Tag Archives: pendeta

KKR di Bandung Serta Kisah Keteladanan

“KKR Pdt Dr Stephen Tong di Bandung dibubarkan ormas”, demikian terbaca di WhatsApp group yang saya ikuti. Lalu, penulis lincah dan indah Dennis Siregar menulis artikel memberitahukan bahwa ormas itu adalah “ormas abal-abal”. Jadi, bukan oleh ormas bermutu seperti NU atau Muhammadiyah.

Mengapa harus dibubarkan? Mengapa? Apakah yang membubarkan itu masih waras? Apakah mereka masih memiliki hormat kepada orang tua, kakek lemah, yang sudah berusia lebih dari 76 tahun? Apakah kita sudah kehilangan budaya Timur?

Pdt. Dr. Stephen Tong, yang saya anggap sebagai orang tua, bukan saja tua, lemah, tapi juga sakit-sakitan! Entah berapa banyak alat-alat medis, seperti cincin dimasukkan dalam tubuhnya yang membuatnya bertahan hidup! Terakhir kali saya menyaksikannya berkhotbah, saya sangat kasihan.

Mengapa kasihan? Saya menyaksikan bahwa tubuhnya sudah sangat lemah untuk berdiri di mimbar cukup lama. Sebelum naik ke mimbar, saya menyaksikannya didorong pakai kereta dorong.

Ketika melangkah ke mimbar, beliau harus dituntun. Ketika mulai berbicara, dalam tempo lima menit beliau akan batuk batuk sambil–maaf–mengeluarkan dahak! Terlihat sekali beliau berjuang untuk berbicara, mengeluarkan kata demi kata.

Lalu mengapa masih terus berkhotbah? Haruskah itu dilakukannya? Haruskah? Apa tidak banyak orang lain menggantikannya? Jawabnya, ada dan banyak. Beliau telah meluluskan banyak hamba Tuhan yang setia dan rela membayar harga, termasuk menderita.

Di situlah kakek tua tersebut sangat layak diteladani, terutama oleh jutaan kaum muda yang telah mendengar khotbahnya.

Saya sangat yakin tidak ada orang yang memaksa kakek tua Stephen Tong untuk terus berkhotbah, juga bukan karena materi. Jika uang menjadi alasannya berkhotbah, sudah lama dia dapat istirahat.

Lalu apa yang mengharuskannya? Saya sangat yakin inilah jawabannya: beban dan kerinduannya terhadap jiwa-jiwa tersesat, yang ditipu dan disesatkan iblis sehingga hidup dalam dosa!

Dia tidak rela melihat jutaan pemuda, remaja yang dirusak dan dihancurkan oleh berbagai macam dosa seperti narkoba, pornografi, sex bebas dan sejenisnya. Itu sebabnya, dalam berbagai ibadah yang dilayaninya beliau juga mengadakan sesi khusus untuk remaja, siswa-siswi.

Kerinduannya yang sedemikian besar untuk melepaskan jiwa-jiwa dari perbudakan iblis, dosa dan hawa nafsu liar membuat kakek tua itu rela berkeliling ke berbagai pelosok di seluruh Nusantara.

Dalam kondisi demikian, tidak ada yang dapat merintanginya. Beliau bahkan siap berkhotbah di tengah guyuran hujan dan angin kencang, sebagaimana dilakukannya pada ibadah KKR di Tarutung, Sibolga dan Balige pada Mei yang lalu.

Jika hujan dan angin diterobosnya untuk memberitakan kabar baik, bagaimana dengan sakit penyakit? Juga tidak mampu menghadangnya. Dalam kondisinya yang parah, beberapa kali dokter melarangnya untuk naik mimbar, berbahaya, bisa berakibat fatal! Apa yang dilakukannya? Beliau tetap naik mimbar, siap untuk mati!

Lalu mengapa kakek tua yang berhati mulia itu harus dihentikan berkhotbah? Lalu mengapa beliau sendiri bisa diadang ormas?

Pasti bukan karena takut! Inilah jawaban kakek tua, hamba Tuhan itu: Natal bukan momen bermusuhan tapi menabur cinta kasih.

Betapa indahnya kalimat itu. Betapa indahnya dan agung pengorbanannya demi kemanusiaan.
Bersama kakek tua, Pdt. Stephen Tong yang mengikuti teladan Tuhan Yesus, mari kita berdoa: “Ya Bapa, ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yg mrk perbuat”.

Mari terus berdoa utk yang terkasih kakek tua, Pdt. Dr. Stephen Tong bersama tim STEMI.
May God bless you and your team our dear Rev. Dr. Stephen Tong. We love you…

 

Pdt. Dr. Ir. Mangapul Sagala, MTh.

Tulisan ini juga dimuat di:

http://www.kompasiana.com/www.mangapulsagala.com/keteladanan-pdt-dr-stephen-tong_5847b4cc2c7a61df06685afb

Penulis adalah Alumnus Fakultas Teknik UI Doctor Theology dari Trinity Theological College, Singapore, Cambrige, Roma.

