Tag Archives: iman

Kehilangan Kekasih Hati

Corona Virus-19 telah menghantui kita sejak awal tahun 2020 ini. Tercatat di awal April, mulai terdengar berita gembira tentang perkembangan angka kesembuhan pasien penderita positif Covid-19. Hal ini tentu menimbulkan optimisme masyarakat dengan harapan virus yang menjengkelkan itu akan segera berakhir.

Namun berita sukacita itu tentu tidak mampu menyembuhkan kesedihan dan luka di hati mereka yang ditinggal oleh kekasih hatinya yang jadi korban virus ini. Demikian juga dengan saya pribadi. Sahabat saya, seorang Ibu pendeta muda, telah pergi karena terinfeksi Covid-19.

Secara khusus di kalangan umat Kristen, duka berkepanjangan masih terasa. Bagaimana tidak, hamba-hamba Tuhan juga ada yang harus pergi mendahului kita dikarenakan Covid-19. Mereka, para Hamba Tuhan yang senantiasa tekun melayani jemaatNya, para Hamba Tuhan yang dirasakan banyak menyentuh relung kehidupan para jemaatnNya. Gereja berduka. Rohani jemaat menangis, bahkan ada yang merasa Tuhan meninggalkan kita.

Ada yang jadi mempertanyakan kekuatan Tuhan. Mengapa covid-19 harus seganas ini. Di mana kekuasaan Tuhan yang maha kuasa. Ada yang merasa tidak didengarkan Tuhan. Di mana Tuhan ketika malapetaka ini menimpa umat.
Berbagai macam pertanyaan yang mengguncang iman pun masuk ke dalam kotak pesan pribadi, media sosial dan menyebar luas. Saya, termasuk pribadi yang ikut dilanda kecemasan, dan psikosomatik menyerang seluruh persedian tubuh, hingga saya tidak mampu menjelaskan atau menenangkan orang lain.

Saudara, kematian adalah hal yang paling menyakitkan. Apalagi kematian mereka yang semasa dalam keadaan sakit tidak dapat dikunjungi, bahkan di akhir hayatnya pun teman atau kerabat, atau jemaat tidak bisa mengantarkan mereka ke tempat peristirahatan yang terakhir. Sungguh menyesakkan, jeritan tangisan penyesalan pun berderai. Saya adalah salah satu yang mengalaminya.

Namun, di balik kejadian ini, adakah sisi lainnya yang bisa kita lihat, selain bermuram durja dan mempertanyakan Tuhan atau menyalahkan pemerintah? Kita bisa merenungkan hal ini dan mencari hikmah. Mereka yang telah pergi mendahului kita, selesai sudah masa pelayanan mereka. Lalu, kita yang masih eksis hingga sekarang, apa bagian kita?

Tentu kita bersyukur bahwa hingga saat ini kita dijauhkan dari virus yang mematikan itu. Lalu? Mungkin ini adalah momen yang baik bagi kita untuk mempersiapkan diri ketika waktunya tiba. Adakah kita mengetahui kapan tanggal ‘bersejarah’ itu akan datang menjemput kita? Karena tidak satupun dari kita dapat mengetahui kapankah Tuhan akan memanggil kita.

Saya memang kehilangan pendeta yang telah membuat saya makin dekat kepada Tuhan. Tapi saya tidak kehilangan kotbah dan pesan-pesan beliau, yang masih terngiang di telinga saya: Sudahkah kita menjadi cerminan gambar Allah dalam kehidupan sehari-hari, sudahkah kita hadir bagi mereka yang membutuhkan, jadi telinga untuk mendengar, sudahkah kita mengasihi sesama seperti Kristus mengasihi kita semua? Sudahkah kita lakukan, agar ketika waktunya tiba kita sudah siap, karena hidup kita sudah menjadi saluran berkat bagi sesama.

Terakhir, saya mengucapkan: Selamat jalan, para Hamba Tuhan terkasih. Selamat berjumpa di surga dengan Allah Bapa.

