Tag Archives: hubungan

Buka Dulu Topengmu

“No one cared who I was until I put on the mask”

Kalimat diatas tak sengaja kubaca di salah satu Instastory temanku kemarin. Segera aku reply instastory-nya,

“Kenapaa?”

Tak lama, dia membalas.

“Ya begitulah hidup,” katanya. Dia adalah seorang teman pria yang dulu tak lama ku kenal. Aku tau dia adalah seorang teman yang cukup aktif di media sosial dan nggak jarang upload foto-foto kegiatannya seperti orang-orang yang punya media sosial lainnya.

Aku tahu dia kurang mau terbuka saat itu. Wajar, karna aku teman wanita yang hampir 6 tahun tidak bertemu, hanya kadang sapa-menyapa di media sosial.

Saat itu, aku membenarkan apa yang dia katakan. Aku setuju dengan pendapatnya dan bilang memang banyak sekali orang fake.

Ku bawa diriku dalam kata-kata itu supaya dia pun tidak sungkan jujur tentang apa yang dia rasakan.

Contohnya aku,kataku. “Kalau aku sedih, kadang aku tersenyum saja di depan orang. Kalau aku marah aku diam. Karna kalaupun aku cerita nggak ada yang bisa ngerti. Yang peduli aja mungkin sedikit, apalagi yang mengerti.”

Setelah berkata begitu, lambat laun dia mulai bercerita tentang kekesalannya. Tentang apa yang dia rasakan. Tentang bagaimana pergumulannya saat itu tanpa aku memintanya untuk bercerita.

“Tentang keluarga?” kataku di sela-sela dia mulai menceritakan bahwa dia kesal.

Aku mencoba untuk tetap membuat keberadaan ku disana bukan sekadar mau menginterogasi dia tentang masalahnya. dan di akhir berkata,”Ah aku juga pernah begitu. Jangan terlalu lebay, nanti juga akan ada solusinya.. masalahku juga lebih pelik dari itu, tapi aku bisa kok melewatinya.”

Ini adalah salah satu kesalahan yang paling sering kita lakukan ketika kita mendengarkan orang lain yang sedang dalam masalah. Mungkin kita merasa sedang memberi energi positif yang akan membantu dia tetap semangat.

HEY. THIS IS NOT HOW YOU DO IT!!!

Kubiarkan dia berkata apa saja, mengeluarkan apa saja yang dia ingin keluarkan. Dan kubalas dengan, “Aku tahu aku nggak bisa ngerti sepenuhnya dengan apa yang sedang kau rasakan, tapi aku merasa kau sangat diberkati untuk kuat menghadapi itu semua”.

Itu membuatnya semakin terbuka dan terbuka lagi. Dan aku mengikuti alur pembicaraannya, kutanya sesekali tentang apa yang sedang dia ceritakan, yang menandakan bahwa aku sedang mencoba untuk mengerti akan apa yang sedang terjadi sekarang.

Sejak saya kuliah di UI, sudah berapa kasus yang aku temui orang bunuh diri karena frustasi, orang meninggal sakit nggak ada yang tahu di kamar kosnya sendiri, orang yang lari dari rumah.

Semuanya itu nyata dan ketika mengetahui hal itu, yang kita lakukan apa? Ngomongin? Sebar medsos dengan tulisan REST IN PEACE dan emoticon yang sedih dan bilang “nggak nyangka”?

Jujur, pertama kali aku dengar ada anak FE UI beberapa tahun silam meninggal gantung diri di kamar kos yang diduga karena skripsi nggak kelar-kelar, aku benar-benar berduka dan sangat sedih.

Aku nggak kenal dia. Tapi hal yang kusesalkan adalah, kenapa Tuhan nggak izinkan aku kenal sama dia dan dengerin dia di saat dia nggak ada teman yang bisa diajak mengobrol, sampai dia frustrasi dan putuskan untuk bunuh diri?

Tapi akhirnya, aku menyalahkan diriku lagi. Aku menangis dan bilang sama Tuhan,“Tuhan ampuni aku karena aku nggak kenal dia. Tolong aku biar lebih peka sama sekelilingku kalau mereka lagi dalam keterpurukan, keputusasaan. Tolong aku siap Tuhan buat dengar mereka, serumit dan sepribadi apapun itu. Aku mau hancur hati bersama dengan dia. Aku mau beri telinga untuk dengar dia.”

Sejak saat itu aku benar-benar mencoba untuk peka dengan keadaan orang lain.

Dan sekarang Tuhan kasih karunia itu bagiku. Mereka memang sedang tertawa, tapi aku tau di dalam hati mereka sedang menggumulkan suatu masalah besar. Dan ada kepekaan dan jalan tersendiri yang buat orang-orang voluntarily cerita ke aku.

Nggak jarang teman-temanku mempercayaiku akan sebuah masalah besar dan paling memalukan dalam hidup mereka. Sebenarnya itu bukan lah poinnya, Poinnya adalah, kapan kita terakhir kali memberi waktu buat orang lain, bahkan orang-orang yang kita sayangi?

Yakinlah, ada yang sedang mereka tutupi.

Ada topeng yang kadang harus mereka pakai supaya diterima oleh orang lain. Pernahkah kita berusaha untuk siap melihat dan menerima apa dibalik topeng mereka?

Ya, emangnya aku siapa? Setelah mereka cerita, terus apa? Nggak ada juga gunanya toh aku nggak kasih solusi apa-apa ke mereka? Emang masalahnya jadi selesai?

Ya benar, masalahnya belum selesai. Tapi hey, ketika kita lakukan itu, kita sedang menyelamatkan satu jiwa. Hati mereka yang sedang sedih dan hancur akan perlahan tenang karena dia sudah mengungkapkan dan mengeluarkan semua itu tanpa di-judge oleh pendengarnya.

Dengar dia, diam lah. Coba memahami sudut pandang dia. Lihat kedalaman hatinya. hancur hatilah bersamanya. ITU LEBIH DARI CUKUP.

Keberadaan kita lebih berharga daripada saran-saran bijak yang kita dapat dari GOOGLE, atau renungan-renungan harian.

Singkat cerita, setelah temanku bercerita tentang kondisi keluarganya dan pergumulan hatinya itu. pembicaraan membawa kami ke hal apa yang menjadi keinginan hatinya yang kurasa dia pun mungkin tak pernah bilang ke orang lain.

Mungkin dia sudah mulai merasa diterima, sehingga tidak lagi sulit baginya untuk menceritakan keinginan hatinya. Dia bilang dia merasa menyesal dulu berkuliah dan ambil jurusan Kesehatan Masyarakat, karena dia merasa passion-nya di fotografi, perfilman, dan menulis novel.

Dengan bersemangat aku bilang,”HEY THAT’S NICE THO!  Ga ada yang perlu disesali, itu bisa jadi suatu nilai tambah bagimu. It’s ok kalau itu bukan jadi pekerjaanmu sekarang, tapi kan sedikit demi sedikit bisa ditekuni.”

“Namanya suka pasti kita pengen terus melakukannya. Kalau itu kau tekuni siapa yang tahu nanti itu bisa jadi sumber kepuasan hidupmu dan bahkan sumber uang juga. Kita nggak tahu apa ynag mungkin terjadi di depan.”

