Tag Archives: kasih karunia

Siapakah Anda Ketika Tertangkap Kamera Tersembunyi?

Apa jadinya jika hidup kita disorot oleh sebuah kamera tersembunyi? Lalu semua rekaman dalam kamera tersebut ditunjukkan ke umum. Apakah banyak hal yang kita tutupi dan kini terekspos, dan akan membuat kita malu?

Saya teringat isi video yang terekam oleh CCTV, tentang seorang babysitter yang menganiaya anak balita majikan, ketika majikannya tidak ada di rumah. Betapa mengerikan apa yang bisa kita lakukan ketika kita tidak tahu ada orang yang bisa melihat kita.

Apa itu integritas?

Integritas adalah, apakah sikap anda sama, ketika tidak ada yang melihat anda.

Dulu, saya mencoba memahaminya dengan defenisi sederhana. Contohnya, ketika seorang rekan saya, tidak pernah (karena dilarang oleh istrinya) makan mie instan di rumah, tapi dia tiap hari makan mie instan di kantor. Orang tersebut, tidak menunjukkan integritas.

Apakah anda orang yang sama, di rumah, kantor, gereja, di lingkungan tetangga?
Pertanyaan ini adalah tantangan.

Ada seorang anak, teman anak saya, pernah berkata: Ah, Papa saya hanya manis kalau sama anak orang lain, sama kami anak-anaknya galaknya minta ampun. Mama saya juga hanya lembut kalau dilihat orang lain, kalau di rumah bawelnya tak karuan.

Dualisme terlihat dalam hal ini. Ini bukanlah integritas.

Apakah anda berani disebut sebagai orang yang berintegritas? Saya sendiri takut menghadapi pertanyaan ini. Dulu ada seorang rekan kerja yang jika di hadapan para boss ekspatriat selalu bermuka manis dan berlidah penjilat, tapi ketika menghadapi rekan sesama orang lokal, sangat kasar dan dominan. Kami semua sangat tidak menyukainya. Dan ketika dia pindah, kami semua sangat lega dan gembira. Betapa tidak enaknya hidup bersama orang dengan dualisme sikap seperti itu.

Dalam bukunya berjudul “Integritas”, Jonathan Lamb menjabarkan Paulus sebagai contoh seorang pelayan Tuhan yang memiliki integritas. Ketulusan hati Paulus, tindakannya yang terus terang dan apa adanya, tidak berbelit-belit, konsisten dan jujur, adalah kualitas pelayan Tuhan yang sejati. Bagaimana Paulus bisa memiliki intergritas itu?

Paulus menerima kualitas sifat itu dari Tuhan.

Hanya oleh kekuatan kasih karunia Tuhan, kita bisa memiliki integritas.

Membicarakan tentang integritas bisa membuat kita merasa panik dan merasa bersalah, takut dan tidak percaya diri. Itu wajar, sebab integritas bukanlah hal yang mudah. Kita tak mampu melakukannya sendiri. Tuhan yang memberikan karunia untuk kita bisa memiliki integritas demi pelayanan (baca: kehidupan) kita.

Ada orang saya kenal. Dia bisa terlihat begitu rendah hati di depan umum. Tapi rupanya dalam catatan pribadinya, sesungguhnya dia sungguh bangga dan sombong akan kemampuannya menipu orang lain dengan aktingnya itu.
Mungkin kita juga pernah seperti itu. Kita hanya manusia lemah dan berdosa. Sering kita bersikap berbeda, di depan orang dan di belakang mereka. Dalam kesendirian kita mungkin akan memaki-maki orang yang kita benci, tapi di hadapan mereka kita akan bersikap manis atau biasa saja. Dan itu hanya sedikit etika sopan-santun, atau sandiwara. Atau diam-diam, kita mungkin adalah orang-orang yang menerima amplop di bawah meja, walau kita tahu itu tidak halal.

Dalam bukunya, Lamb menguraikan, ada banyak alasan mengapa kita tidak mau atau tidak mudah memiliki integritas. Harga diri, kuatir akan status, ego, rasa malu, ingin populer, haus penghargaan dan segala motivasi duniawi lainnya. Kita semua menghadapi godaan keangkuhan. Keadaan kita atau harapan orang lain di sekeliling, bisa menjadi faktor utama yang mengendalikan hidup kita. Harga diri kita sering terkait dengan status, pendapatan atau popularitas kita. Dan betapa sulitnya menjadi orang yang jujur di tengah semua godaan itu.

