Category Archives: Inspirasi

Utak-atik Statistik, Yang Sedikit Mengalahkan Yang Banyak

Tahukah Anda bahwa hampir 90% uang di dunia ini hanya dimiliki oleh 1% orang saja. Sebanyak 10% sisa uang di dunia ini dibagi-bagi untuk 99% manusia lainnya.

Kalau membaca buku “The Secret” karangan Ibu Rhonda yang terkenal itu, ini disebabkan hanya 1% yang mengetahui rahasia itu, sementara yang lain tidak tahu, atau tahu tapi tidak percaya dan tidak menghiraukan.

Saya tidak ingin membahas buku tersebut, yang saya rasa Anda semua banyak yang sudah membacanya. Jangan-jangan nanti Anda menganggap saya, “enggak up-date banget sih, hari gini masih ngebahas ‘The Secret’.. gaul dong, mas”. Jadi saya tegaskan lagi, saya hanya mengutip sedikit saja kalimat di atas dan jika ada yang belum membaca, ah.. kamu gaul dong.

Kembali ke masalah antara 1%, 10% dan 99% tadi, saya juga sedang tidak tertarik membahas statistik dan presentase jumlah uang. Pertama, saya tidak suka angka dan selalu kesulitan dalam mata pelajaran matematika; Kedua, saya belum pantas membahas masalah keuangan jika dibanding dengan teman-teman di Singapura yang sangat melek dan canggih dalam masalah keuangan.

Tapi yang saya ingin sampaikan di sini adalah soal jumlah dan angka juga, walaupun tentu jangan harap sekali lagi saya menjelaskan kenapa yang 1% tadi bisa menguasai 90%. Jika Anda belum percaya, tanya ibu Rhonda saja, saya juga tidak bisa mengecek keakuratannya karena ini menyangkut jumlah uang yang amat luar biasa besar, dan tidak akan pernah benar-benar akurat.

Nah, berkenaan dengan jumlah atau angka, ternyata di Alkitab memiliki keberpihakan kepada jumlah yang sedikit. Yang sedikit menjungkirbalikan yang banyak. Jumlah besar menjadi tidak signifikan dengan keberhasilan, dan jumlah sedikit tidak selalu menjadi kecil dan menjadi “pihak yang kalah”.

Kalau Anda nanti membaca Alkitab, ada banyak cerita tentang jumlah tentara Israel yang sedikit melawan jumlah tentara bangsa lain yang lebih banyak, tapi diberi kemenangan oleh Allah. Mulai sejak jaman Musa, Yosua, Gideon , Deborah dan lain lain; jumlah tidak penting, kecil dan sedikit mengalahkan yang besar dan banyak.

Tuhan ingin membuka mata manusia, bahwa kekuatan Tuhan itu tidak terbatas dan lebih kuat dari apapun, jika manusia mau mendekat kepadaNya.

Masalahnya, manusia dari dulu lebih banyak yang buta. Kembali ke soal angka, dari 12 pengintai yang disuruh Musa mengintai Tanah Kanaan, hanya 2 yang sanggup “melihat”, yang 10 lagi “buta”.

Dari 10 penderita kusta yang disembuhkan Yesus, hanya 1 yang sanggup “melihat” kebesaran Tuhan, yang 9 lagi walau sembuh tapi tetap “buta”, sehingga tidak pernah kembali kepada Yesus bahkan untuk mengucapkan sepatah kata terima kasih.

Jadi apa yang saya maksud 1% manusia yang menguasai uang di awal tulisan ini sanggup “melihat” dan saya yang termasuk di 99% ini adalah “buta”? Sabar dulu, bukan itu maksud saya. Ini terlalu menyederhanakan keadaan. Nanti saya dimarahi oleh banyak orang karena menganggap mereka “buta”.

Maksud saya adalah, ternyata dari dulu sampai sekarang komposisi sedikit menguasai yang banyak itu masih tetap saja terjadi.

Yosua, 1 dari 2 pengintai yang sanggup melihat Kekuatan Tuhan dari pada persoalan yang ada, akhirnya dipilih Tuhan menjadi pengganti Musa untuk memimpin Bangsa Israel dan sangat sukses dalam kepemimpinannya; ke 10 orang pengintai yang lain tidak pernah terdengar lagi kabarnya.

Saya juga yakin kehidupan 1 orang kusta yang kembali kepada Yesus untuk bersyukur dan memujiNya, pasti lebih baik dari pada 9 orang yang hanya ngeloyor pergi begitu saja walaupun sudah disembuhkan. Nuh yang melihat dan mendengar Tuhan selamat, sementara manusia yang lain mati karena “buta” dan hanya terbatas melihat dengan mata jasmani ini saja.

Susahnya, kalau 9 orang buta menilai 1 orang yang melihat, bisa jadi nanti yang salah adalah yang 1 orang itu. Sayangnya pula, dari zaman dahulu sampai sekarang tidak pernah terdengar lagi kisah, 9 orang kusta kembali untuk bersyukur dan hanya 1 orang yang ngeloyor pergi.

Belum ada yang berubah sampai sekarang. Coba Anda berbuat baik ke 10 orang, berapakah yang membalas kebaikan saudara? Yuk, coba deh. Apakah hanya 1 yang kembali ? Atau malah banyakan yang mengomentari dan menganalisis tindakan anda.

Syukur-syukur Anda tidak digosipi, “eh itu orang ngapain sih bikin begituan? cuiihh, biar dibilang asyik tuh.”

Saya kebayang saat Yosua kembali ke Musa dan memberitahukan kabar baik dari tanah Kanaan, yang 10 lagi akan nge-gosip di belakang. “Halahh, Yosua paling cuma mau menjilat doang tuh. Dasar buta tuh orang. Sok asyik banget seehh..”

Kata orang pintar, statistik menggambarkan keadaan dan kenyataan. Statistik sederhana tadi mengatakan 2 dari 12, 1 dari 10.

Kalau masih tetap berlaku sampai sekarang, berarti jangan kaget untuk yang merasa bagian dari yang 1 atau 2. Dari dulu juga begitu ceritanya, tabah saja sekarang dan nantikan akhirnya yang selalu happy ending.

Bagi yang merasa masih bagian dari yang 10, cepat-cepat mengubah sikap, nanti akhirnya pasti sad ending. Jangan sampai nanti ramai-ramai menertawakan dan menganalisis tindakan orang lain dan menganggap orang lain buta, padahal matanya sendiri buta.

Saya masuk yang mana ya? Yang pasti saya belum masuk dalam 1% manusia yang menguasai 90% uang di dunia ( lagipula nanti saya bingung menguasai uang sebanyak itu).
Ucok Gultom

 

Penulis adalah pemerhati kesedihan, pecinta kopi yang tak pandai menabung, sekarang berkantor di Panggang Ucok, Jl Otista Raya no 149.

 

Foto:StockSnap

Kamu Egois, Aku Egois

Salah satu masa paling menyenangkan selama bergelut di dunia kerja ini adalah ketika suami saya pindah ke kantor di sebelah gedung kantor tempat saya bekerja. Kami bisa berangkat dan pulang kerja bersama dan sesekali janjian makan siang berdua, atau makan malam berdua sepulang kerja sebelum pulang ke rumah. Semacet apapun Jakarta rasanya tak terlalu mengganggu sebab saya tinggal duduk dan suami yang menyetir. Kami bisa mengobrol sambil ngemil dan mendengarkan radio/musik.

