Tag Archives: Inspirasi

Kesenyapan Indah Bernama Pulau Putri

Kapal cepat ini melaju memecah ombak. Duduk di dek atas ternyata harus dibayar dengan rela terkena tempiasan air laut dan terbakar sinar matahari yang menyengat.

Itu pengalaman saat pulang dari Pulau Putri, minggu (30/10) kemarin. Kenapa tak bercerita pengalaman saat datang, sehari sebelumnya? Itu karena saya duduk di dek bawah, di ruangan berpengejuk udara dan saya tertidur sepanjang waktu, satu jam 30 menit dari Pelabuhan Marina Dermaga 9.

Pulau Putri adalah satu dari sekian banyak pulau yang bertebaran di Teluk Jakarta. Pulau seluas sekitar 6,5 hektare ini adalah sebuah resor wisata yang bisa dinikmati selama yang kamu mau. Syaratnya: siapkan duit yang cukup.

Sebagai imbal balik, fasilitas akomodasi berupa cottage dengan twin bed yang cukup nyaman tersedia buat kamu. Paket ini termasuk berbagai aktivitas, seperti: snorkeling di dekat dermaga, berkeliling dengan glass bottom boat, melihat sunset, berenang di laut yang tenang dan jernih atau di kolam renang, pemandangan akuarium bak seaworld mini, atau sekadar duduk santai di pantai.

Pencari ketenangan memang cocok datang ke pulau ini. Sesekali kamu akan mendengar perahu nelayan bermesin tempel dengan suaranya yang khas. Lautnya pun tenang. Ombak laut Teluk Jakarta sudah dipecah tak jauh dari bibir pantai.

Suara burung-burung liar di pepohonan menghadirkan nuansa alam liar yang mengesankan. Kadang-kadang kamu bisa melihat tupai, atau, seperti yang saya alami, melihat biawak berkeliaran.

Tentu saja, namanya laut, ada banyak ikan yang bisa kamu lihat di perairannya. Pengelola resor juga memelihara ikan bandeng di beberapa kolam. Ada juga kolam berisi belut laut dan bulu babi.

Saat berkeliling dengan glass bottom boat, kita bisa melihat lebih banyak dan lebih beraneka ragam ikan lagi. Begitu pun terumbu karangnya.

Sayangnya, kamu akan menemukan sampah-sampah di dekat dermaga. Sungguh mengurangi keindahan pemandangan pulau ini.

Selebihnya, kamu bisa terinspirasi oleh banyak hal di sini. Apakah oleh penghuni alam liar yang cantik, apakah oleh laut yang biru cantik, oleh matahari senja, atau kesenyapan malamnya.

Untuk menikmati pulau ini, kamu harus menyediakan Rp1,8 juta untuk weekend dan Rp1,6 juta pada saat weekday. Untuk anak-anak sampai usia 10 tahun, biayanya lebih rendah sedikit. Itu sudah termasuk makan 4 kali dan ongkos naik kapal cepat pulang pergi.

Sayang saya harus segera mengakhiri tulisan ini. Saya kuatir cipratan air laut akan mengenai ponsel yang saya pakai menulis. Sedang matahari dengan senang hati mencoba membuat kulit saya menghitam. Saya harus ‘bersembunyi’ di balik jaket.


 

Jangan-Jangan, Tuhan Pun Kita Anggap Salah

Summum Ius Summa Iniuria. Istilah ini merupakan adagium dalam ilmu hukum yang terjemahan harafiahnya berarti “Keadilan tertinggi adalah ketidakadilan tertinggi”.

Ujung dari sebuah penegakan hukum membuat satu pihak menganggapnya sebagai sebuah keadilan, namun di pihak lain justru merasa sebaliknya.

Tulisan ini tidak berbicara tentang keadilan, melainkan tentang perspektif. Ada perspektif lain yang berkembang dalam suatu kejadian, khususnya terkait dengan penegakan hukum. Tapi bukankah di luar pembicaraan tentang hukum hal yang sama terkait perspektif seringkali terjadi?

Saya teringat pembicaraan dengan seorang guru besar ilmu hukum yang mencoba menjelaskan teori das Ding an sich yang diusung Immanuel Kant secara sederhana.

Beliau menggambarkan tiga orang yang berdiri pada tiga tempat berbeda: di kaki gunung, di atas gunung, dan di balik gunung. Ketika ketiga orang tersebut diminta menyampaikan kebenaran mengenai pohon yang ada di dekat kaki gunung, orang pertama akan berkata ia yakin dan merasa benar bahwa ia melihat pohon yang cukup tinggi.

Orang kedua akan berkata yakin dan merasa benar bahwa pohon yang ia lihat itu pendek karena ia melihatnya dari atas gunung. Sedangkan orang ketiga berkata ia yakin dan merasa benar bahwa tidak ada pohon apa pun yang ia lihat, karena pandangannya memang terhalang gunung.

Gambaran tersebut pada dasarnya ingin menyampaikan bahwa tiap orang memiliki perspektif sendiri tentang apa yang ia yakini dan dianggap sebagai sebuah kebenaran.

Ketika masing-masing pihak bertemu dan menyampaikan pandangannya, serta mau menggali lebih dalam pandangan pihak lain, maka dapat dipastikan pengetahuan masing-masing pihak akan lebih berkembang. Sebaliknya, jika masing-masing pihak menyampaikan keyakinan dan anggapannya tanpa peduli terhadap pandangan pihak lain, maka dapat dipastikan potensi konflik akan muncul.

Dalam kenyataan sehari-hari, ketika diperhadapkan dengan pandangan lain yang kita anggap tidak benar, sebagai manusia kita justru sering tidak mau menerima pandangan orang lain. Bahkan mungkin cenderung menyalahkan pandangan lain tanpa mendengar apa yang diyakini orang tersebut.

Kita hanya menganggap diri kitalah yang benar, bahkan -jangan-jangan, kebenaran yang disampaikan oleh Tuhan pun kita anggap salah, karena tidak sesuai dengan keinginan atau harapan kita. Mungkin kita juga berpikir untuk mencari jalan agar orang lain yang berpandangan lain mengikuti keyakinan kita. Sehingga disadari atau tidak terjadi upaya pemaksaan kehendak, termasuk mungkin “memaksa” Tuhan melakukan apa yang kita inginkan.

