Tag Archives: pola pikir

Mental Apa yang Kita Miliki?

Mungkin sering kita mendengar orang nyinyir dengan istilah Revolusi Mental yang digaungkan oleh bapak Presiden Joko Widodo. Konon, gagasan revolusi mental ini pertama kali dilontarkan oleh Presiden Soekarno belasan tahun setelah Indonesia merdeka. Revolusi itu adalah upaya membangun jiwa yang merdeka, mengubah pola pikir dan perilaku ke arah yang positif untuk mencapai kemajuan.

Saat ini pemerintah sedang sibuk membangun infrastruktur, dan bersamaan dengan itu juga sungguh tak kalah penting membangun mental bangsa, yang adalah modal utama dalam membangun jiwa bangsa, dengan tujuan akhir agar Indonesia menjadi bangsa yang mampu berkompetisi di kancah internasional.

Tapi rasanya, itu bukanlah hal yang mudah untuk dilakukan. Boro-boro revolusi mental, menerima saran saja kita sulit. Seperti pengalaman saya hampir tiap hari.

Karena kondisi yang menuntut, akhir-akhir ini saya ‘terpaksa’ menggunakan jasa kendaraan bermotor online. Banyak kisahnya rupanya. Setiap hari selalu berbeda.

Di suatu kali, saya dapat pengendara yang pintar, menemukan jalan pintas yang membuat waktu tempuh menjadi lebih cepat. Saya sangat bersyukur mendapat pengemudi yang kelihatannya sudah berpengalaman itu.

Di kali lainnya, saya mendapat pengemudi yang tidak becus. Lamban, tidak tahu kapan harus menyalip, kapan harus minggir, dan melulu mengambil jalan sekenanya tanpa strategi, asal bergerak, dan kami terus stuck dengan kenderaan di depan kami, hingga kami terus terjebak di tengah dalam himpitan mobil-mobil. Padahal kan harusnya motor bisa lebih cepat dari mobil karena itulah bedanya yang membuat orang memilih naik motor.

Kesempatan lainnya, saya mendapat pengemudi yang ‘grasa-grusu’. Setiap di depan kami ada space sedikit saja, langsung menyeruduk, hingga saya hampir menjerit-jerit takut terjepit motor dan mobil di kiri dan kanan kami. Dia sepertinya bermasalah dengan cara mengemudi, suka mendadak mengerem, dan pernah membuat saya hampir terlonjak ke belakang.

Itu belum seberapa. Sering, saya dapat pengemudi yang keras kepala. Saya sudah setiap hari melintas rute perjalanan kami sehingga saya sudah tahu baiknya lewat jalur mana supaya cepat, tapi mereka ini sungguh tidak mau mendengarkan saran saya. Mereka merasa jalur yang mereka tahu itu lebih baik. Misalnya jalur di lampu merah Fatmawati, itu baiknya kita susuri lewat kiri terus dan membelok ke kanan setelah dekat lampu merah, tapi mereka mengotot terus memotong lewat tengah di antara mobil-mobil yang tidak mau memberi space. Jadilah kami stuck dan itu memperlambat waktu tempuh. Saya dirugikan dalam hal waktu. Padahal tujuan saya naik ojek adalah untuk menghemat waktu.

Saya heran. Mengapa mereka ini susah sekali mendengar saran. Saya sudah bilang, “Lewat kiri saja terus Pak, nanti di depan baru ke kanan,”, tapi mereka tetap saja mencoba masuk ke jalur tengah. Bahkan pernah, pengemudinya membantah: “Saya tahu kok jalan ini, Bu.”
Saking saya kesal, saya ingin bilang: “Tiap hari saya lewat sini lho, Pak, jadi saya tahu. Benar kan, lebih cepat jalur yang saya bilang, kan?!”

Tapi kan tidak sehat jika tiap pagi harus marah-marah ke pengemudi. Para pengemudi yang mau belajar, yang mengikuti saran dari saya, mereka malah senang dan mengucapkan terima kasih karena menemukan jalur baru, wawasan baru, pengalaman baru. Mereka bisa menerapkannya ke penumpang lainnya. Penumpang lain pun akan senang. Begitu seterusnya.