“Berharga di mata Tuhan kematian orang yang dikasihiNya.” (Mazmur 116:15)

Tio Sinaga
Konselor

Membangun Sesuatu yang Lebih Baik Ternyata Tidak Mudah

Pagi ini, saya teringat pada salah satu kisah dalam Alkitab, yaitu tentang Nehemia yang membangun kembali tembok Yerusalem. Entah mengapa ada dorongan kuat untuk membaca kisahnya, jadi dalam perjalanan naik kereta, saya membuka Alkitab elektronik dalam HP saya.

Total ada 13 pasal, dan saya enggak kuat baca langsung sekaligus. Jadi saya bagi setengah dalam perjalanan pergi, setengah dalam perjalanan pulang.

Kisah Nehemia sangat menginspirasi. Dan, meskipun kisah ini terdapat dalam kitab suci umat Kristiani, pesannya sangat universal dan berlaku untuk seluruh umat manusia.

Sama seperti dalam kitab suci agama lain, saya pun sering menangkap pesan-pesan kemanusiaan yang universal dan sering saya ingat-ingat kata-katanya untuk menuntun saya menjadi manusia yang lebih baik.

Sebenarnya, apa sih inti kisah Nehemia? Jadi ceritanya beliau itu terpanggil untuk melaksanakan satu tugas mulia: membangun kembali tembok Yerusalem yang sudah hancur berantakan.

Emang Nehemia itu siapa, tukang bangunan? Bukan! Beliau itu juru minuman raja. Enggak tahu spesifik jobdesk beliau itu apa, tapi yang jelas, Nehemia itu kerja di istana, hidup nyaman, dan kalau hanya memikirkan diri sendiri, beliau itu tinggal meneruskan hidupnya yang nyaman di istana.

Tapi Nehemia punya visi lain yang lebih besar. Beliau ingin membangun kembali bangsanya yang sudah hancur berantakan. Dan demi visi mulia ini, beliau ikhlas meninggalkan kenyamanannya sebagai juru minuman raja. Beliau akhirnya pulang kampung ke Yerusalem dan mulai membangun kembali tembok yang sudah hancur.

Tentu saja banyak tantangan yang dihadapi Nehemia. Kesel banget ya, niatnya baik, perjuangannya sudah mumpuni, dan ini demi kemashalatan hidup orang banyak….kok ya tetap aja jalannya enggak mulus.

Butuh waktu lama, strategi jitu, daya tahan, kesabaran, sampai akhirnya tembok Yerusalem terbangun kembali. Tapi Nehemia tidak menyerah. Beliau bertahan dan step by step, beliau menyelesaikan pembangunan tembok itu, tentu saja dengan dukungan tim kepercayaannya.

Membangun sesuatu menjadi lebih baik memang tidak mudah. Ketika bertukar pikiran dengan Profesor saya saat bertemu beliau di konferensi studi Jepang di ASEAN di Cebu, beliau bilang,”Untuk mengubah suatu hal menjadi buruk, itu hanya butuh waktu beberapa detik. Tapi untuk mengubah suatu hal menjadi lebih baik, diperlukan waktu yang lama. Tapi kalau kita bertahan dan terus berjuang, hasil pasti mengikuti.”

Beberapa waktu yang lalu, Papa saya cerita ketika beliau hendak pulang ke Indonesia setelah menyelesaikan studinya, Bapak mertuanya (kakek saya) berkata,”Pulanglah ke Indonesia dan bangun negara kita.”

Papa pulang ke Indonesia, tapi mendapati kenyataan bahwa niat baik itu tidak selalu diikuti dengan jalan lancar bak jalan tol. Sebaliknya, tantangan demi tantangan harus dihadapi.

Tapi beliau memegang teguh amanah bapak mertuanya dan berusaha maksimal untuk membangun negara ke arah yang lebih baik. Butuh waktu, tenaga, kesabaran, daya tahan, semangat juang, dan konsistensi. Pada akhirnya memang ada buah-buah pembangunan yang signifikan, tapi butuh waktu lama sampai akhirnya berbuah penuh.

“Pulanglah ke Indonesia dan bangun negara kita.”

Jika kakek saya masih hidup, setelah saya menyelesaikan studi saya di Osaka, beliau juga pasti akan mengatakan hal yang sama kepada saya.