“JANGAN QUIT. Lanjutkan saja sebagai hobi. Hitung-hitung, menulis sebagai pengisi waktu kosong dan obat pelipur lara.”

Hey, you know that’s Brilliant, I said. Aku bisa merasakan energi positif nya juga keluar setelah dia balas,“Iya ya,siapa yang tahu apa yang terjadi di masa yang akan datang.”

Dan tanpa disadari, yang tadinya kata-kata yang dia lontarkan kebanyakan negatif, penyesalan dan kegundahan, diakhir cerita, aku meihat aura optimis dalam dirinya.

Aku mendengar mulutku berkata Puji Tuhan. hatiku senang sekali kalau dia bisa menjadi semangat seperti itu setelah 3 jam berbincang mengenai kerasnya hidup dan orang-orang yang ada di dalam hidup. Tuhan, terima kasih, kataku berulang kali dalam hati.

“Terima kasih ya atas waktumu. Ini sangat berarti buatku. Karena tidak banyak orang yang peduli denganku. Ya wajar karna mereka pun sudah sibuk dengan masalah mereka masing-masing,” katanya.

“Aku nggak merasa itu cukup besar. Aku cuma punya telinga dan punya waktu untuk mendengar orang lain. Aku nggak bisa selalu bantu. Nggak bisa kasih kerjaan kalau orang butuh kerjaan. Nggak bisa pecahkan masalah kalo mereka lagi ada masalah,” kataku.

“Tapi, selagi aku dibutuhkan buat dengar apapun, serumit apapun, aku yang akan pertama kali datang. jadi jangan sungkan. Aku nggak akan pernah nolak buat dengarkan orang”, kataku menutup.

 

Welen Friade Sinaga

Tulisan ini dimuat sudah seizin penulis.

Penulis adalah Pengurus Persekutuan Oikumene Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia (PO FIB UI) tahun 2016-2017

 

Foto: Pixabay.com

Gelombang Balik #KerenanAHok dan Senyum Kecut BESOK SENIN

Ada dua keriuhan tertanda di jagad media sosial yang saya lihat. Dan saya jujur saja jadi senyum-senyum sendiri membacanya.

Trending topic Twitter untuk Indonesia memperlihatkan tagar #KerenanAhok dari Minggu malam sudah merajai dengan cuitan sebanyak 9.962 kali, nyaris tembus 10.000 cuitan. Wajarlah, Minggu sore dan malam menjadi kehebohan tersendiri buat para pendukung cagub DKI Nomor 2 Ahok-Djarot yang menggelar flashmob di Cilandak Town Square, Jakarta Selatan.

Dan, segala hal yang berkaitan dengan Ahok–baik maupun buruk, berita miring maupun berita tegak–akan selalu menghadirkan kehebohan tersendiri di jagad media sosial. Jadi, booom, berita di media sosial dan menular ke media massa menceritakan soal flashmob yang digagas Sys NS ini.

Sys NS menyatakan, ide acara itu muncul sekitar empat hari lalu, 4 Januari 2017. Mulanya, ia hanya mengajak beberapa kalangan undangan saja. Tapi ia tak menyangka undangan tersebut tersebar di media sosial sehingga yang berpartisipasi menjadi banyak.

“Saya sebelunya pengen cuma beberapa orang, 300-400 orang. Tapi tersebar di media sosial jadinya udah pada tau semua,” kata Sys NS, yang juga bertindak selaku koordinator acara, kepada awak media, Minggu malam. Demikian dikutip dari Kompas.com.

Akibat dari kehebohan terkait Ahok ini–meski Ahok-nya sendiri tidak datang–saya dan publik sepertinya harus bersiap menghadapi gelombang informasi “perlawanan” terkait kegembiraan para pendukung di Citos ini.

Informasi “berlawanan” inilah yang mengundang senyum karena biasanya bersifat menafikan atau bertolak belakang sama sekali. Seolah-olah kita nginep di Bumi yang berbeda.

Sudah jamak dalam tata pergaulan di media sosial ini, seperti gelombang ombak menerpa batu karang. Ketika ada gelombang datang dari arah laut, maka kita akan bersiap melihat hempasan balik gelombang yang sama setelah membentur batu karang dengan bunyi yang lebih heboh dari saat gelombang itu datang.

Jadi, saya tak lama lagi akan terpapar juga versi berbeda dari kehebohan di Citos itu. Atau mungkin, akan ada kegiatan berbeda yang berusaha melebihi magnitude keriaan ciptaan Sys NS dkk ini.

Satu lagi, trending topic yang bikin saya tersenyum: BESOK SENIN. Ini menempatin nomor 2 terbanyak jadi cuitan sejak Minggu malam. Sudah sekitar 7.628 cuitan menggunakan dua kata ini.

Ada apa dengan hari Senin? Jawabannya bisa dilihat di salah satu dari twit selebritas ini.

Jennifer Rachel, ‏@Rachel_JKT48 :

Besok senin.
Udah mulai sekolah besok, jiwa dan raga blm siap jalanin kehidupan ini (?) *apasingawur*

Nah loh, rupanya Senin ini, 9 Januari 2017, memang merupakan hari masuk sekolah nasional, setelah libur Tahun Baru. Para pekerja pun kebanyakan telah menyelesaikan cutinya, dan Senin ini, semua siap kembali bekerja.

Untuk penghuni Kota Jakarta dan sekitarnya, rutinitas menghadapi kemacetan kota besar, mengejar waktu, dan sebagainya, kembali terjadi. Jakarta akan berdetak kencang lagi seperti biasanya. Tidak seperti dua minggu lalu, di mana jalanan terasa lengang, dan segala sesuatu tidak terasa perlu diburu-buru.

Kali ini, saya senyum-senyum kecut. Sama seperti kebanyakan pengguna kata “BESOK SENIN” di Twitter, saya juga merasa males banget harus menghadapi rutinitas ini. Tapi ya mau bagaimana? Berakit-rakit dahulu, bersenang-senang kemudian.

Dengan kita bekerja keras, kita akan merasakan nikmatinya liburan bukan? Jadi, mari kita “nikmati lagi” isu Ahok dan rutinitas di kota besar ini sampai nanti ada tanggal merah yang jatuh hari Jumat atau hari Senin. Dengar-dengar, katanya tahun ini lumayan banyak tanggal merah dengan posisi asyik macam itu.

 

Foto: Twitter @RennyFernandez (atas) dan Screenshot (bawah)

Mengampuni yang Tak Terampuni

Entah sejak kapan selalu suka dan tertarik untuk membaca tentang Afrika terlebih dengan alam dan kehidupannya. Tiga tahun lalu saat menemukan buku ini di salah satu toko buku langganan, semakin membuka mata hati untuk terus belajar menghargai sekitar.

Belajar tentang kasih akan sesama dan kasih dari atas yang tak pernah habis serta mencoba memahami jalanNya. Membaca buku ini dari awal hingga akhir akan membawa jiwa kita menyelami makna hidup, keindahan kasih dan pengampunan.

Felicien terisak, aku merasakan rasa malunya. Dia melihatku sesaat, mata kami bertemu. Aku mendekatinya, menyentuh tangannya dengan lembut, dan dengan tenang kukatakan apa yang ingin kukatakan.

