“No one cared who I was until I put on the mask”
Kalimat diatas tak sengaja kubaca di salah satu Instastory temanku kemarin. Segera aku reply instastory-nya,
“Kenapaa?”
Tak lama, dia membalas.
“Ya begitulah hidup,” katanya. Dia adalah seorang teman pria yang dulu tak lama ku kenal. Aku tau dia adalah seorang teman yang cukup aktif di media sosial dan nggak jarang upload foto-foto kegiatannya seperti orang-orang yang punya media sosial lainnya.
Aku tahu dia kurang mau terbuka saat itu. Wajar, karna aku teman wanita yang hampir 6 tahun tidak bertemu, hanya kadang sapa-menyapa di media sosial.
Saat itu, aku membenarkan apa yang dia katakan. Aku setuju dengan pendapatnya dan bilang memang banyak sekali orang fake.
Ku bawa diriku dalam kata-kata itu supaya dia pun tidak sungkan jujur tentang apa yang dia rasakan.
Contohnya aku,kataku. “Kalau aku sedih, kadang aku tersenyum saja di depan orang. Kalau aku marah aku diam. Karna kalaupun aku cerita nggak ada yang bisa ngerti. Yang peduli aja mungkin sedikit, apalagi yang mengerti.”
Setelah berkata begitu, lambat laun dia mulai bercerita tentang kekesalannya. Tentang apa yang dia rasakan. Tentang bagaimana pergumulannya saat itu tanpa aku memintanya untuk bercerita.
“Tentang keluarga?” kataku di sela-sela dia mulai menceritakan bahwa dia kesal.
Aku mencoba untuk tetap membuat keberadaan ku disana bukan sekadar mau menginterogasi dia tentang masalahnya. dan di akhir berkata,”Ah aku juga pernah begitu. Jangan terlalu lebay, nanti juga akan ada solusinya.. masalahku juga lebih pelik dari itu, tapi aku bisa kok melewatinya.”
Ini adalah salah satu kesalahan yang paling sering kita lakukan ketika kita mendengarkan orang lain yang sedang dalam masalah. Mungkin kita merasa sedang memberi energi positif yang akan membantu dia tetap semangat.
HEY. THIS IS NOT HOW YOU DO IT!!!
Kubiarkan dia berkata apa saja, mengeluarkan apa saja yang dia ingin keluarkan. Dan kubalas dengan, “Aku tahu aku nggak bisa ngerti sepenuhnya dengan apa yang sedang kau rasakan, tapi aku merasa kau sangat diberkati untuk kuat menghadapi itu semua”.
Itu membuatnya semakin terbuka dan terbuka lagi. Dan aku mengikuti alur pembicaraannya, kutanya sesekali tentang apa yang sedang dia ceritakan, yang menandakan bahwa aku sedang mencoba untuk mengerti akan apa yang sedang terjadi sekarang.
Sejak saya kuliah di UI, sudah berapa kasus yang aku temui orang bunuh diri karena frustasi, orang meninggal sakit nggak ada yang tahu di kamar kosnya sendiri, orang yang lari dari rumah.
Semuanya itu nyata dan ketika mengetahui hal itu, yang kita lakukan apa? Ngomongin? Sebar medsos dengan tulisan REST IN PEACE dan emoticon yang sedih dan bilang “nggak nyangka”?
Jujur, pertama kali aku dengar ada anak FE UI beberapa tahun silam meninggal gantung diri di kamar kos yang diduga karena skripsi nggak kelar-kelar, aku benar-benar berduka dan sangat sedih.
Aku nggak kenal dia. Tapi hal yang kusesalkan adalah, kenapa Tuhan nggak izinkan aku kenal sama dia dan dengerin dia di saat dia nggak ada teman yang bisa diajak mengobrol, sampai dia frustrasi dan putuskan untuk bunuh diri?
Tapi akhirnya, aku menyalahkan diriku lagi. Aku menangis dan bilang sama Tuhan,“Tuhan ampuni aku karena aku nggak kenal dia. Tolong aku biar lebih peka sama sekelilingku kalau mereka lagi dalam keterpurukan, keputusasaan. Tolong aku siap Tuhan buat dengar mereka, serumit dan sepribadi apapun itu. Aku mau hancur hati bersama dengan dia. Aku mau beri telinga untuk dengar dia.”
Sejak saat itu aku benar-benar mencoba untuk peka dengan keadaan orang lain.
Dan sekarang Tuhan kasih karunia itu bagiku. Mereka memang sedang tertawa, tapi aku tau di dalam hati mereka sedang menggumulkan suatu masalah besar. Dan ada kepekaan dan jalan tersendiri yang buat orang-orang voluntarily cerita ke aku.