Dan adalah sebuah kewajaran, jika tidak ada yang instan dalam membangun sesuatu yang besar. Tapi kelak, kebaikan akan mengikuti, sepadan dengan usaha, kesabaran, konsistensi, dan daya tahan yang dikeluarkan.

 

Rouli Esther Pasaribu

Penulis adalah pengajar paruh waktu di Program Pascasarja Kajian Wilayah Jepang UI.

Yes I Can?

Sebesar apa iman anda?

Ada yang seperti tertulis dalam Alkitab:

Luk. 7:7 …. Tetapi katakan saja sepatah kata, maka hambaku itu akan sembuh.

Luk. 7:8 Sebab aku sendiri seorang bawahan, dan di bawahku ada pula prajurit. Jika aku berkata kepada salah seorang prajurit itu: Pergi!, maka ia pergi, dan kepada seorang lagi: Datang!, maka ia datang, ataupun kepada hambaku: Kerjakanlah ini!, maka ia mengerjakannya.”

Luk. 7:9 Setelah Yesus mendengar perkataan itu, Ia heran akan dia, dan sambil berpaling kepada orang banyak yang mengikuti Dia, Ia berkata: “Aku berkata kepadamu, iman sebesar ini tidak pernah Aku jumpai, sekalipun di antara orang Israel!”

Khasiat atau kuasa kata atau kata-kata tidak terletak pada kata-kata itu, melainkan pada kualitas dari orang yang mengatakan perkataan itu.

Kata-kata atau ucapan atau mantera “Yes I can” atau “Yes we can” adalah kata-kata kosong bila itu keluar dari orang yang tidak punya kualitas “can” sesuai maksud dari kata “can” itu.

Orang yang tak pernah belajar matematik tidak mungkin bisa menyelesaikan soal-soal kalkulus tingkat tinggi hanya karena dia mengucapkan mantera “Yes I can.”

Begitu juga sekelas anak-anak sekolah dasar tidak mungkin bisa mengerjakan soal-soal fisika yang sulit walau beribu kali mengucap “Yes we can.”

Sang Perwira berkata “Yes you can” pada Yesus karena Yesus memang punya kualifikasi itu. Dan dia sendiri bisa berkata “Yes I can” karena dia Perwira yang punya otoritas pada bawahannya.

Anda itu siapa? Ucapan “Yes I can” anda untuk apa?

Diundang makan enak di restoran pasti selalu ‘can”. Tetapi untuk berbisnis restoran, tunggu dulu. Apakah Anda punya kualifikasi itu?

Ucapan “Yes You can” kepada Kristus adalah sangat tepat dan itulah iman. Ucapan “Yes I can” untuk hal-hal dalam kapasitas kita, mungkin tepat.

Jangan percaya pada mantera “Yes I can” atau “Yes we can”. Kalimat maksimal yang pernah Paulus ucapkan adalah “Segala perkara dapat kutangung di dalam Dia yang memberi kekuatan kepadaku.” (Fil. 4:13).

Itulah kalimat yang perlu kita teladani.

-*-

Foto: Pixabay

Pahlawan yang Gagah Berani

“TUHAN menyertai engkau, ya pahlawan yang gagah berani.” (Hakim-Hakim 6:12 )

Identitas atau jati diri seseorang dibentuk oleh lingkungannya. Lingkungan yang terdekat pertama yang membentuk seseorang adalah keluarganya, lalu kemudian pergaulan dan pendidikannya.

Identitas rohani juga dibentuk oleh lingkungan rohani. Bila kita mengaku percaya kepada TUHAN dalam Kristus Yesus, maka identitas rohani kita akan terbentuk oleh lingkungan di mana kita mendalami kepercayaan kita itu.

Kitab Hakim-Hakim pasal 6 dan 7 menceritakan sebuah kisah yang berkaitan erat dengan soal identitas itu, yaitu kisah tentang Gideon. Gideon hidup di zaman ketika bangsa Israel hidup dalam penyembahan berhala, kepada dewa-dewa Baal.

Perjanjian yang dibuat bangsa Israel dengan TUHAN sudah begitu jelas, yaitu jika mereka setia menyembah TUHAN mereka akan selamat, namun jika mereka berbalik menyembah berhala, mereka akan mengalami kebinasaan.