Tapi itu tak lama. Setelah beberapa tahun, dia ditugaskan lagi ke kantor cabang perusahaan yang lain yang berada di pinggiran Jakarta. Tak mungkin lagi dia antar atau jemput saya, sebab berbeda arah. Pernah terpikir untuk mengemudi sendiri atau mencari pengemudi pribadi, tapi pada akhirnya memutuskan lebih praktis kembali ke pangkuan angkutan umum, yang sebelum dan sesudahnya dan kapan saja seolah setia mendampingi saya (hahaha).

Apa yang terjadi dengan warga angkutan umum sekarang? Begitu saya bertanya dalam hati ketika baru kembali lagi ke ‘alam bebas’ itu. Rasanya seperti dulu ketika baru pulang dari Jepang yang serba rapi dan kagok ketika melihat semrawutnya Jakarta.

Satu kata yang lantas terbersit dari pikiran saya adalah: Egois.

Seperti kemarin pagi, di angkot, dengan cueknya seorang bapak berpakaian rapi merokok seenaknya padahal semua isi angkot yang mayoritas wanita sudah menutup hidung dan mengibas-ibas sebagai isyarat supaya beliau mematikan rokok. Egois sekali bapak ini! pikir saya. Teringat di Jepang ada inovasi untuk perokok, namanya Smoking Bells (bentuknya seperti bell/lonceng). Alat ini didesain untuk membuat perokok menikmati asap rokoknya sendiri di tempat umum, hingga tidak akan mengenai orang di sekitarnya.

Lalu soal tempat duduk di angkutan umum. Jika saya bandingkan, bila pagi hari saya naik patas AC, kemungkinan besar tidak akan dapat tempat duduk. Yang duduk sambil tidur adalah (selain wanita) para pria berpenampilan kantoran rapi yang seolah takkan peduli sekalipun ada nenek atau ibu hamil berdiri di dalam bus.

Jika saya naik kopaja, yang kebetulan isinya kebanyakan para buruh, kemungkinan besar mereka akan memberikan saya (atau wanita lainnya) tempat duduk mereka. Di situ saya kadang merasa sedih (ini bukan bercanda). Membandingkan kedua hal ini membuat saya miris. Kembali satu kata itu terbersit. Egois sekali para pria kantoran ini!

Lalu bukan hanya itu. Ada saja penumpang yang tidak mau menggeser tempat duduk untuk orang di sampingnya. Jika karena ukuran badan jadi tidak muat, mungkin bisa dimaklumi. Tapi jika karena ogah rugi, misalnya harusnya bisa berlima tapi yang duduk masih empat orang, aduh! Penumpang egois! (Makan tuh tempat duduk! Begitu teman saya pernah memaki).

Lalu kemarin lusa, seorang berpenampilan mahasiswi duduk di sebelah saya di kopaja. Di Sudirman, dia turun lebih dulu. Anehnya, tak ada ucapan permisi atau ngomong apa kek supaya saya memberi jalan, nyelonong saja dengan kasar. Untung saya sudah antisipasi, segera bangkit berdiri agar dia bisa keluar dengan lega, padahal saya cuma geser kaki juga sebenarnya dia masih bisa lewat. Bahkan saya sampai berdiri mundur memberi jalan, hingga saya berdiri di selasar kopaja. Yang tak saya duga, masih sempat-sempatnya sepatu kets-nya mundur dan menginjak sepatu saya. Saya hanya berdecak dan mengusap sepatu. Sakitnya nggak seberapa, kesalnya itu lho. Lalu, ketika saya turun, saya baru sadar suatu hal.

Astaga, saudara-saudara, rupanya sudah copotlah aksesori blink-blink sepatu lama favorit saya yang modelnya sudah tidak diproduksi itu lagi! (Ini bagian lebaynya, hahaha).

Dengan sedih dan geram saya pungut si Blink-blink yang oleh rekan kantor yang jahil disebut swarovski. Lalu saya melangkah dengan gaya sok cool walau diam-diam berharap tak ada yang memerhatikan perbedaan di antara kedua sepatu saya! (Tengsin, tahu!). Tiap kali ada orang berpapasan dengan saya dan melirik ke bawah, saya langsung mempercepat langkah, bagai selebiriti menghindari paparazzi (cuiiii…).

Tiba di pintu masuk gedung, satpam juga melirik sepatu saya walau tak berkata apa-apa. Masuk kantor, rekan-rekan saya terpingkal-pingkal mendengar cerita saya. Kasihan, untung swarovski mahalnya nggak hilang pas copot tadi, goda mereka. Lalu seorang teman sepakat dan berkata, memang anak muda jaman sekarang egois banget dan kadang nggak punya manner. Tentu saja itu hiperbola dan tak bermaksud menggeneralisasi. (Lalu saya mengelem kembali sang swarovski palsu, dan sepatu favorit saya kembali ke penampilan semula).

Belum selesai sampai di situ. Ketika saya turun lift dan mau keluar di lobi, ada orang yang berada di lantai itu segera menerobos masuk. Padahal sudah jelas ada aturan, biarkan yang mau keluar terlebih dahulu. Kayak mau naik angkot aja takut nggak keangkut ya, Neng? Dan itu sering terjadi. Memangnya dia nggak bisa bedain apa, ini lift Neng, bukan kopaja yang orang berebutan naik! Kalau di perkantoran pusat bisnis sudirman saja masih begini gaya orang kerja, apa kata dunia?! Egois amat sih, Mbak? Harusnya dia lihat kebiasaan di Jepang, jika naik eskalator, orang-orang berjajar rapih di sebelah kiri, dan jika ada yang buru-buru silakan berjalan di sebelah kanan.

Tapi mungkin bukan hanya dia, dia, dan dia tadi yang egois. Mungkin saya juga pernah melakukan keegoisan yang kurang-lebih sama.

Pernah saya (dan semua penumpang) membiarkan seorang nenek berdiri di kopaja. Waktu itu saya memang kurang sehat. Ini bukan ngeles. Dalam hati saya berkata: Maaf ya, Nek. Bukannya saya egois, tapi tekanan darah saya sedang turun jadi saya nggak kuat berdiri lama-lama. Untungnya nenek itu tidak jauh tujuannya, beberapa menit segera turun.

Saya juga pernah duduk di kopaja dan tidak mau geser. Kenapa? Karena tempat duduk di sebelah saya basah bekas hujan. Si Nona manja yang baru naik tidak mau masuk untuk duduk dan saya juga tidak mau pindah ke sebelah. Si kenek mengomel dan saya balas: Saya sudah naik dari terminal dan duduk di sini duluan, kenapa harus saya yang pindah? Dan itu kursinya basah! (Kenek yang malang, ibu-ibu loe lawan berdebat, hahaha). Si kenek pun diam dan melap kursi tapi si Nona manja yang terlanjur mengambek tidak mau duduk lagi. Silakan berdiri sendiri di belakang, Non! Biar tinggi sendiri. Atau jadi model pendamping pengamen (ini ucapan teman saya ketika saya ceritakan kisah ini).