Nggak jarang teman-temanku mempercayaiku akan sebuah masalah besar dan paling memalukan dalam hidup mereka. Sebenarnya itu bukan lah poinnya, Poinnya adalah, kapan kita terakhir kali memberi waktu buat orang lain, bahkan orang-orang yang kita sayangi?
Yakinlah, ada yang sedang mereka tutupi.
Ada topeng yang kadang harus mereka pakai supaya diterima oleh orang lain. Pernahkah kita berusaha untuk siap melihat dan menerima apa dibalik topeng mereka?
Ya, emangnya aku siapa? Setelah mereka cerita, terus apa? Nggak ada juga gunanya toh aku nggak kasih solusi apa-apa ke mereka? Emang masalahnya jadi selesai?
Ya benar, masalahnya belum selesai. Tapi hey, ketika kita lakukan itu, kita sedang menyelamatkan satu jiwa. Hati mereka yang sedang sedih dan hancur akan perlahan tenang karena dia sudah mengungkapkan dan mengeluarkan semua itu tanpa di-judge oleh pendengarnya.
Dengar dia, diam lah. Coba memahami sudut pandang dia. Lihat kedalaman hatinya. hancur hatilah bersamanya. ITU LEBIH DARI CUKUP.
Keberadaan kita lebih berharga daripada saran-saran bijak yang kita dapat dari GOOGLE, atau renungan-renungan harian.
Singkat cerita, setelah temanku bercerita tentang kondisi keluarganya dan pergumulan hatinya itu. pembicaraan membawa kami ke hal apa yang menjadi keinginan hatinya yang kurasa dia pun mungkin tak pernah bilang ke orang lain.
Mungkin dia sudah mulai merasa diterima, sehingga tidak lagi sulit baginya untuk menceritakan keinginan hatinya. Dia bilang dia merasa menyesal dulu berkuliah dan ambil jurusan Kesehatan Masyarakat, karena dia merasa passion-nya di fotografi, perfilman, dan menulis novel.
Dengan bersemangat aku bilang,”HEY THAT’S NICE THO! Ga ada yang perlu disesali, itu bisa jadi suatu nilai tambah bagimu. It’s ok kalau itu bukan jadi pekerjaanmu sekarang, tapi kan sedikit demi sedikit bisa ditekuni.”
“Namanya suka pasti kita pengen terus melakukannya. Kalau itu kau tekuni siapa yang tahu nanti itu bisa jadi sumber kepuasan hidupmu dan bahkan sumber uang juga. Kita nggak tahu apa ynag mungkin terjadi di depan.”
“JANGAN QUIT. Lanjutkan saja sebagai hobi. Hitung-hitung, menulis sebagai pengisi waktu kosong dan obat pelipur lara.”
Hey, you know that’s Brilliant, I said. Aku bisa merasakan energi positif nya juga keluar setelah dia balas,“Iya ya,siapa yang tahu apa yang terjadi di masa yang akan datang.”
Dan tanpa disadari, yang tadinya kata-kata yang dia lontarkan kebanyakan negatif, penyesalan dan kegundahan, diakhir cerita, aku meihat aura optimis dalam dirinya.
Aku mendengar mulutku berkata Puji Tuhan. hatiku senang sekali kalau dia bisa menjadi semangat seperti itu setelah 3 jam berbincang mengenai kerasnya hidup dan orang-orang yang ada di dalam hidup. Tuhan, terima kasih, kataku berulang kali dalam hati.
“Terima kasih ya atas waktumu. Ini sangat berarti buatku. Karena tidak banyak orang yang peduli denganku. Ya wajar karna mereka pun sudah sibuk dengan masalah mereka masing-masing,” katanya.
“Aku nggak merasa itu cukup besar. Aku cuma punya telinga dan punya waktu untuk mendengar orang lain. Aku nggak bisa selalu bantu. Nggak bisa kasih kerjaan kalau orang butuh kerjaan. Nggak bisa pecahkan masalah kalo mereka lagi ada masalah,” kataku.
“Tapi, selagi aku dibutuhkan buat dengar apapun, serumit apapun, aku yang akan pertama kali datang. jadi jangan sungkan. Aku nggak akan pernah nolak buat dengarkan orang”, kataku menutup.
Welen Friade Sinaga
Tulisan ini dimuat sudah seizin penulis.
Penulis adalah Pengurus Persekutuan Oikumene Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia (PO FIB UI) tahun 2016-2017
Foto: Pixabay.com