Dalam perumpamaan yang disampaikan oleh Tuhan Yesus tentang orang-orang upahan di ladang anggur, pada dasarnya ingin menggambarkan hal yang sama (Matius 20:1-16).

Ketika sang majikan telah menyepakati upah yang diberikan, baik kepada pekerja yang mulai bekerja sejak pagi-pagi benar, pukul sembilan pagi, pukul dua belas, pukul tiga petang, dan pukul lima petang, dengan nilai upah sama yaitu satu dinar, para pekerja yang bekerja sejak pagi merasa tidak diperlakukan secara adil dan bersungut-sungut. Mereka merasa telah bekerja lebih lama dan berhak mendapat upah yang lebih tinggi.

Sedangkan sang majikan merasa yakin telah membahas dan menyepakati dengan para pekerja itu sebelumnya mengenai besaran upah yang akan mereka terima. Sehingga ia tidak merasa mengingkari janji kepada pekerja tersebut dan sudah berlaku adil.

Perumpamaan tersebut memang tidak berbicara mengenai jasa melainkan hak istimewa yang diberikan sama bagian kepada setiap orang yang mau menerimanya sebagai anugerah. Tiap orang mendapatkan anugerah yang sama sesuai dengan kesepakatan yang telah dicapai.

Tuhan tidak membedakan anugerah sebagai hak istimewa yang dapat diterima oleh orang-orang terdahulu dan sekarang. Maka jika Tuhan memberi anugerah kepada kita hari ini, bersyukurlah atas anugerah tersebut dan atas keadilan yang Ia nyatakan bagi kita.

Perspektif manusia yang terbatas tentu jauh berbeda jika dibandingkan dengan perspektif Tuhan yang tak terduga luasnya. Namun bukan tidak mungkin untuk memahami perspektif Tuhan.

Sekali lagi ini adalah anugerah. Memahami perspektif manusia mungkin jauh lebih mudah, terlebih jika kita melihatnya sebagai kesempatan untuk belajar memahami pemikiran, cara pandang, atau perspektif orang lain. Sehingga kita dapat menjadi lebih bijak manakala perbedaan berada di sekitar kita, bukan akhirnya hanya ada satu cara, yaitu memaksakan kehendak.

Foto: PetrFromMoravia/Pixabay

Jangan Asal Bapak Senang, Kecewa Nanti

Pagi itu, saat aku tiba di kantor, tampak office boy (OB) sibuk mengelap kaca. Toilet pun dibersihkan sedemikian rupa. Jadi wangi sekali.

Semua sibuk. Ini gara-gara menjelang siang, sang owner alias Pak Bos Besar, akan datang ke kantor dan mengumumkan sesuatu yang sangat penting.

Bukan berarti sehari-hari kaca depan itu buram atau kotor penuh noda ya. Atau toilet berbau pesing, dan sebagainya.

Sehari-hari bersih kok. Hanya saja, hari ini jauhhhh lebih bersih dan jauh lebih wangi.

“Tumben,” kataku.

“Iya pak, kan pak bos akan datang,” kata salah satu dari OB itu.

Baiklah, jadi ketika pak bos datang, semua harus tampak sempurna. Sebuah pekerjaan dilakukan sungguh-sungguh hanya ketika bos besar akan datang.

Aku ingat ketika masih kecil tinggal di perkebunan sawit tempat papa bekerja. Ada masa-masa di mana Administrateur (ADM) berkunjung ke pemukiman karyawannya.

Saat itu, segala sesuatu harus tampak sempurna. Pekarangan tak boleh ada sampah. Pagar hidup harus dipercantik. Kalau bisa, dinding rumah sudah dicat. Pokoknya, bapak ADM itu harus melihat segala sesuatu baik adanya.

Dalam hal menyambut pejabat juga sering begitu, bukan? Kalau seorang pejabat negara akan datang, maka semua harus tampak baik. Bahkan, lokasi pengungsian yang bakal dilewati sang pejabat pun harus bersih. Para pengungsi harus sudah mandi, bersih, wangi, padahal mereka sedang susah hati.

Seberapa banyak dari kita masih sering berperilaku begitu? Yang penting bapak/ibu bos senang, yang penting di mata bapak/ibu bos semua baik. Padahal, kadang seperti mangga yang cantik kulitnya tapi busuk penuh ulat di dalam dagingnya.

Hal yang baik dan terpuji mestinya harus dilakukan setiap saat, ada tak ada bos, atau ada tak ada pejabat, atau siapapun yang ingin kita hormati. Ia harus jadi perilaku, dilakukan bukan karena kita ingin dinilai orang lain, tetapi karena seharusnya begitulah kita melakoni hidup setiap saat.

Aku teringat bagian Firman Tuhan di Kolose 3:23 yang berkata: “Apapun juga yang kamu perbuat, perbuatlah dengan segenap hatimu seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia.”

Lakukanlah segala sesuatu seperti untuk Tuhan, sebab Dia itu Maha Tahu. Dia tahu hati kita, apakah yang kita lakukan itu kepura-puraan belaka atau tulus dan jujur adanya. Jadi percuma berbuat baik, tapi di hati ada borok menganga, sebab itu takkan tersembunyi dari Dia.

Seperti Yesaya 29: 15 yang berkata, “Celakalah orang yang menyembunyikan dalam-dalam rancangannya terhadap TUHAN, yang pekerjaan-pekerjaannya terjadi dalam gelap sambil berkata: ‘Siapakah yang melihat kita dan siapakah yang mengenal kita?'”

Lagi pula, melakukan yang baik itu janganlah semata-mata untuk mendapatkan pujian atau penilaian baik manusia. Sebab belum tentu manusia menghargai usahamu, bukan? Nanti kamu kecewa. Celaka!

