Tag Archives: keragaman

Salah Satu Ciri Hidup yang ‘Memuakkan’

Pernahkah kamu membayangkan, bagaimana jadinya dunia ini tanpa keragaman.

Coba bayangkan ini. Semua orang bentuk badannya sama. Semua orang tipe mukanya sama. Semua orang warna kulitnya sama. Semua orang kebiasaannya sama. Nah, bisa tahu nggak siapa si A, siapa si B dengan keadaan seperti itu? Bisa tahu nggak siapa pacarmu, temanmu, bahkan siapa dirimu, kalau semua manusia bentuknya sama?

Hidup itu jelas penuh dengan perbedaan. Kebayang nggak sih jika dunia ini hanya satu tipe saja, misalnya semua wanita berambut panjang pake poni, begitu? Atau semua pria berkumis dan berjambang, begitu? Kalau begini, bisa stress para disainer, model dan beautician. Bisa tumpul kreatifitas para seniman. Betul, nggak?

Pernah seorang teman berkata. Terbayang nggak sih sebuah kehidupan yang sama semua. Semua orang pakai baju yang samaaaa, warna yang samaaaaa semua, model yang samaaaaaa semua. Nggak kebayang deh betapa monoton, membosankan dan bahkan ‘memuakkan’nya (?) hidup seperti itu.

Baginya, ciri hidup yang memuakkan adalah jika tidak ada perbedaan dan keberagaman. Hal itu ‘menyesakkan’ dan ‘memuakkan’ baginya. Bagaimana dengan anda?

Kesamaan memang tidak selalu positif. Orang kembar pun tidak selalu sama. Bentuk muka atau fisik mungkin sama, tapi selera dan karakter bisa berbeda atau bahkan bertolak-belakang. Dulu saya punya teman SMP yang kembar, mirip banget muka, rambut dan profil fisiknya, tapi satunya jutek habis, satunya lagi lembut kayak Putri Solo! Kita sampai memberi julukan, “Bagaikan pinang dibelah dua, tapi yang satu busuk”. Hehehe.

Hidup itu identik dengan perbedaan. Hanya orang yang pola pikirnya sempit dan tertinggal, yang tidak bisa menerima perbedaan. Jaman berubah, kehidupan semakin modern, kemajemukan makin menjadi, sinergi makin menjamur, dan semua itu adalah kombinasi dari perbedaan. Hidup jaman sekarang adalah hidup yang ‘penuh-sesak-jejal’ dengan keragaman.

Hidup itu adalah kumpulan dari ketidakseragaman. Ada kotak, ada bulat. Ada kaya, ada miskin. Ada hitam, ada putih, ada juga abu-abu. Ada gemuk, ada kerempeng. Ada gelap, ada terang. Ada kurang, ada lebih. Ada pedas, ada manis. Ada petani, ada presiden. Ada anak, ada orangtua. Ada emas, ada imitasi. Dst. Dst. Semua saling melengkapi, bagai puzzle yang berbeda bentuk.

Pertanyaannya kini, adalah, mampukah kita hidup dalam perbedaan? Maukah kita hidup rukun dalam keragaman? Mampukah? Atau, maukah?

Contoh lain. Bagi yang tidak bisa makan ikan (mungkin karena alergi), betapa indahnya jika warung juga menyiapkan daging. Coba kalau semua orang maunya makan ikan, bisa habis tuh ikan di lautan, hehe. Bagi yang naik kenderaan umum seperti saya, akan lebih lega jika orang lain punya mobil pribadi, sebab jadi berkurang saingan naik kenderaan umum, hehehe. Bagi yang berbadan agak pendek, betapa senangnya berdiri di belakang teman yang berbadan tinggi kalau upacara di sekolah, kan terlindungi dari sengatan terik matahari, begitu…

Bahkan ada contoh lain yang agak lucu, perbedaan status pernikahan. Ternyata perbedaan status ini juga bisa dilihat dari segi positif. Dulu, ketika tahu salah satu teman sudah menikah, teman saya bersorak girang. Pas saya tanya kenapa, dia bilang senang karena berkurang satu orang saingan dalam mendapatkan jodoh. Hahaha…

Berhubung pekerjaan saya dulu adalah bidang rekrutmen, jadi sering bertemu orang baru, malah hampir tiap hari. Berbincang secara intensif dengan beragam jenis orang dalam beberapa puluh menit, memang tak lantas membuat saya mengenal mereka secara mendalam, tapi yang paling sering terjadi adalah, banyak orang yang tak mengenal diri mereka sendiri. SOME PEOPLE DON’T EVEN KNOW WHO THEY REALLY ARE.