Itulah yang dialami bangsa Israel di masa hidup Gideon. Mereka ditindas oleh bangsa Midian dan Amalek. Penindasan itu sudah berlangsung selama 7 tahun dan membuat bangsa Israel terancam kelaparan dan binasa.

Di dalam kesesakan, bangsa Israel berseru kepada TUHAN, dan TUHAN menjawab melalui seorang nabi-Nya bahwa mereka harus bertobat dari dosa penyembahan berhala mereka terlebih dahulu. Untuk menggerakkan kebangkitan rohani bangsa Israel, TUHAN mengangkat seorang hakim atas mereka, dan TUHAN memilih Gideon.

TUHAN menyertai engkau, ya pahlawan yang gagah berani.” (Hak 6:12 ).

Siapakah Gideon yang disebut gagah berani oleh Malaikat TUHAN ini? Dia mengirik gandum di tempat pemerasan anggur. Dia penuh keraguan kepada Malaikat TUHAN yang datang kepadanya.

Secara manusiawi, Gideon bukanlah seorang yang istimewa sama sekali. Dia tidak dapat dikatakan seorang pemberani sama sekali, kalau tidak mau disebut penakut. Dia juga seorang peragu dan bimbang.

Akan tetapi, seperti apa Gideon sebelumnya tidak terlalu penting bagi TUHAN.

TUHAN telah memilih dia, dan karena itu TUHAN memberikan identitas yang baru kepada Gideon, “Pahlawan yang gagah berani”. Identitas itu bukan karena Gideon telah melakukan sesuatu, tetapi karena TUHAN menetapkannya demikian.

Setelah itu kita bisa melihat di pasal 7 bagaimana Gideon membangun pasukan untuk melawan tentara Midian dan Amalek yang datang untuk menyerang Israel. Tentara musuh begitu banyak, seperti pasir di laut banyaknya.

Oleh karena itu, Gideon memberi kabar ke seluruh suku di Israel untuk membantunya. 30.000 orang pun datang berkumpul untuk menjadi pasukan Gideon. Akan tetapi, apa kata TUHAN tentang hal itu? Terlalu banyak.

TUHAN memerintahkan Gideon untuk menyuruh mereka yang takut untuk pulang, dan pulanglah 2/3 dari orang banyak itu. Namun 10.000 orang pun masih terlalu banyak bagi TUHAN.

TUHAN menyuruh Gideon untuk melakukan seleksi berdasarkan bagaimana kewaspadaan mereka ketika minum air di sungai, dan dari jumlah itu didapatilah 300 orang yang tersisa.

TUHAN tidak tertarik dengan jumlah yang banyak. TUHAN punya cara sendiri untuk memberikan kemenangan kepada orang-orang pilihan-Nya. Identitas kita adalah apa yang dikatakan TUHAN tentang kita.

TUHAN menyebut kita pahlawan-Nya, namun pahlawan TUHAN bergerak mengikuti cara TUHAN bergerak. TUHAN tidak bekerja dengan cara-cara kita yang sempit dan terbatas, tetapi dengan cara-Nya tidak terbatas. Dengan 300 orang, Gideon memunahkan tentara Midian dan Amalek yang jumlahnya bisa menjadi 100.000 orang.

Hari ini mungkin Anda bergumul dengan kondisi Anda yang tidak ideal menurut ukuran-ukuran dunia. Mungkin kondisi keuangan Anda tidak ideal, kondisi keluarga Anda tidak ideal, atau dalam hubungan dengan pasangan hidup Anda dalam keadaan tidak ideal.

Mungkin juga Anda sudah berdoa dan merasa tidak ada jalan yang terbuka, atau mungkin Anda sudah bekerja keras mencoba banyak jalan, namun belum ada yang berhasil. Jika itu adalah keadaan Anda hari ini, mungkin Anda perlu berhenti sebentar dan memasang telinga kepada apa yang TUHAN ingin katakan tentang Anda.

Luangkan waktu kembali untuk membuka buku tua itu, dan merenungkan dalam keteduhan apa yang ingin dikatakan TUHAN tentang keadaan Anda.

