Ular hitam itu menatap lurus ke arahku. Mulutnya membuka menutup seperti sedang bicara. Dia memang sudah tidak bisa bergerak karena terjepit di antara balok kayu dan tembok.
Siapa yang ketakutan? Aku pikir kami berdua sama ketakutan. Dia ingin segera kabur ke liangnya, sedangkan aku, jujur saja, aku takut ular. (Padahal dulu pernah minum darah ular kobra saat menulis kuliner ekstrem).
Sekitar 20 menit sebelumnya, kedua anjingku memergoki dia. Aku berusaha mengejarnya dan dengan gesitnya dia menghindar dan masuk ke lubangnya. Tapi tak lama dia keluar lagi dan kali ini aku memutuskan mencegatnya.
Dia ini ular keempat yang muncul di rumah. Tiga yang pertama jenis ular (pemakan) kodok dan ular (pemakan) tikus yang menurut Google tidak berbisa. Dua mati dan satu lagi yang muncul dua kali, lolos.
Yang terakhir ini agak berbeda karena hitam legam berkilat. Aku sempat mencari jenisnya di google tapi tak ada ular kodok dan ular tikus berwarna seperti ini. Aku semakin cemas karena saat kucegat dia sempat melebarkan lehernya. Saat itu juga kuputuskan yang satu ini harus mati.
Bukan hari yang baik bertemu ular apalagi yang diduga kobra. Sebab pada hari itu, pagi harinya, ada berita pedangdut Irma Bule tewas dipatuk ular kobra. Buktinya saat saya cerita soal kejadian ini mulai dari pengurus RT sampai teman di FB komentarnya itu mungkin ular yang sama yang mematuk Irma.
***
Sewaktu SMA, ayah mengajakku ke sebuah waduk di kampung halamannya. Dia bercerita di sana banyak daerah berbatu yang menjadi rumah banyak ular. Mereka senang bersembunyi di sela-sela bebatuan.
Pemancing atau mereka yang sering ke sekitar waduk sudah terbiasa bertemu ular. Mereka punya cara menghadapi ular berbisa, terutama kobra.
Memakai tongkat yang ujungnya diarahkan ke kepala ular untuk memancingnya agar menyerang. Ular akan mematuk kayu itu beberapa kali dan setelahnya, kata ayahku, dia akan berhenti menyerang seolah kehabisan tenaga, menutup lehernya dan bergerak melata perlahan.
Ini momen yang paling tepat untuk membunuh ular itu dengan meremukkan kepalanya. (Kalau mau membunuhnya ya, kalau mau memelihara ya ingat aja Irma Bule). Intinya: menjaga jarak dan menyerang setelah dia kelelahan.
Teringat cerita ini, aku memakai balok kayu dan menjaga jarak betul dengan si ular. Beberapa kali ular itu menyerang ujung balok sambil mendesis keras. Setelahnya dia berhenti dan menatapku.
Jujur saat itu sempat ragu membunuhnya dan barangkali para pecinta ular akan memaki. Tapi aku punya satu bayi dan satu balita di rumah dan tak mau ambil risiko. Maka dalam laga satu lawan satu itu, kepala ular ini coba kuremukkan.
Saya bertarung dengan ular itu sambil saya berdoa keras-keras, karena saya sudah pingsan kalau tidak begitu. Bayangkan kalau saya pingsan dan ular itu mendekat lalu… “Ihhh gemez deh tak cium ya!”
Sebuah upaya yang makan waktu karena hewan satu ini tak mau mati dengan mudah. Terus berkelit sampai akhirnya mati. Hingga sejam setelah ular itu mati, tanganku masih gemetaran.
Ada yang bertanya, bunuhnya pake apa? Pake rasa takut ditambah rahasia yang diajarkan ayah.
Sejarah perjumpaan manusia dengan ular memang biasanya berujung dengan kematian salah satunya, terutama karena ketakutan. Karena manusianya takut, lalu membunuh ular meski kadang dia bukan jenis berbahaya, atau karena ularnya takut dibunuh lalu menggigit manusianya.
***
Kejadian kontra ular itu mengajarkan aku paling tidak tiga hal:
Pertama, lalu belajar lagi soal ular. Ada satu gambar yang beredar di dunia maya tentang cara membedakan ular berbisa dan yang tidak berbisa.
Dari gambar ini aku baru tahu, ular yang bertarung dengan saya itu bukan ular berbisa. Mungkin aku akan bertindak berbeda kalau tahu itu, mungkin.
Kedua, berbagi cerita pengalaman hidup dengan anak bukan pekerjaan sia-sia. Seperti cerita ayahku itu, mungkin suatu hari ceritaku akan menjadi berguna bagi anakku.
Ketiga, sebisa mungkin jangan joget di panggung bersama ular kobra. Titik.
Foto: Sipa/Pixabay