Yang saya tak habis pikir adalah, alasan pengemudi-pengemudi yang seenak hati dan tidak mau mendengarkan saran itu. Mengapa? Saya kan penumpang, saya nasabah. Nasabah kan, adalah raja. Dalam hati saya pernah geli membayangkan, jika pengemudi keras kepala tersebut misalnya adalah karyawan di kantor kami, dan bos saya menyuruhnya sesuatu dan dia melawan, maka sekejap saja dia pasti akan dipecat!

Pernah juga ada pengemudi yang licik. Saya pesan ojek dan ada yang menerima orderan saya. Di peta saya lihat posisinya ada di depan gedung kantor saya. Tapi dia mengirim pesan dan mengatakan dia ada di gedung seberang kantor saya dan minta di-cancell saja sebab akan memutar jauh dan menghabiskan waktu. Saya curiga, sebab saya lihat di depan gedung kantor saya banyak ojek dengan label yang sama, tapi mengapa saya diberikan driver yang berada di seberang jalan.

Saya cancell dan memesan lagi. Di depan gedung ketika menunggu ojek datang, saya mendengar beberapa pengemudi sedang mengobrol.
Seorang pengemudi agak keras berkata: “Kalau nggak mau ambil, ngaku-ngaku aja posisi kita ada di seberang biar di-cancell. Kalau saya mah nggak mau ambil orderan ke daerah itu, kan itu daerah macet, ntar susah lagi baliknya.”

Pas saya menoleh, saya curiga dia adalah driver yang tadi minta cancell ke saya, sebab dia menyebut daerah tujuan saya, dan kalau tidak salah, plat kenderaannya sama, dan wajahnya mirip di foto aplikasi.
Saya sempat merasa kesal tapi lalu saya abaikan. Saya pikir, itu rejeki anda yang tolak, anda yang rugi. Dia tidak tahu di daerah tujuan saya itu jalannya sudah bagus karena tol sudah jadi, jalanan pun sangat lancar dan mulus. Itu adalah salah satu bukti kemajuan pembangunan infrastruktur yang sedang giat dilakukan oleh pemerintah.

Orang dengan kesoktahuan yang tak berdasar ditambah kebodohan alias kurang wawasan, dan potensi licik tukang tipu, malas dan tak mau repot, takkan membuat seseorang mendapat banyak rejeki, pikir saya.

Saya jadi ingat hasil riset teman saya yang ekspatriat, bahwa orang Indonesia cenderung bermental instan, berpikir pendek, kurang daya juang, suka mengutang dan tukang kredit.

Saya selalu tak suka mendengarkan hal itu, tapi kini setelah makin banyak mengalami interaksi dengan orang lain, saya dengan sedih menyadari bahwa mungkin itu ada benarnya. Riset itu memang tidak mengatakan semua orang Indonesia begitu, tapi kemudian saya jadi bercermin diri saya sendiri. Mental saya mental apa?

Saya mungkin juga malas melakukan perubahan, jika bukan karena terpaksa. Contohnya adalah naik kenderaan ojek online ini. Saya dulu tidak mau naik ojek, karena takut panas, bau asap, takut kesenggol, tidak nyaman alias pegal apalagi kalau pakai rok, sehingga saya memilih resiko menghabiskan waktu dan uang lebih banyak dengan naik kenderaan roda empat.

Hingga pada akhirnya saya terpaksa, mau tidak mau, harus naik ojek. Keadaan yang memaksa saya meninggalkan zona nyaman saya. Dan awalnya itu terasa sangat menyiksa. Sampai sekarang pun walau sudah mulai terbiasa, tetap saja masih kurang nyaman. Tapi saya memaksa diri untuk beradaptasi dengan perubahan itu. Sebab tak bisa disangkal, hal itu membuat hidup saya lebih berkembang karena lebih mendukung pekerjaan dan kehidupan pribadi saya.