Tapi kita dituntut untuk bisa melakukannya secara sama. Ketika sedang ada bos atau tidak, kita tetap bekerja dengan rajin. Ketika ada audit atau tidak, kita tetap bisa jujur mengikuti prosedur. Di depan atau di belakang orang yang tak kita sukai, kita tetap harus bisa menerima dan memaafkan. Atau seperti rekan saya, di depan istri atau di luar rumah tetap sama, tidak makan mie instan (karena alasan kesehatan).

Saya pernah dengar cerita tentang beberapa guru sekolah minggu di suatu gereja, yang terlihat tersenyum-senyum manggut-manggut ketika sedang sermon dengan majelis atau pendeta, tapi diam-diam mereka mengedarkan kertas yang berisi cacian dan celaan tentang majelis atau pendeta tersebut, yang mereka jadikan bahan tertawaan. Bagaimana mungkin kita akan membiarkan anak-anak kita diajari oleh guru-guru semacam itu?

Apa yang bisa menjadi motivasi atau alasan kita untuk berusaha memiliki integritas? Saya kutip tulisan Jonathan Lamb dalam bukunya, sebagai berikut:
• Iman kita tidak bersandar pada hikmat manusia melainkan kuasa Allah.
• Tugas kita dalam hidup ini adalah menghadirkan Yesus itu sendiri, bukan menonjolkan (atau memberitakan) diri kita sendiri.
• Komitmen hidup kita adalah menjadi imej yang sama seperti Kristus, cara kehidupan dan pemikiran yang seperti Yesus.
• Upah yang tertinggi, bagi semua anak Tuhan, adalah mendengar Tuhan berkata: “Baik sekali perbuatanmu itu, hai hambaku yang baik dan setia!” (Matius 25:21)

Kebenaran menghasilkan kesalehan. Kesucian hidup adalah tindakan perwujudan kebenaran.

Sesungguhnya, jika kita hidup suci dan benar, tak ada yang perlu kita sembunyikan, tak ada yang perlu kita poles atau tutupi, hingga kita bisa tampil apa adanya, tanpa standar ganda, tanpa topeng, tanpa kepalsuan. Saat itulah kita telah memiliki integritas.

Integritas sebagai cara hidup berarti hidup yang disertai dengan rasa puas apapun keadaan kita.

Langkah awal memiliki integritas hidup adalah dengan merasa cukup.

Merasa cukup hanya dialami dan dimiliki seseorang yang menerima Tuhan dan kasihNya yang memuaskan seluruh kerinduannya. Rasa cukup itu membawa damai sejahtera.

-*-

Hapuskan

Hapuskan cemberut di wajahmu
jangan biarkan kerat-kerut itu mengotorinya
apalagi sampai air mata mengeruhkan mata jernihmu

Lihat! Di saat semua yang fana berdesakan
bertindihan, saling sikut dan injak
mendaki tiang kesia-siaan yang hampa puncaknya
kau duduk tenang di depan sang pemberi hidup
menikmati suara lembutnya membelaimu

Di saat dunia kering kerontang,
dan insan meranggas satu demi satu
dalam benci, dendam, dengki, dan angkara,
kau melangkah ringan di sisi sang pengadil
menikmati tangan kokohnya menggandengmu

Di saat dunia hiruk pikuk mencari damai
kau teduh tenteram dalam pelukan damai agung
Di saat dunia kacau balau karena tiada cinta,
kau dituntun mesra tangan lembut cinta sejati

damai itu memanggilmu hari ini
untuk menenteramkan hiruk pikuk itu,
dan cinta itu mengutusmu saat ini
untuk meneduhkan kekacauan itu..

hapuskan cemberut di wajahmu,
anugerah yang diberikan untukmu
terlalu indah untuk dicemari olehnya

 

Foto : Matahari terbenam di Seminyak (koleksi pribadi)

