Tag Archives: toleransi

Mahasiswa Lintas Iman: Intoleran Berarti Tak Paham Pancasila

Sebuah diskusi publik digelar di Jakarta beberapa hari lalu. Diskusi ini mempertemukan kelompok mahasiswa lintas iman, yang dihelat oleh Pengurus Pusat Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia.

Diskusi bertema “Orang Muda Bicara Pancasila” itu menghadirkan sembilan pembicara yang merupakan pimpinan organisasi mahasiswa Kelompok Cipayung Plus lintas generasi.

Noer Fajriansyah, Ketum PB HMI 2010-2012 mengatakan, Pancasila itu sejalan dengan agama. Kalau masih ada orang yang mempersoalkan toleransi di Indonesia saat ini, berarti mereka belum memahami arti dari Pancasila. Perlu adanya evaluasi di bidang pendidikan terkait Pancasila sebagaimana dahulunya ada penataran P4.

Addin Jauharudin, Ketua Umum PB PMII 2011-2014 mengatakan, bangsa ini bisa berdiri sampai saat ini karena adanya pemahaman dan pengakuan terhadap Pancasila. Bahkan hal itu dilakukan oleh organisasi mahasiswa seperti dalam kelompok Cipayung. Seberapa kuat organisasi ini, maka bangsa ini juga akan kuat.

“Saya melihat, terdapat tiga poin yang bakalan menguat ke depan. Pertama, adanya kelompok yang memanfaatkan situasi saat ini dalam soal-soal intoleran untuk kepentingan politik. Kedua, ada kelompok yang tidak tahu soal ini, sehingga mereka hanya mengikuti apa kata pemimpin mereka dalam wadah apapun sebagai sebuah kebenaran. Ketiga, kelompok pelajar hari ini yang mudah goyah karena bisa berubah akibat sedang berada pada fase mencari identitas. Maka untuk mengatasi persoalan ini, Kelompok Cipayung harus menjadi yang terdepan dalam memproduksi gagasan kebangsaan,” sambung Addin.

Jihadul Mubarok, Ketum DPP IMM 2012-2014 mengatakan, NKRI itu harga mati bagi Muhammadiyah. Perlu ditanamkan rasa optimis dalam bernegara. Hasil penelitian membuktikan bahwa kelompok yang ingin merdeka dalam negara ini populasinya kecil, sementara penelitian lain mengungkapkan bahwa 65% masyarakat Indonesia tidak mau mengubah Pancasila sebagai ideologi negara.

Tweedy Noviadi, Ketum PP GMNI 2011-2013, 2013-2015 mengatakan, Pancasila adalah wadah pemersatu dan Pancasila harus dioperasionalkan dan merupakan sumber semua aturan yang berlaku di Indonesia. Tidak boleh ada aturan yang bertentangan dengan Pancasila. Nilai – nilai Pancasila juga harus menjadi etos kerja pemerintah dan masyarakat.

I Made Bawa Yasa, Presidium Pusat KMHDI 2012-2014 mengatakan, Bhineka Tunggal Ika yang ada dalam cengkraman burung Garuda adalah sesuatu yang sudah final. Tetapi akhir-akhir ini ada sekelompok orang yang berusaha menggoyahkannya. Ini konstruksi pikir yang sangat keliru.

“Pertemuan seperti ini penting dan harus kita galakkan dalam masyarakat sebagai sebuah pendidikan. Mengajak masyarakat untuk berpikir jernih dalam memandang bangsa sebagai negara Pancasila,” ungkap Made.

Lidya Natalia Sartono, Ketum PP PMKRI 2013-2015 mengatakan, ideologi Pancasila harus kita tanamkan dalam masyarakat khususnya melalui ruang pendidikan. Tidak boleh menghilangkan mata pelajaran PMP, PPKN, PKN, Pendidikan Pancasila dan sebagainya.

“Dalam ruang pendidikan khususnya S1, banyak mahasiswa masih bingung tentang lahirnya Pancasila. Dari sini kita lihat perlu adanya tambahan konten dan pelajaran Pancasila dalam ruang-ruang sekolah dan kuliah,” tutur Lidya.