Hal itu yang kemudian membuat saya refleksi dengan diri saya sendiri. Mungkin dalam hidup saya juga pernah atau sering seperti para pengemudi tadi.

Karena kemalasan atau kebodohan atau ego, kita tidak mau berubah, tidak mau menerima saran, tidak mau belajar, lebih nyaman dengan cara lama dan kondisi saat ini. Kita tak mau repot-repot berubah, tak sudi diusik dengan revolusi mental.

Tapi jika tanpa keinginan untuk berubah, maju, berkembang, berkreasi, apa yang bisa kita harapkan dalam hidup ini? Bisakah mental instan dan hidup konstan tanpa perubahan membuat kita lebih baik? Lebih maju? Lebih sejahtera? Lebih makmur? Lebih bahagia? Bisa bersaing di dunia internasional?

Jika kita tak ada perubahan cara, pola pikir, strategi dan kemauan meninggalkan zona nyaman dan kemalasan serta kepicikan, apa bisa kita mengalami kemajuan serta meraih impian dan masa depan yang lebih baik?

Benyamin S, Muni Cader, dan Pola Pikir yang Belum Beranjak

Akhir pekan lalu saya beserta keluarga, istri dan dua anak tercinta, menikmati family time di sebuah area yang sangat unik di Bekasi. Bukan, bukan karena Bekasi-nya sehingga saya menggunakan kata “unik”. Jargon “Bekasi itu di planet luar Bumi” sepertinya sudah diterima dengan lapang dada oleh warga Bekasi sendiri.

Tingkat “unik”-nya adalah karena kami menikmati malam yang diselingi rintik hujan datang dan pergi di sebuah area bernama Festival Kuliner Bekasi di Summarecon Mall. Bagi kami, ini jelas kesempatan tiada dua untuk mencoba berbagai cita rasa masakan tradisional dan jajanan jadoel, seperti mengarungi waktu lalu. Anak-anak pun bersemangat menerima informasi dari kedua orang tuanya tentang berbagai jenis masakan yang sekarang susah banget ditemui.

Sang adik sangat tertarik dengan cara pedangang Nasi Goreng Kambing Kebon Sirih menyajikan dagangan. Wajan ukuran jumbo diletakkan di kompor dan sangat mencolok bagi pelanggan yang lewat, di wajan besar itu telah ada nasi goreng yang menggunung. Kami beli dua porsi, dan si penjual langsung beratraksi dengan mengongseng-ongseng nasi segunung di wajan jumbo. Plok, plok, langsung tersaji dua piring nasi goreng.

Sang kakak memilih ngantre beli Harum Manis, gulali yang berbentuk kapas yang secara membuatnya saja sudah menarik perhatian dengan mesin bundar yang berputar cepat sambil digenjot di bawah seperti mesin jahit.

Sayang, antrean buat beli produk ini cenderung liar, enggak berderet rapih ke belakang, tapi lebih ke “adu-aduan” lemak tubuh. Ya kakak mundur teratur dan enggak jadi beli.

Namun ternyata bukan sekadar makanan yang disajikan, Festival Kuliner Bekasi juga mengadakan layar tancep. Saat kami memilih tempat duduk, kami tak sadar sama sekali kalau di depan kami ada layar putih besar. Ketika proyektor di dekat kami duduk menyala dan menyorot ke layar barulah kami “ngeh” bagaimana pas-nya tempat duduk kami, karena berada paling depan.

Film yang diputar “Koboi Ngungsi” yang dibintangi almarhum Benyamin S dan peran pembantu Edi Gombloh. “Peran pembantu” di sini benar-benar berperan sebagai pembantunya si Benyamin.

Kapan lagi coba nonton Benyamin S beraksi. “Ini komedian paling top zaman dulu nak”, begitulah saya coba menerangkan. Kemudian dua anak saya tertawa terpingkal-pingkal pada beberapa adegan yang ditampilkan di film itu. Adegan-adegannya berupa kekocakan yang kasar menjurus ke slapstick , celaannya pun buat zaman sekarang ini terasa cukup menyengat. Bayangkan, nama si Edi Gombloh saja “Charles Dongok”, lalu setiap dipanggil oleh si Benyamin,”Eh elu Dongok!” Busyet dah.

