Iyya akui, Umi itu seorang wanita hebat. Iyya selalu pengen jadi kayak Umi tapi bukan berarti Iyya harus jadi seorang perempuan dengan HIV. Umi itu tangguh, Iyya tau HIV bukan penyakit yang mudah untuk diakui dan diberitahukan kepada orang lain, tapi Umi sanggup menerima semua ini. Semenjak Iyya kecil mungkin Iyya jauh dari Umi, tapi Iyya tau semua Umi lakukan demi Iyya, Umi bertahan merasakan sakit demi Iyya.
[Sampai sini, mataku sudah membasah. Heh! Dasar gue penulis yang gampang nangis. Aku teruskan wawancara dengan Iyya … putri Hartini, narasumber naskahku.]
Umi selalu berusaha kasih yang Iyya mau. Sekalipun itu membuat Umi lelah, tapi Umi gak pernah ngeluh di depan Iyya.
Iyya salut sama Umi, selama ini Umi bertahan buat Iyya dan keluarga. Awalnya Iyya gak percaya Umi kena HIV tapi setelah Umi perjelas apa itu HIV, Iyya bisa lebih tenang. Bahkan sosok Umi buat Iyya selalu belajar tegar, karena Iyya sendiri rapuh.
Melihat Umi yang tegar Iyya jadi lebih semangat untuk hidup lebih baik buat Umi dan buat keluarga.
Umi wanita yang terhebat. Beliau bisa sabar dalam keadaan apa pun. Bahkan di saat penyakitnya saat ini. Umi selalu jadi motivator buat Iyya.
[Aku membayangkan, di ujung WhatsApp sana, Iyya sedang diaduk-aduk emosinya, melebihi diriku yang lancang terus bertanya demi naskah ini tuntas, aku ambil pena dan membuat note untuk mengoreksi tuturan Iyya, bukan penyakit].
Cukup lama Iyya jauh dari Umi , ketemunya kalau lebaran dan liburan sekolah.
[Iyya sejak kecil diasuh oleh neneknya di luar Jawa, sedangkan Hartini, Uminya ada di Jakarta.]
Sedari umur 4 tahun Umi udah pergi ke arab. Dua tahun kemudian baru pulang. waktu itu Iyya kelas 1 Sekolah Dasar. Setelah itu Umi merantau ke Jakarta. Ya, sejak itu kami berjauhan terus, Ketemunya lebaran dan kalau Iyya liburan sekolah.
Peristiwa yang paling tak terlupakan adalah ketika Umi pulang dari Arab. Sekalipun dibilangin Umi gak jadi pulang hari itu, Iyya tetep nunggu Umi dateng walaupun udah larut malam.
Tapi penantian Iyya gak sia-sia akhirnya Umi jadi pulang malam itu dan beliin pesanan-pesenan Iyya. Karena Umi berangkat ke Arab demi beliin apa yang Iyya mau.
Umi korbanin diri sendiri demi kebahagiaan Iyya dan sikap Umi itu gak pernah berubah. selalu seperti itu.
[Air mata saya meleleh lagi. Mengimajinasikan Iyya kecil duduk di teras rumah neneknya di Lampung menanti Uminya datang hingga larut malam. Dan Umi beneran datang, ia secara khusus sewa mobil agar lekas sampai di tempat Iyya dan bisa bawa oleh-oleh yang banyak.]
Apa yang harus saya khawatirkan, Pak? Umi sekarang sehat-sehat aja. Penyakitnya juga kan gak mudah untuk menular, Pak ….
[Tepok jidat. Bodohnya aku menanyakan kekhawatiran itu pada Iyya!]
Iyya masih pengen banyak hal …. Iyya mau, orang-orang dengan HIV bisa punya semangat hidup seperti Umi dan pengen mengubah anggapan orang yang selalu beranggapan buruk tentang HIV. Tidak semua orang yang memiliki virus HIV itu adalah mereka yang melakukan hubungan (seks) bebas, narkoba, dll. Bisa saja kan mereka korban ….
[Iya. Umimu udah cerita tempo hari, tiga jam kami mengobrol di food court. Umimu dapat virus HIV dari seseorang yang dia nikahi. Dan pria itu awalnya selalu menyangkal sebagai biang penurunan kekebalan tubuh Umimu, Iyya.]
Makasih ya Iyya … kalau ada kisah yang mau dibagikan lagi, kirim pesan WA ke sini ya. Buku deadline besok. Senang dapat cerita dari Iyya.
[Aku closing wawancara. Padahal masih pingin dapat cerita seru lainnya.]
Iya, Pak sama-sama. Terima kasih juga udah mau terima cerita-cerita Iyya. Oh iya tadi ada yang belom dijawab …. Soal yang Iyya bantu buat kesehatan Umi. Mungkin Iyya gak bisa bantu apa-apa karena Iyya belom terlalu banyak tau tentang HIV apa lagi obat-obatnya. Yang Iyya bisa lakuin sekarang berdoa dan semangatin Umi biar gak bosen minum obat dan bertahan demi keluarga. Iyya selalu ingetin Umi minum obatnya.
[Aku bersyukur, wawancara itu aku lakukan saat sendiri di rumah, artinya istriku dan anakku yang suka mem-bully aku tidak melihatku bercucuran air mata. Besok naskah harus tuntas, kepercayaan dari Andy F. Noya dan Penerbit Buku Kompas padaku untuk menyusun naskah ini harus aku kerjakan dengan sepenuh hati. Mungkin, buku akan aku beri judul Hartini: Memoar Seorang Perempuan dengan HIV.]