Sebagai warga Jakarta sejak 40 tahun lalu, saya ikut menyaksikan perubahan dan permasalahan masyarakat urban Ibu Kota (transportasi, hunian, perekonomian, dll). Setahuku hampir tak ada lagi lahan untuk membangun pemukiman berjumlah besar (puluhan ribu unit) dan bangunan bersifat horisontal.
Alternatifnya, rumah susun/flat/apartemen, macam Kalibata City dan yang lain. Itupun harus dengan cara membeli atau menggusur permukiman-permukiman padat, wilayah “slum” yang memang masih banyak di lima wilayah kota.
Masalahnya, harga tanah yang relatif mahal dan warga belum tentu mau melepas tanah dan rumah mereka diakuisisi pemprov untuk dikonversi jadi rumah susun (high rise building).
Pilihan lain, membangun permukiman–terutama untuk segmen masyarakat kelas menengah dan bawah–di luar wilayah DKI Jakarta, yakni Bekasi, Bogor, Cibinong, atau Tangerang, seperti proyek-proyek yang dikerjakan pengembang (developer, umumnya korporasi) dalam 20 thn terakhir ini.
Lalu, bila cagub Anies-Sandi berani menawarkan pemilikan rumah tanpa panjar/DP, kira-kira rumah model apa dan dibangun di mana? Bangunan horisontal atau vertikal?
Agak mustahil saat ini membebaskan permukiman padat dengan “harga pemerintah”; bukan harga ala pengembang swasta yang berani menginvestasikan dana raksasa dan tak perlu minta persetujuan DPRD. Bila dipaksakan–atas nama fungsi sosial tanah yg sebenarnya dibolehkan UU Pokok Agraria–berisiko pula digugat warga ke pengadilan, dan diganggu para “aktivis anti penggusuran/relokasi” atas nama keadilan bagi rakyat bawah.
Membangun di luar wilayah DKI? Pilihan hanya ke wilayah Bekasi, Bogor, Cikarang, Karawang, Banten, karena sulit menemukan lahan luas. Bila itu yang dipilih, tentu bukan lagi warga Jakarta yang hendak dibantu cagub tersebut, melainkan warga Bekasi, Bogor, Banten.
Sekadar info, di pinggiran Jakarta arah timur mendekati perbatasan Bekasi, harga tanah termurah kini, per m2 sekitar Rp 5 juta. Menemukan lahan luas untuk membangun perumahan massal hampir mustahil pula, kecuali berani membebaskan dengan harga berlipat-lipat.
Jadi, capek kalian menggunjingkan uang muka 0 persen yang disodorkan Anies. Barangkali beliau tak paham peta dan harga pasar (bukan NJOP) tanah di Jakarta. Bila pemprov mau baik hati membantu penyediaan rumah bagi masyarakat berpenghasilan pas-pasan, hanya cara pemberian subsidi dalam jumlah besar yang harus disiapkan.
Dugaan saya, dia ingin menarik simpati warga pemilih terutama keluarga muda dan lajang yang akan berumah tangga namun belum memiliki rumah. Menggiurkan memang bila sepintas didengar, walau masih bagian dari teks iklan agar dipilih.
Saya pun tak yakin pasangan ini mampu menyelesaikan persoalan banjir–masalah usang Jakarta–tanpa membongkar bangunan-bangunan di bantaran kali/sungai, tak melebarkan kali, dan itu berarti tidak menggusur atau merelokasi warga yang mengokupasi. Kali Ciliwung, contohnya, semakin lama semakin menyempit karena bangunan, timbunan sampah, dan pendangkalan tepian kali, jadi mempersempit aliran air hingga menimbulkan banjir, apalagi bila dapat “kiriman” dari Bogor.
Tapi, begitulah… Orang-orang masih banyak yang lebih suka mengedepankan kebencian ketimbang mengakui hasil perbaikan, seraya mendesak terus pengurus negara/pengelola kota agar mempedulikan rakyat di semua lapisan dan di berbagai aspek.