Ada yang menganggap dirinya hebat padahal sebaliknya, ada yang tidak percaya diri padahal sungguh potensial. Ada yang lupa diri kayak kacang lupa kulitnya, ada juga yang terus terbenam pada kegagalan masa lalu. Yang paling parah adalah orang yang tidak mengenal dirinya tapi merasa sok tahu akan orang lain dan bahkan merasa punya hak untuk menghakimi orang lain, terutama yang berbeda dari dirinya. Jenis manusia seperti ini biasanya kami masukkan dalam list sebagai jenis pribadi orang yang ‘sakit’. Mereka ini cenderung tak bisa menerima orang lain karena berbeda dengan mereka. Dan orang seperti ini potensial menjadi masalah dalam hubungan interpersonal.

Pertanyaan berikutnya adalah, mengapa sulit sekali menerima perbedaan? Apakah karena kita kurang menerima diri kita sendiri apa adanya, kurang bersyukur pada apa yang kita miliki, sehingga terlalu iri hati pada kelebihan orang lain, atau merasa terancam pada keadaan di luar diri kita yang lebih baik dari diri kita hingga kita merasa tak mampu menghadapinya?

Kalau ‘takut’ akan orang lain yang berbeda, bukankah lebih bijak untuk mengadakan pendekatan? Dekatilah, kenalilah, pelajarilah, dan identifikasilah. Dialog dan komunikasi adalah salah satu cara terbaik untuk menerima dan memahami perbedaan. Ketakutan disebabkan karena kita tidak mengenal pihak ‘lawan’. Ibarat kata peribahasa, tak kenal maka tak sayang. Lagipula dengan mengenal orang lain, kita juga bisa belajar dari mereka dan bisa berkembang bersama mereka.

Ingat nggak dulu Negara Jepang yang digempur oleh Eropa ketika Jepang mengisolasi diri, sehingga terkenallah Restorasi Meiji, yang ternyata membuat Jepang kemudian berkembang pesat mengejar ketinggalan dan kini tak bisa dipandang sebelah mata di kancah internasional.

Pada khirnya memang kita harus kembali pada pengenalan diri sendiri. Marilah kita hidup dengan fitrah masing-masing dengan ucapan syukur pada Pencipta, dengan menyadari kita hanya manusia yang terbuat dari tanah dan akan kembali ke tanah, dan masa hidup kita yang singkat ini kita isi dengan berbakti pada Pencipta, tidak saling mengganggu atau mengusik orang lain yang berbeda dari kita, sebab segala tindakan kita akan dihakimi di hadapanNya kelak.

Marilah nikmati hidup dalam perbedaan, sebab Tuhanlah yang menciptakan perbedaan itu, dan mari terus berusaha berkarya dengan segala kemampuan dan talenta dari Pencipta yang kita miliki masing-masing untuk kebaikan dan kesejahteraan bersama.

Seperti pernah Bu Sri Mulyani berkata; Jangan berhenti mencintai Indonesia.

Mari mencintai Indonesia yang Bhinneka Tunggal Ika, dengan cara kita masing-masing yang positif untuk masa depan negeri ini yang lebih baik, dengan bergandeng tangan mempersatukan segala perbedaan, menerapkan motto: “Bersatu kita teguh bercerai kita runtuh!” (bukan “bercerai kita kawin lagi” lho, hehehe).

Marilah merayakan perbedaan dengan seluruh umat di dunia dengan saling berlomba untuk menyumbangkan karya terbaik kita untuk sebuah dunia yang lebih baik, satu dunia yang kita tinggali bersama-sama tanpa pandang bulu, terutama untuk negeri tercinta Indonesia.

-*-

Foto: Pixabay

Cara Birgaldo Mempolisikan Twit “Kafir”, Mencari Celah yang Melegakan

Bagi saya, tiap detik kehidupan berharga sangat, meskipun tak melakukan apa-apa atau ada problema yang tak diharap dan belum terselesaikan. Saya berupaya memaknainya, menikmatinya, walau kadang tak mudah karena diganggu hal-hal yang tak menyenangkan.

Saya tidak tahu apakah hari esok masih bisa saya rasakan, walau memikirkan dan menyiapkan kebutuhan masa depan yang entah kapan dan di tahun berapa berhenti. Energi untuk menyiapkan keperluan hari depan itulah yang sering melelahkan, maka sungguh keterlaluan bila saya harus menumpahkan sebagian untuk hal-hal di luar kemampuan menyelesaikan dan bukan pula akibat ulah atau perbuatan saya.

Sebisanya, saya tak mau mengusik manusia lain, tak melukai perasaan orang lain, tak merugikan masyarakat, tak jadi parasit di negara ini, bahkan berupaya tak jadi beban keluarga dan syukur-syukur bila bisa menjadi penolong bagi yang membutuhkan bantuan–meski tak selalu dapat saya lakukan karena ketidakmampuan.

Sungguh suatu kerugian–dan juga kebodohan–bagi saya bila membiarkan pikiran, emosi, menjadi terbeban sementara saya menyadari tak ada kuasa menghentikan pikiran orang lain, kendati pun itu suatu kebodohan atau kepicikan, menurut akal sehat saya. Bahkan kebencian yang ditebarkan orang-orang pun harus saya sikapi setenang mungkin dan tak menengkar karena suatu kesia-siaan.

