Pekan lalu, saya menemani istri makan siang dengan kliennya, sepasang dokter senior, dan sang suami sudah pensiun. Mereka mau membuat akta wasiat.
Tanpa direncanakan konsultasi, sambil menunggu pesanan makanan dan juga saat bersantap, saya dan istri mengajukan pertanyaan-pertanyaan spontan mengenai penyakit, penyebab, dll.
Inti pembicaraan (bukan pengetahuan baru sebenarnya), ada beberapa jenis penyakit yg bersifat carrier, genetik (turunan, bawaan) macam hipertensi, jantung, diabetes, tumor. Ada pula akibat gaya hidup dan pola makan yg buruk, dan… ini: akibat pikiran.
Tetapi menurutku, tetap ada misteri, kenapa misalnya seseorang menderita suatu penyakit. Terkesan irasional memang, namun merupakan kenyataan.
Ada orang sejak lahir telah berpenyakit, misalnya, katup jantung yg bermasalah dan ilmu kedokteran hanya bisa mengobati (memperbaiki) namun tak kuasa mencegah sejak bayi masih di dalam kandungan.
Pikiran, dalam hal ini, beban yg menumpuk di pikiran seseorang yg mengakibatkan penyakit, telah sering kudengar dari dokter maupun dari artikel kesehatan, amat mempengaruhi hormon, sel tubuh, tekanan darah, dll.
Pikiran, ditambahkan kedua dokter senior itu, bisa merusak kesehatan jiwa bila menyimpan dan “mengembangbiakkan” hal-hal yang buruk, macam dengki, iri, benci. Memang, orang yg sering berpikiran jahat atau menyukai kebencian atau permusuhan pun bisa terlihat sehat dan berumur panjang.
Namun, lanjut pak dokter itu, agar saraf-saraf otak sehat, biasakanlah berpikir damai, tenang, menyikapi situasi berat dengan berpikir positif, mau menyadari keterbatasan dan kekurangan diri sendiri, sudi mengakui kelebihan orang lain. Itu akan melegakan saraf-saraf otak, berdampak positif pada kejiwaan.
Keterangan atau pejelasan mereka memang sederhana, bukan paparan ilmiah, apalagi disampaikan saat acara makan yg seharusnya tak diisi pembicaraan atau topik berat yang (bisa) mengurangi selera makan.
Tetapi, saya malah jadi semakin lahap makan–sambil mendengar omongan kedua dokter tersebut–dan bukan karena lezatnya santapan. Melainkan karena ini: kembali saya diyakinkan bahwa kebiasaan melegakan pikiran, membuang iri hati, dengki, kebencian, amat bermanfaat bagi kesehatan otak dan jiwa.
Kesediaan mengakui kelebihan orang lain dan mau menyadari kelemahan diri sendiri tanpa harus menghukumnya pun suatu tahapan kematangan pikiran yg berkorelasi dengan fluktuasi emosi.
Bila tak legawa berdamai dengan keadaan (“as is”), malah potensil menimbulkan perasaan minder, rendah diri, yang kadang jadi dikompensasikan dengan perilaku resisten atau sinistik pada mereka yg memiliki kelebihan, atau jadi kemarahan yg menyasar siapa saja yg dianggap tak seperti dirinya. Itu merusak diri, kata para ahli, dan saya percaya itu.