“Aku mengampunimu“

Kurang lebih 1 juta manusia tak berdosa dari suku Tutsi dan Hutu moderat tewas dalam pembantaian etnis di Rwanda selama 100 hari yg dikenal dengan Rwanda genocide 17 tahun silam. Berawal dari terbunuhnya Presiden Juvenal Habyarimana seorang Hutu yang tengah giat menggalang rekonsiliasi antara Hutu yang mayoritas dengan Tutsi yang minoritas.

Secara fisik dua etnis itu sebenarnya memiliki segunung kesamaan, hanya dibedakan oleh bentuk hidung dan postur tubuh; kaum Hutu memiliki hidung lebih pesek dan lebih pendek sedang Tutsi sebaliknya. Habyarimana bersama Presiden Burundi Cyprien Ntarymira menjadi korban ditembak dalam pesawat yang ditumpangi pada 6 April 1994.

Disinyalir, peristiwa penembakan keji itu dilakukan sebagai aksi protes kelompok militan terhadap misi presiden Habyarimana untuk mewujudkan persatuan etnis di Rwanda. Kelompok militan atau interahamwe (mereka yang bersama bergerak menyerang) memandang manusia sebagai kecoak dan ular yang ditakdirkan untuk dibasmi, karena tak layak hidup berdampingan dengan mereka yang sebelumnya adalah tetangga, sahabat bahkan keluarganya sendiri.

Kisah pembantaian Rwanda dapat disaksikan lewat film Sometimes In April atau Hotel Rwanda, beberapa buku juga telah dituliskan oleh saksi hidup dari peristiwa tersebut. Ketika berada di pihak korban, apa yang akan anda lakukan saat mendapat kesempatan bertemu muka dengan seorang pimpinan pemberontak, pembunuh kejam yg telah menganiaya dan menghabisi nyawa keluarga anda, ibu dan saudaramu? Mencaci maki, menyiksa atau membunuhnya?

Left To Tell, Mengampuni Yang Tak Terampuni adalah sebuah catatan perjuangan hidup Immaculée Ilibagiza yg selamat dari kejaran Interahamwe dengan bersembunyi selama 91 hari di dalam kamar mandi kecil terhimpit bersama 7 wanita sebangsanya di rumah seorang Hutu, Pendeta Murinzi.

Suatu perjuangan bathin untuk melawan amarah terhadap para pembunuh yang tak lain adalah sahabat, keluarga dan tetangga. Orang-orang yang selama ini berhubungan baik dengan keluarganya tiba-tiba berbalik 180 derajat menjadi bejat dan brutal menghabisi nyawa orang-orang yang dikasihinya.

Perjuangan meredam dendam digantikan dengan uluran kasih kepada si pembunuh yang seharusnya digampar atas kejahatannya, perjuangan untuk bangkit dari keterpurukan, perjuangan pemulihan hati, mempertahankan iman disaat semua yg dikasihi direnggut secara tidak berperikemanusiaan dan tetap berharap pada satu nama yang punya Kasih dan Kuasa dalam hidup.

“Apa artinya semua itu, Immaculee? Orang itulah yang membunuh keluargamu. Aku membawanya kepadamu untuk ditanyai, jika kamu mau. Tetapi kamu mengampuninya! Bagaimana kamu bisa melakukannya? Mengapa kamu mengampuninya?”

Aku menjawabnya dengan kebenaran “Pengampunan adalah semua yang harus kuserahkan.”

Demikianlah tinggal ketiga hal ini yaitu iman,pengharapan dan kasih, dan yg paling besar diantaranya ialah kasih (1 Kor 13:13)

Ketika kemanusiaan dilukai oleh perseteruan karena berselisih paham, pemikiran, prinsip, etnis dan apa pun itu; hanya satu yang bisa merekatkannya KASIH. Cinta dan Kasih yang tulus dari hati akan membuat cara pandang dan dunia berbeda.

Suatu hari nanti, ketika pundi-pundi terpenuhi dan restu dari atas mengalir,  maka aku kan bertualang ke sini, sendiri atau berdua atau beramai-ramai hayuk waelaaaaah.

Salam kasih, cinta dan damai buat semuanya? [oli3ve].

 

Olive Bendon

Tulisan ini dikutip sudah seizin penulis. Laman asli tulisan ini lihat di:

Mengampuni Yang Tak Terampuni

Penulis adalah Travel Blogger | Old Grave Lover |  Citizen Journalism | Volunteer for The War Graves Photographic Project

Foto: obendon.com

Boxing Day, Perayaan Natal ala Liga Inggris

Jika kegiatan di seluruh dunia seperti sedang rehat karena libur Natal dan Tahun Baru, kompetisi Premier League atau Liga Utama Inggris justru bergulir pada 26 Desember dan sering kali menyajikan laga-laga panas bagi para penggemar sepakbola.

Laga sehari setelah perayaan Natal ini biasa disebut dengan laga Boxing Day. Memang Boxing Day masih sangat berkaitan dengan Natal.

Publik Inggris telah mengenal Boxing Day jauh sebelum Premier League atau Liga Primer Inggris digelar. Menurut sejarah, Boxing Day dipopulerkan pada pertengahan abad ke-19, saat masa pemerintahan Ratu Victoria. Perayaan ini dikhususkan bagi para penduduk golongan bawah atau para pelayan yang selama satu tahun melayani majikan mereka.

Setelah melayani sang majikan pada hari Natal, keesokan harinya para pelayan tersebut mendapat jatah libur plus menerima berbagai hadiah yang pada saat itu umumnya berbentuk kotak persegi (box) yang diberikan majikan-majikan mereka. Hadiah tersebut beragam, bisa berupa pakaian, makanan, buah-buahan atau bahkan uang.

Karena hadiah yang diberikan juga berbentuk kotak, maka tradisi ini kemudian akrab disebut Boxing Day. Di beberapa negara, seperti Selandia Baru, Australia dan Kanada, perayaan ini juga akrab disebut Stephens Day.

Tradisi asli negara-negara asal Britania ini hingga kini masih dipertahankan. Namun seiring perkembangan zaman, tradisi ini pun bergeser, namun tetap memiliki makna yang sama.

Sebagai contoh, kini banyak gereja-gereja memanfatkan momen Boxing Day sebagai hari untuk membagikan sumbangan kepada kaum miskin. Intinya, Boxing Day menjadi hari untuk saling memberikan hadiah kepada orang lain, baik orang yang disayang, dikenal atau sebagai sikap dermawan kepada orang lain.

Di masyarakat Inggris, Boxing Day juga dirayakan dengan cara berkumpul bersama keluarga, teman, bertukar kado atau bahkan bersama-sama menyaksikan pertandingan sepakbola. Pada hari ini perkantoran umumnya diliburkan, namun pertokoan seperti mall tetap buka dan menjual barang-barang hadiah yang tentunya dengan harga diskon.

Begitu juga di sepakbola, Boxing Day memang tidak dirayakan dengan membagi-bagi hadiah secara laingsung. Akan tetapi, publik Inggris tetap menyelenggarakan pertandingan pada satu hari setelah Natal ini dengan maksud yang sama.