Tujuh Puluh Kali Tujuh Kali

Tidak terasa tahun 2016 sebentar lagi akan berlalu. Banyak peristiwa yang sudah kita alami dan lewati di tahun ini, dan saya percaya banyak berkat yang sudah kita terima, dan tentu saja banyak hikmah, pelajaran, atau teguran, yang sudah kita terima juga. Satu hal yang menghiasi ruang berita kita belakangan ini adalah tentang keriuhan politik di DKI Jakarta. Selain itu kita juga masih disuguhi berita-berita tentang kekerasan atas nama agama, bukan hanya di negeri kita tetapi dari berbagai belahan dunia. Dua hal ini membuat saya teringat akan suatu topik yang selalu menarik untuk dibahas dalam kaitannya dengan kasih karunia. Itu adalah topik tentang Pengampunan.

Bicara Kasih Karunia tidak mungkin tidak membicarakan tentang Pengampunan, karena kasih karunia secara sederhana berarti pengampunan yang diberikan Allah kepada manusia melalui pengorbanan Anak-Nya, Yesus Kristus di kayu salib. Apalagi kalau kita melihat kata “mengampuni.” Kata ini di dalam bahasa Inggrisnya berbunyi “forgive” atau “pardon”. “Forgive” datang dari akar kata “give” yang artinya “memberi” dan “pardon” dari akar kata “donum” yang artinya “hadiah”. Melihat kekerasan-kekerasan yang belakangan ini menghiasi ruang berita kita, topik pengampunan ini tentunya menarik untuk dibicarakan, karena Alkitab mengajarkan kita bahwa satu solusi terhadap lingkaran setan kekerasan adalah pengampunan.

Ada banyak ayat di dalam Alkitab tentang pengampunan, namun hari ini kita akan membaca dari kata-kata Yesus sendiri, ketika Dia mengajarkan murid-murid untuk berdoa. 12 dan ampunilah kami akan kesalahan kami, seperti kami juga mengampuni orang yang bersalah kepada kami; 13 dan janganlah membawa kami ke dalam pencobaan, tetapi lepaskanlah kami dari pada yang jahat. (Karena Engkaulah yang empunya Kerajaan dan kuasa dan kemuliaan sampai selama-lamanya. Amin.) 14 Karena jikalau kamu mengampuni kesalahan orang, Bapamu yang di sorga akan mengampuni kamu juga. 15 Tetapi jikalau kamu tidak mengampuni orang, Bapamu juga tidak akan mengampuni kesalahanmu.” (Matius 6:12-15)

Mengampuni. Saya rasa kita semua setuju kalau mengampuni itu adalah sesuatu yang tidak mudah untuk dilakukan. Ketika seseorang melakukan kesalahan kepada saya, dengan segera saya menemukan seribu satu alasan untuk tidak mengampuni dia. Saya akan bilang: Dia harus diberi pelajaran, atau Dia harus tahu setiap perbuatan ada konsekuensinya, atau Dia harus belajar bertanggung jawab atas perbuatannya, dia yang salah, kenapa juga saya yang harus mengampuni?, bagaimana saya bisa mengampuni kalau dia tidak menyesali perbuatannya? Butuh waktu untuk kemudian bisa memutuskan untuk mengampuni atau memberi maaf.

Sebagai orang Kristen, kita tahu bahwa Kristus mengajarkan kita untuk mengampuni. Bahkan, Yesus di dalam Matius 6:15 tadi mengatakan bahwa jika “kamu tidak mengampuni orang, Bapamu juga tidak akan mengampuni kesalahanmu.” Oleh karena itu orang Kristen tidak punya pilihan lain kecuali mengampuni.

Saya tahu pernyataan ini akan membuat banyak orang gelisah. Oleh karena itu saya akan memberikan 2 buah alasan yang sangat baik, yang bisa menolong kita untuk mulai mengampuni.

Alasan yang pertama: mengampuni memutus mata rantai tudingan dan sakit hati, memutus lingkaran setan kebencian. Di Perjanjian Baru, kata dalam bahasa Yunani yang umum dipakai untuk pengampunan bermakna secara harfiah “melepaskan”, “membebaskan diri” dari sesuatu.

