Ibu saya seorang yang tak sempat lama mengikuti pendidikan formal. Hanya setengah tahun dia bersekolah level SD di kampungnya. Disuruh berhenti oleh ayahnya, kakek saya dari Nainggolan, karena ibu sering sakit sepulang dari sekolah.
Maka, ia tak lancar membaca-menulis walau lumayan pandai hitung-hitungan (apalagi menghitung uangnya yang tak banyak, atau biaya belanja). Tetapi bagi kami anak-anaknya yang banyak itu (11 orang, dua telah wafat), ia seorang yang bijak, berusaha bersikap fair dan adil, meski disiplinnya kelewatan. Ia amat memantangkan kami menggunjingkan tetangga atau orang lain –terutama yg sedang menghadapi problema, termasuk masalah keluarga orang lain.
Juga berupaya memandang orang lain dengan pikiran positif. Pada kami anak-anaknya ia bisa “keras” menuntut standar perilaku yang dianutnya, namun pada orang lain ia begitu toleran. Tak mau menilai orang lain berdasarkan pikiran atau kemauannya, atau norma-norma anutannya.
Bila terdengar telinganya ada anaknya menggosip atau “manghata” (ngerasani) orang lain, misalnya, lantas ditegur (“dipinsang”) dengan nada dan wajah tak ramah. Kadang kami tersinggung karena tak berterima.
Pun ia tak mau memukul rata (generalisasi) orang-orang. Seakan pernah belajar etika, kaidah berpikir, teori-teori tentang keadilan, dan pemikiran objektif atau kritis. Kadang dia koreksi cara pikir suami maupun anak-anaknya bila menurutnya keliru atau tak tepat atau gegabah memberikan kesimpulan atau penilaian–membuat yang dia koreksi tak suka, termasuk bapak.
Suatu ketika di Jakarta (saya sudah menikah, punya satu anak) adik lelaki saya yang lebih dulu berumahtangga menemui ibu di rumah saya. Setelah berbincang dengan topik beraneka, kemudian ibu menanyakan adik saya yang beristrikan wanita non-Batak itu: Apakah masih rutin ke gereja.
Adik saya menggelengkan kepala, alasannya amat kecewa pada semua yg namanya pendeta. Salah satu contoh yang dia sodorkan, konflik hebat nan berkepanjangan di kalangan pengurus dan pendeta HKBP yang menyeret umat ke pusaran sengketa. Juga katanya pendeta di gereja lain yang menurutnya tidak sesuai perkataan dengan perilaku. Banyaklah contoh dia berikan yang menurut saya tak semua mengada-ada, malah susah dibantah dengan pikiran objektif.
Ibu kemudian berkata (dalam Bahasa Batak), ”
Beribadah itu, mendengar khotbah pendeta, seperti menampung air dari keran. Mungkin saja kerannya karatan, tetapi tampunglah air bersih yg keluar dari keran tersebut.
Mungkin saja pengurus gereja dan pendeta bermasalah, lakukanlah yang sepatutnya kau lakukan untuk kemuliaan Debata Jahowa (Tuhan).”
Seperti tertulis di Kolose 3:23; Apapun juga yang kamu perbuat, perbuatlah dengan segenap hatimu seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia.
***