Awalnya saya kira hanya saya yang mengalaminya. Rupanya teman-teman juga pernah. Mungkin Anda juga?
Pernahkah Anda merasa tidak mampu menjadi orangtua yang baik? Ketika melihat anak-anak tiap hari bergelut, berebutan, berkelahi tanpa sebab yang jelas, kita jadinya menyalahkan diri sendiri merasa bahwa kita telah gagal mendidik anak. Apalagi jika mendengar laporan yang kurang baik dari sekolah tentang anak, atau dari sesama orangtua murid, atau tetangga, rasanya kita telah gagal menjadi orang tua.
Padahal rasanya kita sudah mengajarkan dan menasihati ratusan kali, tetap saja anak seolah tak berubah, tetap sulit bangun pagi, malas belajar sendiri, susah mandiri, senang berkelahi dengan adik/kakaknya dan kurang menurut pada orangtua.
Apa yang salah? Hati kita bertanya-tanya.
Kita merasa telah melakukan segala yang kita dengar, baca, dan pelajari, tentang tugas menjadi sesosok orang tua. Kita banyak membaca buku tentang parenting, menonton dan mendengar radio bahkan ikut berbagai seminar. Tapi kita tak pernah merasa sudah bisa melakukan tugas sebagai ibu atau sebagai orangtua yang baik.
Setiap hari bahkan mungkin kita berdoa agar diberi kekuatan dan perubahan diri untuk bisa mendidik anak-anak dengan lebih baik, tapi tiap kali juga kita selalu merasa gagal dan jatuh ke dalam kesalahan yang sama: ketidaksabaran. Kita tetap menjadi ibu bawel dan tak sabaran, pemarah, dan suka mengomel. Tiap hari. Hingga mungkin kita merasa muak dan letih dengan diri sendiri.
Pernahkah Anda menonton serial komedi televisi Amerika, Last Man Standing?
Saya suka menonton film serial komedi itu. Di film itu, Tim Allen berperan sebagai Mike Baxter, ayah dari tiga anak perempuan, yang mendukung nilai-nilai tradisional Amerika, dan seorang Kristen yang taat. Caranya menghadapi masalah dengan tenang dan humorislah yang membuat saya kagum. Saya ingin setenang Mike, tapi nyaris tak pernah bisa. Padahal anak saya cuma dua dan masih di bawah usia remaja, artinya masalahnya belum terlalu kompleks seperti ketiga anak perempuan Mike.
Bayangkanlah Mike harus mengurus cucunya yang adalah anak yang lahir karena “kecelakaan” putri sulungnya yang hamil waktu SMA, menghadapi putri sulungnya yang tak pernah cocok dengannya, menantunya yang pengangguran, dan masalah lainnya.
Entahlah, saya merasa tipe seperti Mike inilah orangtua yang “sempurna”. Yang ingin saya tekankan di sini adalah cara Mike menghadapi masalah. Rasa humornya. Tapi tetap dengan prinsip yang dia pegang teguh. Dalam satu episode, ada kutipan, seperti ini: “…your kid is a mess and it’s your fault … They need dads who teach them how to be men … You absentee fathers still have time to make things right.”
Sama dengan Mike, kita sebagai orangtualah yang terus bertanggungjawab akan kelakuan dan masalah anak-anak kita. Sebagai orangtua, selain ibu, perlu sosok ayah yang kuat untuk membangun karakter anak. Saya bisa mengomel seharian untuk memberi perintah kepada anak-anak, tapi hanya dengan satu kalimat, anak-anak akan segera melakukan perintah ayah mereka.
Saya yakin, kita tahu bahwa diri kitalah yang harus kita hadapi ketika menghadapi anak. Sifat kitalah yang harus diubah. Pola pikir dan cara bertindak kitalah yang perlu improvisasi.
Lantas apakah dengan melakukan itu semua kita bisa menjadi orangtua yang sempurna? Tentu tidak! (Seperti iklan deh…)
Jadi, jika Anda bertanya, apa tips menjadi orangtua yang sempurna, jawaban saya adalah TIDAK ADA.
Sebab tak ada orangtua yang sempurna. Takkan ada. Hidup adalah proses. Sampai tuapun kita sebagai orangtua terus belajar menjadi lebih baik. Takkan ada yang sempurna. Anak pun tak sempurna. Mengapa kita orangtua ingin menjadi sempurna? (Seperti kata teman saya, kesempurnaan hanya milik Yang di Atas, hehe…)
Mungkin seperti Mike, kita tak perlu tiap kali terlalu serius. Kita harus lebih banyak memakai sense of humor.
Tapi kadang itu ada juga resikonya. Suami saya kadang-kadang bercanda dengan anak dengan cara humor yang saya sebut garing.
Pernah waktu masih TK, anak saya bertanya: Binatang peliharaan itu apa. Sebelum saya jawab dengan anjing, kucing dll, suami saya sudah menjawab dengan iseng: Semua binatang yang ada di rumah. Nah, suatu kali anak saya pulang dengan heboh. Dia habis ulangan. Nilainya jelek. “Masa aku salah sih, Ma? kata bu guru jawabanku salah semua,” katanya.
Kulihat kertas ulangannya. Sebutkan nama -nama binatang peliharaan. Anak saya menulis: Cicak. Nyamuk. Tikus. Kecoa.
Seketika, saya bingung antara ingin tertawa dan marah pada suami. Lalu saya mengomel dengan sarkastis: Bagus, itu ajaran Papa tuh!
Anak saya lalu berkata lagi, “Tapi temanku lebih parah, Ma. Dia tulis jawabannya: Singa, harimau, beruang, macan dan buaya.”
Saya pun tak bisa menahan tawa. Rupanya masih ada yang lebih parah dari jawaban anak saya. Pikir saya, teman anak saya itu, rumahnya kebun binatang ‘kali, ya?
Hahaha…
Ya, perlu hikmat khusus dan sense of humor yang tinggi
untuk bisa menggembalakan ‘jemaat’di rumah.
Bacaan yang cukup menghibur diakhir minggu,Min.
Thanks ya..
Thats right linda… u r welcome… 🙂