Tapi Tuhan tahu memberi ganjaran terbaik. Dia tahu apa yang kita kerjakan setiap detailnya, setiap waktunya. Berapa banyak air mata, kesusahan yang kita alami untuk melakukan hal-hal baik. Percayalah, untuk segala sesuatu yang baik, jerih payah kita tidak akan sia-sia.

Foto: Skeeze/Pixabay

DOA YANG DITOLAK

Mengapa doa ditolak? Mungkinkah itu salah satu cara yang walau menyakitkan, bisa membuat kita semakin dewasa?

Waktu sekolah dulu, teman-teman saya suka iseng mencomot makanan ketika temannya sedang berdoa. Jadi, belajar dari pengalaman, kalau mau makan, sambil berdoa, ada teman saya yang akan menutupi makanan dengan kedua telapak tangan untuk menghindari para ‘maling’ jahil itu. Tentu saja doanya jadi kurang konsentrasi. Itu memori lucu saya tentang doa yang masih berkesan.

Apa yang paling berkesan bagi anda, tentang doa? Ada teman saya yang usil yang menjawab demikian: Doa saya paling sering ditolak!

Wah. Pernahkah doa anda ditolak? Teman saya itu pasti menjawab: Pernah banget! Sering, malah!! (Hahaha).

Jaman mahasiswa, saya pernah mendoakan sesuatu, cukup lama. Akhirnya saya sedih sekali karena ternyata doa itu ditolak. Tapi rupanya, doa itu bukan ditolak, hanya diundur waktunya. Pada akhirnya, kisahnya adalah happy ending. Sampai kini hal tersebut adalah sebuah pengingat bagi saya untuk berusaha bersabar, menunggu waktu jawaban Tuhan.

Jangan salah. Seperti teman saya yang usil tadi, doa saya yang betul-betul ditolak juga banyak, dan ada yang hingga kini masih berbekas. Tapi kembali saya ingat kejadian ‘pengingat’ tadi, dan walau masih belajar iklas, tetap saja terasa berat. Mungkin memang perlu waktu.

Seorang sahabat, sejak beberapa tahun belakangan ini memiliki pergumulan berat. Akhir-akhir ini dia, jika dia kirim pesan WA ke saya, keluhannya adalah, seolah doanya tak terjawab. Atau doanya mungkin ditolak. Dia hampir menyerah. Karena sama-sama sibuk, saya dan dia hanya bisa komunikasi aktif dengan chatting. Membaca ceritanya, kadang saya ikut menangis selama chatting. Sejujurnya, saya juga ikut letih pada pergumulannya. Seolah tak ada jawaban, seolah tak ada jalan keluar. Dan itu sungguh menyesakkan dan melelahkan. Saya hanya bisa menghiburnya dengan mendorongnya bersabar dan percaya, walau mungkin saya juga tak bisa sekuat itu.

Bicara soal ditolak, memang tak ada enaknya. Ditolak itu sakit. Ya ditolak cintanya, ya ditolak lamaran kerjanya, ditolak masuk suatu kumpulan, atau ditolak proposal kenaikan gaji, dan lainnya. Ditolak itu menyakitkan. Jangankan yang ditolak jika kita yang meminta, bahkan jika yang ditolak pemberian atau sumbangan kita pun bisa bikin sakit hati.

Bagaimana dengan doa yang ditolak tadi? Teman saya bertanya: Apa yang membuat Tuhan sebegitu ‘pelit’ atau ‘kejam’ menolak doa umat ciptaanNya?

Saya ingat sekali kala masih muda dulu pernah curhat dalam doa pada Tuhan. Saya dengan jujur berdoa dan bilang padaNya: Tuhan saya benci sama itu orang, jahat banget dia sama saya, Tuhan pasti tahu. Tuhan pasti tahu juga saya saat ini nggak mau maafin dia dan saya berharap dia mendapat balasan setimpal atau lebih buruk. Saya berharap segala yang terburuk terjadi menimpanya. Tuhan, Engkau tahu isi hati saya dan itulah keinginan jujur saya. Timpakanlah segala cilaka padanya! Tapi Kau Tuhan pengasih. Kau pasti mengampuni dia. Tapi dia jahat banget, Tuhan!

Habis berdoa, saya bengong. Hah! Doa macam apa tuh! Beberapa waktu setelah itu, jika saya teringat, saya menertawakan diri sendiri. Betapa silly doa itu walaupun betapa jujurnya. Tapi Tuhan kan tidak menolak doa macam apapun. Tidak ada doa yang ditolak dengan syarat dan ketentuan yang berlaku. Intinya adalah pada kalimat penutup: Tapi kehendakMulah yang jadi. Amin.

Pada akhirnya saya sadar, jawaban Tuhan atas doa yang tadi itu adalah: Tugasmu adalah mengampuni. TugasKu, membalaskan dengan caraKu dan waktuKu, dan itu bukan urusanmu.

Tentang doa, analogi saya kemudian menjadi sederhana. Seperti ini. Anak saya boleh meminta apa saja. Tapi sayalah orangtua. Saya lebih tahu yang terbaik untuknya. Dia bisa minta dibelikan iphone terbaru, tapi saya bisa memberikannya hanya ponsel biasa, sebab saya tahu yang penting buat dia adalah komunikasi, bukan gaya keren-kerenan yang akan membuat dia sombong dan dibenci teman-temannya.

Pernah juga, dulu ada doa yang dikabulkan Tuhan yang kemudian membuat saya menyesal. Ada sebuah cita-cita impian saya dan Tuhan mengabulkan doa saya untuk hal itu. Tapi ternyata impian itu tidak seperti yang saya harapkan. Apa maksud Tuhan di situ? Apa mau bilang: ‘Nih rasain permintaan lu nih!’?
Bukan. Mungkin Tuhan ingin saya belajar sesuatu dari situ. Dan betul. Saya jadi belajar, tidak semua impian atau keinginan kita baik bagi kita. Atau mungkin memang baik, walau dengan cara yang menyakitkan, yang bisa membuat kita semakin dewasa. Itu mungkin berlaku bagi pergumulan sahabat saya tadi.

Lalu seorang teman bertanya: Jadi apa resep doa yang manjur? (Manjur? Lu kira jamu! jawab teman usil tadi.) Tapi betul. Memang ada. Ada resep doa yang manjur. Doa yang pasti dikabulkan. Apa itu?