Setiap kontestan di Premiership umumnya bertanding untuk memberikan kado berupa kemenangan bagi para pendukungnya. Oleh karena itu pada ajang Boxing Day, kompetisi Premier League tetap bergulir. Semua tim bakal menjalani pertandingan guna mempersempahkan kado kemenangan bagi fansnya.

Klub tertua di dunia dan tertua kedua di dunia, Sheffield FC dab Hallam FC, pernah saling bertandingan pada Boxing Day. Tradisi pertandingan sepak bola pada Boxing Day kemudian dilanjutkan di Football League ketika masih memainkan 22 laga semusim pada 1888/1889 ketika Preston North End mengalahkan Derby Country 5-0 yang digelar sehari setelah Natal.

Pada Boxing Day, seluruh pertandingan Liga Premier akan dilaksanakan serempak. Ini berarti 10 pertandingan akan dihelat di hari yang sama.

Hal ini membuat Boxing Day begitu spesial di kalangan penggemar sepakbola, khususnya di Inggris. Boxing Day ibarat perayaan Natal dengan gaya khas sepakbola di Inggris.

 

Disadur dari berbagai sumber

Foto: fourfourtwo.com

Cara Birgaldo Mempolisikan Twit “Kafir”, Mencari Celah yang Melegakan

Bagi saya, tiap detik kehidupan berharga sangat, meskipun tak melakukan apa-apa atau ada problema yang tak diharap dan belum terselesaikan. Saya berupaya memaknainya, menikmatinya, walau kadang tak mudah karena diganggu hal-hal yang tak menyenangkan.

Saya tidak tahu apakah hari esok masih bisa saya rasakan, walau memikirkan dan menyiapkan kebutuhan masa depan yang entah kapan dan di tahun berapa berhenti. Energi untuk menyiapkan keperluan hari depan itulah yang sering melelahkan, maka sungguh keterlaluan bila saya harus menumpahkan sebagian untuk hal-hal di luar kemampuan menyelesaikan dan bukan pula akibat ulah atau perbuatan saya.

Sebisanya, saya tak mau mengusik manusia lain, tak melukai perasaan orang lain, tak merugikan masyarakat, tak jadi parasit di negara ini, bahkan berupaya tak jadi beban keluarga dan syukur-syukur bila bisa menjadi penolong bagi yang membutuhkan bantuan–meski tak selalu dapat saya lakukan karena ketidakmampuan.

Sungguh suatu kerugian–dan juga kebodohan–bagi saya bila membiarkan pikiran, emosi, menjadi terbeban sementara saya menyadari tak ada kuasa menghentikan pikiran orang lain, kendati pun itu suatu kebodohan atau kepicikan, menurut akal sehat saya. Bahkan kebencian yang ditebarkan orang-orang pun harus saya sikapi setenang mungkin dan tak menengkar karena suatu kesia-siaan.

Masa bodoh? Denial? Oh, tunggu dulu. Saya bisa menyampaikan aspirasi, protes, atau ketidaksenangan melalui cara atau metode yang implisit. Tidak harus vis a vis yang bisa terseret ke dalam frustrasi pikiran karena orang lain belum tentu bisa memahami yang kumaksud dan ditanggapi dengan pikiran intelek atau bermutu–walau berseberangan, misalnya.

Melibatkan diri ke suatu kancah percekcokan pikiran dan pendirian, selain bukan domain saya, pun berisiko menemukan tanggapan-tanggapan liar, out of context, ngawur, tak berstruktur dengan kerangka pikir yang dapat dipertanggungjawabkan. Bagi saya, selain melelahkan, juga menjadi penyebab kejengkelan–dan suatu kesia-siaan meladeni kebodohan yang dipertahankan sebagai “kebenaran.”

Saya lebih suka melihat atau menyetujui cara yan dilakukan Birgaldo Sinaga. Ia seorang netizen yang selain kritis, peduli, juga berani mengambil tindakan bagi yang menurutnya telah keterlaluan menyebarkan kebodohan dan fitnah yang berbahaya bagi akal sehat dan pembentukan opini maupun persepsi menyangkut kebernegaraan dan dalam upaya menahan gempuran para pelaku yang menghendaki keretakan nasional.

Birgaldo Sinaga yang juga Ketua Forum Komunikasi Anak Pejuang Republik Indonesia (Forkapri) mengadukan Dwi Estiningsih ke Ditreskrimsus Polda Metro Jaya. Dwi Estiningsih dianggap menebar ujaran bernuansa kebencian lewat cuitannya di twitter:

“Luar biasa negeri yg mayoritas Islam ini. Dari ratusan pahlawan, terpilih 5 dari 11 adalah pahlawan kafir. #lelah”

“Iya sebagian kecil dari non muslim berjuang, mayoritas pengkhianat. Untung sy belajar #sejarah,”

Selain konsisten dan (sejauh ini) non partisan, Birgaldo Sinaga memiliki semangat untuk meng-counter para penganut ideologi kebencian yang melakukan segala cara utk menyebarkan kebohongan dan fitnah jahat melalui pikiran kritis.

Ia berani melaporkan ke kepolisan. Ia tempuh mekanisme hukum dalam kapasitasnya sebagai warga negara yang peduli, bukan hanya mengandalkan congor.

Cara Birgaldo merupakan alternatif yang elegan, selain berani. Ia saya dukung, terutama demi penghormatan akal sehat dan kepedulian masa depan negara yang amat rentan dari ancaman separasi atau perpecahan.

Dan saya orang yang mau jujur mengakui keterbatasan maupun kelemahan, pantang bagi saya jadi pretender dan menolak standar ganda. Keadilan itu, saya percaya, harus bersifat impersonal dan imparsial, tak memilih-milih karena alasan SARA atau kesamaan primordial.

Maka, siapapun yang diperlakukan sewenang-wenang, lalim, tak adil, patutlah dibela orang waras. Bukan karena alasan subjektif, dan memang itu sulit dimiliki kendati bisa bila mau. Caranya: membiasakan empati dalam diri; memindahkan diri sendiri pada diri orang lain yang mengalami, supaya bisa merasakan–walau sedikit–betapa sakit dan tak enak diperlakukan tak adil!

Itu baru keren. Berpihak pada siapapun yang diperlakukan tak adil. Bukan yang ikut reaktif bila menyangkut diri dan “kaum” sendiri. Sulit? Mungkin.

Namun bisa dilatih bila ada kesadaran sebagai manusia yang menghargai kehidupan dan percaya bahwa manusia adalah ciptaan “spesial,” karya agung Yang Maha Kuasa (bagi yang mempercai eksistensinya).

Setiap netizen berhak menyampaikan apa pun yang dikehendaki, termasuk kemarahan, kejengkelan, atau perlawanan atas suatu perbuatan. Saya memilih cara persuasi, mengajak sebanyak-banyaknya suporter penjaga Indonesia dengan cara saya.

Saya sesekali membagikan catatan-catatan personal yang sepele, kejadian biasa, seraya berharap: naluri sebagai makhluk sosial akan menautkan relasi dng siapapun yang tak sudi dilumuri darah kebencian.

Saya amat menyukai kehidupan, menganggap berharga tiap detik dan denyut nadi yang menandakan aktifnya organ tubuh. Banyak problema dan tantangan, terutama menyangkut masa depan, agar tak terlunta-lunta atau menjadi beban anak atau sanak-saudara.