Lalu ketika malamnya saya bercerita pada suami, dan karena tahu anak-anak menguping, saya sengaja berkata: Dunia luar sana itu keras! (Anak sulung saya langsung menyahut: Ih, mama lebay!)

Pernah juga saya naik kopaja (lama-lama kopaja jadi favorit gue deh ini, hahaha) yang ternyata lagi dicharter oleh guru-guru madrasah yang akan training di Senayan. Mereka kaget pas saya naik. Lalu mereka bilang: Ini kopaja lagi nggak narik.

Pikir saya: Lha kok berhenti pas saya setop? Ternyata berhenti karena ada mobil berhenti di depannya. Hahaha. Dengan malu saya nyaris turun. Tapi tiba-tiba saja ide itu muncul. Mungkin karena saya kepepet takut terlambat (Ide memang sering muncul dalam keadaan kepepet). Saya tanya, mereka lewat mana, boleh ikut nggak? Ternyata searah kantor saya dan mereka langsung menerima saya ikut. Tempat duduk memang hanya sekitar separuh saja yang terisi. Berhati mulia sekali sekali, pikir saya. Saya jadi penumpang gratis. Ibu-ibu guru itu mengajak saya mengobrol, ada yang mengajak saya bercanda, ada juga bu guru yang ngegodain seorang pak guru yang mendadak pindah tempat duduk (katanya biar dekat saya, hahaha). Mereka bahkan mengajak saya ikut berfoto wefie.

Betapa beruntung saya, kali ini bertemu orang-orang yang sama sekali tidak egois. Keneknya pun tidak mau terima ketika saya mau turun saya coba selipkan selembar uang. Semua guru itu langsung berteriak: Jangan diterima. Full service gratis ini, Mbak!

Ini salah satu contoh kisah toleransi khas orang Indonesia yang legendaris itu, yang sama sekali jauh dari keegoisan. Guru memang luar biasa, jasamu memang tiada tara!

Kembali ke masalah egois-egoisan tadi. Mungkin memang masih baru sampai di situ progres kita. Kita memang masih dalam proses perubahan. Semoga semakin cepat perubahan ini, dan semakin baik. Kebalikan dari lagu Kemesraan, keegoisan ini semoga cepat berlalu. 🙂

-*-

Foto: Pixabay

“Diet or Die”

Langsing lebih membawa keuntungan untuk perempuan daripada gemuk, itu fakta. Perempuan langsing lebih disukai laki-laki pada umumnya, lebih gampang cari baju, lebih populer..

***

Materi kuliah hari ini tentang tubuh perempuan dalam komik “Shiboo to iu na no fuku wo kite”(In Clothes Called Fat) karya Anno Moyoko.

Langsing lebih membawa keuntungan untuk perempuan daripada gemuk, itu fakta. Perempuan langsing lebih disukai laki-laki pada umumnya, lebih gampang cari baju, lebih populer (cheerleaders di sekolah-sekolah rata-rata murid perempuan yang cantik kan, dan tubuhnya langsing).

diet-or-die-rouli

Sama seperti pemutih kulit, sudah tak terhitung program pelangsingan tubuh yang ditawarkan di iklan-iklan, testimoni dari orang-orang yang sudah mencoba, dengan foto before dan after programnya.

Sekali lagi, saya bukan antidiet, atau antilangsing. Engga sama sekali. Kita juga tahu, bahwa gemuk itu tidak bagus, risiko kena banyak penyakit, seperti diabetes, darah tinggi, jantung, dan sebagainya. Kalau terlalu gemuk, gerak pun jadi lamban, jalan sedikit capek, stamina juga gampang drop. Gaya hidup sehat dengan tubuh ideal, jelas itu sebuah hal yang positif.

Tapi…..

Pertama. Bukankah di kelas, biasanya yang diledek itu orang gemuk, misalnya dibilang, “hai, gendut!” atau “dasar gajah lu!”, “big baboon lu!”? Kata-kata ini semua bernada negatif, tidak membangun.

Kedua. “Saya olahraga supaya sehat.” Oke, ini sebuah sikap yang sangat positif. Tetapi, apakah semua orang, terutama perempuan, berolahraga semata-mata supaya sehat?

Saya rasa, banyak yang motif berolahraganya karena ingin memiliki tubuh idaman, yaitu tubuh yang langsing, dan bukan hanya sekedar langsing, tapi juga kencang, padat, dan berisi di bagian-bagian tertentu. Sekali lagi, ingin punya tubuh langsing tidak salah, tapi sudah mulai tidak sehat, jika kita akhirnya terobsesi harus langsing.

Ketiga. Pernah engga, kita–kaum perempuan–terintimidasi karena lihat penampilan teman kita yang lebih keren, cantik, dan langsing? Atau merasa inferior karena ketika cari baju, baik baju luaran atau baju dalam, tidak ada ukuran yang pas, karena tidak muat di tubuh kita? Terutama untuk baju dalam, saya perhatikan, baju dalam dengan model lucu-lucu dan “warna perempuan”, pada umumnya menyediakan ukuran standar saja.

Yang big size biasanya warnanya membosankan (warna basic yang serius seperti krem, putih, hitam, biru donker), modelnya juga out of date, dan biasanya harganya agak lebih mahal.

Di dalam komik ini, dibahas tentang seorang perempuan usia 20-an yang di-bully karena tubuhnya yang gemuk, dan bagaimana perempuan ini akhirnya mati-matian diet sampai terkena bulimia, karena merasa bahwa tubuh langsing adalah kunci kebahagiaan.

Kelihatannya hiperbola, dan mungkin kita berpikir, “ahhhh itu kan cerita doang, engga mungkin saya begitu”. Tapi kenyataannya: nilai perempuan hingga saat ini, sayangnya….pada umumnya ditentukan oleh kecantikan (termasuk tubuh yang langsing) dan kemudaannya.

Hari ini, di kelas, mahasiswa presentasi tentang pembacaan komik ini, dan masing-masing kelompok saling memberi pertanyaan. Satu pertanyaan yang menarik : “Kalau kalian, lebih ingin jadi Noko (tokoh utama, perempuan gemuk yang bulimia) atau Mayumi (tokoh antagonis, perempuan langsing yang ngebully tokoh utama)?”

Yang lebih menarik lagi adalah jawaban yang diberikan para mahasiswa ini. Kebanyakan dari mereka, bilang begini:

“Saya ngga mau jadi Noko atau Mayumi. Menurut saya, yang penting itu bukan fisik perempuan itu gemuk atau langsing. Yang paling penting adalah bagaimana saya sebagai perempuan berani mengungkapkan pikiran dan pendapat saya.” Jawaban yang luar biasa!

Pembahasan mengenai tubuh perempuan (dan laki-laki) masih akan berlanjut pada minggu-minggu berikut. Ini sebenarnya “hanya” kelas kajian budaya dan masyarakat Jepang, tapi saya berharap, setelah mereka mengikuti kelas ini, mahasiswa-mahasiswa saya menjadi perempuan-perempuan yang percaya diri, berani mengemukakan pendapat, dan berani punya sikap, termasuk punya persepsi positif mengenai tubuh mereka (kebetulan kelas ini isinya perempuan semua).