Suparjo, Ketum PP HIKMAHBUDHI 2014-2016 mengatakan,  menurut Russel, falsafah itu antara ideologi dan sains. Hal ini sangatlah cocok dengan Pancasila yang juga menjadi dasar hidup bersama dalam bangsa. Pancasila menjawab semua keinginan di negara ini dan tidak ada perbedaan. Tetap banyak oknum yang ingin mempermainkan Pancasila dan ingin merebut kekuasaan.

Ayub Pongrekun, Ketum PP GMKI 2014-2016 mengatakan, sangat menarik bila kita melihat proses dialetikal Soekarno sampai lahirnya Pancasila. Dari berbagai tempat di mana beliau berada seperti Bandung, Jakarta, Sumatera sampai Ende. Beragam pengalaman dan korespondensi ini memberi kontribusi berarti bagi gagasan Pancasila.

“Kekayaan kebudayaan dari dialetikal pengalaman dan korespondensi tadi memberi warna pada Pancasila sehingga Soekarno dengan lantang menolak sistem monarki, dan mengusulkan musyawarah yang tidak bertentangan dengan budaya. Pengambilan keputusan layaknya masyarakat Minangkabau, Bugis, Makassar dan atau pela gandong di Ambon dan lain-lain. Oleh karena itu harus dihayati bahwa Pancasila adalah jiwa raga Indonesia,” sambung Ayub .

Adriyana, Ketum PP KAMMI 2013-2015 mengatakan, Pancasila merupakan titik ekuilibrium dari perbedaan. Mengapa goncangan bisa terjadi saat ini atas Pancasila? Itu disebabkan karena krisis identitas. Bila kita tidak bisa bersatu dalam banyak hal karena perbedaan lahiria, maka kita tetap dapat bersatu dalam Indonesia. Perbedaan jangan kita jadikan untuk saling menjatuhkan karena kita semua bersaudara.

Sebagai penanggap, Ketua Umum PP GMKI Sahat Sinurat mengatakan, Pengurus Pusat GMKI mengadakan diskusi publik dengan tema orang muda bicara Pancasila untuk mengingatkan kita bahwa kaum muda memiliki tanggung jawab dalam memahami dan menjalankan nilai-nilai Pancasila. Oleh karena itu para pemuda harus bersatu dan tidak boleh tersekat-sekat dengan tembok perbedaan.

“Pancasila tidak hanya menjadi jawaban atas persoalan intoleransi, namun juga berbagai persoalan lain yang masih terjadi di tengah bangsa kita seperti ketimpangan pembangunan, diskriminasi, korupsi, disintegrasi bangsa, dan lain sebagainya. Maka nilai-nilai Pancasila harus dapat diarustamakan dalam setiap sendi kehidupan bangsa,” sambung Sahat.

Penanggap selanjutnya, Taufan P Korompot, Ketua Umum DPP IMM 2016-2018 mengatakan, Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, UUD 1945 dan NKRI harus terinternalisasi dalam diri setiap warga Indonesia. Pancasila harus dijadikan sebagai landasan nilai dari semua aspek kehidupan.

Dalam Diskusi Publik ini, semua pembicara sepakat bahwa Kelompok Cipayung Plus tetap bersinergi dan berkomitmen terhadap Pancasila dan NKRI. Oleh karena itu, Kelompok Cipayung Plus harus juga terlibat dalam penanaman ideologi Pancasila di tengah masyarakat, salah satunya di dalam Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila (UKP-PIP) yang baru saja dibentuk pemerintah.

Tentang Tahun Ayam

Hari ini di beberapa grup online yang saya ikuti, banyak ucapan selamat merayakan imlek. Di salah satu grup, banyak juga ucapan dengan bahasa yang tak saya mengerti tapi lucu karena kami semua yang tak mengerti bahasa itu turut menimpali dengan aktif, bahkan ada yang memelesetkan.

Misalnya, Gong xi fat chai, jangan kebanyakan makan nanti jadi fat ya, coy!
Ada juga yang bilang: Selamat tahun ayam, hati-hati jangan sampai rejeki dipatok ayam.
Bahkan ada yang sengaja meng-upload foto ayam goreng, dan menuliskan ‘selamat tahun baru’ di bawahnya.