Kadang mengampuni memang terasa tidak fair. Doktrin “karma” kadang terasa lebih “fair” bagi kita. Para ahli tentang Karma telah menghitung secara matematis berapa reinkarnasi yang diperlukan seseorang untuk mengimbangi semua perbuatan salahnya selama dia hidup: dibutuhkan 6,8 juta kali reinkarnasi.

Satu contoh kecil tentang memutus mata rantai ini bisa kita lihat dalam kehidupan pernikahan kita. Suatu hari isteri saya bilang kepada saya: “Kok kamu bisa lupa ultah ibumu sendiri”.

Saya menjawab: “lho, bukannya kamu yang tugasnya mencatat ultah orang-orang?
Dia membalas: “jangan salahin aku dong, kan ibumu!”

“Iya, tapi minggu lalu kan aku minta kamu untuk mengingatkan aku!”
“Gila kamu ya – kan ibumu. Masak ultah ibu sendiri ga bisa diingat?”

“Kenapa aku harus ingat? Kan tugasmu untuk mengingatkan aku!”

Dialog ini bisa terus berlanjut sampai 6,8 juta kali, sampai salah satu dari kami berkata, “cukup! Aku akan menghentikan ini, memutus rantai ini, memutus lingkaran setan ini.” Dan satu-satunya cara untuk melakukannya adalah dengan pengampunan, dengan mengatakan: “Ya, aku salah. Maafkan aku ya sayang..”

Mengampuni, meski kadang terasa tidak fair, menyelesaikan mata rantai tudingan dan sakit hati. Mengampuni artinya “melepaskan”, “membebaskan diri”, sedangkan Mendendam berasal dari kata yang berarti “merasakan kembali”. Mengampuni membawa kita untuk maju, tetapi mendendam mengikat kita pada masa lalu, kepahitan yang sudah terjadi, sakit hati yang sudah dialami, dan seterusnya. Martin Luther menulis tentang Adam dan Hawa. Alkitab mencatat mereka hidup 900 tahun lebih. Bayangkan bagaimana ketika mereka berantem, Hawa akan berkata: “kamu sih, ikutan makan buah itu” , dan Adam akan menjawab “kamu sih yang ngasih ke aku.”

Pengampunan, menawarkan sebuah jalan keluar. Mengampuni memang tidak menyelesaikan persoalan siapa yang bersalah atau apakah sudah adil atau belum, namun dengan mengampuni kita memberi kesempatan kepada sebuah hubungan untuk dimulai kembali, dimulai secara baru.

Seorang pujangga Rusia, Solzhenitsyn mengatakan, yang membedakan kita dengan binatang bukanlah kemampuan kita untuk berpikir, tetapi kemampuan kita untuk bertobat dan mengampuni.

Ketika kita mengampuni, kita melepaskan diri kita dari belenggu masa lalu sakit hati dan kepahitan. Ketika kita mengampuni, kita bukan saja melakukan firman Yesus. Lewis Smedes menulis, “pihak pertama yang dipulihkan ketika pengampunan diberikan adalah pihak yang memberikan pengampunan itu. Ketika kita dengan tulus mengampuni, kita membebaskan seorang tawanan, dan tawanan itu adalah diri kita sendiri.” Tidak mudah melakukannya memang. Ketika Yusuf mengampuni saudara-saudaranya di Kejadian 45, dia berteriak dan menangis dengan suara nyaring. Pengampunan yang diberikannya adalah kemerdekaan bagi dirinya.

Alasan yang kedua mengapa kita harus mengampuni adalah pengampunan sanggup mengubahkan penjahat yang paling jahat sekalipun. Kekuatan dahsyat dari pengampunan adalah transformasi. Sebuah novel klasik yang sangat terkenal, Les Miserables karya Victor Hugo, melukiskan ini dengan sangat baik.