Mau doa manjur? Tinggallah di dalam Aku. Apa pun yang kau minta akan Kuberikan.

Itu tertulis dalam kitab Yohanes 15:7. Jikalau kamu tinggal di dalam Aku dan firman-Ku tinggal di dalam kamu, mintalah apa saja yang kamu kehendaki, dan kamu akan menerimanya.

Apa itu artinya tinggal dalam Tuhan? Pendeta saya menjabarkannya seperti berikut ini.

Artinya, ketahuilah hati Tuhan. Kenalilah Tuhan. Lakukanlah perintah Tuhan. Bertingkahlakulah sebagai anak Tuhan.

Anak Tuhan?

Ya. Kalau kita tinggal di dalam Tuhan, dan melakukan firman Tuhan, tak mungkin lagi kita meminta/mendoakan hal-hal yang bertentangan dengan kehendak Tuhan.

Contohnya?

Tuhan tidak suka kesombongan, jadi percuma kita berdoa minta jadi millioner sebab itu mungkin akan membuat kita jadi sombong, berbuat dosa dan jadi batu sandungan. Anak Tuhan takkan minta sesuatu yang akan membuatnya tidak menaati Tuhan.
Masih bingung?

Misalnya kau anak pendeta. Kalau sudah tahu ayahmu enggak bakalan kasih kau pergi ke diskotik, untuk apa menghabiskan waktu untuk bolak-balik minta ijin ke diskotik? Sudah pasti ditolak. Tapi jika kau minta ijin pergi ke gereja, pasti dikasih langsung, malah disuruh cepat-cepat berangkat, dan mungkin diberi ongkos lebih dan uang jajan (hahaha).

Teman usil tadi pun menyimpulkan dengan asal. Kalau begitu, percuma dong berdoa minta jadi milioner, doanya bakal ditolak! Lalu saya bolehnya minta apa dong?

Kata pendeta, mintalah hikmat, kesabaran, kasih. Itu pasti manjur, pasti dikabulkan! Seratus persen manjur! Mintalah hikmat untuk bisa hidup saleh walau tak jadi milioner. Sebab tujuan hidup kita adalah untuk memuliakan Tuhan, bukan untuk menjadi milioner.

Anak saya pernah bingung karena jika dia minta uang sumbangan untuk murid yang berduka di sekolah, pasti saya kasih, dan jumlahnya pasti lebih besar dari pada uang jajannya. Kalau dia minta uang untuk beli mainan pasti saya interogasinya lama dan belum tentu dikabulkan. Dia sempat kesal.

Begitulah kadang saya melihat diri saya dalam hal jawaban doa. Apa yang kita inginkan bukan selalu yang kita butuhkan. Memang menyakitkan ketika doa kita tidak dikabulkan. Tapi Tuhan tahu yang terbaik bagi anak-anakNya. Dan seperti kata pendeta, apapun isi hati kita, tak ada salahnya menceritakan pada Tuhan. Segala curhat, ‘aib’ dan rahasia kita aman di tanganNya, tak bakalan disebarkan ke orang lain. Yakinlah! Jaman sekarang serba terbuka. Kita curhat lewat telepon bisa direkam/disadap. Curhat lewat email/surat/chatting, bisa disimpan atau di-captured dan disebar. Tak ada lagi privasi. Lalu mengapa tak kembali kepada doa, privasi tertinggi, terpercaya dan tersejahtera?

Lalu kata pendeta saya: Tapi, jangan berdoa hanya jika sedang ada permintaan lho, ya. Itu namanya egois. Memangnya kau suka jika temanmu muncul pada saat ada maunya saja? Memangnya enak kalau teman hanya telepon kalau mau minta tolong, tetangga hanya datang kalau mau pinjam uang? Memangnya enak diperlakukan begitu?

-*-

Foto: Pixabay

 

Anak-Anak Muda Penuh Karya

Sumpah Pemuda mestinya diperingati dengan karya, biar tak terkesan omong belaka. Dan anak-anak muda kita, sudah membuktikannya.

Di balik sebagian generasi muda yang sibuk bernarsis tak penting di media sosial, ada banyak juga yang sadar bahwa mereka harus berbuat sesuatu untuk negeri tercinta.

Beberapa waktu lalu, kami di CNN Student menurunkan laporan khusus mengenai sosok anak-anak muda yang keren itu di rubrik Student Topik “Yang Muda yang Berkarya”.

Kami temukan mereka di beberapa ajang kompetisi sains, seperti Lomba Karya Ilmiah Remaja dan National Young Inventors Award 2016 yang digelar Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), dan lomba karya tulis Ilmiah Nasional di Universitas Negeri Malang.

Saya rangkumkan untuk kita semua di Petra Online:

1. Nur Bella Turcica Anibah dan Zahira

20160926_154650-1-1
Karya kedua siswa SMA Negeri 2 Bengkulu Selatan ini benar-benar menarik. Keduanya mendapati bahwa tanaman kebiul (Caesalpinia bonduc L.) yang endemik di daerah mereka, ternyata mengandung senyawa yang bisa membantu menghambat pertumbuhan sel kanker. Tanaman ini memang sudah dipercaya berkhasiat oleh warga setempat dan mereka membuktikan, ada khasiat lain yang pasti sangat berguna bagi kita, terutama bagi penderita kanker payudara.

(Cerita lengkapnya di: http://student.cnnindonesia.com/edukasi/20161019105429-445-166476/siswi-sma-asal-bengkulu-temukan-ekstrak-penghambat-sel-kanker/)

2. Okti Nurhidayah

p60926-144324
Tubuhnya boleh mungil, tapi hasratnya untuk melakukan penelitian dan penemuan sangat besar. Okti, siswi kelas 11 SMA Negeri 1 Sampang, Cilacap, Jawa Tengah ini, telah menemukan sampo dari rumput bandotan yang ampuh membunuh jentik nyamuk, dan teko tanah liat yang ampuh membersihkan air. Rahasianya, kata dia, adalah selalu kepo alias ingin tahu.