Pula ada kenikmatan diberikan musik, seni, budaya, bacaan dan pengetahuan. Sayang sekali bila tak dimanfaatkan. Juga, pertemanan…. Itu sungguh mengasyikkan.

Mungkin, cara saya ini semacam mencari celah agar tak jadi korban himpitan kuasa-kuasa yang tak bisa saya kendalikan, sebagai warga biasa yang terjauh dari nikmatnya kekuasaan.

Dwayne Jones:  Kuasa Mayoritas itu!

Ada ribuan waria tua terlunta-lunta, demikian sari berita yang saya baca pada suatu pagi di koran langganan. Informasi tersebut disampaikan Ketua FKWI (Forum Komunikasi Waria Indonesia). Bagi banyak orang yang tahu atau setidaknya ikut membaca berita tersebut, mungkin tak ada pentingnya kabar tersebut–apalagi dipikirkan.

Apa faedahnya membicarakan waria? Bukankah mereka digolongkan manusia “salah cetak” yang tak berguna, malah bikin malu keluarga dan karenanya, umumnya diusir, tak diakui sebagai bagian dari anak, sanak-saudara, atau kerabat?

Bahkan penganut agama-agama dari “langit” atau Samawi menganggap mereka sejenis najis berlumur dosa, melawan kodrat, menyimpangi “kemauan” Tuhan, yang layak dimusnahkan; pembawa sial yang memalukan.

Jadilah mereka individu-individu yang tak pernah mereguk kemerdekaan, dikucilkan, objek olok-olok, meskipun keadaan mereka yang digolongkan transgender itu bukan karena pilihan–sebagaimana sering disalahpahami orang-orang yang merasa diri normal atau straight atau hetero.

Mereka ditepikan di satu dunia yang serbaterbatas, tak berkesempatan melakoni dan menikmati kehidupan sebagaimana orang-orang mayoritas yang merasa normal itu. Mereka adalah manusia-manusia aneh yang seolah tak punya hak sekadar menunjukkan diri yang sesungguhnya, dan mungkin telah dilupakan para petugas pencacah jiwa.

Siapakah yang sudi peduli memikirkan jiwa-jiwa yang dianggap cacat dan memalukan itu? Siapakah yang memberi mereka tumpangan dan makanan ketika mereka tak lagi bertenaga mengais recehan di pelosok-pelosok kota yang ganas dan kejam?

Adakah yang menangisi saat nyawa mereka pupus di gubuk-gubuk kumuh? Adakah yang berupaya mencegah atau menunda kematian mereka?

Barangkali, di situlah dipertegas apa yang disebut absurditas. Dalam detik-detik pertarungan melawan jemputan maut, entah apa yang memenuhi pikiran mereka. Kepasrahan? Keinginan segera mati, atau…?

Tentu perasaan dan pikiran mereka pun sama halnya dengan orang-orang mayoritas itu. Ada ketakutan yang tak terkira karena tak siap meninggalkan dunia ini meski diketahui kefanaannya. Kendati realitas yang dihadapi sepanjang hidup, amat kejam, termasuk rasa sepi yang menikam-nikam dan pedihnya menjadi orang yang dibuang.

Pengisi dunia ini memang sering berbuat kejam pada penyandang status minoritas (dalam pelbagai hal). Norma-norma yang menjadi anutan umum yang diyakini oleh kalangan terbanyak sebagai “kebenaran,” bisa menjadi pedang yang setiap saat menebas leher mereka tanpa kesempatan mengajukan pleidoi berdasarkan nurani dan akal sehat.

Kaum mayoritas selalu merasa diri paling benar dan paling berwenang menentukan apapun, termasuk hal-hal pribadi yang amat pelik dan sulit diuraikan dengan logika.

Bukankah manusia dan problematika yang mengitari tak selalu bisa dijelaskan dengan pikiran-pikiran rasional?

Itu pulalah salah satu kelemahan asas demokrasi yang menyanjung suara terbanyak, sebab mayoritas suara tak berarti cerminan atau pemenuhan rasa keadilan (sense of justice) yang berlaku umum, diterima semua orang. Para mayoritas malah kerap mengenyampingkan suara-suara tersembunyi yang sunyi, dibungkam ketidakberdayaan, dan itu menyimpan kepedihan.

***
Di negerinya Dwayne Jones, Jamaica, ada satu hukum yang berlaku tegas dan sebetulnya dimaksudkan untuk menciptakan masyarakat beradab: seks anal dilarang! Tetapi, entah ditujukan kepada satu golongan atau tidak, hukum tersebut langsung menuding kaum transgender dan gay.

Dwayne, remaja dari keluarga miskin dan besar di lingkungan kumuh pantai utara Montego Bay, lahir dengan kecenderungan atau orientasi seksual yang dianggap tak lazim. Ia lelaki namun merasa dirinya perempuan.

Fakta tersebut membuat ayahnya gusar dan geram, lalu sering menyiksa remaja yang pandai menari itu. Dwayne dianggap aib yang memalukan keluarga hingga harus disiksa demi mengembalikan kelelakiannya. Ayahnya tak juga percaya bahwa menjadi transgender bukan kemauan anaknya.

Segala cara kekerasan yang dilakukan untuk “menormalkan” Dwayne sia-sia, dan karena tak tahan terus disiksa, remaja yang “mendua jiwa” itupun kabur dari rumah orangtuanya.

Dia memilih tinggal di pemukiman sekaumnya, di lingkungan yang sama kumuhnya. Orang-orang yang terbuang dan dibenci para mayoritas yang merasa normal!

Malam itu, dengan polos, ia bercerita pada satu sahabat wanitanya bahwa dirinya baru menghadiri pesta para straight namun saat itu dia tampil dengan busana perempuan, dan pengakuannya, itulah penampilannya pertama kali sebagai “wanita” di tempat orang normal, para mayoritas itu.

Pengakuannya lagi, ia menari bagus dan kemudian diganjar pujian. Dengan bangga ia tuturkan, wajahnya membersitkan kegembiraan.

Kawannya itu mendengar setengah tak percaya, namun kemudian memberitahukan pengakuan Dwayne tersebut pada lelaki-lekaki seumurannya.

Mereka lalu mendatangi Dwayne, menginterogasi, mengusut keaslian kelaminnya, kemudian menghujami remaja yang terbuang itu dengan pukulan, tendangan, bahkan tikaman, hingga babak belur dan telentang di tepi jalan yang remang itu.

Kawanan orang muda yang marah itu meninggalkan Dwayne dengan perasaan puas. Mereka tak peduli bahwa korban mereka akhirnya mengembuskan nafas terakhir di tepi jalan yang muram itu.

Dwayne mereka matikan untuk menebus “dosanya,” dan para pelaku penganiayaan merasa layak melakukan; para mayoritas yang merasa berotoritas menghukum siapa saja yang dianggap tak sama, menyimpang,  melanggar hukum buatan Tuhan.

Mereka terlahir dengan orientasi seksual yang dianggap jamak, normal. Mereka beruntung tak seperti Dwayne. Mereka lakukan perbuatan biadab tersebut yang menurut pikiran dan keyakinan mereka, demi keberadaban yang berasal dari norma-norma hukum, juga agama-kepercayaan yang mereka yakini.