“Emang dongok artinya apa Pa?”, “Kurang pandai, kak. Berbuat kesalahan yang enggak perlu terus.” Begitulah dialog kami.

Lalu muncullah Muni Cader sang antagonis legendaris kelas wahid. Predikat “legendaris” ini penting, karena ternyata gaya antagonis Muni Cader sangat-sangat tidak ada perubahan dengan gaya antagonis bin jahat dari yang kita sering lihat di sinetron-sinetron yang berseliweran saat ini.

Seperti sebuah pakem, Muni Cader bergaya dengan omongan yang mencibir, lalu mata mendelik-mendelik lebar, alis hampir melewati jidat, dan ujung bibir kiri dan kanan bergantian tertarik-tarik ke atas. Nyaris tak ada yang berubah gaya antagonis ini dengan antagonis-antagonis di sinetron sekarang, contoh saja antagonis di sinetron “Cinta yang Tertukar”.

Ya pembantu rumah tangga saya sangat menggemari sinetron ini, sekelebat saya dan anggota keluarga lain juga menyaksikan adegan-adegannya. Karena Minggu adalah hari senang-senang bagi dia, jadilah kami membiarkan dia menguasai remote televisi di ruang tengah, dan kami berempat beraktivitas lain di luar rumah.

Gaya akting Muni Cader dan beberapa artis legendaris seperti Grace Simon, Conny Sutedja dan Nani Widjaja, di film ini benar-benar terasa masih banyak kesamaannya dengan gaya-gaya akting dan bertutur para artis Indonesia masa kini saat berperan.

“Dasar Koboi sarap!” Nah loh. Itu salah satu contoh makian Conny Sutedja.

Pantas saja anak-anak saya yang masih duduk di bangku SD dan TK ini bisa tertawa terpingkal-pingkal melihat akting mereka, apalagi akting Benyamin S yang berperan sebagai Billy Ball. Rupanya mereka masih “konek” dengan kelucuan tahun 70-an itu.

Narasi lucu-lucuan dari zaman film itu dibuat tahun 1975 sampai sekarang enggak banyak berubah. Ternyata…

Anak-anak masih menemukan kelucuan yang sama yang mereka lihat di komedi-komedi masa kini. Mereka juga masih melihat akting stereotipe penjahat yang masih juga enggak berubah saat ini.

 

Pola Pikir

Jadi, lengkap sudah. Kami ke sebuah festival makanan jadoel yang tak lekang sampai sekarang masih diminati. Plus, kami juga melihat film yang ternyata gerak aktingnya juga “tak lekang” alias enggak bergeser jauh dari yang ada sekarang ini.

Untuk yang pertama, tentu sangat menyenangkan mengetahui dan merasakan masakan Nusantara yang jadi kenangan di masa kecil masih sangat diminati. Untuk yang kedua, terasa menyedihkan, bagaimana pola pikir yang disuguhkan kepada kita seperti belum beranjak jauh dari stereotipe yang diberikan pada zaman baheula.

Ini belum lagi pelajaran berharga buat generasi mendatang, bahwa budaya antre masih minim berlaku di masyarakat, sepertinya sesuatu yang dilakukan rebutan dan cenderung chaos itu mengasyikkan. “Menang” dalam rebutan–datang belakangan tapi dapat duluan–bagi banyak orang terasa sangat memuaskan.

Malam makin larut di mal itu, sambil terpingkal-pingkal nonton Benyamin S, kue ape gurih garing juga terus dikunyah. Ibunya anak-anak rela bolak-balik beli kue ape yang gerobaknya berjarak sekitar 50 meter dari kami duduk. Ah untuk yang satu ini pasti polanya sama, namanya emak-emak selalu jadi seksi sibuk. Takkan (boleh) berubah.

JOB PALAR

Foto: Koboi Ngungsi, dirilis pada tahun 1975 oleh Jiung Production