Novel ini bercerita tentang Jean Valjean, seorang narapidana di Prancis. Valjean dihukum 19 tahun karena mencuri roti. Selama di penjara dia menjadi seorang yang sangat kuat dan tangguh secara fisik. Tidak ada yang bisa mengalahkan dia. Setelah dia menyelesaikan hukumannya dan keluar dari penjara, dia kesulitan mendapat tempat tinggal, karena di masa itu orang tidak mau berurusan dengan mantan napi. Untunglah ada seorang pastur yang menerima dia menginap di rumahnya. Malam harinya, Valjean bangun dan mengambil peralatan makan milik sang pastur yang terbuat dari perak, dan melarikan diri. Keesokan paginya, si pastur terkejut karena tiga orang polisi mengetuk pintu rumahnya. Mereka menangkap Valjean yang sedang berusaha menjual peralatan makan dari perak milik sang pastur. Akan tetapi, reaksi dari pastur ini mengejutkan mereka semua, terlebih-lebih Valjean. “Lho, kamu ini bagaimana sih? Untung kamu balik lagi ke sini. Kamu lupa ya, kalau tempat lilin ini juga aku berikan buat kamu? Ambillah, ini juga dari perak, dan kalau dijual harganya 200 francs!”. Valjean terkesima, dia tidak tahu harus bicara apa. Si pastur ini meyakinkan para polisi bahwa Valjean bukan pencuri, peralatan makan dan tempat lilin itu adalah pemberiannya. Setelah para polisi pergi, si pastur memberikan tempat lilin dan peralatan makan itu kepada Valjean dengan pesan: “jangan lupa, kamu sudah berjanji akan memakai uang ini untuk memulai hidup sebagai orang yang jujur.” Valjean tidak lupa, dan seumur hidupnya dia hidup jujur dan membaktikan dirinya untuk melayani sesamanya.

Ketika kita mengampuni, kita sedang melakukan “pembedahan rohani”. Kita memotong bagian yang bersalah/berdosa dari orang yang melakukan kesalahan kepada kita. Kita memisahkan dia dari perbuatan jahat/salahnya. Tadinya kita menyatakan bahwa dia melakukan kesalahan/kejahatan kepada kita. Namun sekarang kita mengubah identitas dia. Dia dijadikan baru dalam memori kita. Sekarang dia bukan lagi orang yang menyakiti kita, tetapi orang yang membutuhkan kita. Dia membutuhkan pengampunan kita, dan kita memberikannya.

Memberikan pengampunan, dalam dunia nyata memang tidak sederhana. Seorang pemerkosa yang diampuni tetap harus menjalani hukumannya di penjara, akan tetapi ketika korbannya memberikan pengampunan kepadanya, si korban membebaskan dirinya dari belenggu kesakitan dan sekaligus memberikan identitas baru kepada si pelaku, sebagai yang telah diampuni.

Yesus memberi teladan yang sempurna kepada kita tentang mengampuni dan memulihkan, ketika dia mengampuni dan memulihkan Petrus yang tiga kali menyangkal dia. Petrus tidak perlu tenggelam dalam rasa bersalah karena penyangkalannya. Tidak, dia dipulihkan dan menjadi sokoguru Gereja. (Yohanes 21)

Mengampuni memutus mata rantai tudingan dan kepahitan, membebaskan kita dari sakit hati dan kepahitan derita seorang korban, dan mengampuni mempunyai kuasa untuk mengubahkan si pelaku kejahatan/yang berbuat salah kepada kita.

Apa yang telah Allah lakukan melalui Yesus Kristus juga sama. Anak tunggal Allah diutus ke dalam dunia bukan untuk menghakimi kita yang berdosa, tetapi untuk menyatakan pengampunan Allah. Yesus yang tidak berdosa menempatkan diri sebagai terhukum, untuk melepaskan dari identitas lama kita sebagai orang berdosa dan memberikan identitas baru kepada kita sebagai anak-anak Allah.

16 Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal. 17 Sebab Allah mengutus Anak-Nya ke dalam dunia bukan untuk menghakimi dunia, melainkan untuk menyelamatkannya oleh Dia. 18 Barangsiapa percaya kepada-Nya, ia tidak akan dihukum; barangsiapa tidak percaya, ia telah berada di bawah hukuman, sebab ia tidak percaya dalam nama Anak Tunggal Allah. (Yohanes 3:16-18)

Oleh karena itu, kita tidak bisa menolak ketika Dia berkata: 14 Karena jikalau kamu mengampuni kesalahan orang, Bapamu yang di sorga akan mengampuni kamu juga. 15 Tetapi jikalau kamu tidak mengampuni orang, Bapamu juga tidak akan mengampuni kesalahanmu.”