Marilah kita semua berhenti bersikap dangkal: menilai orang hanya dari tampilan fisiknya, terutama tampilan fisik perempuan. Dan…stop ejekan, ledekan, candaan yang meledek fisik orang. Please, itu sungguh tidak manusiawi.

Rouli Esther Pasaribu

Penulis adalah pengajar paruh waktu di Program Pascasarja Kajian Wilayah Jepang UI.

Foto: Pixabay

Foto Buku: http://books.bunshun.jp/ud/book/num/9784167777012

Menatap “Senja” dengan Berpikir Positif

 

Bagiku, Senja adalah kematangan dewasa

Pengalaman hidup yang utuh ranum dalam kemesraan anggun

Yang dapat menoleh kelampauan

dan terus melangkah di masa kini

mewujudkan panggilan Kristus yang tidak henti bergema

untuk mempersembahkan yang terbaik sampai titik akhir

sambil menatap penantian penuh kesejukan bersama Allah Bapa

 

Penggalan puisi ini dibacakan saat awal ibadah pada hari Minggu, 16 Oktober 2016. Saya beribadah di GPIB Nazareth saat itu, rupanya bertepatan dengan Hari Ulang Tahun Keenam Persekutuan Kaum Lanjut Usia disingkat PKLU.

GPIB memang memiliki bidang-bidang pelayanan berdasarkan kategori dari anak-anak yang lebih sering disebut Persekutan Anak atau PA, lalu Persekutuan Teruna (PT), Persekutuan Kaum Bapak (PKB), Persekutuan Kaum Perempuan (PKP), dan kemudian PKLU ini yang merupakan kategori pelayanan buat para Oma dan Opa, atau jemaat dengan usia di atas 60 tahun.

Puisi yang dibacakan oleh seorang Oma di depan jemaat terasa indah sekali dan memberi optimisme yang besar. “Senja adalah kematangan dewasa”, kalimat ini jelas terasa memberi energi positif bagi yang membaca atau menyimaknya.

Bagi saya, puisi ini selain mendorong para Oma dan Opa untuk berpikir positif, lirik-lirik pada penggalan puisi ini seperti juga mendorong saya untuk berpikir positif terhadap para orang tua kita. Karena cuma kategori seperti merekalah “yang dapat menoleh kelampauan dan terus melangkah di masa kini”.

Kerentaan memang bisa jadi merupakan musuh utama yang melelahkan saat orang tua kita menjalani hari-hari mereka, namun pikiran positif membuat banyak orang tua terasa “lebih anak muda” daripada yang memang muda secara usia.

Sangat mengasyikkan melihat bagaimana seorang Oma di gerejaku begitu aktif dengan akun Facebook-nya. Rasanya, tak begitu banyak orang tua di atas 60 tahun mau bercapek-capek mempelajari bagaimana membuat akun di Facebook (mungkin dibuatkan, ok lah), lalu belajar posting status, atau nge-like postingan orang lain, atau malah nge-tag orang lain.

Status yang biasa tertera seperti ucapan selamat ulang tahun, atau forward kisah-kisah inspiratif. Sepanjang saya mengurut kegiatan Facebook si Oma, tak ada ujaran-ujaran negatif yang terlontar atau diteruskan.

Terasa sekali, asam garam kehidupan yang telah dilalui mempengaruhi kebijakan si Oma dalam aktivitas di media sosial. Kalau semua netizen begini, dijamin adem timeline kita, nggak gampang gaduh.

Berpikir positif ini jugalah yang saya sendiri sering terapkan saat menghadapi orang tua tercinta, Oma dan Opa dari anak-anak saya. “Mama pengen makan di sini deh”, “Mama dah lama nggak jalan ke mal ini”, “Mama diajakin nonton dong kayaknya ada film bagus tuh di bioskop”, nah loh?! Banyak amat maunya.

“Ayo ma..kita jalanin semua, ok aja. Seru pasti.”

“Hehe, enggaklah. Mama enggak kuat lah ngejalanin semua kepengen mama sekaligus. Mama cuma pengen ngobrol-ngobrol aja.”

Kalau sudah begini, semua diselesaikan secara adat di tempat nongkrong warung roti bakar di pinggir jalan utama kompleks rumah. Saya, istri, anak-anak, dan Oma tentunya, ngobrol ngalor-ngidul sambil menyeruput teh tarik atau cappuccino ala warung kopi itu. Biasanya malam, pukul 20.00 WIB, dan sampai waktu yang tidak ditentukan.

Kebanyakan orang tua cuma ingin yang simpel saja, didengar apa yang dia katakan, dan mendengarkan perkembangan apa yang telah terjadi pada orang-orang yang dikasihinya.

Bayangkan kalau saya sedang hilang kesadaran dan langsung berpikir negatif “Ngapain sih ma pengen macem-macem gitu?! Aneh-aneh aja ah!” Jawaban aura negatif seperti ini pasti langsung mengaburkan niat sebenarnya, dan dampaknya rasa sedih pasti akan menyelubungi hati orang tua dan tentu perasaan kita jadi galau juga. Tak ada yang diuntungkan, malah luka dan duka yang ditimbulkan.

Pada saatnya, saya–jika Allah berkenan–akan masuk “kategori PKLU” juga. Dambaan saya, semua berjalan seperti kisah Musa mempersiapkan Yosua.

Musa menjadi rujukan dalam setiap langkah orang muda seperti Yosua. Namun, Yosua-lah yang meraih masa di depannya, karena Musa tidak diperkenankan memasuki tanah perjanjian, Kanaan. Musa hanya diperbolehkan menatap tanah perjanjian, Yosua yang memasukinya (Ulangan 34).

Jadi, masih dalam rangka berpikir positif, sebagai orang tua saya wajib mempersiapkan kehidupan anak-anak saya sebagai generasi selanjutnya. Dan, saya akan menatap mereka meraih impian mereka, sebuah “tanah perjanjian” yang disiapkan Allah.

“Gemuk Ya Sekarang?”

Siapa yang pernah dikomentarin begitu? Saya sih sudah sering banget.

Pertama-tama, saya tidak menampik kenyataan saya gemuk. Mau bagaimana lagi…hidup di bumi Indonesia dengan nasi padangnya yang maknyooooos, untuk saya sih mustahil menahan hasrat makan ini.

Kedua, saya juga enggak akan mau membalas pernyataan orang yang ada tendensi “meledek” atau “menghina” fisik dengan ungkapan serupa. Saya tidak akan mau mengatakan seseorang itu gemuk atau kurus dalam arti yang negatif. Mengapa? Maaf, saya enggak level untuk meledek fisik orang. Saya sekali-sekali tidak akan mau.

Begini. Sebelum ngomong gemuk atau kurus, coba pikir dulu, kira-kira kita nyaman nggak kalau dibilang seperti itu. Sama halnya dengan menanyakan kepada perempuan yang sudah menikah, apakah dia sudah hamil atau belum atau perempuan yang belum menikah, kapan nikahnya, atau kepada laki-laki usia produktif, sudah dapat kerja atau belum.