 

FotoL Pixabay/Hailongli72

My First Funeral

Kematian adalah sesuatu yang tidak dirayakan. Kesedihan yang mendalam karena ditinggalkan oleh orang yang dikasihi, ketidakpastian yang menyeruak, akan hari esok yang harus dijalani tanpa orang yang dikasihi, dan berbagai macam emosi yang lain, bercampur aduk di dalam dada ketika kematian itu datang menjemput orang yang kita kasihi.

Sebagai pendeta yang menggembalakan jemaat, kematian juga bukan peristiwa yang saya rayakan. Melayani kebaktian tutup peti, kebaktian pemakaman, ataupun kebaktian penghiburan kepada keluarga yang ditinggalkan, adalah pelayanan yang paling sulit saya lakukan. Saya selalu merasa, siapakah saya, sehingga bisa mengucapkan kata-kata penghiburan kepada mereka yang sedang dirundung kesedihan yang begitu hebat? Yang saya bisa sampaikan hanyalah kata-kata Tuhan yang tercatat di dalam kitab suci, karena saya yakin, Tuhan-lah yang paling bisa memberikan penghiburan, karena Tuhan jualah yang paling tahu apa yang dibutuhkan mereka yang sedang dirundung kesedihan.

Saya memang belum banyak melayani kebaktian-kebaktian seperti di atas, karena jemaat yang saya gembalakan baru seumur jagung, dan usia kebanyakan anggota jemaat relatif muda sampai paruh baya. Akan tetapi, saya tidak dapat melupakan kebaktian pemakaman yang pertama saya pimpin, beberapa tahun silam.

Kebaktian itu adalah kebaktian pemakaman seorang pria yang wafat di akhir usia 50-an tahun. Kami biasa memanggil dia dengan sebutan Pak Toni. Beliau datang ke gereja kami pada bulan Januari dan beliau wafat di bulan Juni. Ketika beliau pertama kali datang ke gereja, tidak ada yang istimewa dengan dirinya. Beliau duduk di belakang dan mengikuti ibadah. Ketika menyampaikan kotbah, saya langsung bisa mengenali bila ada orang yang baru di dalam ibadah, karena jumlah anggota jemaat ketika itu tidak lebih dari 30 orang. Ketika saya melihat beliau, di dalam hati saya terdengar suara lembut berbisik, yang saya yakini adalah suara Roh Kudus, “Itu anak-Ku. Aku mengasihi dia. Berikan pelukan hangat kepadanya karena dia sudah datang ke gereja hari ini.” Ketika ibadah selesai, seperti biasa saya menyalami semua jemaat yang hadir, dan kepada Pak Toni saya menaati bisikan yang saya dengar, saya meminta izin untuk dapat memberikan pelukan hangat selamat datang. Dia mengizinkan, dan kami berpelukan.

Pak Toni kemudian selalu datang ke ibadah dengan setia setiap Minggu. Dia juga mengikuti persekutuan kelompok sel (komsel) yang diadakan di tengah minggu. Saya kemudian mendapatkan informasi bahwa Pak Toni ternyata sudah 30 tahun meninggalkan imannya kepada Yesus, dan hari Minggu di mana saya memeluknya, adalah hari pertama dia kembali ke gereja. Bukan hanya itu, saya juga menemukan bahwa beliau ternyata mempunyai masalah kesehatan. Ternyata beliau adalah seorang pengidap HIV positif, dan sebagai komplikasi dari itu, beliau mengidap pneumonia. Meskipun demikian beliau tetap setia datang setiap Minggu, dan mengikuti komsel. Padahal beliau tinggal cukup jauh, sekitar 20 km dari gereja kami. Terkadang ketika mengikuti komsel beliau harus meminta izin untuk berbaring di sofa, karena kondisi kesehatan beliau.

Suatu hari kondisi kesehatan Pak Toni memburuk. Hari Senin kami membawa beliau ke rumah sakit. Hari Selasa saya mengunjunginya untuk mendoakannya. Hari Rabu pagi beliau pergi. Beliau telah mengakhiri perjuangannya di dunia. Saya menangis ketika memimpin pemakaman beliau. Saya menangis karena saya kembali mendengar suara lembut berbisik di hati saya, “terima kasih karena telah memeluknya enam bulan yang lalu. Dia ada dalam pelukan-Ku sekarang.” Saya menangis karena diizinkan bertemu dengan seorang anak yang hilang yang kembali kepada Tuhan, menemaninya selama sisa hidupnya di dunia, dan mengantarkannya pulang ke pelukan Bapa yang kekal.

Kematian memang tidak dirayakan, tetapi kematian bagi kita yang percaya, juga tetap membawa damai.

Akulah kebangkitan dan hidup; barangsiapa percaya kepada-Ku, ia akan hidup walaupun ia sudah mati, dan setiap orang yang hidup dan yang percaya kepada-Ku, tidak akan mati selama-lamanya. Percayakah engkau akan hal ini?” (Yohanes 11:25-26)

 

Foto: Koleksi Pribadi