(Cerita lengkapnya di: http://student.cnnindonesia.com/student-star/20161017105546-463-165982/penemu-mungil-dari-cilacap/)

3. Hanun Dzatirrajwa dan Izza Aulia Putri Purwanto

p60926-150510
Keduanya masih duduk di bangku Sekolah Dasar. Hanun kelas 4 SD IT Bina Amal Semarang Izza di kelas 5 SD IT Al Islam Kudus. Keduanya adalah saudara sepupu.

Karya kedua anak ini luar biasa, bersumber dari jiwa sosial mereka yang tinggi. Mereka membuat permainan papan Ular Tangga khusus untuk anak-anak tuna netra.

Kali lain, mereka mendesain sarung tangan khusus petani tomat. Dengan sarung tangan itu, petani bisa memanen tomat dengan mudah dan tepat.

(Cerita lengkapnya di: http://student.cnnindonesia.com/edukasi/20161003035633-445-162796/anak-sd-ciptakan-sarung-tangan-pemanen-tomat/)

4. Lusia Estihito Estuningrum dan Clara Parahita Nareswari

img-20160930-wa0009
Keduanya adalah siswi SMA Negeri 3 Yogyakarta yang memenangi lomba karya tulis ilmiah nasional di Universitas Negeri Malang. Mereka menemukan ide pembuatan briket daun kering dari daun Ficus elastica yang banyak ditemukan di sekolah mereka. Biasanya daun ini dijadikan kompos saja, padahal akan memakan waktu yang lama. Sebaliknya, kalau dijadikan briket, prosesnya tak lama dan briket bisa dimanfaatkan untuk banyak keperluan.

(Cerita lengkapnya di: http://student.cnnindonesia.com/edukasi/20161006151750-445-163746/duet-siswi-sman-3-yogyakarta-ini-ubah-sampah-jadi-briket/)

5. Ghina Eroz Rasman dan Mega Meulia

img_7817
Siswi dari SMA Negeri 63 Jakarta ini menemukan manfaat lain limbah kulit nanas Palembang alias Ananas comosus.

Limbah nanas itu kalau diolah akan menghasilkan bahan plastik yang ramah lingkungan. Mereka sukses menemukan sumber lain untuk plastik biodegradable yang masih sangat sedikit penelitiannya di Indonesia.

(Cerita lengkapnya di: http://student.cnnindonesia.com/edukasi/20161004135354-445-163192/limbah-nanas-jadi-plastik-ramah-lingkungan/)

6. Albertus Andito

p60926-142246
Siswa kelas 12 SMA Asisi Jakarta ini merancang hal yang unik dan menarik, yaitu gantungan alias hanger kulkas. Tujuannya untuk menjadikan kulkas sebagai alat pengering pakaian.

Dia terinspirasi kebiasaan sebagian orang menjemur pakaian basa di dekat kulkas yang mengeluarkan panas. Nah, supaya gampang, Albertus merancang hanger yang memudahkan orang menjemur.

(Cerita lengkapnya di: http://student.cnnindonesia.com/edukasi/20160929134535-445-162093/hanger-sayap-kulkas-pengering-baju-dalam-semalam/)

7. Angelica Grace

img_7994
Angelica masih bersekolah di kelas 12 SMA Santa Laurensia, Jakarta. Dia berhasil menemukan manfaat limbah plastik untuk menghasilkan energi listrik.

Angelica memanfaatkan kemampuan penguraian plastik bakteri B, subtilis dan teknologi Microbial Fuel Cell (MFC) untuk menghasilkan voltase listrik sambil mengurai plastik.

Plastik yang telah diradiasi UV dan plastik yang belum diradiasi UV digunakan sebagai sumber karbon bakteri dalam MFC. Penemuan ini dapat membantu mengurangi polusi secara global.

(Cerita lengkapnya di: http://student.cnnindonesia.com/edukasi/20160929110550-445-162049/limbah-plastik-jadi-listrik-buah-karya-angelica/)

8. Mikha Christevan Tanihatu dan Daniel Prathito

p60926-154417
Kedua siswa SMA Katolik Ricci II Jakarta ini membuat alat yang lucu bin unik. Mereka menamakannya Guntal alias gunting kuku anti terpental.

Ide awal mereka dari rasa malas membersihkan potongan kuku yang berserakan sehabis kita memotong kuku. Nah alat ini akan memotong kuku sekaligus menampung potongannya. Jadi kita akan mudah membuang potongannya. Sederhana idenya, tapi bermanfaat kan?

(Cerita lengkapnya di: http://student.cnnindonesia.com/edukasi/20160929112950-445-162055/guntal-si-pemotong-kuku-anti-terpental/)

9. Widi Jati Laksono

p60927-114631
Siswa SMA Negeri 1 Purworejo ini berurusan dengan lintah. Dia menjadikan lintah sebagai alat pendeteksi cuaca.

Ternyata, lintah memang punya kemampuan itu. Dia berkaca pada sebuah buku yang menyatakan lintah pernah dipakai untuk mendeteksi badai oleh orang Eropa pada abad ke-19.

Lintah, oleh Widi, dimasukkan ke dalam wadah berisi air yang telah dipasangi sensor infra merah. Posisi lintah di dalam wadah menjadi penentu cuaca.

Jika cuaca cerah, lintah akan berada di permukaan air. Ketika mendung, lintah akan berada di tengah menuju ke bawah. Sedang saat hujan, lintah akan berada di dasar wadah.

(Cerita lengkapnya di: http://student.cnnindonesia.com/edukasi/20160929154122-445-162154/berkat-lintah-jadi-finalis-lomba-karya-ilmiah/)

10. Sang Ayu Prischa Astarina dan Ni Kadek Ayunda Sarini Dewi

p60926-134412-copy
Sepasang siswi SMA Negeri 4 Denpasar, Bali, ini menemukan bahwa mendalang itu ternyata bisa meningkatkan memori otak.

Saat mendalang, si dalang menggunakan hampir seluruh anggota tubuhnya. Otak akan bekerja mengingat cerita, mengeluarkan suara yang berbeda untuk tiap karakter, tangan yang aktif dan terampil, dan kaki yang ikut memainkan alat musik.