Apa yang saya suka dalam salah satu grup itu adalah orang-orangnya terbuka dan tak merasa tersinggung walau saling teasing dan sekalipun ada yang suka mlesetin. Mungkin karena anggotanya sudah akrab dan mungkin juga karena memang komunitas itu terdiri dari golongan yang tingkat toleransinya terbilang tinggi. Ciyee…

Kami sudah terbiasa bercanda. Misalnya pas saya merayakan Paskah, seorang teman dari agama lain dengan sengaja mengirim nats (yang dia tahu dari sekolahnya, karena dulu dia kebetulan sekolah Kristen). Rasanya jadi lucu juga karena dia kan sebenarnya tidak mengerti nats itu dan sama sekali tidak nyambung dengan konteks perayaan Paskah, tapi itu tidak bermaksud menyinggung dan itu malah membuat grup kami ramai, tertawa-tawa.

Pernah juga kami merencanakan pertemuan, dan kepada yang beragama islam pun kami suka bergurau, contohnya dengan berkata: Enakan makan di lapo aja, enak lho dagingnya, lo belum pernah ngerasain kan? (Tahu kan di lapo itu pasti ada daging haram, hehehe).

Lalu pernah juga waktu kami makan dalam rangka buka puasa bersama di sebuah restoran arab, seorang teman sengaja mendandani saya dengan pasmina seolah saya mengenakan hijab. Kami makan dan berfoto-foto dengan gembira. Tak ada yang tersinggung. Tak ada yang protes. Sebab kami melakukan itu bukan untuk menistakan siapapun. Kami hanya berusaha beradaptasi dan tampil seperti lingkungan menuntut kami.

Apa yang membuat semua perbedaan itu lancar dan mulus, adalah mungkin karena kami bisa menerima keberadaan kami masing-masing yang memang berbeda.

Toleransi. Menerima perbedaan. Itulah hakikinya nusantara.

Kita tak harus setuju cara orang merayakan sesuatu tapi sikap kita adalah lebih baik menghargai sebab cara kita sendiri juga belum tentu mereka setujui tapi tetap mereka hormati. Itulah yang membuat kita bisa hidup berdampingan dengan damai.

Seorang teman kantor sering membawa bekal makan siang yang bagi orang lain adalah makanan haram, tapi mereka tetap bisa menerima, dan hubungan kami tetap baik. Selera boleh beda, pandangan hidup boleh berbeda, kebiasaan dan pola pikir boleh berbeda, tapi hubungan baik harus tetap dijaga.

Saya pikir itulah sejatinya nusantara yang harus tetap kita jaga dan lestarikan.

Dan seperti kata teman saya yang memang suka bercanda, apapun agamanya yang penting sama-sama menikmati hari liburnya. Hahaha.

Konon menurut zodiak Cina, ini tahun ayam. Mengapa ayam, saya juga kurang paham.
Yang jelas, ayam adalah hewan yang sangat adaptif, mudah hidup di sembarang tempat. Ayam juga adalah peliharaan yang murah dan popular, dan merupakan salah satu sumber protein utama bagi manusia. Kita tahu bahwa protein sangat vital bagi kesehatan dan pertumbuhan manusia.

Apapun artinya tahun ayam dalam zodiak, bagi kita yang tidak merayakannya, saya ingin mengambil makna positif dan menarik makna universalnya, yaitu,

semoga kita bisa semakin memiliki sifat alami ayam, yang, mudah beradaptasi dan menjadi sumber sumbangsih ‘protein’ bagi kehidupan manusia yang universal melalui karya kita masing-masing.

Selamat hari raya tahun baru Imlek, semoga tahun ini semakin damai-sejahtera dalam perbedaan dan nusantara yang semakin makmur.