Saya enggak akan menanyakan hal-hal seperti itu. Orang bilang, itu kan bentuk perhatian, tapi menurut saya bukan. Jika sebuah pernyataan atau pertanyaan sudah tidak menyamankan pihak yang ditanya, itu bukan perhatian namanya. Itu namanya menyusahkan orang lain.

Kalau kita bilang pada orang lain: gemuk ya sekarang? Itu maksudnya apa? Perhatian? Basa basi? Atau hanya sebuah pernyataan untuk mengkonfirmasi bahwa diri sendiri ini langsing dibanding orang yang kita bilang gemuk?

Kalaupun iya itu perhatian atau basa-basi, lebih baik cari kalimat lain yang menunjukkan perhatian atau membuka percakapan, deh. Soalnya, sekalipun yang bersangkutan emang beneran gemuk, pasti dia enggak suka dibilang gemuk.

Mengapa? Karena gemuk itu punya citra negatif dibanding langsing. Dan sekalipun yang punya badan gemuk itu merasa baik-baik saja dengan tubuhnya, tapi ucapan yang bertendensi negatif itu tetap aja tidak sejuk untuk telinga dan hati.

Orang bilang, perkataan orang enggak usah dimasukin ke hati. Iya, itu betul. Tetapi, alangkah baiknya jika kita menjaga perkataan kita agar sebisa mungkin tidak berdampak negatif pada orang lain. Iya kan?

Jadi mulai sekarang, sekalipun untuk kasih perhatian atau basa basi, enggak usah kita bilang: gemuk banget ya sekarang, atau, kok kurus banget sih kayak kurang gizi. Ingat, kita sungguh lebih berharga dibanding hanya menjadi golongan orang yang komen-komen soal gemuk kurus, sudah nikah belum, sudah punya anak belum, sudah kerja belum.

Ada segudang topik menarik untuk dibahas, seperti impian kita apa, produksi terbaru Teater Koma, musik klasik, buku-buku bermutu yang wajib dibaca, debat capres Amrik. Oke, oke, ini topik menarik menurut saya.

Tapi intinya, ada banyak hal yang bisa dibahas selain pertanyaan dangkal macam gemuk kurus, nikah atau enggak, punya anak atau nggak. Be smart and wise, oke?

 

Rouli Esther Pasaribu
Penulis adalah pengajar paruh waktu di Program Pascasarja Kajian Wilayah Jepang UI.

Foto: Pixabay

“Dusta di Antara Kita”

“Siapa yang kentut?”

Begitu saya spontan bertanya. Kasus: bau tak sedap. TKP: di dalam mobil. Tersangka: hanya empat orang, yaitu Si Papa, si Kakak, si Adik, dan saya.

“Aku!” jawab si Adik cepat.

Tidak seperti kasus kopi sianida yang bertele-tele, kasus kami ini langsung tuntas tanpa proses hukum.
Seketika mobil kami penuh tawa. Si Kakak lalu mengejek si Adik. Tapi saya memujinya.
“Bagus! Mama bangga akan kejujuran Adik,” puji saya.

Lalu saya pikir, mungkin begitulah hidup ini. Ketika kita mengungkapkan kejujuran, akan ada minimal dua respon. Ada yang menerima dan ada yang mencela. Itulah resikonya.

Padahal, seperti dalam ajaran berbagai agama, kejujuran itu hal yang mutlak. Hukum taurat kesembilan mengatakan: Jangan mengucapkan saksi dusta tentang sesamamu. Entah mengapa, melakukan kejujuran sudah diajari sejak kecil tapi kita sering lupa (?) mengaplikasikannya dalam hidup nyata. Apakah karena terlalu menyakitkan, atau lebih menyulitkan, orang lebih suka mengambil jalan pintas untuk berbohong? Kejujuran memang bukan hal yang mudah. Lebih mudah melakukan kebohongan.

Dalam hal sepele dalam hidup sehari-hari, mungkin tanpa sadar kita adalah pembohong yang produktif dan seringkali kreatif. Kok bisa? Bisa dong. Orang kan suka berbasa-basi, yang biasanya isinya semua ‘kebohongan’ dalam bentuk kreatif. Mau contoh?

‘Masakanmu enak banget, masterchef pun kalah!’

‘Kamu adalah cewek paling cantik di dunia! ‘

‘Loe emang orang paling baik di dunia!‘

Basa-basi boleh saja, asal jangan sampai menjadi kebohongan. Kita bisa memuji orang tapi jangan jadi berlebihan dan bahkan melenceng dari realitas. Ucapan kita jangan jadi pembelokan kenyataan. Tetaplah di dalam rel, fokus pada tujuan kita untuk ucapan itu. Misalnya untuk memuji. Saya pikir, ucapan bercanda lebih baik daripada berbasa-basi, misalnya, daripada berkata: Kumismu lebih menarik daripada aktor Captain America, lebih baik berkata: Saking kumis lo mirip aktor Captain America, gue jadi pengen memelihara kumis juga. Yang penting kan tujuan awal kita adalah memuji (dengan kreatif). Bukan melebih-lebihkan.

Atau, berkata: ‘Kamu terlihat cantik dengan baju merah ini’, lebih baik daripada : Kamu cantik banget kayak Angelina Jolie. (Iya kalau benar mirip Jolie, kalau tidak, bagaimana? Nanti dikira menyindir, kan repot. Hehehe…)

Konon, ada seorang HRD manager di perusahaan tempat saya bekerja dulu, sering memalsukan absensi. Saya pernah masuk list urutan tiga besar karyawan yang paling sering terlambat. Tapi kalau mau jujur, HRD manager itu sama seringnya telat seperti saya, tapi namanya tidak tercantum pada list yang memalukan itu, sebab hal itu bisa ditutupi dengan manis (HRD manager gitu lho, yang pegang absensi.) Tapi toh pada akhirnya dia keluar dari perusahaan dengan tidak hormat. Itu menjadi pelajaran. Kita semua akan menerima upah dari perbuatan masing-masing. Seperti tertulis di kitab suci, apa yang kau tabur akan kau tuai. Orang yang suka berdusta pada akhirnya akan kena batunya sendiri dengan dustanya itu.

Dulu saya ada rekan yang suka karaoke. Kalau mau jujur, suara rekan ini fals, tapi jadinya lucu dan seru, dan kalau ke karaoke ada dia pasti jadi rame. Seorang rekan lain, punya suara bagus sekali. Suatu kali waktu kami karaoke, si suara bagus ini mencela si suara fals dengan jujur. “Suara lo ancur banget sih, X!”
Lalu si X yang memang berwajah bagus, juga menjawab dengan jujur:  “Eh… Mending suara gue ancur daripada loe mukenya yang ancur.” Seketika kami semua tertawa. Ouch! Kejujuran memang terkadang menyakitkan.

