Gempa Aceh kemarin mengingatkanku 11 tahun yang lalu. Ya, gempa Nias 28 Maret 2005, yang berkunjung hanya dalam hitungan menit saja, telah mengubah sebagian besar hidupku dan juga teman-temanku.
Mereka yang baru saja bercanda denganku di hari yang sama, tiba-tiba sudah tidak ada lagi, ditelan reruntuhan bangunan megah buatan tangan manusia. Masih jelas tergambar di benakku kehancuran hebat saat itu.
Rumah-rumah rubuh, jalan-jalan terbelah, kebakaran menghanguskan sisa-sisa harta yang tertinggal, bau mayat di mana-mana. Aku sampai tidak mengenali lagi kota Gunungsitoli, kota kelahiranku.
Aku ingat teriak mereka yang berlumuran darah. Aku ingat tangis mereka yang memekakkan telinga.
Aku ingat ketakutan yang tergambar di setiap wajah. Bahkan aku ingat boneka berbentuk hati yang kubawa lari ke pengungsian malam itu.
Rasanya bayangan kematian begitu nyata mengejarku. Tidak ada pengungsian yang cukup aman bagiku untuk berlindung dari kematian. Aku tidak pernah tahu entah kapan kematian itu datang. Entah saat aku tidur, entah saat aku bermain, entah saat aku mandi, entah saat aku sama sekali tidak memikirkan tentang kematian.
Sesungguhnya, tanpa harus gempa pun, bayang-bayang kematian memang selalu mengikuti. Hanya mungkin sedang tidak sadar saja. Pertanyaannya, sudah siapkah apabila waktunya tiba menjemput? Sudah siapkah kita berhadapan dengan ajal?
Moi, je suis prête.
Foto: Pixabay/Angelo_Giordano