Ketika SATU Tak Pernah Cukup

Tempo hari, saya mengajak anak saya yang bungsu liburan singkat sekalian menemani neneknya berkunjung ke rumah kerabat di kampung halaman. Karena ayah dan kakaknya tidak bisa ikut, awalnya dia kurang semangat ikut, tapi karena ingat di depan rumah nenek yang di kampung bisa menangkap ikan, dia jadi bersemangat sekali.

Tiket pesawat pun kami pesan di hari Senin untuk keberangkatan Jumat. Sepanjang minggu itu yang dia bicarakan hanya soal menangkap ikan di kampung nanti. Dia ingin menangkap ikan sebanyak-banyaknya untuk mengisi akuarium di rumah yang ikannya tinggal satu ekor. Selainnya sudah pada mati.

Sebelum berangkat, bahkan sepanjang jalan, soal menangkap ikan itu saja yang dia bicarakan. Bahkan ketika pesawat mendarat di Silangit, dia sudah tak sabar ingin cepat-cepat menuju danau. Padahal kami harus berkunjung dulu ke rumah kerabat di dekat Tarutung. Saya sampai bertanya apakah masih ada kolam ikan di belakang rumah kerabat tersebut, yang ternyata sudah kering. Anak saya mulai kecewa.

Setelah dari rumah kerabat, kami ke rumah kerabat lainnya di Balige. Di depan rumahnya juga persis tepi Danau Toba. Anak saya dibawa kesana, tapi karena hari sudah gelap, tak mungkin menangkap ikan lagi.

Kami tiba di Tomok sudah malam hari. Besok paginya, air danau sedang keruh. Tak ada ikan yang terlihat di tepi air. Saya bahkan sudah sampai teriak minta tolong pada nelayan kapal kecil yang sedang lewat, minta ikan kecil, tapi dia bilang sedang tidak ada. Anak saya mulai kesal. Setelah itu kami berbelanja ke pasar dan seharian jalan-jalan keliling pesisir Danau Toba dan sekitarnya. Sore hari, kami pulang ke rumah nenek, hujan turun hingga kami tak lagi ke pantai. Anak saya pun marah. Saya merasa telah merusak kebahagiaannya.

Besoknya, bangun pagi saya langsung ke pantai. Saya lihat airnya jernih. Saya sudah siapkan jaring. Terlihatlah beberapa ikan-ikan kecil. Begitu saya coba tangkap, semua kabur. Semakin lama saya makin jauh masuk ke dalam air mengejar ikan, tapi makin cepat juga ikannya kabur, dan sudah tak terlihat.

Nyaris tiga puluh menit saya mencoba mencari ikan, tak ada lagi, dan saya tak mungkin masuk makin dalam ke tengah danau. Tinggi air sudah nyaris melewati pinggang saya. Dan saya pun berdoa. Tuhan, tolonglah. Satu ikan kecil saja buat anak saya, biar dia puas dengan liburannya. Sebab hari ini kami akan kembali ke Jakarta.

Lalu saya melangkah kembali ke arah luar pantai, nyaris tanpa harapan. Tanpa sengaja tiba-tiba terlihatlah seekor ikan kecil ini di tepi pantai, dan langsung saya tangkap dengan jaring. Dapat! Saya bahagia bukan main! Terima kasih, Tuhan. Doa saya terkabul!

Sempat juga muncul rasa serakah. Satu ikan lagi deh Tuhan, please… Tapi nyaris setengah jam lagi saya di tepi danau mencari ikan, tak ada lagi. Lewatlah seorang nelayan kecil, dan saya minta ikan, tapi dia hanya bisa memberikan ikan mujahir yang paling kecil dan itu pun masih terlalu besar (dan itu bukan jenis ikan yang anak saya mau).

Saya kembali ke rumah dan membangunkan anak, sambil memperlihatkan ikan kecil itu. Anak saya senang, dan memasukkan ikan itu ke dalam botol aqua. Dia tidak tertarik pada mujahir tadi. Tapi tidak lebih dari setengah jam, ikan kecil itu mati! Anak saya marah-marah. Tapi saya tidak galau lagi. Setidaknya, doa saya sudah dikabulkan. Ikan sudah ditangkap. Tujuan awal sudah tercapai. Proses berikutnya kan, resiko lain.

Saya biarkan anak saya marah-marah sampai dia bosan. Setelah itu, untungnya anak saya bisa dibuat mengerti. Dia membuat saya berjanji akan membeli ikan di Jakarta saja. Seratus ekor! Katanya. Saya hanya menahan senyum.

Yang saya ingat, tadi waktu berdoa minta ikan, saya sempat berpikir, masa saya mau ngerepotin Tuhan hanya untuk urusan ikan kecil ini? Masa Tuhan mau direpotin untuk hal-hal sepele begitu? Lalu saya ingat, pendeta saya bilang, kenapa tidak! Hal seremeh apapun doakan saja pada Tuhan.

Merenungi kejadian ini, saya merefleksikan diri dengan membandingkan diri pada anak saya. Ada dua hal yang saya simpulkan.

Pertama.

Mungkin dalam pergumulan hidup, saya sering hanya fokus pada pergumulan, atau tujuan, atau rencana-rencana saya saja. Seperti anak saya, yang hanya memikirkan tujuan menangkap ikan, dia jadi tak lagi menikmati sisi lainnya, seperti indahnya pemandangan danau Toba dari atas pesawat, nikmatnya jajanan pasar yang hanya ada di Tomok, teduhnya pemandangan bukit hijau Kebun Raya yang baru diresmikan Jokowi di Samosir, lezatnya waffle yang coklatnya lumer di ruang tunggu bandara, serunya mencari durian jatuh di belakang rumah nenek, asyiknya bermain air danau, uniknya pengalaman mencari telur bebek peliharaan tante di sekitar tepi pantai, dan maknyosnya makan ikan bakar segar yang baru ditangkap nelayan dan langsung dimasak.

Kedua.

Ketika kita sudah mendapatkan apa yang kita doakan, kadang mungkin kita tak puas dan masih lebih serakah lagi ingin semakin mendapatkan lebih banyak, lagi dan lagi. Kita lupa bersyukur dan lupa mencukupkan diri dengan apa yang sudah kita miliki.

Kita mungkin pernah seperti itu. Kita sibuk dengan segala pergumulan dan rencana serta tujuan kita, dan tidak bisa mengalihkan perhatian sejenak pada hal-hal di sekitar kita (apa yang sudah kita miliki) yang bisa membuat mata kita terbuka dan lebih tenang serta bersyukur pada Tuhan. Padahal, pada akhirnya, apapun yang kita lakukan takkan bisa menyelesaikan pergumulan kita, apapun tujuan kita hanya tercapai jika kita sudah meminta tolong pada Tuhan, apapun masalah kita kalau dengan kekuatan kita sendiri takkan terpecahkan. Intinya, semua usaha dan rencana kita kembali hanya pada pertolongan Tuhan.

Sesekali, mungkin kita perlu berhenti sejenak, menghitung semua yang kita miliki. Seperti kata lagu, hitunglah berkat sepanjang hidupmu, kau niscaya kagum oleh kasihNya.

-*-

 

Foto: Pixabay

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *