Corona Virus-19 telah menghantui kita sejak awal tahun 2020 ini. Tercatat di awal April, mulai terdengar berita gembira tentang perkembangan angka kesembuhan pasien penderita positif Covid-19. Hal ini tentu menimbulkan optimisme masyarakat dengan harapan virus yang menjengkelkan itu akan segera berakhir.
Namun berita sukacita itu tentu tidak mampu menyembuhkan kesedihan dan luka di hati mereka yang ditinggal oleh kekasih hatinya yang jadi korban virus ini. Demikian juga dengan saya pribadi. Sahabat saya, seorang Ibu pendeta muda, telah pergi karena terinfeksi Covid-19.
Secara khusus di kalangan umat Kristen, duka berkepanjangan masih terasa. Bagaimana tidak, hamba-hamba Tuhan juga ada yang harus pergi mendahului kita dikarenakan Covid-19. Mereka, para Hamba Tuhan yang senantiasa tekun melayani jemaatNya, para Hamba Tuhan yang dirasakan banyak menyentuh relung kehidupan para jemaatnNya. Gereja berduka. Rohani jemaat menangis, bahkan ada yang merasa Tuhan meninggalkan kita.
Ada yang jadi mempertanyakan kekuatan Tuhan. Mengapa covid-19 harus seganas ini. Di mana kekuasaan Tuhan yang maha kuasa. Ada yang merasa tidak didengarkan Tuhan. Di mana Tuhan ketika malapetaka ini menimpa umat.
Berbagai macam pertanyaan yang mengguncang iman pun masuk ke dalam kotak pesan pribadi, media sosial dan menyebar luas. Saya, termasuk pribadi yang ikut dilanda kecemasan, dan psikosomatik menyerang seluruh persedian tubuh, hingga saya tidak mampu menjelaskan atau menenangkan orang lain.
Saudara, kematian adalah hal yang paling menyakitkan. Apalagi kematian mereka yang semasa dalam keadaan sakit tidak dapat dikunjungi, bahkan di akhir hayatnya pun teman atau kerabat, atau jemaat tidak bisa mengantarkan mereka ke tempat peristirahatan yang terakhir. Sungguh menyesakkan, jeritan tangisan penyesalan pun berderai. Saya adalah salah satu yang mengalaminya.
Namun, di balik kejadian ini, adakah sisi lainnya yang bisa kita lihat, selain bermuram durja dan mempertanyakan Tuhan atau menyalahkan pemerintah? Kita bisa merenungkan hal ini dan mencari hikmah. Mereka yang telah pergi mendahului kita, selesai sudah masa pelayanan mereka. Lalu, kita yang masih eksis hingga sekarang, apa bagian kita?
Tentu kita bersyukur bahwa hingga saat ini kita dijauhkan dari virus yang mematikan itu. Lalu? Mungkin ini adalah momen yang baik bagi kita untuk mempersiapkan diri ketika waktunya tiba. Adakah kita mengetahui kapan tanggal ‘bersejarah’ itu akan datang menjemput kita? Karena tidak satupun dari kita dapat mengetahui kapankah Tuhan akan memanggil kita.
Saya memang kehilangan pendeta yang telah membuat saya makin dekat kepada Tuhan. Tapi saya tidak kehilangan kotbah dan pesan-pesan beliau, yang masih terngiang di telinga saya: Sudahkah kita menjadi cerminan gambar Allah dalam kehidupan sehari-hari, sudahkah kita hadir bagi mereka yang membutuhkan, jadi telinga untuk mendengar, sudahkah kita mengasihi sesama seperti Kristus mengasihi kita semua? Sudahkah kita lakukan, agar ketika waktunya tiba kita sudah siap, karena hidup kita sudah menjadi saluran berkat bagi sesama.
Terakhir, saya mengucapkan: Selamat jalan, para Hamba Tuhan terkasih. Selamat berjumpa di surga dengan Allah Bapa.
“Berharga di mata Tuhan kematian orang yang dikasihiNya.” (Mazmur 116:15)
Tio Sinaga
Konselor