(Cerita lengkapnya di: http://student.cnnindonesia.com/edukasi/20161004110143-445-163139/siswi-bali-ini-buktikan-mendalang-tingkatkan-memori-anak/)

Foto-Foto: Courtesy CNN Indonesia Student

Kamu Egois, Aku Egois

Salah satu masa paling menyenangkan selama bergelut di dunia kerja ini adalah ketika suami saya pindah ke kantor di sebelah gedung kantor tempat saya bekerja. Kami bisa berangkat dan pulang kerja bersama dan sesekali janjian makan siang berdua, atau makan malam berdua sepulang kerja sebelum pulang ke rumah. Semacet apapun Jakarta rasanya tak terlalu mengganggu sebab saya tinggal duduk dan suami yang menyetir. Kami bisa mengobrol sambil ngemil dan mendengarkan radio/musik.

Tapi itu tak lama. Setelah beberapa tahun, dia ditugaskan lagi ke kantor cabang perusahaan yang lain yang berada di pinggiran Jakarta. Tak mungkin lagi dia antar atau jemput saya, sebab berbeda arah. Pernah terpikir untuk mengemudi sendiri atau mencari pengemudi pribadi, tapi pada akhirnya memutuskan lebih praktis kembali ke pangkuan angkutan umum, yang sebelum dan sesudahnya dan kapan saja seolah setia mendampingi saya (hahaha).

Apa yang terjadi dengan warga angkutan umum sekarang? Begitu saya bertanya dalam hati ketika baru kembali lagi ke ‘alam bebas’ itu. Rasanya seperti dulu ketika baru pulang dari Jepang yang serba rapi dan kagok ketika melihat semrawutnya Jakarta.

Satu kata yang lantas terbersit dari pikiran saya adalah: Egois.

Seperti kemarin pagi, di angkot, dengan cueknya seorang bapak berpakaian rapi merokok seenaknya padahal semua isi angkot yang mayoritas wanita sudah menutup hidung dan mengibas-ibas sebagai isyarat supaya beliau mematikan rokok. Egois sekali bapak ini! pikir saya. Teringat di Jepang ada inovasi untuk perokok, namanya Smoking Bells (bentuknya seperti bell/lonceng). Alat ini didesain untuk membuat perokok menikmati asap rokoknya sendiri di tempat umum, hingga tidak akan mengenai orang di sekitarnya.

Lalu soal tempat duduk di angkutan umum. Jika saya bandingkan, bila pagi hari saya naik patas AC, kemungkinan besar tidak akan dapat tempat duduk. Yang duduk sambil tidur adalah (selain wanita) para pria berpenampilan kantoran rapi yang seolah takkan peduli sekalipun ada nenek atau ibu hamil berdiri di dalam bus.

Jika saya naik kopaja, yang kebetulan isinya kebanyakan para buruh, kemungkinan besar mereka akan memberikan saya (atau wanita lainnya) tempat duduk mereka. Di situ saya kadang merasa sedih (ini bukan bercanda). Membandingkan kedua hal ini membuat saya miris. Kembali satu kata itu terbersit. Egois sekali para pria kantoran ini!

Lalu bukan hanya itu. Ada saja penumpang yang tidak mau menggeser tempat duduk untuk orang di sampingnya. Jika karena ukuran badan jadi tidak muat, mungkin bisa dimaklumi. Tapi jika karena ogah rugi, misalnya harusnya bisa berlima tapi yang duduk masih empat orang, aduh! Penumpang egois! (Makan tuh tempat duduk! Begitu teman saya pernah memaki).

Lalu kemarin lusa, seorang berpenampilan mahasiswi duduk di sebelah saya di kopaja. Di Sudirman, dia turun lebih dulu. Anehnya, tak ada ucapan permisi atau ngomong apa kek supaya saya memberi jalan, nyelonong saja dengan kasar. Untung saya sudah antisipasi, segera bangkit berdiri agar dia bisa keluar dengan lega, padahal saya cuma geser kaki juga sebenarnya dia masih bisa lewat. Bahkan saya sampai berdiri mundur memberi jalan, hingga saya berdiri di selasar kopaja. Yang tak saya duga, masih sempat-sempatnya sepatu kets-nya mundur dan menginjak sepatu saya. Saya hanya berdecak dan mengusap sepatu. Sakitnya nggak seberapa, kesalnya itu lho. Lalu, ketika saya turun, saya baru sadar suatu hal.

Astaga, saudara-saudara, rupanya sudah copotlah aksesori blink-blink sepatu lama favorit saya yang modelnya sudah tidak diproduksi itu lagi! (Ini bagian lebaynya, hahaha).

Dengan sedih dan geram saya pungut si Blink-blink yang oleh rekan kantor yang jahil disebut swarovski. Lalu saya melangkah dengan gaya sok cool walau diam-diam berharap tak ada yang memerhatikan perbedaan di antara kedua sepatu saya! (Tengsin, tahu!). Tiap kali ada orang berpapasan dengan saya dan melirik ke bawah, saya langsung mempercepat langkah, bagai selebiriti menghindari paparazzi (cuiiii…).

Tiba di pintu masuk gedung, satpam juga melirik sepatu saya walau tak berkata apa-apa. Masuk kantor, rekan-rekan saya terpingkal-pingkal mendengar cerita saya. Kasihan, untung swarovski mahalnya nggak hilang pas copot tadi, goda mereka. Lalu seorang teman sepakat dan berkata, memang anak muda jaman sekarang egois banget dan kadang nggak punya manner. Tentu saja itu hiperbola dan tak bermaksud menggeneralisasi. (Lalu saya mengelem kembali sang swarovski palsu, dan sepatu favorit saya kembali ke penampilan semula).

