Keadilan itu Bersifat Impersonal dan Imparsial

Satu gereja di Samarinda dibom! Korban jatuh. Apakah saya ikut ‘terluka’? Tentu saja. Namun, ‘keterlukaan’ saya pun harus kukendalikan sekuatnya dgn tenang agar tak jadi memantik api kebencian baru. Caranya, cukup saya berdoa, juga istri-anak. Tak perlu mengumbar ke dunia maya sebab tak ada kuasa saya mengubah apa-apa, walau sejuta status, meme, kusebarkan di mana-mana.

Tetapi, diam-diam saya berdoa. Doa yang sama pun kupanjatkan bagi pemilik semesta untuk mereka yang tertindas, terluka, terbunuh, karena keyakinan mereka, juga akibat kekejaman dan kerakusan manusia.

Bahkan orang-orang yang tak seiman dengan saya pun kadang kubawa dalam doa bila sontak teringat. Para korban perang di Suriah, Irak, Libya, Yaman, dan lain-lain, juga para pengungsi yang mempertaruhkan nyawa menuju negara pelarian–tak pandang apakah sekeyakinan atau tidak dengan saya–turut saya doakan.

Saya sering membayangkan penderitaan para wanita, anak-anak, dan perjuangan para ayah untuk menyelamatkan istri-anak mereka; mengganggu tidur, mengoyak unsur terdalam dalam diri saya.

Tuhan yang saya imani, mengajarkan saya mencintai manusia tanpa memandang suku-bangsa dan keyakinan. Dari situlah terbangun kesadaran memperlakukan tiap insan sama berharga.

Pengetahuan, bacaan, pendidikan, juga pergaulan, yang saya telan dan lakukan sekian lama, berperan pula mengajari saya bahwa keadilan dan kemanusiaan itu besifat impersonal dan imparsial. Tak membeda-bedakan, tak memisah-misah, dan barangsiapa tak mampu menerapkan, sesungguhnya hanya mengutamakan diri dan kaumnya; suatu pemihakan yang ekslusif, sementara persoalan manusia bersifat universal dan kebajikan bersifat terbuka.

Sungguh tak ada yang istimewa bila seseorang hanya membela yang sesuku, seiman, sealiran dng dirinya, karena yang ditonjolkan hanya kepentingan dan naluri purba.

Maka, meski tak seiman-sekeyakinan dan tak harus “berteriak” di dunia maya, saya pun bersimpati pada orang-orang yang terusir karena kepercayaan mereka, yang dianiaya atau dibunuh karena kekukuhan pada yang diyakini, pula mereka yang dihukum karena tak percaya adanya Tuhan.

Membebaskan pikiran dari pemihakan karena alasan sesuku, seiman, atau dorongan naluri dasar, memang bukan perkara gampang. Butuh kontempelasi panjang dan mendalam selain kesediaan memahami problematiknya kehidupan–termasuk dalam berkeyakinan. Hidup dan pergumulan manusia tak sesederhana yang terbangun dalam pikiran.

Agaknya, di situlah perbedaan kita yang paling mendasar! Namun, saya akan tetap berpihak pada humanisme dan kedamaian, semoga yang sependapat denganku semakin banyak dan akal sehat, nurani, harus diusahakan bersama jadi pemenang, mengalahkan kepicikan dan kebiadaban.

Foto: Johnhain/Pixabay

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *