Belajar theologia bukanlah dominasi pendeta, pastor, atau mereka yang menyebut dirinya hamba Tuhan. “Siapa saja yang menyebut dirinya sebagai Kristen sejati, seharusnya menjadi seorang teolog,” kata Jared Wilson, seorang pendeta di Midwestern Baptist Theological Seminary di Kansas, dalam artikelnya Why Theological Study is for Everyone.
Maksudnya, bukan berarti bahwa setiap orang harus menjadi cendekiawan atau akademisi, atau berjuang keras untuk disebut “yang paling tahu”.
Theologi berasal dari kata Yunani theos yang artinya Tuhan, dan logos yang artinya “kata”. Secara sederhana, itu berarti pengetahuan (mempelajari) tentang Tuhan. Kalau dalam pandangan kaum puritan Inggris dari abad ke-17, theologi itu berbicara tak hanya soal mempelajari tentang Tuhan, tapi lebih jauh, bagaimana hidup sesuai dengan kehendak Tuhan.
Upaya untuk mempelajari atau memperdalam pengetahuan mengenai Tuhan itu bisa dilakukan oleh siapa saja. Bukankah, ini adalah perintah Tuhan sendiri? Seperti yang disebut dalam Matius 22:32, “Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu.”
“Mengasihi Tuhan Allah jelas lebih jauh dan dalam lagi artinya daripada studi theologi. Tapi tentu, tak lebih kurang dari itu, bukan?” kata Pdt. Jared Wilson.
Pertumbuhan berkelanjutan kita dalam kasih karunia Tuhan, ketekunan kita sebagai orang kudus, betul-betul berhubungan dengan pengetahuan kita akan karakter dan karya Tuhan yang dinyatakan dalam FirmanNya.
Iman itu bukan lompatan ke dalam situasi gelap. Benar kata penulis Ibrani, bahwa iman itu adalah dasar bagi apa saja yang kita harapkan, dan bukti atas segala sesuatu yang tidak kita lihat.
Oleh karena itu, pengetahuan akan Tuhan akan membawa kita pada ibadah dan penyembangan yang otentik dan bernyala-nyala. Sebab kita ini mempercayai Tuhan dan spiritualitas yang nyata, bukan yang samar-samar. Kita meletakkan iman percaya kita pada Roh Kudus yang nyata, di dalam Yesus Kristus yang hidup, sebagaimana dipaparkan salam injil dan sejarah.
Mempelajari tentang Tuhan dengan akal budi kita seharusnya akan mengubah hati dan perilaku kita. Itulah maksud Rasul Paulus pada Roma 12:2 “Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi berubahlah oleh pembaharuan budimu, sehingga kamu dapat membedakan manakah kehendak Allah: apa yang baik, yang berkenan kepada Allah dan yang sempurna.”
Maksud saya, belajar theologi seharusnya dilepaskan dari anggapan bahwa itu selalu berkaitan dengan keinginan menjadi seorang pendeta. Dan belajar theologia juga tak mesti dikaitkan dengan kegiatan belajar informal di seminari atau sekolah tinggi teologia. Belajar theologi seharusnya menjadi panggilan setiap orang Kristen yang sejati.
“Belajar theologia itu dekat sekali dengan kehidupan sehari-hari, dalam pergumulan hidup dan pertumbuhan rohani kita,” kata Pdt. Ayub Rusmanto, M.Th, Gembala Sidang GSRI Depok.
Mempelajari theologia adalah juga sebuah ekspresi cinta kita pada Tuhan. Semakin kita punya banyak pengetahuan mendalam tentang Tuhan, maka semakin kagumlah kita padaNya.
Seorang hamba Tuhan yang terbaik, kata Pdt. Robby Chandra, dari Badan Bina Pengerja GKI SW Jabar, dalam kotbahnya pada pembukaan kuliah semester di STT Iman Jakarta, adalah mereka yang mengalami turning point untuk menyadari bahwa dirinya adalah yang terbaik sebagai hasil pembentukan Tuhan. “Ciri-cirinya adalah selalu takjub dan terpesona oleh Tuhan itu sendiri,” ujarnya.
Artikel ini merupakan penulisan ulang (dengan sedikit revisi) tulisan saya di blog pribadi: http://bangdeds.com/2017/08/14/terdampar-di-sekolah-theologia/