Akhir-akhir ini marak berita yang menyesakkan dada. Berita-berita miris yang menantang kedewasaan iman dan kematangan kepribadian, yaitu yang menyinggung isu SARA. Keadaan bisa menjadi sangat menyakitkan dan berat untuk kita hadapi, tapi kita dituntut untuk tetap bisa tegar dan tenang.
Salah satu yang bisa menolong kita adalah tetap berpegang pada yang kita percayai.
Saya mengutip salah satu renungan harian dari blog pribadi saya sekian tahun lalu, yang masih relevan dengan kondisi kini. Sebagai berikut.
MATA GANTI MATA
Pak Bono, seorang guru desa, tengah berbicara kepada orang banyak.
Tiba-tiba seorang pemuda melemparkan kentang tepat mengenai kepalanya. Orang-orang terdiam menahan napas. Pak Bono memungut kentang itu dan beranjak pergi. Beberapa bulan kemudian, ia mengunjungi rumah pemuda itu.
Setelah mengetuk pintu, Pak Bono menyodorkan sebuah karung sambil berkata,
“Beberapa waktu lalu Anda melemparkan kentang. Saya memungutnya dan menanamnya. Saya kemari ingin berterima kasih dan membagi hasil panennya dengan Anda.”
Bacaan hari ini adalah bagian dari Khotbah di Bukit. Di sana dikutip salah satu hukum tertua di dunia: “mata ganti mata, gigi ganti gigi”. Hukum pembalasan tersebut, atau Lex Talionis, terdapat dalam kitab hukum Hammurabi, Raja Babel pada tahun 2285-2242 SM.
Namun, bagi kita diajarkan hal yang sama sekali berbeda, yaitu Anti-Lex Talionis.
Ungkapan “berilah pipi kiri kepada orang yang menampar pipi kanan” adalah sebuah kiasan. Maknanya, menghindari sikap “mata ganti mata”; tetapi membalas kejahatan dengan kebaikan, kebencian dengan kasih, sumpah serapah dengan berkat.
Balas dendam hanya akan memicu hal-hal buruk lainnya.
Seumpama mata rantai, keburukan harus “diputus” dengan kebaikan.
Maka, baiklah kita membuang jauh-jauh niat menuntut balas kepada orang yang menyakiti kita. Sebaliknya, tetap upayakan kebaikan untuknya. Seperti yang dilakukan Pak Bono dalam cerita di atas. Sikap ini jauh lebih mendatangkan berkat dan sukacita. -AY
E-renungan 17Sep2009
-*-
Foto: Pixabay