Tag Archives: Debata

Betapa Simpel Ia Beragama

Misalkan ibuku masih ada, bila ditanya apa arti atau makna pohon natal dengan lampu-lampu kelap-kelip, gambar Santa Claus, lonceng mungil, bintang-bintang kertas dan pernak-pernik lain, aku yakin dia akan menggeleng dan sama sekali tak melihat korelasinya dengan keimanannya.

Dugaanku, dia akan mengatakan gambar atau wajah Santa Claus itu hanya “mikki-mikki” (kartun lucu) dan aksesoris natal lainnya hanya “gaba-gaba” atau “mire-mire” yang disukai orang-orang modern (terutama penganut Kristen). Tetapi, kuyakin pula, dia akan mengaku suka melihat aksesoris natal itu karena meriah, ada lampu-lampu kecil yang “bisa nyanyi” mengikuti kelap-kelip cahaya lampu.

Lalu, bila diminta kesannya, cukup menjawab seperti celetukan khasnya menanggapi perubahan zaman dan kemajuan sains-teknologi:  “Malo-maloni halak nuaeng, aha pe boi dibahen laho mambuat hepeng jala sonang rohani namanuhor.” (Pintarnya orang-orang sekarang, apapun bisa dilakukan untuk meraup uang dan yang membeli pun merasa senang).

Ibuku memang produk zaman yang masih terbelakang, bahkan tak bisa membaca Bible dan kidung pujian, namun rajin berdoa dalam Bahasa Batak.

Ia tak mengenal Allah, melainkan Debata Jahowa, dan meyakini Jesus Kristus anak spiritual Jahowa yg menyelamatkannya. Tetapi, seingatku, dia tak getol menyebut-nyebut “Debata,” “Jahowa,” atau “Tuhan,” walau kebiasaannya bersenandung dengan nada lirih nyanyian-nyanyian gerejani dari Buku Ende; saat menjahit-menambal pakaian, menyulam, membersihkan kamarnya, juga bila penyakitnya kambuh atau merasa  sedih dan kangen pada anak-anaknya yang jauh di perantauan. Ia memiliki beberapa kidung favorit dan dia minta kami nyanyikan saat kepergiannya menghadap Jahowa yang diyakininya.

Tetapi, dalam sehari-hari, yang dia tekankan pada anak-anak dan cucunya: agar menjadi ‘anakni raja, boruni raja,’ suatu tuntutan perilaku yang dianggap sopan, santun, etis, yang berasal dari norma-norma sosial turunan adat-istiadat Batak Samosir. (Dulu kami tak pernah menyebut diri kami: Batak Toba, melainkan “par Samosir”). Tak pernah dia berkata supaya kami jadi “anak Tuhan.” Barangkali, itu tuntutan yang kelewat berat menurut pikirannya yang sederhana.

Sebagaimana bapak, ia pun tidak pernah secara khusus meminta kami belajar agama, walau sebelum makan dan sebelum tidur, diingatkan supaya berdoa dan  selalu berdoa setiap bangun tidur, di kamarnya, tetapi tak kedengaran suaranya–sementara bapak seorang pembaca Bibel dan juga ikut koor bapak-bapak “Parari Sabtu.”

Ia terbilang rajin berkebaktian di gereja, meski sedang sakit; kadang minta diboncengkan tetangga yang punya sepeda motor. Selama kebaktian,  ia  tekun mendengar kotbah dan mengingat bagian-bagian inti yang menjadi pesan kotbah, biasanya ia bincangkan saat di rumah dan belakangan ini jadi teringatku kebiasaannya tersebut. Juga amat hormat pada pendeta, voorhanger, sintua, biblevroow. Namun, seingatku, ia begitu santai beragama.

Dan, yang ditekankan pada kami anak-anaknya, itu tadi: jangan berperilaku macam hatoban (budak, manusia bermoral rendah), tahu berterimakasih, unang manusai (jangan bikin susah), unang pailahon (jangan bikin malu), unang manguhumi halak pardosa (jangan menghakimi orang dengan mengatakan pendosa), haholongi donganmu jolma (sayangilah manusia).

Ia tak bisa membaca Bible, hanya mendengar kotbah pendeta atau voorhanger atau sintua atau biblevroow, selanjutnya dia renungkan di pikirannya yang amat simpel. Amat sederhana, tak memerlukan kajian, tafsir, dan mazhab.

Telah lama aku “memikirkan” caranya berkeyakinan, memaknai caranya berhubungan dengan Debata Jahowa. Sang Khalik langit dan bumi yang diyakininya–dan aku masih kerap bergumul mengenai pelbagai hal yang kadang menggugat: mengapa dunia dibiarkannya dipenuhi kuasa jahat dan derita.