Ada sebuah gurauan, tentang pertanyaan paling sulit dijawab dengan jujur, yaitu jika ada wanita yang minta pendapat apakah dirinya gemuk. Dijawab jujur, nanti tersinggung. Dibilang kurus, nanti dikira bohong. Hahahaaa…

Memang tidak mudah hidup dengan kejujuran. Mungkin takkan ada yang bisa melakukannya dengan sempurna. Tapi yang terbaik adalah niat untuk melakukannya, dengan hikmat, pada saat dan tempat yang tepat. Ucapkanlah pada timing yang tepat. Bijaklah, untuk memilah mana yang harus diucapkan, mana yang hanya disimpan saja. Saya sendiri pun masih belajar bijak. Saya menulis artikel ini juga sebagai refleksi untuk diri saya sendiri, sambil mendengarkan lagu milik Broery Marantika, ‘Jangan ada dusta di antara kita’. 🙂

*-*

 

Naik Transportasi Publik Yuk

Terkadang kita perlu menyadari bahwa solusi permasalahan perkotaan, seperti kemacetan dan lain sebagainya, jangan semata-mata dibebankan pada otoritas.

 

***

Pagi, 7 Oktober 2016. Commuterline Bogor-Manggarai

Artikel ini saya ketik di dalam commuterline tujuan Manggarai, tempat saya akan transit menuju Stasiun Sudirman. Hari ini ada undangan ke sebuah acara di bilangan Sudirman.

Bukan ini kali pertama saya, seorang commuter, menggunakan transportasi publik ke tempat kerja atau liputan. Saya tak fanatik pada satu macam saja, ekstrem pada transportasi pribadi atau transportasi publik.

Hal sederhana yang mau saya sampaikan, sembari berdiri di dalam gerbong kereta ini, adalah terkadang kita perlu menyadari bahwa solusi permasalahan perkotaan, seperti kemacetan, jangan semata-mata dibebankan pada otoritas.

Kita jangan menjadi warga atau commuter yang manja, seperti anak, yang segalanya minta dilayani. Istilahnya, mari menjadi bagian dari solusi saja yuk, daripada pusing memikirkan kok pemerintah begini, kok pemerintah begitu, kok Ahok begitu.. #eh!

Naik transportasi publik sebagai sebuah pilihan utama adalah bagian dari solusi permasalahan klasik perkotaan macam Jakarta. Kalau kesadaran ini meluas, pelan-pelan soal kemacetan, konsumsi bahan bakar bersubsidi yang melewati kuota, laun akan teratasi sendiri.

Sesederhana itu. Maaf tak bisa bicara lebih panjang dan melengkapinya dengan data berupa observasi, riset, analisis dan sebagainya. Saya ingin.

Tapi seperti yang saya sebut tadi, saya ini sedang berada di kereta api listrik. Lagipula saya sudah hampir turun. Hari ini perjalanan lebih cepat, bebas macet, dan adem pula di dalam gerbong yang berpendingin udara.

Beda seperti biasa kalau saya menyetir mobil atau sepeda motor. Macet, jauh, dan melelahkan.

Mungkin saya hanya beruntung, karena biasanya kereta api sepagi ini akan penuh berjubel. Tapi Keberuntungan itu milik pengguna transportasi publik, bukan yang pribadi, yang tadi saya lihat sudah tumplek blek di jalan raya Lenteng-Pasar Minggu. Kasian. Eh, saya juga kayak mereka ding, kemarin.

Ya udah, yuk ah naik transportasi publik.

DEDDY SINAGA

Foto: Credit atas nama sendiri.

AwKarin-Anya dan Labirin Gelap di Dunia Maya

Saat anak atau orang terdekat diberikan akses ke dunia tanpa batas bernama teknologi digital dan Internet, serta tak diawasi pula, mereka terancam bahaya.

***

Anya Geraldine dan Awkarin. Dua nama ini banyak dipergunjingkan masyarakat. Baik lewat media massa maupun media sosial. Keduanya adalah selebritas media sosial, yang dengan aksinya sehari-hari di dunia maya, telah melahirkan banyak penggemar sekaligus haters.

Masalahnya, aksi mereka telah menimbulkan keresahan sebagian masyarakat. Gaya bergaul yang bebas, cara berpakaian yang dianggap tak sesuai norma ketimuran, membuat resah banyak orang. Anya Geraldine dan Awkarin sampai-sampai dipanggil oleh Komisi Perlindungan Anak Indonesia.

Terlepas dari masalah dampak sosial dan psikologi yang ditimbulkan perilaku keduanya (Sebetulnya bukan cuma keduanya, kalau punya waktu cobalah telusuri media sosial, banyak yang seperti mereka) di jejaring sosial, sebetulnya fenomena  AwKarin dan Anya cuma riak permukaan saja.

Apa yang bisa ditawarkan dunia maya atau media sosial, jauh lebih mengerikan ketimbang sekadar mengamati gerak-gerik kedua makhluk cantik itu lalu tersesat dalam langgam keduanya.

Masyarakat abai pada dampak yang bisa ditimbulkan media sosial serta Internet, dan abai pula mengajari anak-anaknya untuk bijak menggunakannya. Mereka tak acuh pada perilaku online orang-orang terdekatnya.

Bagi orangtua, perangkat teknologi (termasuk Internet dan media sosial di dalamnya) dijadikan sebagai umpan agar anak tak keasyikan main di luar, atau jangan-jangan agar anak-anak tak mengganggu aktivitas orangtua.

Padahal, saat mereka diberikan akses pada dunia tanpa batas bernama teknologi digital dan Internet serta tak diawasi pula, anak terancam kecemplung ke dalam labirin gelap, panjang berliku, dan menyesatkan.

Apa saja bahaya yang menghadang anak di labirin yang bisa menyesatkan itu? Banyak! Mulai dari contoh negatif ala-ala Awkarin dan Anya, gaya hidup bebas, sampai yang jauh lebih mengerikan seperti jeratan predator seksual dan kejahatan lainnya.

Alih-alih ikut resah dan marah pada fenomena Awkarin dan Anya, ada baiknya orangtua mulai melihat keseharian anak-anaknya. Seberapa banyak mereka menghabiskan waktunya dengan gadget dan Internet. Apakah lebih banyak ketimbang waktu untuk mengobrol dengan orangtua atau saudara lain?

Bagaimana cara menyikapi masalah ini?

Pertama, patuhilah ketentuan penggunaan media sosial. Bacalah term & condition saat sign-up secara teliti, meski itu bisa membosankan karena panjangnya. Contohnya untuk usia pengguna. Jangan karena ingin anak jadi gaul (atau mungkin supaya anak tak mengganggu aktivitas Anda), anda mengizinkan anak memiliki akun media sosial padahal usianya belum cukup. Facebook misalnya, mensyaratkan penggunanya tak berusia di bawah 13 tahun.

Ingat, situs-situs media sosial akan selalu berasumsi bahwa penggunanya sudah cukup umur sehingga konten-konten yang beredar di dalamnya sudah sesuai dengan batas usia penggunanya. Jadi, kalau memang anak masih di bawah umur, ya jangan dibuatkan akun atau diizinkan punya akun media sosial.

Kedua, orangtua wajib mengawasi aktivitas anak-anak di media sosial dengan menjadi teman mereka. Pegang akses untuk masuk ke akun media sosial anak. Software-software antivirus juga sudah punya fitur parenting untuk mengontrol aktivitas anak di Internet. Manfaatkan itu.