Mereka tidak mau tahu problema apa sesungguhnya yang mendera Dwayne sejak menyadari kelainan hormon dan arah seksualitasnya. Mereka tak mau berpikir sejenak bahwa manusia bisa berbeda karena disengaja atau karena kesadaran, pilihan, atau telah koheren dalam diri seseorang.

Mereka merasa paling benar dan dengan kuasa mayoritas boleh melakukan apa saja, termasuk menghentikan hak hidup orang lain yang tak sama. Kuasa mayoritas  telah mencabut nyawa lelaki belia yang malang itu, meskipun tak melakukan kejahatan yang merugikan sesiapa. Hanya karena ia dianggap menyimpang dan jumlahnya sedikit.

“Dusta di Antara Kita”

“Siapa yang kentut?”

Begitu saya spontan bertanya. Kasus: bau tak sedap. TKP: di dalam mobil. Tersangka: hanya empat orang, yaitu Si Papa, si Kakak, si Adik, dan saya.

“Aku!” jawab si Adik cepat.

Tidak seperti kasus kopi sianida yang bertele-tele, kasus kami ini langsung tuntas tanpa proses hukum.
Seketika mobil kami penuh tawa. Si Kakak lalu mengejek si Adik. Tapi saya memujinya.
“Bagus! Mama bangga akan kejujuran Adik,” puji saya.

Lalu saya pikir, mungkin begitulah hidup ini. Ketika kita mengungkapkan kejujuran, akan ada minimal dua respon. Ada yang menerima dan ada yang mencela. Itulah resikonya.

Padahal, seperti dalam ajaran berbagai agama, kejujuran itu hal yang mutlak. Hukum taurat kesembilan mengatakan: Jangan mengucapkan saksi dusta tentang sesamamu. Entah mengapa, melakukan kejujuran sudah diajari sejak kecil tapi kita sering lupa (?) mengaplikasikannya dalam hidup nyata. Apakah karena terlalu menyakitkan, atau lebih menyulitkan, orang lebih suka mengambil jalan pintas untuk berbohong? Kejujuran memang bukan hal yang mudah. Lebih mudah melakukan kebohongan.

Dalam hal sepele dalam hidup sehari-hari, mungkin tanpa sadar kita adalah pembohong yang produktif dan seringkali kreatif. Kok bisa? Bisa dong. Orang kan suka berbasa-basi, yang biasanya isinya semua ‘kebohongan’ dalam bentuk kreatif. Mau contoh?

‘Masakanmu enak banget, masterchef pun kalah!’

‘Kamu adalah cewek paling cantik di dunia! ‘

‘Loe emang orang paling baik di dunia!‘

Basa-basi boleh saja, asal jangan sampai menjadi kebohongan. Kita bisa memuji orang tapi jangan jadi berlebihan dan bahkan melenceng dari realitas. Ucapan kita jangan jadi pembelokan kenyataan. Tetaplah di dalam rel, fokus pada tujuan kita untuk ucapan itu. Misalnya untuk memuji. Saya pikir, ucapan bercanda lebih baik daripada berbasa-basi, misalnya, daripada berkata: Kumismu lebih menarik daripada aktor Captain America, lebih baik berkata: Saking kumis lo mirip aktor Captain America, gue jadi pengen memelihara kumis juga. Yang penting kan tujuan awal kita adalah memuji (dengan kreatif). Bukan melebih-lebihkan.

Atau, berkata: ‘Kamu terlihat cantik dengan baju merah ini’, lebih baik daripada : Kamu cantik banget kayak Angelina Jolie. (Iya kalau benar mirip Jolie, kalau tidak, bagaimana? Nanti dikira menyindir, kan repot. Hehehe…)

Konon, ada seorang HRD manager di perusahaan tempat saya bekerja dulu, sering memalsukan absensi. Saya pernah masuk list urutan tiga besar karyawan yang paling sering terlambat. Tapi kalau mau jujur, HRD manager itu sama seringnya telat seperti saya, tapi namanya tidak tercantum pada list yang memalukan itu, sebab hal itu bisa ditutupi dengan manis (HRD manager gitu lho, yang pegang absensi.) Tapi toh pada akhirnya dia keluar dari perusahaan dengan tidak hormat. Itu menjadi pelajaran. Kita semua akan menerima upah dari perbuatan masing-masing. Seperti tertulis di kitab suci, apa yang kau tabur akan kau tuai. Orang yang suka berdusta pada akhirnya akan kena batunya sendiri dengan dustanya itu.

Dulu saya ada rekan yang suka karaoke. Kalau mau jujur, suara rekan ini fals, tapi jadinya lucu dan seru, dan kalau ke karaoke ada dia pasti jadi rame. Seorang rekan lain, punya suara bagus sekali. Suatu kali waktu kami karaoke, si suara bagus ini mencela si suara fals dengan jujur. “Suara lo ancur banget sih, X!”
Lalu si X yang memang berwajah bagus, juga menjawab dengan jujur:  “Eh… Mending suara gue ancur daripada loe mukenya yang ancur.” Seketika kami semua tertawa. Ouch! Kejujuran memang terkadang menyakitkan.

Ada sebuah gurauan, tentang pertanyaan paling sulit dijawab dengan jujur, yaitu jika ada wanita yang minta pendapat apakah dirinya gemuk. Dijawab jujur, nanti tersinggung. Dibilang kurus, nanti dikira bohong. Hahahaaa…

Memang tidak mudah hidup dengan kejujuran. Mungkin takkan ada yang bisa melakukannya dengan sempurna. Tapi yang terbaik adalah niat untuk melakukannya, dengan hikmat, pada saat dan tempat yang tepat. Ucapkanlah pada timing yang tepat. Bijaklah, untuk memilah mana yang harus diucapkan, mana yang hanya disimpan saja. Saya sendiri pun masih belajar bijak. Saya menulis artikel ini juga sebagai refleksi untuk diri saya sendiri, sambil mendengarkan lagu milik Broery Marantika, ‘Jangan ada dusta di antara kita’. 🙂

*-*

 

Pengalaman Supranaturalku, Aku Ini Indigo Atau… (Tentang Indigo Bagian 1)

…? You’re my little indigo girl, indigo eyes, indigo mind… ?

-Watershed-

Usia 4-5 tahun
Tidur adalah hal yang menakutkan bagi saya di masa kanak-kanak (sekitar usia 4 atau 5 thn). Nyaris setiap malam saya melihat barang-barang berterbangan di langit-langit kamar: pakaian ayah ibu saya, barang-barang di kamar dan bahkan saya melihat ular-ular dan binatang aneh lainnya. Jika sedang beruntung, 3 peri kecil manis sebesar Peterpan atau Tinkerbell menari-nari menemani di samping tempat tidur atau seorang pria setengah badan yang (setelah besar) saya pahami memakai model rambut bangsawan dan mengenakan pakaian batik dan selalu tersenyum kepada saya.

Tiap malam saya sangat tertekan karena orangtua saya tidak mempercayai apa yang saya lihat dan memaksa saya untuk tidur dengan lampu dipadamkan.