Masa bodoh? Denial? Oh, tunggu dulu. Saya bisa menyampaikan aspirasi, protes, atau ketidaksenangan melalui cara atau metode yang implisit. Tidak harus vis a vis yang bisa terseret ke dalam frustrasi pikiran karena orang lain belum tentu bisa memahami yang kumaksud dan ditanggapi dengan pikiran intelek atau bermutu–walau berseberangan, misalnya.

Melibatkan diri ke suatu kancah percekcokan pikiran dan pendirian, selain bukan domain saya, pun berisiko menemukan tanggapan-tanggapan liar, out of context, ngawur, tak berstruktur dengan kerangka pikir yang dapat dipertanggungjawabkan. Bagi saya, selain melelahkan, juga menjadi penyebab kejengkelan–dan suatu kesia-siaan meladeni kebodohan yang dipertahankan sebagai “kebenaran.”

Saya lebih suka melihat atau menyetujui cara yan dilakukan Birgaldo Sinaga. Ia seorang netizen yang selain kritis, peduli, juga berani mengambil tindakan bagi yang menurutnya telah keterlaluan menyebarkan kebodohan dan fitnah yang berbahaya bagi akal sehat dan pembentukan opini maupun persepsi menyangkut kebernegaraan dan dalam upaya menahan gempuran para pelaku yang menghendaki keretakan nasional.

Birgaldo Sinaga yang juga Ketua Forum Komunikasi Anak Pejuang Republik Indonesia (Forkapri) mengadukan Dwi Estiningsih ke Ditreskrimsus Polda Metro Jaya. Dwi Estiningsih dianggap menebar ujaran bernuansa kebencian lewat cuitannya di twitter:

“Luar biasa negeri yg mayoritas Islam ini. Dari ratusan pahlawan, terpilih 5 dari 11 adalah pahlawan kafir. #lelah”

“Iya sebagian kecil dari non muslim berjuang, mayoritas pengkhianat. Untung sy belajar #sejarah,”

Selain konsisten dan (sejauh ini) non partisan, Birgaldo Sinaga memiliki semangat untuk meng-counter para penganut ideologi kebencian yang melakukan segala cara utk menyebarkan kebohongan dan fitnah jahat melalui pikiran kritis.

Ia berani melaporkan ke kepolisan. Ia tempuh mekanisme hukum dalam kapasitasnya sebagai warga negara yang peduli, bukan hanya mengandalkan congor.

Cara Birgaldo merupakan alternatif yang elegan, selain berani. Ia saya dukung, terutama demi penghormatan akal sehat dan kepedulian masa depan negara yang amat rentan dari ancaman separasi atau perpecahan.

Dan saya orang yang mau jujur mengakui keterbatasan maupun kelemahan, pantang bagi saya jadi pretender dan menolak standar ganda. Keadilan itu, saya percaya, harus bersifat impersonal dan imparsial, tak memilih-milih karena alasan SARA atau kesamaan primordial.

Maka, siapapun yang diperlakukan sewenang-wenang, lalim, tak adil, patutlah dibela orang waras. Bukan karena alasan subjektif, dan memang itu sulit dimiliki kendati bisa bila mau. Caranya: membiasakan empati dalam diri; memindahkan diri sendiri pada diri orang lain yang mengalami, supaya bisa merasakan–walau sedikit–betapa sakit dan tak enak diperlakukan tak adil!

Itu baru keren. Berpihak pada siapapun yang diperlakukan tak adil. Bukan yang ikut reaktif bila menyangkut diri dan “kaum” sendiri. Sulit? Mungkin.

Namun bisa dilatih bila ada kesadaran sebagai manusia yang menghargai kehidupan dan percaya bahwa manusia adalah ciptaan “spesial,” karya agung Yang Maha Kuasa (bagi yang mempercai eksistensinya).

Setiap netizen berhak menyampaikan apa pun yang dikehendaki, termasuk kemarahan, kejengkelan, atau perlawanan atas suatu perbuatan. Saya memilih cara persuasi, mengajak sebanyak-banyaknya suporter penjaga Indonesia dengan cara saya.

Saya sesekali membagikan catatan-catatan personal yang sepele, kejadian biasa, seraya berharap: naluri sebagai makhluk sosial akan menautkan relasi dng siapapun yang tak sudi dilumuri darah kebencian.

Saya amat menyukai kehidupan, menganggap berharga tiap detik dan denyut nadi yang menandakan aktifnya organ tubuh. Banyak problema dan tantangan, terutama menyangkut masa depan, agar tak terlunta-lunta atau menjadi beban anak atau sanak-saudara.

Pula ada kenikmatan diberikan musik, seni, budaya, bacaan dan pengetahuan. Sayang sekali bila tak dimanfaatkan. Juga, pertemanan…. Itu sungguh mengasyikkan.

Mungkin, cara saya ini semacam mencari celah agar tak jadi korban himpitan kuasa-kuasa yang tak bisa saya kendalikan, sebagai warga biasa yang terjauh dari nikmatnya kekuasaan.