Mungkin ada anak yang risih orangtuanya berada di daftar friendlist atau follower-nya. Tapi orangtua harus menjelaskan dengan baik apa maksud di balik itu semua. Yang penting, orangtua berjanji untuk tak banyak mencampuri urusan anak di media sosial, kecuali itu menjurus dan membahayakan keselamatan mereka.

Selebihnya jadilah pengamat yang diam. Anak-anak akan menyadari bahwa aktivitas mereka dilihat oleh orangtua, mereka akan merasa terlindungi kalau ada yang macam-macam di sana.

Ketiga, perbanyak komunikasi langsung dengan anak dalam berbagai kesempatan. Bikinlah quality time yang banyak dengan mereka. Apakah waktu-waktu sarapan sebelum berangkat sekolah? Atau saat makan malam? Atau pada saat kalian beraktivitas bersama di akhir pekan.

Keempat, tunjukkan! Kalau meminta anak tak sibuk dengan gadget atau media sosial, orangtua juga harus segendang sepenarian. Jangan malah asyik mantengin hape atau laptop ketika bersama anak-anak.

Kelima, jadilah teladan dalam perbuatan baik. Saya percaya, ketika hidup kita memancarkan kebaikan dan terang Kristus secara nyata dalam aktivitas sehari-sehari, khususnya di depan anak-anak kita sendiri, mereka akan baik-baik saja.

Buruanlah, jangan sampai terlambat ya.

 

DEDDY SINAGA

Foto: Pixabay/twinquinn84

 

Ketika Ponsel Ketinggalan di Rumah

Lampu lalu lintas di pertigaan Jalan Juanda-Margonda, Depok, baru saja berubah merah. Saya bergegas ingin mengambil ponsel di laci tas. Cari punya cari, ternyata saya ingat ponsel tertinggal di rumah. Aduh.

Perasaan galau pun langsung muncul. Tetapi untuk kembali ke rumah rasanya berat hati.

Maklum, itu sudah setengah perjalanan ke kantor. Rasanya buang-buang waktu dan bensin saja kalau harus memutar balik. Ya sudahlah ya, perjalanan pun dilanjutkan ke kantor. Tapi di hati muncul tanda tanya, “Bagaimana hidup seharian ini tanpa ponsel?”

Singkat cerita, ternyata baik-baik saja kok. Walau kadang-kadang, tak sadar tangan meraba saku celana atau kemeja. Mata sekali-kali refleks melirik ke sebelah laptop, tempat biasa meletakkan ponsel. Selebihnya, I’m just fine!

Malah, saya kira, ada kualitas hidup yang berubah jadi lebih baik kala kita tak tergantung pada ponsel. Misalnya, komunikasi ke rumah harus saya lakukan dengan telepon kantor. Mendengar suara istri dan anak lewat sambungan telepon, ternyata jauh lebih baik ketimbang bicara dengan mereka semata-mata melalui pesan instan.

Diskusi dengan tim kerja bisa dilakukan dengan langsung, tak melalui grup Whatsapp padahal duduk berdekatan. Hayo, seberapa kerap kalian bicara dengan kolega melalui pesan instan, padahal duduknya tak jauh dari meja? Lagi pula, banyak berjalan di kantor jadi lebih sehat bukan?

Bicara langsung kepada tim atau kepada orang lain, bukan semata-mata lewat pesan teks, juga meminimalisir salah pengertian. Saya kira, kita sudah terlalu banyak bergantung pada emoji untuk mewakili emosi. Padahal, barangkali kita lebih banyak menipu diri sendiri.

Sok tersenyum, padahal di hati sedang gundah. Sok tertawa, padahal di wajah sebaris senyum pun tak ada. Siapa yang bisa menerka apa yang sesungguhnya kita rasakan, dengan hanya melihat emoji yang kita kirimkan? Hanya kita dan Tuhan yang tahu kan?

***

Sebuah riset tahun 2014 mendapati bahwa orang Indonesia adalah pengguna ponsel pintar nomor satu di dunia dalam hal durasinya. Penelitian Milward-Brown itu mendapati orang Indonesia memakai ponsel pintar rata-rata 181 menit per hari.

Urutan kedua adalah orang Filipina dengan 174 menit per hari. Berikutnya berturut-turut Cina, Brasil, dan Vietnam.

Tak heran memang kalau ponsel itu menyita banyak waktu kita dalam kehidupan sehari-hari. Ketika berada di rumah, cobalah periksa seberapa sering Anda menghabiskan waktu dengan ponsel ketimbang bersenda gurau dengan suami/istri atau anak-anak.

Saat berkumpul dengan sahabat atau teman, coba cek seberapa banyak kalian melirik layar ponsel ketimbang berbagi cerita atau rasa kangen?

***

Saya masih ingat kok rasanya hidup tanpa ponsel, dulu sekali. Janjian dengan teman cukup dengan lisan, sampai pada hari H. Atau kalau punya telepon rumah, janji bisa diingatkan kembali. Selebihnya, ada rasa percaya bahwa orang yang kita ajak ketemuan pasti akan memenuhi janjinya.

Bicara dengan teman bisa sampai lupa waktu, lupa pulang, lupa makan. Tak ada intervensi perangkat teknologi bernama ponsel atau tablet.

Kita boleh menggunakan perangkat teknologi. Tapi jangan sampai perangkat itu hanya menghadirkan rasa percaya yang maya. Jangan sampai perangkat itu menciptakan relasi sebatas baris kata-kata di layar belaka. Jangan sampai perangkat itu menggantikan waktu-waktu yang intim dan berharga.

***

Apakah saya bisa menghapuskan kebutuhan pada ponsel? Ya tidak mungkin juga. Sebab ponsel adalah ‘senjata’ saya saat bekerja. Aplikasi-aplikasi semacam email, Internet, notes, kamera, video, sudah menjadi kebutuhan bagi profesi saya. Belum lagi ratusan kontak di dalamnya.

Tetapi ketinggalan ponsel kemarin itu mengajarkan saya, bahwa kebutuhan tak perlu berubah menjadi ketergantungan. Jadi tak perlu galau berlebihan kalau ponsel kamu ketinggalan.

DEDDY SINAGA

Foto: pixabay.com

Bahagiakah Anda?

Apakah anda bahagia?happy woman-570883_960_720

Waktu masih bekerja di bagian rekrutmen, kadang-kadang saya menanyakan hal di atas pada kandidat yang saya wawancarai. Nyaris tak pernah ada jawaban spontan akan pertanyaan ini. Biasanya kandidat akan mengernyit atau terdiam dulu beberapa detik, atau bahkan balik bertanya: Maaf, maksudnya bagaimana?

Tidak seperti ketika saya bertanya, misalnya: Apakah anda suka dengan pekerjaan anda? Jawaban Tidak, atau, Ya, biasanya terucap lebih spontan.

Pernah saya menanyakan hal serupa pada seorang teman dekat. Dia malah balik bertanya: Bahagia itu apa sih? (Saya mengerti dia sangat sibuk dan mungkin tak ada waktu untuk memikirkan pertanyaan bodoh itu. Tapi, lalu rupanya pertanyaan itu membuatnya mengevaluasi ulang jalan hidupnya).

Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) versi daring, bahagia adalah keadaan atau perasaan senang dan tenteram (bebas dari segala yang menyusahkan).