Usia 13-14 tahun
Suatu malam, kurang lebih sewaktu saya kelas 2 SMP, saya sedang belajar di kamar dan mendengar tamu datang dan ngobrol dengan orangtua. Sejenak saya keluar kamar untuk ke kamar kecil. Sambil melewati seberang ruang tamu saya pun melemparkan senyum kepada kedua tamu yang saya lihat. Kak Vera, isteri sepupu jauh saya, dan seorang ibu tua.

Saya kembali ke kamar dan melanjutkan belajar. Setelah saya dengar tamu pulang, saya keluar kamar kembali dan bertanya pada orangtua, dengan siapakah kak Vera datang tadi. Orangtua saya mengatakan bahwa kakak itu datang sendiri tanpa didampingi siapa pun. Argumentasi pun terjadi karena saya ngotot bahwa saya melihat dua orang. Argumentasi dengan orangtua saya membuat saya merasa sangat tolol.

Usia 37 tahun
Pada suatu hari saya merasa sahabat saya akan ditipu seseorang secara finansial. Tanpa berpikir panjang saya pun menelepon dia dan menasihati dia untuk berhati-hati dalam berbisnis dan ternyata dia akan melakukan suatu transaksi. Sayang nasihat saya tidak disambut baik dan dia pun benar-benar ditipu 100 juta dan hubungan kami rusak, tidak saling berbicara selama 2 tahun.

38 tahun
Lewat petang hari sewaktu saya sedang berdoa di kamar (lampu saya matikan), saya melihat sebuah batu besar melayang di langit. Pandangan mata saya seperti bisa menembus atap rumah. Tanpa tahu apa artinya dan tidak tahu ke mana saya harus cerita, saya hanya menyimpannya di dalam hati. Dua hari kemudian diberitakan di TV bahwa ada sebuah benda angkasa (kemungkinan sisa meteor) jatuh di Duren Sawit, tidak jauh dari tempat saya tinggal.

37-40 tahun
Mendapatkan mimpi sebelum gunung Sinabung meletus. Saya juga mendapatkan mimpi sebelum pesawat German Wings jatuh di perbukitan di Perancis.

Apa yang Terjadi pada Saya?

Hal-hal seperti itu sering terjadi di dalam hidup saya dan membuat saya dilema untuk menceritakannya kepada orang lain. Saya sering jadi merasa aneh dan tolol ketika saya ceritakan kepada orang lain, karena mereka malah menyepelekan omongan saya, atau bahkan mengatakan saya sok tahu, negatif thinking, suka meramal, dan sebagainya.

Saya pun berusaha memahami dan menggali sendiri beberapa informasi yang dapat membantu saya memahami apa sebenarnya yg terjadi dalam diri saya. Berbagai perspektif saya gali, secara pandangan Kristen yang saya anut, yang disebut sebagai karunia, dan pandangan psikologi populer.

Dalam tulisan saya ini, saya ingin sedikit berbagi dari apa yang saya dapat pahami dari pandangan psikologi populer.

Pernahkah Anda mendengar istilah Indigo?

Istilah indigo sebenarnya sudah ada sejak tahun 70an tapi mulai populer sejak diterbitkannya sebuah buku mengenai hal ini pada 90-an. Beberapa definisi pun diberikan kepada orang-orang, khususnya anak-anak yang mempunyai kelebihan yang disebut indigo ini.

Beberapa definisi itu adalah:

1. Anak indigo adalah anak-anak yang diyakini memiliki kemampuan atau sifat spesial, tidak biasa atau supranatural (yang bahkan mempunyai kemampuan paranormal seperti telepati).

2. Anak indigo juga sering didiagnosa sebagai pengidap ADHD (Attention deficit Hyperactivity Disorder), yang mana anak-anak ini sulit konsentrasi, hiperaktif dan impulsif sehingga biasanya mempunyai masalah dalam tidur dan belajar tetapi bukan berarti mereka miskin intelijen. Anak indigo juga sering didiagnosa sebagai anak penderita autisme.

3. Anak indigo juga didefinisikan sebagai anak yang mempunyai Extra Sensory Perception (ESP).

Pertanyaannya, apakah saya anak indigo?

Ikuti kelanjutan tulisan soal indigo ini, yang akan disajikan secara berseri ya.

 

Rachel Rosalyn

Foto: danmo/pixabay

Tentang Rasa Suka

Saya suka novel (dan film) Hunger Games. Ada banyak pesan moral dalam kisah fiksi itu. salah satunya adalah tentang rasa suka.

Haymitch, dalam film Hunger Games, dalam satu cuplikan, memberitahu Katniss, tips untuk bertahan hidup, sambil menunjuk pada Peeta yang sedang mendadahi penonton. “Dia, telah melakukannya.”
Nasihat Haymitch, cara bertahan hidup adalah dengan disukai. Membuat dirimu disukai orang. Dalam pertarungan saling membunuh untuk menjadi satu-satunya peserta yang hidup, hanya peserta yang disukai penontonlah yang akan mendapat bantuan dari sponsor, berupa makanan, obat atau peralatan bantu untuk bertarung, selama mereka berada dalam arena pertarungan yang mematikan.

Rasa suka ini ternyata sungguh berefek besar.

Mungkin teman-teman pernah menonton film kriminal, di mana orang yang dibunuh pertama kali adalah yang paling tidak disukai. Tidak usah jauh-jauh ke film, di dalam sebuah perusahaan juga, biasanya orang yang tak disukai adalah yang disingkirkan terlebih dahulu, bukan?

Lalu saya pikir, mungkin itulah yang dilakukan oleh para penjilat. Para penjilat ini berhasil membuat orang lain merasa disukai dengan jilatan-jilatan maut dan dahsyat mereka, hingga mereka jadi disukai, dan efeknya, para penjilat ini mendapatkan apa yang mereka inginkan. Mereka pun sukses bertahan.

Dalam psikologi, mungkin itulah salah satu contoh istilah mirroring.
Kita akan menyukai orang yang cenderung mirip atau punya kesamaan dengan kita. Ada juga kecenderungan kita lebih menyukai orang yang menyukai kita juga. Hubungan yang baik, seperti pertemanan, biasanya dimulai dengan rasa saling menyukai.

Sebaliknya, kita cenderung tidak menyukai orang yang tidak menyukai kita, kan? Karena kita tidak menyukai orang tersebut, itu bisa menimbulkan sikap yang membuat orang tersebut akhirnya tidak menyukai kita. Orang yang tidak suka pada kita juga seringkali bersikap yang membuat kita tidak menyukai orang itu.

Ada sebuah kejadian yang menggelitik saya pada ironi tentang rasa suka.
Pada suatu pertemuan tahunan keluarga besar, di mana setiap orang diberikan waktu untuk mengungkapkan isi hatinya, seorang anggota keluarga besar kami (sebutlah si Z) dengan cara yang sehalus mungkin tapi terdengar sangat gamblang, membandingkan si X dan si Y. Si Y baginya adalah orang yang paling disukainya di keluarga besar kami. Dan dengan sengaja, walaupun tanpa kata-kata yang eksplisit, dia berusaha menunjukkan sejelas-jelasnya bahwa dia tidak suka seseorang (sebutlah si X) dan tidak cocok dengan si X. Sementara si Y, sangat dipuja-pujinya sepanjang penuturan yang bertele-tele dengan bumbu-bumbu kata-kata manis, yang walau terasa beracun buat si X. Tapi si X hanya diam.