Gideon si penakut, disebut pahlawan, dan dijadikan pahlawan oleh TUHAN. Identitas Anda adalah apa yang TUHAN katakan tentang Anda, dan setidaknya Anda bisa mendengar kata-kata ini bagi Anda: Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal. (Yoh 3:16).

Saya percaya TUHAN juga mau memakai Anda dan saya sebagai pahlawan-Nya. dan bagi TUHAN Tidak Ada yang Mustahil. Haleluya!

 Not because of who I am
But because of what You’ve done
Not because of what I’ve done
But because of who You are *

* (Penggalan lirik  “Who Am I”, dari Casting Crowns)

Jangan Gampang Baper, Mungkin Kamu Kurang Baca Aja

Wahyu 1:3 Berbahagialah ia yang membacakan dan mereka yang mendengarkan kata-kata nubuat ini, dan yang menuruti apa yang ada tertulis di dalamnya, sebab waktunya sudah dekat.

“Apa yang kamu pegang saat pertama kali bangun pagi? Alkitab atau handphone?” kata Pdt. Margie Ivonne Ririhena – de Wanna, D.Th. di atas mimbar saat saya dan keluarga mengikuti ibadah Minggu sore di GPIB Galilea, Bekasi.

Ya jujur saja, memang bukan Alkitab yang pertama kali saya pegang saat bangun pagi, pasti handphone atau smartphone, karena–dan ini alasan ngeles yang keren menurut saya–benda itu sudah saya pasang program alarm untuk membangunkan saya, jadi saya harus sentuh dan mematikan alarmnya agar stop berbunyi.

Ada lagi alasan keren lainnya, “Di smartphone saya sudah terpasang aplikasi Alkitab”. Dan alasan satu ini diajukan si ibu pendeta sendiri dari mimbarnya, tentu untuk menenangkan kegalauan jemaat saat mendapat pertanyaan di atas tadi. Tanda jemaat galau? Kami senyum-senyum simpul salah tingkah.

Pertanyaan dan pernyataan Pendeta Margie memang cukup menyentak, dan menjadi pengantar yang bagus untuk menjabarkan perikop yang dibaca dalam khotbah Minggu, yaitu Wahyu 1:1-8. Dari semua ayat, Wahyu 1:3 menjadi ayat yang dibahas khusus. Menarik memang ayat yang satu ini.

Lewat ayat ini, saya jadi paham sekaligus disadarkan bahwa kitab Wahyu itu bukan menitikberatkan pada nubuatan seram-seram tentang akhir zaman, atau tentang iblis yang dilepaskan di Bumi. Ayat ini malah menjadi yang pertama dari tujuh “ucapan bahagia” atau ucapan berkat yang ditemukan dalam kitab Wahyu. Enam ucapan bahagia lainnya dapat ditemukan dalam Wahyu 14:13; 16:15; 19:9; 20:6; 22:7; 22:14.

Namanya yang pertama, ayat ini menurut saya mempersiapkan kita secara mental dan metodologis dalam mengarungi nubuatan Yohanes selanjutnya. Tapi yang terpenting adalah Berbahagialah… usirlah rasa muram saat membaca Kitab Wahyu khususnya, dan tentu saja saat membaca Alkitab secara umum.

Berbahagialah saat membaca Alkitab. Baca yang benar, dengarkan apa yang sudah dibaca, lalu taati.

Membaca Alkitab yang benar tentu artinya kita memperhatikan dengan saksama apa yang kita baca. Kalau sudah membaca, dengarkan dan resapi dengan baik kata-kata di Alkitab, dan yang terpenting taat menjalani firman Tuhan.

Ini juga yang akan mencegah kita menjadi kaum “sumbu pendek”, alias gampang marah karena iman kita jadi bahan olok-olokan. Baca lebih dalam firman Tuhan, pastikan pengetahuan kita lebih mumpuni sebagai landasan iman.

Kita juga tidak akan jadi gampang baper (bawa perasaan), terutama saat membaca postingan di media sosial. Syukur-syukur kita bisa menyetop ujaran kebencian yang sering kali terasa mengasyikkan buat di-share ke teman-teman kita di media sosial.