Dan Paulus menulis juga: Sabarlah kamu seorang terhadap yang lain, dan ampunilah seorang akan yang lain apabila yang seorang menaruh dendam terhadap yang lain, sama seperti Tuhan telah mengampuni kamu, kamu perbuat jugalah demikian. (Kolose 3:13)

Teladan pengampunan kita adalah Tuhan yang telah mengampuni kita, karena itu pengampunan kita juga tidak diberikan batas, sampai berapa kali kita mengampuni. Yesus mengatakan kita mengampuni 70 x 7 kali terhadap saudara yang berbuat dosa kepada kita (Matius 18).

Harapan bagi bangsa ini, harapan bagi dunia ini adalah ketika kita yang telah menikmati pengampunan oleh kasih karunia Allah dalam Kristus Yesus, hidup dalam pengampunan itu, dan melepaskan pengampunan setiap kali pengampunan dibutuhkan. Seperti doa Fransiskus dari Asisi, Jadikan kami alat damai-Mu, di mana ada kebencian, biarlah kami melepaskan pengampunan.

 

Foto : Taman Getsemani, Bukit Zaitun, Yerusalem (koleksi pribadi)

Mencari Pekerjaan yang Ideal?

Anda pernah berganti pekerjaan?

Saya sudah tiga kali. Yang sekarang adalah pekerjaan saya yang keempat. Ada beberapa alasan mengapa saya pindah kerja.

Pekerjaan pertama saya di maskapai penerbangan Jepang adalah yang paling berkesan. Pahit dan manis bercampur-aduk di sana. Yang paling tak terlupakan adalah satu hal. Bayangkanlah, gara-gara saya masih karyawan baru dalam masa training, saya salah memprogram reservasi hingga keberangkatan pesawat nyaris delay dan perusahaan rugi biaya satu seat penumpang seharga ribuan dollar.

Saya berhenti bukan karena itu, tapi karena maskapai itu berhenti beroperasi di Indonesia waktu itu. Sesungguhnya saya senang bekerja di sana, walau pernah punya atasan ekspatriat yang kalau emosi suka membanting meja… (ngeri!)

Sebagai pekerjaan pertama, saya belajar sangat banyak di sana. Pekerjaan itu nyaris sempurna untuk saya. Nilai minus pekerjaan itu buat saya hanya satu: lokasinya bukan di Jakarta, tapi jauh di Bali.

Tempat saya kerja yang kedua adalah maskapai penerbangan asing lainnya. Sebenarnya ini adalah pekerjaan impian saya sejak kuliah. Bisa kerja di perusahaan itu adalah dream came true. Tapi ternyata keadaannya tidak seperti yang saya kira. Saya tidak betah bekerja di sana. Lingkungan pekerjaannya tidak kondusif. Saya hanya dua tahun di sana sementara teman-teman yang tidak tahu keadaan yang sebenarnya, masih menyayangkan karena saya meninggalkan perusahaan itu. Saya ambil hikmah, rupanya tidak semua impian kita seindah yang kita harapkan.

Pada pekerjaan saya yang ketiga, saya betah tujuh tahun. Yang paling berkesan dari perusahaan itu adalah suasana persahabatan sesama rekan kerja dan rasa kekeluargaan dengan atasan yang ekspatriat. Gajinya kecil (hahaha) dan jenjang karir lambat sekali tapi karyawan betah di sana. Pada akhirnya saya (dan yang lain) keluar juga karena kemudian ada perubahan yang merusak kenyamanan itu, sehingga saya putuskan tak ada lagi yang bisa saya pertahankan di sana.

Tempat kerja saya berikutnya, hampir sama, suasana persahabatan dengan rekan kerja terasa enak, walau gaji dan karir tak menjanjikan (hehehe). Bagi saya, yang membedakan pekerjaan ini dari semua pekerjaan sebelumnya adalah bidang pekerjaannya!

Kali ini saya merasa klik sekali dengan bidang pekerjaan ini. Saya suka dan merasa passion saya memang di bidang itu. Baru kali ini saya merasa secocok ini dengan bidang pekerjaan saya, setelah empat kali pindah kerja.

