Ragi menguntungkan dalam proses pembuatan roti dan makanan lain. Tapi kalau dihubungkan dengan urusan hidup benar, ragi adalah simbol kemunafikan, kebusukan, dosa. Bagaimana mungkin?
Ragi banyak dikenal dalam proses fermentasi. Pada pembuatan roti, ragi menyebabkan fermentasi yang mengubah gula menjadi karbondioksida sehingga adonan akan mengembang.
Ragi juga dipakai dalam fermentasi untuk menghasilkan etanol dalam pembuatan bir, anggur, dan minuman beralkohol lainnya.
Dalam pembuatan tempe, ragi dari jenis Rhizopus oligosporus menghasilkan enzim yang merombak senyawa kompleks protein menjadi senyawa yang lebih sederhana dan menjadikan tempe sebagai sumber protein nabati yang memiliki nilai cerna tinggi.
Intinya, ragi mampu melakukan perubahan mendasar pada struktur kimiawi benda yang dicampur dengannya, meskipun jumlahnya sedikit, dengan cepat dan efektif. Seperti kata Paulus: Sedikit ragi sudah mengkhamirkan seluruh adonan (Galatia 5:9).
Tapi oleh sebab fungsinya ini, Ragi kemudian dapat menjadi simbol sesuatu yang jahat, korup, dan merusak. Ia juga simbol dosa karena sifatnya yang ‘membusukkan’.
Istilah inilah yang kemudian digunakan Yesus untuk menggambarkan ajaran kaum Farisi dan Saduki, seperti digambarkan dalam kisah di Matius 16:5-12.
Orang Farisi membungkus formalitas agama dan kemunafikan dalam bentuk kesalehan yang kasat mata. Sedangkan orang Saduki mengajarkan tentang skeptisisme, rasionalisme, dan anti pada kebangkitan orang mati.
Kadang-kadang kita ini seperti murid-murid Yesus yang terlalu sibuk untuk memikirkan soal-soal penghidupan berupa ‘roti’ yang hendak kita makan. Terlalu khawatir akan apa yang akan kita makan hari ini atau besok.
Sementara Tuhan Yesus sendiri sudah jelas-jelas menunjukkan bahwa Dia berkuasa melakukan sesuatu yang berada di luar alam pemikiran kita.
Sebanyak 5.000 orang bisa diberi makan hanya dengan 5 roti. Dia juga memberi makan 4.000 orang dengan 7 roti saja (Mat 16:9-10).
Apalagi hanya untuk memberi kita makan?
Justru yang harus kita perhatikan adalah racun berupa kesalehan formal alias kemunafikan/hipokrisi rohani. Kesalehan yang sebetulnya sedang membungkus dosa-dosa kita yang mengerikan.
Saya pun pernah memakai topeng kesalehan untuk menutupi citra diri berdosa dan sepatutnya membawa saya ke dalam hukuman kekal. Tapi percayalah, kemunafikan itu hanya akan menggerogoti hati, membusukkannya.
Atau, kita terpapar racun ketakutan, kekhawatiran, ketidakpercayaan pada Tuhan, yang akhirnya membuat kita jadi skeptis pada kemampuan Tuhan dalam memberikan jalan keluar bagi setiap persoalan kita.
Topeng yang menutupi dosa dan racun kekhawatiran itu seperti ragi, yang kalau kita biarkan, akan menyebar dan merajalela. Tak hanya dalam diri kita, tapi juga dalam diri orang lain.
Sebelum terlambat, mari berhenti dan bertobat. Sebab begitu struktur jiwa dan hati kita sudah dihabisi oleh ragi orang Farisi dan Saduki, akan sulit mengembalikannya ke bentuknya semula.
Foto: Pixabay/TanteTati