Dan sama seperti tahun-tahun sebelumnya, kita bisa berpegang pada janji Tuhan:
“Sebab itu janganlah kamu kuatir akan hari besok,… ” (Matius 6:34), “Sebab Aku ini mengetahui rancangan-rancangan apa yang ada pada-Ku mengenai kamu, demikianlah firman TUHAN, yaitu rancangan damai sejahtera dan bukan rancangan kecelakaan, untuk memberikan kepadamu hari depan yang penuh harapan (Yeremia 29:11).

Ancaman Keragaman dalam Kasus Baliho UKDW

Belum juga usai riuh-rendah di dunia nyata dan maya terkait kasus tuduhan penistaan agama terhadap Ahok dan aksi massa 411 & 212, masyarakat sudah tersuguhi peristiwa pembubaran acara Kebaktian Kebangunan Rohani (KKR) Ibadah Natal yang digelar pada 6 Desember 2016 di Gedung Sasana Budaya Ganesha (Sabuga), Bandung, oleh kelompok yang menamakan dirinya Pembela Ahlus Sunnah (PAS).

Hanya selang sehari kemudian, giliran warga Yogyakarta yang mendapati peristiwa yang mirip: Forum Umat Islam (FUI) memaksa turun baliho di depan Universitas Kristen Duta Wacana (UKDW) Yogyakarta yang memuat foto perempuan muslimah berjilbab. Pemaksaan itu juga disertai ancaman: jika baliho tidak diturunkan, mereka sendiri yang akan menurunkannya.

Menurut FUI, universitas yang mayoritas mahasiswanya beragama Kristen tersebut tidak pantas memasang spanduk perempuan berjilbab. Rektor UKDW Dr. Henry Feriadi dalam konferensi persnya mengatakan bahwa foto-foto dalam baliho tersebut adalah mahasiswa-mahasiswi UKDW yang berprestasi.

Salah satu di antara mereka adalah seorang mahasiswi muslim, yang terpilih melalui proses seleksi untuk ikut dalam foto materi promosi penerimaan mahasiswa baru. Feriadi menambahkan, mahasiswa senang jika foto mereka bisa masuk dalam materi promosi universitas dan mereka melakukannya tanpa paksaan. Namun karena desakan FUI, pihak UKDW akhirnya menurunkan baliho pada beberapa titik di depan UKDW.

Pemaksaan oleh FUI tersebut, meskipun tampak sebagai peristiwa kecil, sekadar menyangkut baliho, mengandung beberapa problem serius, dan nilai penghargaan atas keragaman Yogyakarta yang menjadi taruhannya.

Pertama, peristiwa tersebut mencoreng citra Yogyakarta sebagai kota pendidikan yang multikultural. Salah satu ciri masyarakat multikultur ialah keterbukaan untuk mengelola dan merayakan situasi keragaman secara beradab.

Kota Yogyakarta memiliki sejarah panjang dalam merawat benih kebinekaan Indonesia, antara lain dalam kontribusinya sebagai “rumah belajar” bagi puluhan ribu pelajar dan mahasiswa dari berbagai latar belakang agama, etnis, bahasa dan warna kulit, dari berbagai penjuru tanah air.

Interaksi multikultural di Yogyakarta telah terjalin erat tidak hanya dalam pergaulan bermasyarakat pada umumnya tetapi juga di dunia akademik, baik di universitas negeri maupun swasta, termasuk yang berafiliasi pada institusi keagamaan.

Oleh karena itu adalah suatu yang wajar jika pihak pengelola universitas mempromosikan kondisi kemajemukan dalam materi promosi penerimaan mahasiswa baru sebagai refleksi dari kondisi riil masyarakat Indonesia dan Yogyakarta secara spesifik. Representasi keragaman dapat diamati dalam pergaulan sehari-hari di lingkungan universitas-universitas tersebut.

Kedua, peristiwa tersebut menafikan kondisi UKDW yang beragam. Sejak 1985 saat UKDW didirikan, atau bahkan sejak 1962 ketika masih bernama Sekolah Tinggi Teologia, perjumpaan komunitas muslim dan kristen di UKDW bukanlah hal baru, baik di luar maupun di dalam kampus.