Ada juga faktor-faktor lain yang tidak kondusif di lingkungan pekerjaan ini, tapi karena saya menikmati sekali bidang pekerjaan saya, saya berusaha untuk tidak mau terdistraksi. Saking excited, saya bahkan pernah mengalami keanehan, yaitu rasa ketidaksabaran hari segera berganti pagi karena ingin segera ke kantor untuk menyelesaikan pekerjaan, dan saya segera mulai bekerja dari pagi walau itu belum mulai jam kerja, dan tak peduli walaupun lembur tidak dibayar di malam harinya.

Lalu saya simpulkan, memang benar kata orang, lakukanlah apa yang kita sukai. Do what you love. Kalau tak dapat pekerjaan yang kita sukai, love what you do. Itulah kunci kebahagiaan dalam dunia kerja. Saya baru sadar bahwa apa yang terjadi di pekerjaan saya yang kedua dan ketiga adalah sikap love what you do, sedangkan pekerjaan pertama dan yang sekarang, adalah passion.

Juga saya setuju dengan kata orang, bahwa melakukan apa yang kita sukai itu terasa menyenangkan, tak perlu dipaksa, kita menikmati dan bisa lupa waktu, layaknya kita mengerjakan hobi.

Sejauh ini, bagi saya, pekerjaan ini adalah yang paling ideal dari semua pekerjaan yang pernah saya lakoni. Dan setelah bekerja hampir delapan belas tahun, saya mengambil kesimpulan sendiri (anda boleh tidak setuju, hehehe…) sebagai berikut:

Jika anda mencari pekerjaan yang ideal atau sempurna, lupakan. Tak akan pernah ada. (Mungkin ada sih, tapi itu mungkin satu di antara seribu.)

Pernah saya dan teman membuat list faktor-faktor bahan pertimbangan, karena bingung apakah ingin tetap di situ atau pergi mencari pekerjaan baru. Seperti ini:

1. Gaji/karir
2. Suasana lingkungan kerja/interpersonal relation
3. Bidang pekerjaan/passion

Teman saya itu pindah kerja ke sebuah grup perusahaan terbesar Jepang. Baru masuk seminggu dia sudah stress. Nomor 1 ada di sana tapi nomor 2 tidak ada dan nomor 3 agak minim. Gaji besar, jabatan tinggi, tapi katanya, semua orang seolah saling menjatuhkan, menghasut dan menjerumuskan. Pekerjaannya pun sangat menekan bathin.

Lalu seorang teman lain, juga baru pindah kerja ke tempat lain. Dia memiliki nomor 1 dan 2, gaji besar dan rekan kerja yang kooperatif, tapi dia tidak menikmati pekerjaan itu. Aslinya, dia adalah tipe pekerja belakang meja, tapi pekerjaan yang ini mengharuskannya sering terjun ke lapangan. Dan itu membuatnya tidak bahagia.

Dalam sebuah reuni, kami membahas tentang pekerjaan kami masing-masing dan akhirnya kami menyimpulkan bahwa tak ada pekerjaan yang ideal. Kita hanya harus memilih prioritas, memilih yang paling bisa kita tolerir, dari semua faktor di atas.

Saya sendiri lebih tak bisa menolerir bekerja pada bidang yang tidak saya sukai, sehingga pada kondisi terburuk, saya akan lebih memilih pekerjaan yang tidak dapat nomor 1-nya. Prioritas saya adalah menikmati hidup melalui pekerjaan. Materi dan jabatan bisa menyusul. Yang terpenting adalah kita melakukan tugas kita seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia. Seperti tertulis di Amsal 10:16; Upah pekerjaan orang benar membawa kepada kehidupan, penghasilan orang fasik membawa kepada dosa.

Juga seperti di Amsal 10:22: Berkat Tuhanlah yang menjadikan kaya, susah payah tidak akan menambahinya.