Belum selesai sampai di situ. Ketika saya turun lift dan mau keluar di lobi, ada orang yang berada di lantai itu segera menerobos masuk. Padahal sudah jelas ada aturan, biarkan yang mau keluar terlebih dahulu. Kayak mau naik angkot aja takut nggak keangkut ya, Neng? Dan itu sering terjadi. Memangnya dia nggak bisa bedain apa, ini lift Neng, bukan kopaja yang orang berebutan naik! Kalau di perkantoran pusat bisnis sudirman saja masih begini gaya orang kerja, apa kata dunia?! Egois amat sih, Mbak? Harusnya dia lihat kebiasaan di Jepang, jika naik eskalator, orang-orang berjajar rapih di sebelah kiri, dan jika ada yang buru-buru silakan berjalan di sebelah kanan.

Tapi mungkin bukan hanya dia, dia, dan dia tadi yang egois. Mungkin saya juga pernah melakukan keegoisan yang kurang-lebih sama.

Pernah saya (dan semua penumpang) membiarkan seorang nenek berdiri di kopaja. Waktu itu saya memang kurang sehat. Ini bukan ngeles. Dalam hati saya berkata: Maaf ya, Nek. Bukannya saya egois, tapi tekanan darah saya sedang turun jadi saya nggak kuat berdiri lama-lama. Untungnya nenek itu tidak jauh tujuannya, beberapa menit segera turun.

Saya juga pernah duduk di kopaja dan tidak mau geser. Kenapa? Karena tempat duduk di sebelah saya basah bekas hujan. Si Nona manja yang baru naik tidak mau masuk untuk duduk dan saya juga tidak mau pindah ke sebelah. Si kenek mengomel dan saya balas: Saya sudah naik dari terminal dan duduk di sini duluan, kenapa harus saya yang pindah? Dan itu kursinya basah! (Kenek yang malang, ibu-ibu loe lawan berdebat, hahaha). Si kenek pun diam dan melap kursi tapi si Nona manja yang terlanjur mengambek tidak mau duduk lagi. Silakan berdiri sendiri di belakang, Non! Biar tinggi sendiri. Atau jadi model pendamping pengamen (ini ucapan teman saya ketika saya ceritakan kisah ini).

Lalu ketika malamnya saya bercerita pada suami, dan karena tahu anak-anak menguping, saya sengaja berkata: Dunia luar sana itu keras! (Anak sulung saya langsung menyahut: Ih, mama lebay!)

Pernah juga saya naik kopaja (lama-lama kopaja jadi favorit gue deh ini, hahaha) yang ternyata lagi dicharter oleh guru-guru madrasah yang akan training di Senayan. Mereka kaget pas saya naik. Lalu mereka bilang: Ini kopaja lagi nggak narik.

Pikir saya: Lha kok berhenti pas saya setop? Ternyata berhenti karena ada mobil berhenti di depannya. Hahaha. Dengan malu saya nyaris turun. Tapi tiba-tiba saja ide itu muncul. Mungkin karena saya kepepet takut terlambat (Ide memang sering muncul dalam keadaan kepepet). Saya tanya, mereka lewat mana, boleh ikut nggak? Ternyata searah kantor saya dan mereka langsung menerima saya ikut. Tempat duduk memang hanya sekitar separuh saja yang terisi. Berhati mulia sekali sekali, pikir saya. Saya jadi penumpang gratis. Ibu-ibu guru itu mengajak saya mengobrol, ada yang mengajak saya bercanda, ada juga bu guru yang ngegodain seorang pak guru yang mendadak pindah tempat duduk (katanya biar dekat saya, hahaha). Mereka bahkan mengajak saya ikut berfoto wefie.

Betapa beruntung saya, kali ini bertemu orang-orang yang sama sekali tidak egois. Keneknya pun tidak mau terima ketika saya mau turun saya coba selipkan selembar uang. Semua guru itu langsung berteriak: Jangan diterima. Full service gratis ini, Mbak!

Ini salah satu contoh kisah toleransi khas orang Indonesia yang legendaris itu, yang sama sekali jauh dari keegoisan. Guru memang luar biasa, jasamu memang tiada tara!

Kembali ke masalah egois-egoisan tadi. Mungkin memang masih baru sampai di situ progres kita. Kita memang masih dalam proses perubahan. Semoga semakin cepat perubahan ini, dan semakin baik. Kebalikan dari lagu Kemesraan, keegoisan ini semoga cepat berlalu. 🙂

-*-

Foto: Pixabay

Naik Transportasi Publik Yuk

Terkadang kita perlu menyadari bahwa solusi permasalahan perkotaan, seperti kemacetan dan lain sebagainya, jangan semata-mata dibebankan pada otoritas.

 

***

Pagi, 7 Oktober 2016. Commuterline Bogor-Manggarai

Artikel ini saya ketik di dalam commuterline tujuan Manggarai, tempat saya akan transit menuju Stasiun Sudirman. Hari ini ada undangan ke sebuah acara di bilangan Sudirman.

Bukan ini kali pertama saya, seorang commuter, menggunakan transportasi publik ke tempat kerja atau liputan. Saya tak fanatik pada satu macam saja, ekstrem pada transportasi pribadi atau transportasi publik.

Hal sederhana yang mau saya sampaikan, sembari berdiri di dalam gerbong kereta ini, adalah terkadang kita perlu menyadari bahwa solusi permasalahan perkotaan, seperti kemacetan, jangan semata-mata dibebankan pada otoritas.

Kita jangan menjadi warga atau commuter yang manja, seperti anak, yang segalanya minta dilayani. Istilahnya, mari menjadi bagian dari solusi saja yuk, daripada pusing memikirkan kok pemerintah begini, kok pemerintah begitu, kok Ahok begitu.. #eh!

Naik transportasi publik sebagai sebuah pilihan utama adalah bagian dari solusi permasalahan klasik perkotaan macam Jakarta. Kalau kesadaran ini meluas, pelan-pelan soal kemacetan, konsumsi bahan bakar bersubsidi yang melewati kuota, laun akan teratasi sendiri.

Sesederhana itu. Maaf tak bisa bicara lebih panjang dan melengkapinya dengan data berupa observasi, riset, analisis dan sebagainya. Saya ingin.

Tapi seperti yang saya sebut tadi, saya ini sedang berada di kereta api listrik. Lagipula saya sudah hampir turun. Hari ini perjalanan lebih cepat, bebas macet, dan adem pula di dalam gerbong yang berpendingin udara.