Di Fakultas Teologi UKDW terdapat sejumlah muslim yang telah puluhan tahun mengabdi. Program pendidikan bersama antara UKDW dan UIN Sunan Kalijaga juga telah berlangsung lama. Fakta bahwa dosen-dosen dari Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga juga mengajar di Fakultas Teologi UKDW, atau sebaliknya, bukanlah sesuatu yang luar biasa. Proses interaksi ini juga berlangsung intens di kalangan mahasiswanya.

Program pascasarjana di UIN Sunan Kalijaga menjadi salah satu pilihan bagi lulusan UKDW untuk melanjutkan studinya. Sebagai contoh, pendeta mahasiswa UKDW saat ini adalah seorang perempuan alumnus Fakultas Teologi UKDW yang mengenyam pendidikan S2 di Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga.

Contoh sebaliknya adalah Siti Rofiah, seorang pengajar di PP Al-Falah Salatiga yang alumnus program S2 Kajian Konflik dan Perdamaian (MAPS) UKDW. Pada laman Facebooknya, Siti Rofiah menuliskan bagaimana ia menerima perlakukan yang sangat baik tanpa diskriminasi selama ia menjadi mahasiswa di UKDW. Ia bahkan menulis bahwa untuk urusan wudu ada petugas cleaning service yang selalu membantu mencarikan sandal jepit baginya.

Di samping itu, bersama UIN Sunan Kalijaga dan UGM, UKDW telah mendirikan suatu konsorsium untuk pendidikan doktoral dalam studi antaragama, yaitu ICRS (Indonesian Consortium for Religious Studies), yang bertempat di Sekolah Pascasarjana UGM.

Di fakultas-fakultas lain pun ada mahasiswa non-kristiani. Pada tahun 2016 terdapat 7 persen dari total 3.500 mahasiswa UKDW yang berasal dari latar belakang non-kristiani, baik muslim, hindu, buddha, maupun konghucu. Kondisi tersebut memungkinkan mahasiswa maupun penyelenggara pendidikan mengalami proses interaksi dengan sesamanya dari berbagai latar belakang yang berbeda.

Para orang tua mahasiswa dari latar belakang non-kristiani juga mulai memercayakan anak-anaknya untuk belajar di Fakultas Kedokteran UKDW, yang didirikan pada tahun 2009. Hingga 2016, Fakultas Kedokteran UKDW telah menamatkan dan melantik 40 orang dokter yang berasal dari pelbagai latar belakang etnis dan agama, termasuk muslim.

Dalam upacara pelantikan juga wajib hadir perwakilan tokoh-tokoh agama, termasuk perwakilan dari pemimpin agama Islam untuk mendampingi pengambilan sumpah pelantikan dokter.

Proses interaksi antarmahasiswa dari berbagai latarbelakang tersebut merupakan suatu pengalaman yang penting dan perlu diadakan, karena di masyarakat mereka akan berjumpa dengan kondisi yang plural, baik dari segi etnis, latar belakang sosial ekonomi maupun agama.

Dengan demikian, menolak representasi keragaman mahasiswa dalam baliho di UKDW tersebut tidak hanya bertentangan dengan prinsip kebebasan berekspresi di universitas, tetapi juga menyangkal adanya fakta bahwa latar belakang peserta didik di universitas tersebut cukup beragaam.

Ketiga, peristiwa tersebut merupakan ancaman terhadap “ruang perjumpaan” masyarakat. Universitas adalah tempat di mana peserta didik mengembangkan kebebasan berpikir dan berekspresi dan kepekaan sosial yang dicapai bukan hanya melalui proses belajar-mengajar di kelas, melainkan juga dari pengalaman dan interaksi baik sesama peserta didik maupun dengan masyarakat sekitar. Dengan pengalaman itu, mereka diharapkan siap untuk berbaur dengan dengan kondisi riil masyarakat yang beragam ketika mereka menyelesaikan pendidikannya.

Ruang perjumpaan bagi muslim dan kristiani itu perlu dijaga. Tidak banyak sekolah yang berafiliasi dengan lembaga keagamaan yang menyediakan ruang perjumpaan bagi orang-orang yang berbeda agama. Alih-alih merayakan keragaman, banyak lembaga pendidikan yang justru membudayakan keseragaman dan menyelenggarakan pendidikan yang monolitik untuk satu agama saja.