Dalam hati saya merasa bahwa si Z sedang berusaha menyindir-sindir si X. Ibarat sebuah ilustrasi gambar kartun, dalam imajinasi saya membayangkan si Z ini tengah menusuk-nusuk si X dengan pedang yang tajam dan berharap si X mati kesakitan, padahal si X malah tergeli-geli tertawa dan tidak mati-mati sambil terus tertawa berguling-guling.

Saya sempat merasa simpati dan kasihan pada si X. Tapi melihat sikapnya yang tenang, saya malah jadi kagum padanya. Dan otomatis runtuhlah respek saya pada si Z. Pada akhirnya, kami semua toh bisa mengerti dan menerima sikap si Z ini, mengingat bahwa si Z ini memang memiliki masa lalu yang kurang indah, hingga sampai saat ini rasa suka tidak suka sangat penting baginya.

Pada akhirnya, ketika giliran si X tiba, dia mengucapkan beberapa kalimat yang lebih diplomatis, walau tidak ditujukan secara khusus untuk membalas si Z.

Kira-kira demikian:

Saya rasa, pada dasarnya tak ada orang yang cocok di dunia ini. Yang ada adalah orang-orang yang berusaha untuk mencocokkan dirinya dengan dengan orang lain, suka atau tidak suka. Salah satu ciri kedewasaan adalah kemampuan menyukai atau minimal menerima apa yang tidak disukai. Orang lain tidak bertanggung jawab atas perasaan kita. Kitalah yang harus mengendalikan perasaan kita. Suka tak suka, kita harus bisa hidup berdampingan dengan orang lain dengan harmonis. Tak seorangpun dari kita dilahirkan untuk menyenangkan hati orang lain. Kita juga tidak berhak memaksa orang lain menyukai kita. Kita diciptakan untuk menyenangkan hati sang Pencipta saja.

Setelah acara itu, bukan hanya saya yang merasa bahwa si Z sudah keterlaluan, dan apakah dia sadar atau tidak sadar, dia seolah tengah memicu perang pada si X. Pada hari raya (Lebaran misalnya), pertemuan tahunan dengan keluarga besar adalah saat untuk menjalin silaturahmi, mengungkapkan apresiasi, saling memaafkan, dan bukan ajang untuk mendiskreditkan orang lain. Dia tak sadar dengan caranya itu dia tengah menumpuk bara api di atas kepalanya sendiri. Dengan mengekspos ketidaksukaannya pada si X, dia telah membuat dirinya tidak disukai orang lain, dianggap kekanakan dan bersikap tidak sesuai dengan usianya.

Lalu saya simpulkan untuk diri sendiri. Sesungguhnya, hidup kita ini, teman, tidak terdiri dari hal-hal yang kita sukai saja. Hidup tak terdiri dari orang-orang yang baik pada kita, suka pada kita, dan kita sukai, saja.

Kita tidak berhak memaksa orang lain untuk menyukai kita dan membuat kita bahagia. Itu bukan tugas orang lain. Tak seorangpun di dunia ini berkewajiban membuat anda bahagia. Kebahagiaan adalah keputusan anda sendiri. Anda tak berhak harus disukai, diterima dan dicintai.

Memang keinginan untuk diterima, disukai dan dihargai adalah kebutuhan dasar manusia. Tapi tak ada hukum yang memaksa orang lain untuk menyukai kita.

Sesungguhnya rasa suka itu sungguh subjektif, Saudara! Menurut psikolog, perasaan itu adalah sebuah bentuk subjektifitas. Kita sendiri kadang bisa bingung mengapa kita bisa menyukai orang lain atau tidak menyukai orang lain, tanpa alasan yang jelas.

Dan seperti si Z, untuk apa kita terus seperti orang yang kehausan akan perhatian dan rasa suka dari orang lain? Apakah kita tidak bisa bertahan hidup dengan menyadari bahwa tidak semua orang menyukai kita? Seolah hanya itu yang menentukan siapa kita. Lihat betapa banyaknya haters para selebriti di samping banyaknya fans mereka. Hidup kita tak selalu ditentukan oleh siapa yang menyukai kita. Kita memang bertugas melakukan hal yang baik dan benar, tapi itu bukan untuk tujuan agar kita disukai, layaknya para penjilat.

Kita hidup bukan untuk menjadi favorit orang lain. Demikian juga orang lain bukan tercipta untuk menjadikan kita orang kesukaan mereka. Hidup ini sungguh tak sepicik urusan suka-menyukai. Memang keadaan akan lebih baik jika kita disukai, tapi jika memang tidak disukai, apakah kita tidak bisa survive?

Kalau kita refleksi, cobalah kita ingat-ingat. Memangnya kita selalu menyukai orang lain? Seperti contoh, tetangga kita? Apakah kita selalu menyukai rekan kerja kita? Saudara ipar atau mertua kita? Atasan atau bawahan kita? Bahkan pacar atau pasangan sendiripun tak selalu cocok dan kita sukai, bukan? Mungkin terkadang kita kesal dan membenci mereka. Tapi kita memutuskan untuk menerima mereka, terlepas dari rasa suka atau tidak. Kita mengambil tindakan logis untuk mengendalikan perasaan kita. Kita mengambil keputusan untuk menjadi dewasa dengan berusaha mengesampingkan sentimen pribadi kita, atau perasaan sesaat kita. Itu adalah keputusan dewasa.

Mungkin hanya anak kecil sajalah yang terus memilah-milah hidup ini berdasarkan apa yang enak dan tidak enak, apa yang manis dan pahit, apa yang disukai dan tak disukai, dan seterusnya. Sebab anak kecil memang cenderung tak bisa mengendalikan perasaannya.

Ada seorang teman, tidak suka naik kopaja. Dia tak suka kenek kopaja yang katanya kadang bau dan kurang sopan, dan kadang tidak mengembalikan uang kembalian dengan pas, ditambah supir kopaja yang suka mengebut dan merokok sembarangan di dalam bus. Tapi dia butuh mereka untuk mengantarkannya pada tujuan, jadi dia kesampingkan perasaan tidak sukanya demi tujuan yang lebih prioritas. (Dan dia juga tak berharap keneknya menyukai dia, hingga dia selalu diberi tempat duduk kosong dan siapa tahu ongkos jadi gratis, hahaha…)

Barangkali kita pernah juga berusaha membuat orang lain menyukai kita, tapi tetap saja, entah dengan alasan apa, orang tetap tak suka pada kita. Tapi itu bukan masalah kita. Itu masalah mereka. Jadi kalau kita tidak berbuat sesuatu yang baik untuk membuat orang lain menyukai kita, mengapa kita berharap orang harus menyukai kita?

Pada akhirnya, disukai atau tidak disukai orang lain, mari nikmati sajalah. Asal jangan kita yang bersikap yang memancing kebencian dari orang lain.

Hidup ini sudah berat, mari dijalani dengan gembira sajalah yaaa…

Jadi, siapa kira-kira yang tidak suka pada anda? ?

 

Almino Situmorang