Beda seperti biasa kalau saya menyetir mobil atau sepeda motor. Macet, jauh, dan melelahkan.

Mungkin saya hanya beruntung, karena biasanya kereta api sepagi ini akan penuh berjubel. Tapi Keberuntungan itu milik pengguna transportasi publik, bukan yang pribadi, yang tadi saya lihat sudah tumplek blek di jalan raya Lenteng-Pasar Minggu. Kasian. Eh, saya juga kayak mereka ding, kemarin.

Ya udah, yuk ah naik transportasi publik.

DEDDY SINAGA

Foto: Credit atas nama sendiri.

AwKarin-Anya dan Labirin Gelap di Dunia Maya

Saat anak atau orang terdekat diberikan akses ke dunia tanpa batas bernama teknologi digital dan Internet, serta tak diawasi pula, mereka terancam bahaya.

***

Anya Geraldine dan Awkarin. Dua nama ini banyak dipergunjingkan masyarakat. Baik lewat media massa maupun media sosial. Keduanya adalah selebritas media sosial, yang dengan aksinya sehari-hari di dunia maya, telah melahirkan banyak penggemar sekaligus haters.

Masalahnya, aksi mereka telah menimbulkan keresahan sebagian masyarakat. Gaya bergaul yang bebas, cara berpakaian yang dianggap tak sesuai norma ketimuran, membuat resah banyak orang. Anya Geraldine dan Awkarin sampai-sampai dipanggil oleh Komisi Perlindungan Anak Indonesia.

Terlepas dari masalah dampak sosial dan psikologi yang ditimbulkan perilaku keduanya (Sebetulnya bukan cuma keduanya, kalau punya waktu cobalah telusuri media sosial, banyak yang seperti mereka) di jejaring sosial, sebetulnya fenomena  AwKarin dan Anya cuma riak permukaan saja.

Apa yang bisa ditawarkan dunia maya atau media sosial, jauh lebih mengerikan ketimbang sekadar mengamati gerak-gerik kedua makhluk cantik itu lalu tersesat dalam langgam keduanya.

Masyarakat abai pada dampak yang bisa ditimbulkan media sosial serta Internet, dan abai pula mengajari anak-anaknya untuk bijak menggunakannya. Mereka tak acuh pada perilaku online orang-orang terdekatnya.

Bagi orangtua, perangkat teknologi (termasuk Internet dan media sosial di dalamnya) dijadikan sebagai umpan agar anak tak keasyikan main di luar, atau jangan-jangan agar anak-anak tak mengganggu aktivitas orangtua.

Padahal, saat mereka diberikan akses pada dunia tanpa batas bernama teknologi digital dan Internet serta tak diawasi pula, anak terancam kecemplung ke dalam labirin gelap, panjang berliku, dan menyesatkan.

Apa saja bahaya yang menghadang anak di labirin yang bisa menyesatkan itu? Banyak! Mulai dari contoh negatif ala-ala Awkarin dan Anya, gaya hidup bebas, sampai yang jauh lebih mengerikan seperti jeratan predator seksual dan kejahatan lainnya.

Alih-alih ikut resah dan marah pada fenomena Awkarin dan Anya, ada baiknya orangtua mulai melihat keseharian anak-anaknya. Seberapa banyak mereka menghabiskan waktunya dengan gadget dan Internet. Apakah lebih banyak ketimbang waktu untuk mengobrol dengan orangtua atau saudara lain?

Bagaimana cara menyikapi masalah ini?

Pertama, patuhilah ketentuan penggunaan media sosial. Bacalah term & condition saat sign-up secara teliti, meski itu bisa membosankan karena panjangnya. Contohnya untuk usia pengguna. Jangan karena ingin anak jadi gaul (atau mungkin supaya anak tak mengganggu aktivitas Anda), anda mengizinkan anak memiliki akun media sosial padahal usianya belum cukup. Facebook misalnya, mensyaratkan penggunanya tak berusia di bawah 13 tahun.

Ingat, situs-situs media sosial akan selalu berasumsi bahwa penggunanya sudah cukup umur sehingga konten-konten yang beredar di dalamnya sudah sesuai dengan batas usia penggunanya. Jadi, kalau memang anak masih di bawah umur, ya jangan dibuatkan akun atau diizinkan punya akun media sosial.

Kedua, orangtua wajib mengawasi aktivitas anak-anak di media sosial dengan menjadi teman mereka. Pegang akses untuk masuk ke akun media sosial anak. Software-software antivirus juga sudah punya fitur parenting untuk mengontrol aktivitas anak di Internet. Manfaatkan itu.

Mungkin ada anak yang risih orangtuanya berada di daftar friendlist atau follower-nya. Tapi orangtua harus menjelaskan dengan baik apa maksud di balik itu semua. Yang penting, orangtua berjanji untuk tak banyak mencampuri urusan anak di media sosial, kecuali itu menjurus dan membahayakan keselamatan mereka.

Selebihnya jadilah pengamat yang diam. Anak-anak akan menyadari bahwa aktivitas mereka dilihat oleh orangtua, mereka akan merasa terlindungi kalau ada yang macam-macam di sana.

Ketiga, perbanyak komunikasi langsung dengan anak dalam berbagai kesempatan. Bikinlah quality time yang banyak dengan mereka. Apakah waktu-waktu sarapan sebelum berangkat sekolah? Atau saat makan malam? Atau pada saat kalian beraktivitas bersama di akhir pekan.

Keempat, tunjukkan! Kalau meminta anak tak sibuk dengan gadget atau media sosial, orangtua juga harus segendang sepenarian. Jangan malah asyik mantengin hape atau laptop ketika bersama anak-anak.

Kelima, jadilah teladan dalam perbuatan baik. Saya percaya, ketika hidup kita memancarkan kebaikan dan terang Kristus secara nyata dalam aktivitas sehari-sehari, khususnya di depan anak-anak kita sendiri, mereka akan baik-baik saja.

Buruanlah, jangan sampai terlambat ya.

 

DEDDY SINAGA

Foto: Pixabay/twinquinn84