Dengan demikian, pemaksaan penurunan baliho tersebut bukan sekadar menyangkut representasi fakta keragaman mahasiswa UKDW, melainkan juga merupakan ancaman terhadap keterbukaan ruang yang plural yang merupakan fondasi toleransi.

Lebih jauh, jika kelompok yang memaksa penurunan baliho itu menyebut dirinya Forum Umat Islam, kita bisa bertanya: muslim mana yang mereka wakili? Tentu bukan muslim yang menjadi mahasiswa ataupun orang tua mereka yang mempercayakan pendidikan anaknya di UKDW; bukan pula dosen-dosen muslim yang telah bertahun-tahun bekerjasama dengan UKDW dari UIN Sunan Kalijaga ataupun UGM untuk mengembangkan studi agama yang inklusif.

Lebih dari masalah baliho, rekam jejak FUI harus mendapat catatan khusus. Tidak seperti Pembela Ahlus Sunnah (PAS), FUI sudah lama bergerak bebas di Yogyakarta.

Kita bisa mendaftar aksi-aksi vigilantismenya, antara lain: pemaksaan pembatalan diskusi di UIN Yogyakarta yang menghadirkan pembicara dari tokoh Syiah; pembubaran pesantren waria, Al-Fatah; penyebaran spanduk-spanduk berisi ujaran kebencan terhadap Syiah, komunis, dan LGBT di banyak jalan besar di Yogyakarta; dan pembubaran acara peringatan Hari Pers Dunia yang diadakan oleh Aliansi Jurnalis Independen.

Fakta bahwa aksi-aksi ini dibiarkan—dan semua aksi ini dilakukan hanya dalam setahun terakhir—merupakan persoalan yang sangat serius.

Tidak seperti Wali Kota Bandung Ridwan Kamil yang sigap merespons dan sudah berencana menindak ormas PAS, hingga artikel ini selesai ditulis bahkan belum ada sepatah katapun muncul dari Wali Kota Yogyakarta maupun Gubernur DIY. Tidak berlebihan jika muncul dugaan bahwa di balik aksi-aksi vigilantisme FUI ini ada problem yang lebih sistemik dari yang tampak di permukaan.

Seharusnya pihak keamanan dan pemerintah kota maupun provinsi tidak tinggal diam ketika kelompok-kelompok yang mengklaim mewakili suatu komunitas agama menyebarkan ketakutan. Membiarkan kejadian-kejadian “kecil” seperti ini berarti memberikan lahan subur bagi tumbuhnya sikap keagamaan yang eksklusif.

 

Marthen Tahun

Catatan: Tulisan ini dikutip sudah seizin penulis. Laman asli tulisan ini lihat di:

http://crcs.ugm.ac.id/news/9785/ancaman-keragaman-dalam-kasus-baliho-ukdw.html

Penulis adalah Staf Peneliti di Center for Religious & Cross-Cultural Studies (CRCS), Sekolah Pascasarjana UGM.

Foto: Merdeka.com/Purnomo Edi

Tidak Semua Orang Makan Nasi

Tahun 2002, saya pertama kali tinggal di Jepang seorang diri, dalam jangka waktu cukup lama, yaitu satu tahun. Saya tinggal di Jepang, tepatnya di kota Kanazawa, prefektur Ishikawa, karena saya mengikuti program Japanese studies. Usia saya saat itu masih paruh pertama 20-an.

Saya tinggal di asrama internasional bersama-sama para mahasiswa asing lainnya dari berbagai negara, mulai dari negara-negara di Asia, Amerika, Eropa, Australia. Yang dari benua Afrika kebetulan enggak ada.

Masing-masing penghuni asrama diberi satu kamar yang meskipun sangat kecil, tapi ajaibnya bisa muat dapur, kulkas kecil, WC plus shower plus wastafel, tempat tidur, meja belajar, lemari, dan beranda untuk jemur baju. Pokoknya bisalah untuk melangsungkan aktivitas hidup sehari-hari di kamar sempit itu.