Bagaimana dengan anda?
Masih penasaran ingin mencoba mencari pekerjaan yang ideal?
🙂

Komunitas Tanpa Syarat

dalam hal ini tiada lagi orang Yunani atau orang Yahudi, orang bersunat atau orang tak bersunat, orang Barbar atau orang Skit, budak atau orang merdeka, tetapi Kristus adalah semua dan di dalam segala sesuatu. (Kolose 3:11)

Kita hidup di dalam dunia di mana ada begitu banyak syarat dan ketentuan yang harus dipenuhi. Dalam hubungan pekerjaan atau bisnis, syarat dan ketentuan memang diperlukan untuk menjaga agar tidak terjadi kekacauan. Akan tetapi masalahnya adalah, syarat dan ketentuan itu pun sudah menjadi bagian dalam hubungan antara manusia. Bahkan pasangan yang akan menikah pun sekarang sudah lazim membuat perjanjian pra-nikah, yang mengatur apa yang akan terjadi seandainya nanti mereka bercerai.

Gereja sebagai komunitas orang percaya, yang dipanggil keluar dari kehidupan yang penuh dosa oleh kasih karunia Allah, harus menghadapi kenyataan ini sebagai sebuah tantangan. Mengapa demikian? Karena banyak orang sekarang ini juga takut atau enggan datang ke gereja karena merasa diri mereka tidak dapat memenuhi ‘syarat dan ketentuan’ yang berlaku untuk dapat diterima di gereja. Apakah syarat dan ketentuan untuk diterima di gereja? Kekudusan, atau banyak lagi yang lain?

Kalau kita membaca Injil, kita akan menemukan bahwa ada banyak kisah tentang orang-orang yang tidak memenuhi ‘syarat dan ketentuan’ yang bahkan ada dalam kitab suci. Lihatlah cerita Saulus. Ketika Ananias, seorang hamba Tuhan di Damsyik, disuruh Tuhan untuk mendoakan dia, Ananias menolak, karena Saulus terkenal sebagai seorang yang memimpin teror terhadap orang Kristen di Yerusalem. Demikian juga Zakheus, seorang kepada pemungut cukai. Di mata orang Yahudi dia sama sekali tidak memenuhi syarat untuk mendapat keselamatan. Akan tetapi, Yesus mengatakan tentang dia: “Hari ini telah terjadi keselamatan kepada rumah ini, karena orang inipun anak Abraham.” (Lukas 19:9). Begitu juga dengan seorang yang kerasukan roh jahat sebanyak legion Romawi. Dia yang begitu ganas sehingga harus dikucilkan di pekuburan di Gerasa. Dia bahkan bukan orang Yahudi. Akan tetapi, Yesus melintasi danau yang dilanda angin topan hanya demi menemui dia. Dan untuk membebaskan dia Yesus membiarkan satu kampung di Gerasa kehilangan mata pencaharian (Markus 5:1-20). Atau Anda mungkin ingat cerita perempuan yang diseret ke depan Yesus karena kedapatan berzinah (Yohanes 4), dan perempuan Samaria yang sudah menikah 5 kali dan hidup bersama dengan laki-laki yang bukan suaminya (Yohanes 8)? Mereka semua tidak layak untuk disambut di gereja? Yesus menyambut mereka dengan hangat.

Gereja adalah tempat di mana kasih Allah nyata. Kasih Allah harus dinyatakan dengan sekuat-kuatnya, sama seperti kuasa dan kebenaran-Nya. Jika orang-orang berdosa tidak dapat lagi datang ke gereja karena terhalang oleh ‘syarat dan ketentuan’ yang dibuat oleh gereja, ke manakah lagi mereka dapat pergi? Padahal Yesus jelas mengatakan: “Anak Manusia datang untuk mencari dan menyelamatkan yang hilang.” (Luk 19:10).

Gereja harus menjadi tempat di mana tidak ada syarat dan ketentuan yang diajukan. Siapapun boleh datang. Sekelam dan sehancur apapun masa lalunya, dia boleh datang. Sekeji dan sebrengsek apapun dosa-dosanya, dia diterima dengan hangat. Tidak ada pembedaan status sosial, ras, ataupun suku bangsa. Petrus menyatakan hal ini di rumah Kornelius, seorang perwira Italia yang didoakannya, “Sesungguhnya aku telah mengerti, bahwa Allah tidak membedakan orang. Setiap orang dari bangsa manapun yang takut akan Dia dan yang mengamalkan kebenaran berkenan kepada-Nya.” (Kisah Para Rasul 10:34-35). Siapapun diterima, dan mengalami hidup yang baru di dalam kasih karunia. Haleluya!

 

Foto: Shine Jogja