Wahai Petrus,
Ingatkah kau,
di malam Perjamuan Terakhir,
Ketika Yesus berkata,
“Malam ini kamu semua akan tergoncang iman karenaKu.”
Lalu dengan lantang kau langsung lebih dulu menyahut,
“Bukan aku, Tuhan! Mereka semua mungkin tergoncang imannya, tapi aku tidak akan!”
Ah, Simon, nelayan dari Galilea. Mentang-mentang kau adalah murid pertama yang direkrut Yesus, kau merasa paling hebat rupanya.
Lalu Yesus menatapmu dan berkata,
“Sebelum ayam berkokok, engkau telah menyangkal Aku tiga kali.”
Tatapan itu tajam dan dalam. Sendu.
Tapi kau tetap terlihat percaya diri. Kau tidak yakin. Kau memang selalu begitu. Pernahkah ucapan Yesus salah?
Lupakah kau, di danau Genesaret, ketika Yesus menyuruhmu menebarkan jala, setelah semalaman tidak mendapatkan ikan, terjadi mujizat, kau mendapat ikan dalam jumlah besar.
Duhai Petrus,
Ketika Yesus ditangkap,
Kau sedang duduk di luar di halaman.
Tak diduga, seorang hamba perempuan,
mengenali kau dan berkata,
“Kamu terlihat sering bersama Yesus, kan?”
Kau adalah murid yang paling sering bersama Yesus di depan orang banyak. Misalnya ketika Yesus bertemu pemungut cukai, ketika Yesus mengamuk di Bait Suci karena dijadikan tempat berdagang, atau ketika Yesus mengutuk pohon ara. Kau tentu populer.
Hamba perempuan itu sampai-sampai bisa mengenalimu. Dia hanya seorang hamba, pun seorang perempuan, tetapi bisa membuat kau ketakutan:
“Apa kau bilang, aku nggak mengerti ucapanmu! Ngawur saja!” jawabmu dan pergi menjauh.
Di mana keberanianmu, seperti yang kau tunjukkan, dulu.
Di danau Galilea, ketika kau juga ingin berjalan di atas air, seperti Yesus. Oh rupanya, sama saja, kala itu pun kau menjadi takut dan mulai tenggelam, lalu Yesus memegangmu naik ke kapal.
Lalu di pintu gerbang,
Masih saja ada, seorang hamba lain, yang mengenalimu juga.
“Bukannya kau sering bersama Yesus?”
Hanya seorang hamba, tapi kau makin ketakutan:
“Sembarangan, aku tidak kenal sama dia!” sahutmu makin garang.
Tak kuduga sikapmu sepengecut itu. Padahal ketika Yesus akan ditangkap, kau sungguh gagah, menghunus pedang dan memotong telinga kanan Malkhus, hamba Imam Besar yang mencoba menangkap Yesus.
Lalu orang-orang di sekitarnya pun memerhatikanmu
Karena logat bahasamu berbeda.
“Pasti kamu teman Yesus, ketahuan dari logat bahasamu,” kata mereka, mulai mendesakmu.
Lalu kamu panik, tak kuasa menahan ketakutan,
Mulai mengutuk dan bersumpah:
“Sumpah! Aku tidak kenal orang itu.”
Orang itu, katamu. Orang itu, Yesus.
Yang beberapa jam lalu kau katakan dengan percaya diri yang berlebihan:
“Sekalipun aku harus mati bersama-sama Engkau, aku takkan menyangkal Engkau.”
Dan pada saat itu berkokoklah ayam.
Lalu berpalinglah Tuhan memandang kau, Petrus.
Lihat. MataNya penuh kesedihan.
Ucapanmu terngiang: “Imanku tak akan tergoncang! Mereka semua mungkin tergoncang imannya, kecuali aku!”
Kemudian kau teringat ucapan Yesus.
Ayam berkokok baru sekali, kau sudah menyangkal Yesus tiga kali.
Lalu kau hanya bisa melarikan diri menyembunyikan tangis.
Aduhai, Petrus,
kau yang paling suka tampil, selalu ingin di depan, sok gagah, sok kuat, sok pemimpin, sok paling hebat,
ternyata kau
Tak lebih baik dari murid-murid yang lain.
Tak juga lebih baik dari aku.
Aku, tak menyangkali Yesus di depan orang lain.
Aku bahkan menyapa dan menciumNya di hadapan para Imam dan Farisi.
Aku,
yang tak mengira Yesus diam saja ketika ditangkap.
Bukankah Dia anak Allah? Bisa melakukan mujizat?
Aku tak menyangka Yesus terima saja dijatuhi hukuman mati.
Bukankah mudah saja bagiNya melepaskan diri?
Mengapa Dia diam saja disesah, disiksa dan dihukum tanpa bukti, lalu disalibkan?
Mengapa?
Mengapa harus aku yang menjualNya hanya dengan uang tiga puluh perak,
yang kukembalikan ke pada imam kepala dan Tua-tua tapi ditolak,
lalu kulempar ke Bait Suci,
itu tak sebanding dengan nyawa Tuhanku!
…
Kita sama saja, rupanya, Petrus.
Kau menyangkal, aku berkhianat.
Kita sama-sama melarikan diri
dalam tangis dan penyesalan.
-*-
10Apr20 -Good Friday-