Terus terang saja, satu hal yang bikin galau ketika awal-awal datang ke Kanazawa adalah perihal saya tidak punya rice cooker. Maklumin deh, dasar orang Indonesia, sekalipun roti, pasta, mie itu secara teori bisa menggantikan nasi, tapi kalau belum makan nasi, rasanya saya belum makan beneran.

Persoalannya, mau beli rice cooker baru itu lumayan mahal juga, dan mikir “hanya” dipakai setahun, sayang uangnya. Selama dua minggu pertama, saya numpang masak nasi di tempat teman Indonesia yang punya rice cooker atau saya makan nasi di kantin kampus.

Saat makan bersama beberapa teman Indonesia, salah seorang di antara teman-teman ini, punya “hobby” suka menelusuri tempat pembuangan sampah di sekitar kampus untuk cari barang-barang elektronik layak pakai.

Akhirnya saya “nitip” rice cooker ke teman saya ini (eh buseeet, di Jepang kok nyari rice cooker bukan di toko tapi di tempat sampah?).

Beberapa hari kemudian, saya ingat banget, pukul 7 pagi, bel kamar saya berbunyi. Masih setengah tidur (sebelum punya anak, saya itu afternoon person, jam 7 masih nyenyak, baru bangun itu paling cepat jam 8 pagi, tapi setelah punya anak, hidup saya sekarang dimulai dari jam 4 pagi) saya berjalan menuju pintu dan membukanya.

Di depan pintu berdiri teman Indonesia, tersenyum lebar dan membawa rice cooker. “Ini!” Ujarnya sambil menyodorkan benda yang saya nanti-nantikan itu.

Saya sangat senang menerima rice cooker dari tempat sampah itu, karena tidak menduga akan mendapatkannya secepat itu. Berulang kali saya mengucapkan terima kasih dan sepanjang hari itu saya sangat senang.

Hari itu saya ingin berbagi kebahagiaan, jadi saya menceritakan kegembiraan saya pada salah seorang teman saya yang berasal dari Polandia. Di akhir cerita, ia menanggapi,

“Kayaknya untuk Rouli, rice cooker itu penting banget ya. Rouli makan nasi tiap hari ya.”

Saya jawab,”Iya, emang Gosha (nama teman saya) enggak?”

Ia menanggapi,”Enggak.”

Saya tanya lagi, “Jadi Gosha makan apa tiap hari?” (Dalam bayangan saya saat itu, semua orang itu pasti butuh makan nasi).

Teman saya menjawab, “Terutama sih roti. Kadang jagung. Tapi kita (maksudnya orang Polandia) jarang makan nasi. Nasi kita jadikan sebagai salah satu bahan salad.” (beneran, ada ini salad nasi. Untuk kita “aneh”, tapi itulah salah satu budaya kuliner Polandia).

Hari itu, pertama kalinya saya sadar, bahwa tidak setiap orang di dunia ini makan nasi sebagai makanan pokok. Dan ngga ada yang salah dengan itu. Teman saya sehat-sehat aja tuh tanpa nasi. Dan saya juga baik-baik aja tanpa salad nasi.

Saya rasa kita semua harus terbuka menerima keberagaman.

Keberagaman SARA, keberagaman budaya, keberagaman pola pikir. Jauh-jauh deh dari fanatisme berlebihan, dari merasa diri paling benar sendiri.

Bukannya apa-apa, kita ini tidak hidup hanya dengan orang-orang yang sama dengan kita aja. Justru kalau dilihat dari perspektif global, yang tidak sama SARA, budaya, pemikiran dengan kita itu malah lebih banyak. Jadi ya sudah tugas setiap makhluklahhhhh untuk mengusahakan perdamaian dengan setiap orang di muka bumi ini.

Tidak semua orang makan nasi. Tidak semua orang makan roti. Dan sungguh, berbeda-beda itu tidak apa-apa, asal selalu ada sikap saling menghormati perbedaan itu.

Rouli Esther Pasaribu

Penulis adalah pengajar paruh waktu di Program Pascasarja Kajian Wilayah Jepang UI.