Bagi saya, waktu kecil, bahagia sudah ada jadwalnya. Yang pasti dalam setahun minimal ada tiga kali. Hari ulang tahun, hari Natal dan libur sekolah.

Apa yang menjadi kesamaan semua momen itu? Karena pada saat itu saya mendapatkan apa yang saya inginkan atau sukai. Versi kanak dalam diri saya pun mendefinisikan bahagia sebagai, keberhasilan menggapai keinginan dan target saya. Saya bahagia dengan semua yang saya dapatkan.

Hal itu pun berubah seiring waktu. Berbeda dengan dulu, sekarang defenisi bahagia bagi saya adalah rasa damai. Peace of mind. Rasa damai, walaupun saya tidak bisa mendapatkan keinginan, menggapai impian dan mencapai target-target saya. Dan itu ternyata sulit.

Mungkin berbeda dengan anda. Seperti seorang pengusaha sukses pernah berkata, dia akan merasa bahagia jika ketika dia bangun pagi, dia tidak menginginkan apapun lagi. Saya merasa itu lebih sulit lagi.

Dalam buku The Practices of Happiness: Political Economy, Religion and Wellbeing (2011, John Atherton, Elaine Graham and Ian Steedman), disebutkan, jika kebahagiaan berarti semata perasaan senang, itu akan menjadi makna hedonistik yang dapat dikritik dari persepsi filsafat dan teologis.

Dalam filsafat Aristotelian, kebahagiaan dianggap lebih dari sekedar kesenangan. Kebahagiaan terkait dengan pengembangan dan pemenuhan umat manusia yang tidak terpisahkan, yang berarti realisasi dari potensi yang kita miliki sebagai manusia.

Pemahaman kebahagiaan yang sama dijabarkan dalam tradisi Kristen. Kebahagiaan dipahami bukan dalam hal kesenangan atau kepuasan, tetapi dalam hal pengembangan umat manusia itu. Kebahagiaan adalah pemenuhan semua manusia, yang hanya mungkin dalam kasih Allah dan kasih sesama.

Dalam etika sosial Kristen, kebahagiaan sebagai pemenuhan manusia, terkait dengan pandangan Kristen tentang umat manusia, yang terdapat dalam hubungan antar individu, makhluk sosial yang saling bergantung hidup dengan orang lain. Sehingga bukan seperti perspektif individu, kebahagiaan lebih dari sekedar perasaan enak dan kesenangan.

Lalu, apa kata Alkitab tentang kebahagiaan?

Dalam Lukas 11:28 tertulis: Tetapi Ia berkata: Yang berbahagia ialah mereka yang mendengarkan firman Allah dan yang memeliharanya.” (Dalam versi NIVBlessed rather are those who hear the word of God and obey it). Blessed diterjemahkan menjadi bahagia. Orang yang bahagia, orang yang diberkati.

Di dalam Khotbah di Bukit, ciri-ciri orang bahagia, yaitu: orang yang miskin di hadapan Allah, orang yang berdukacita, orang yang lemah lembutorang yang lapar dan haus akan kebenaran, orang yang murah hatinya, orang yang suci hatinya, dan, orang yang membawa damai (Matius 5:1-10).

Nah, Alkitab memiliki defenisi kebahagiaan yang berbeda dengan yang tertulis di kamus. Di kotbah tadi tak ada tertulis: ‘orang yang bahagia adalah yang merasa senang dan puas, dan yang mendapatkan keinginannya’, ya?

Selain itu, Tuhan Yesus juga berkata, “Adalah lebih berbahagia memberi daripada menerima.” (Kisah Para Rasul 20:25). Ini benar-benar kontras dengan konsep bahagia saya waktu kanak-kanak, kan?

Yang lebih dahsyat lagi, dalam Yakobus, berbahagia jika jatuh ke dalam berbagai-bagai pencobaan (James 1:2 Consider it pure joy, my brothers and sisters, whenever you face trials of many kinds). Pencobaan adalah kebahagiaan? Ini sungguh ironis, bukan?

Padahal seorang profesor psikologi, A. Furnham (1953) juga menyatakan bahwa kebahagiaan merupakan bagian dari kesejahteraan, kepuasan, untuk melakukan kepuasan hidup, atau sama dengan tidak adanya tekanan psikologis. Pencobaan, kan tekanan?

Saya pernah menonton film kartun Disney, Inside Out, yaitu sebuah film dengan cerita yang menekankan temuan neuropsikologi bahwa emosi manusia mempengaruhi hubungan interpersonal dan dapat dimoderasi secara signifikan oleh manusia itu sendiri.

Film box office di seluruh dunia ini telah menerima beberapa penghargaan, termasuk Golden Globe Award. Ceritanya tentang seorang gadis kecil bernama Riley Andersen yang di dalam pikirannya ada lima personifikasi emosi dasar, yaitu Joy, Sadness, Fear, Disgust, dan Anger (Bahagia, Sedih, Takut, Jijik, dan Marah) yang mempengaruhi tindakannya melalui console di markas batinnya.

Tindakan Riley yang berusia sebelas tahun, dikendalikan oleh lima emosi mayoritas di atas, tapi JOY-lah yang menjadi pemimpin yang mengambil kendali agar Riley tetap bahagia.

Seperti ketika Riley pindah ke rumah yang jelek dan bau bangkai tikus, dan truk barang mereka hilang, dan hanya ada restoran pizza rasa brokoli yang Riley benci, emosi yang spontan muncul tentu adalah marah, sedih dan takut, tapi JOY dalam batin Riley mengendalikan emosinya dengan berkata: “Jangan fokus pada apa yang salah, selalu ada cara untuk memperbaikinya. Ayo cari senangnya. Find the fun!”

Riley pun mengambil tongkat dan memainkan gumpalan kertas sampah seperti bermain hoki di rumah kotor melompong itu, yang segera disambut oleh ayahnya. Suasana pun langsung berubah gembira.

Sebagai terobosan dalam film ini adalah, bahwa emosi diciptakan untuk menghubungkan orang bersama-sama, dan bahwa hubungan adalah hal yang paling penting dalam hidup ini. Emosi ada untuk mengatur kehidupan sosial dan penataan interaksi interpersonal (masih sejalan dengan buku The Practices of Happiness tadi, kan?)

Seperti itulah hidup kita. Kitalah yang pegang kendali atas emosi kita. Kitalah yang menentukan untuk membiarkan tombol kesedihan, ataukah memencet tombol sukacita, ketika masalah datang. Memang tak mudah, dan pasti banyak energi yang keluar, tapi pilihan ada di tangan kita.

Lalu, seperti para pakar berkata, kebahagiaan itu keputusan kita. Kita bisa meraung sedih berkepanjangan karena hujan, atau bisa mengambil payung dan berpose untuk diunduh ke media sosial (yang terakhir ini kalimat buatan saya, hehe).

Terlalu banyak hal dalam hidup ini yang menggerus perasaan kita hingga kita lupa untuk mengingat bahwa hidup kita sungguh diberkati, dan kita sering lupa memilih tombol perasaan bahagia. Seperti Riley dalam film Inside Out, biarlah JOY selalu mengendalikan tombol dalam emosi kita.

Mari berbahagia!

-*-