru’ atau penyembahan berhala, saya tahu ada pendapat bahwa ‘ilmu’ yang didapatkan oleh leluhur, dapat turun pada keturunannya.
Jadi ada kemungkinan bahwa leluhur saya memang ‘berguru’ dan ‘ilmu’ mereka terwariskan pada saya.
Tapi saya percaya pengelihatan saya tentang masa depan berasal dari Allah semata. Saya menemukan suatu ayat di dalam Alkitab yaitu Kisah Para Rasul 2: 17:
“Akan terjadi pada hari-hari terakhir–demikianlah firman Allah–bahwa Aku akan mencurahkan Roh-Ku ke atas semua manusia; maka anak-anakmu laki-laki dan perempuan akan bernubuat, dan teruna-terunamu akan mendapat penglihatan-penglihatan, dan orang-orangmu yang tua akan mendapat mimpi.”
Jadi, indigo atau bukan, semua kemampuan unik yang saya miliki adalah pemberian dari Sang Pencipta.
JN (data penulis ada pada Redaksi)
Foto: Geralt/Pixabay