Foto: Pixabay

Minoritas dan Toleransi

Aku Kristen. Minoritas di negeri ini. Dulu, ini tidak jadi masalah. Sekarang, kok sangat bermasalah ya?

Entah karena dulu aku bersekolah di sekolah Katolik sejak SD hingga SMA, atau karena belum ada media sosial. Entahlah.

Yang aku rasakan adalah rasa senang memiliki banyak teman dari berbagai agama. Teman sekolahku hanya sedikit yang non Kristen dan Katolik. Hanya segelintir yang beragama Budha, Hindu dan Muslim.

Sementara itu, tetangga rumahku kebanyakan muslim. Setiap lebaran, ibuku tidak perlu memasak. Kami selalu mendapat kiriman makanan dari tetangga kiri, kanan, depan, belakang bahkan yang jaraknya lumayan jauh dari rumah.

Lumayan. Bisa bertahan 3 hari. Sebenarnya bisa bertahan seminggu sih, kalau saja adikku yang nomor 5 tidak rakus.

Setiap Tahun Baru–aku tinggal di Medan, biasanya kami menerima tamu setiap Tahun Baru, bukan pada saat Natal–ibuku bingung. Kami harus mengirimkan makanan ke banyak tetangga yang telah mengirimkan kami makanan pada saat Lebaran.

Lumayan banyak. Tapi kata ibu, itu tidak menjadi soal, karena kita harus saling memberi. Sensasi mengirimkan itu yang sungguh aku rasakan. Tanpa pamrih. Tanpa curiga.

Sering juga terjadi, aku, kakak, dan adikku mengajak tetanggaku yang muslim untuk ikut ke gereja kalau ada perayaan Natal sekolah minggu. Nanti dapat bingkisan, kataku saat itu membujuknya. Jadilah kami beramai-ramai ke perayaan Natal. Senang sekali.

Menjadi minoritas semakin terasa ketika aku kuliah dan memasuki dunia kerja. Aku ikut dalam Persekutuan Mahasiswa di fakultasku. Biasanya kami mendapatkan sebuah aula berukuran sedang untuk beribadah.

Namun, pernah suatu kali, ada perintah dari Dekan bahwa banyak mahasiswa yang keberatan kalau kami melakukan ibadah di aula tersebut. Alasannya, kami tidak membersihkan aula setelah memakainya.

Tentu saja ini mengejutkan. Kami sangat tahu diri. Kami sudah dipinjamkan ruangan untuk beribadah, maka pasti setelah selesai beribadah, kami membersihkannya, bahkan lebih bersih dari sebelum kami memakainya.

Tapi kami menurut saja. Tidak perlu berbantah-bantahan. Kami beribadah di halaman kampus.

Hal ini berlangsung tidak lama. Hingga akhirnya kami boleh memakai sebuah bangunan terpisah tidak terlalu jauh dari fakultas. Tempat itu terbuka. Kurang terawat. Sebelum beribadah, kami harus membersihkannya.

Sementara teman-temanku yang muslim mendapatkan sebuah mushola bagus di halaman fakultas. Dilarang iri. Sudah sangat sering aku mengajari diriku untuk tidak boleh iri. Aku terbentuk menjadi orang yang sangat bertoleransi, tidak perlu berdebat kalau tidak diperlukan.

Memasuki dunia kerja semakin terang benderang. Aku bahkan pernah menjadi satu-satunya perempuan nonmuslim di antara 7 pria nonmuslim lainnya. Jumlah karyawan sekitar 170-an.

Untungnya aku sudah terlatih ketika di kampus. Bertoleransi, menghargai perbedaan, mengalahkan ego, menjadi makananku sehari-hari.

Akhirnya memang, mereka sangat menghargai keberadaanku. Sendirian menjadi nonmuslim dalam satu divisi yang berjumlah 30 orang tidak membuatku menangis. Aku bahagia. Inilah kesempatanku menunjukkan warna seorang pengikut Kristus.

 

Luciana Siahaan

Penulis adalah Ketua Dewan Teruna Gereja Protestan di Indonesia bagian Barat (GPIB)

Foto: Pixabay.com