Ya, jika karena imanmu membuat kau membenci orang lain atau pihak lain, mungkin kamu kurang membaca Alkitab dengan lebih teliti, lebih baik. Karena dalam kekristenan cuma ada dua hukum utama, kesemuanya menempatkan KASIH sebagai yang utama, bukan kebencian atau pembalasan.

Matius 22:37-39;

Jawab Yesus kepadanya: “Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu. Itulah hukum yang terutama dan yang pertama. Dan hukum yang kedua, yang sama dengan itu, ialah: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.

Kapal Tanpa Kemudi

Pernahkah Anda memperhatikan bahwa ketika Tuhan memerintah nabi Nuh supaya membangun bahtera, Tuhan tidak memberikan perintah untuk membuat kemudi? Setiap kapal, terutama yang berukuran besar, biasanya memiliki kemudi. Namun untuk bahtera ini, tidak.

Bayangkan Nuh bertanya demikian, “Mmmm, Tuhan…saya mau tanya sedikit, nih. Mengapa tidak ada kemudinya?” Tapi Nuh tidak menanyakan itu. Tanggapan Nuh kira-kira seperti ini, “Baiklah Tuhan. Saya akan keluar dari wilayah kenyamanan saya untuk melakukan kehendak-Mu.”

Nuh tidak memusingkan persoalan kemudi karena dia memiliki keyakinan bahwa kemana pun dia dan keluarganya berada, mereka berada di bawah naungan Allah yang Mahakuasa. Yang dilakukan Nuh adalah melakukan perintah Tuhan dan menunggu perintah berikutnya dengan tekun.

Apakah Tuhan memanggil Anda untuk keluar dari sarang kenyamanan Anda, untuk melakukan pekerjaan yang besar? Saya percaya hal ini menimbulkan pergumulan yang berat. Saya pernah mengalaminya. Rasanya lebih berada pada situasi yang mapan dengan penghasilan yang pasti.

Nuh pun mungkin saja enggan masuk ke dalam bahtera bersama sekumpulan binatang selama sebulan lebih. Bayangkan betapa bau bahtera itu karena kotoran hewan! Akan tetapi Nuh bersedia meninggalkan daerah kenyamanan untuk menyambut rencana Tuhan atas hidupnya dan keluarganya.

“Karena iman, maka Nuh-dengan petunjuk Allah tentang sesuatu yang belum kelihatan- dengan taat mempersiapkan bahtera untuk menyelamatkan keluarganya” – (Ibrani 11:7)

Dari keteladanan Nuh, kita bisa belajar untuk berani mengambil keputusan keluar dari daerah kenyamanan untuk mengikuti perintah Tuhan. Setelah itu menunggu perintah selanjutnya dengan taat.

Serahkanlah kemudi kehidupan Anda pada Tuhan. Dia yang berada di atas memiliki pandangan yang lebih luas dan mengetahui arah tujuan kehidupan kita.

PURNAWAN KRISTANTO

Catatan: Tulisan ini dikutip sudah seizin penulis. Laman asli tulisan ini lihat di: http://renungan.purnawan.web.id/?p=777

*Penulis adalah writer | trainer | humanitarian volunteer | video & photo hobyist | jazz & classic lover | husband of priest | father of two daughters |

My First Funeral

Kematian adalah sesuatu yang tidak dirayakan. Kesedihan yang mendalam karena ditinggalkan oleh orang yang dikasihi, ketidakpastian yang menyeruak, akan hari esok yang harus dijalani tanpa orang yang dikasihi, dan berbagai macam emosi yang lain, bercampur aduk di dalam dada ketika kematian itu datang menjemput orang yang kita kasihi.

Sebagai pendeta yang menggembalakan jemaat, kematian juga bukan peristiwa yang saya rayakan. Melayani kebaktian tutup peti, kebaktian pemakaman, ataupun kebaktian penghiburan kepada keluarga yang ditinggalkan, adalah pelayanan yang paling sulit saya lakukan. Saya selalu merasa, siapakah saya, sehingga bisa mengucapkan kata-kata penghiburan kepada mereka yang sedang dirundung kesedihan yang begitu hebat? Yang saya bisa sampaikan hanyalah kata-kata Tuhan yang tercatat di dalam kitab suci, karena saya yakin, Tuhan-lah yang paling bisa memberikan penghiburan, karena Tuhan jualah yang paling tahu apa yang dibutuhkan mereka yang sedang dirundung kesedihan.

Saya memang belum banyak melayani kebaktian-kebaktian seperti di atas, karena jemaat yang saya gembalakan baru seumur jagung, dan usia kebanyakan anggota jemaat relatif muda sampai paruh baya. Akan tetapi, saya tidak dapat melupakan kebaktian pemakaman yang pertama saya pimpin, beberapa tahun silam.

Kebaktian itu adalah kebaktian pemakaman seorang pria yang wafat di akhir usia 50-an tahun. Kami biasa memanggil dia dengan sebutan Pak Toni. Beliau datang ke gereja kami pada bulan Januari dan beliau wafat di bulan Juni. Ketika beliau pertama kali datang ke gereja, tidak ada yang istimewa dengan dirinya. Beliau duduk di belakang dan mengikuti ibadah. Ketika menyampaikan kotbah, saya langsung bisa mengenali bila ada orang yang baru di dalam ibadah, karena jumlah anggota jemaat ketika itu tidak lebih dari 30 orang. Ketika saya melihat beliau, di dalam hati saya terdengar suara lembut berbisik, yang saya yakini adalah suara Roh Kudus, “Itu anak-Ku. Aku mengasihi dia. Berikan pelukan hangat kepadanya karena dia sudah datang ke gereja hari ini.” Ketika ibadah selesai, seperti biasa saya menyalami semua jemaat yang hadir, dan kepada Pak Toni saya menaati bisikan yang saya dengar, saya meminta izin untuk dapat memberikan pelukan hangat selamat datang. Dia mengizinkan, dan kami berpelukan.

Pak Toni kemudian selalu datang ke ibadah dengan setia setiap Minggu. Dia juga mengikuti persekutuan kelompok sel (komsel) yang diadakan di tengah minggu. Saya kemudian mendapatkan informasi bahwa Pak Toni ternyata sudah 30 tahun meninggalkan imannya kepada Yesus, dan hari Minggu di mana saya memeluknya, adalah hari pertama dia kembali ke gereja. Bukan hanya itu, saya juga menemukan bahwa beliau ternyata mempunyai masalah kesehatan. Ternyata beliau adalah seorang pengidap HIV positif, dan sebagai komplikasi dari itu, beliau mengidap pneumonia. Meskipun demikian beliau tetap setia datang setiap Minggu, dan mengikuti komsel. Padahal beliau tinggal cukup jauh, sekitar 20 km dari gereja kami. Terkadang ketika mengikuti komsel beliau harus meminta izin untuk berbaring di sofa, karena kondisi kesehatan beliau.

Suatu hari kondisi kesehatan Pak Toni memburuk. Hari Senin kami membawa beliau ke rumah sakit. Hari Selasa saya mengunjunginya untuk mendoakannya. Hari Rabu pagi beliau pergi. Beliau telah mengakhiri perjuangannya di dunia. Saya menangis ketika memimpin pemakaman beliau. Saya menangis karena saya kembali mendengar suara lembut berbisik di hati saya, “terima kasih karena telah memeluknya enam bulan yang lalu. Dia ada dalam pelukan-Ku sekarang.” Saya menangis karena diizinkan bertemu dengan seorang anak yang hilang yang kembali kepada Tuhan, menemaninya selama sisa hidupnya di dunia, dan mengantarkannya pulang ke pelukan Bapa yang kekal.

Kematian memang tidak dirayakan, tetapi kematian bagi kita yang percaya, juga tetap membawa damai.

Akulah kebangkitan dan hidup; barangsiapa percaya kepada-Ku, ia akan hidup walaupun ia sudah mati, dan setiap orang yang hidup dan yang percaya kepada-Ku, tidak akan mati selama-lamanya. Percayakah engkau akan hal ini?” (Yohanes 11:25-26)

 

Foto: Koleksi Pribadi