Tak sedikit yang percaya, Suku Batak berasal dari tanah Siam (Thai), walau belum ada hasil riset yg sahih dan bisa membuktikan dng mematuhi syarat dan kaedah keilmuan atau ilmiah.
Konon, sekitar 3.000 tahun lalu, akibat perang suku di wilayah-wilayah pedalaman yg bergunung-gunung di wilayah Siam, satu kelompok suku kemudian bermigrasi dengan cara menyeberangi laut yang berdekatan dengan Selat Malaka, menggunakan rakit berbahan bambu.
Rombongan yang eksodus tersebut masih sesuku dengan Suku Karen yg berserak di wilayah Myanmar-Thailand kini. Mereka merupakan suku atau sub-etnis yg berposisi minoritas dan karenanya acap sasaran agresi suku-suku lain yang lebih besar dan kuat.
Karena bukan suku yang terbiasa dengan laut dan hanya mengandalkan rakit, para pencari “suaka” tersebut akhirnya berserak, terombang-ambing tanpa tujuan. Sebagian besar yg selamat–karena banyak yg tewas selama terombang-ambing di lautan luas yang diterjang ombak ganas serta serangan badai–akhirnya terdampar di beberapa tempat. Yang paling banyak, terdampar di Pantai Barus (kini masuk Kabupaten Tapanuli Tengah).
Mereka kemudian melanjutkan perjalanan ke wilayah pedalaman yg bergunung-gunung karena lebih suka dan memang dasarnya bukan masyarakat maritim. Berbulan-bulan menembus hutan lebat, naik turun bukit, menyeberangi sungai-sungai berarus kuat dng jeram-jeram yg mengerikan, membuat jumlah mereka berkurang perlahan-lahan. Saat itu, binatang buas seperti harimau, beruang, ular berbisa, buaya, masih banyak pula.
Para pengungsi yang telah berbulan-bulan kelelahan itu pun banyak jadi korban terkaman dan gigitan binatang buas saat menerabas hutan dan menyeberangi sungai.
Yang tersisa akhirnya tiba di satu wilayah yang kini disebut Sianjurmulamula, di kaki Gunung Pusuk Buhit, masuk Kabupaten Samosir. Pilihan tempat tersebut karena mereka terpesona melihat satu lembah yang indah dan ada satu gunung yang cocok dijadikan tempat pemujaan bagi dewa-dewa (debata) yang mereka percaya sejak turun-temurun.
Sianjurmulamula atau kini disebut juga Limbong-Sagala memang satu tempat yg mempesona, apalagi bila dipandang dari bukit-bukit yang mengitarinya. Lahannya relatif subur dan cocok untuk tumbuhan padi.
Lokasinya tak seberapa jauh dari satu danau yang luas (Danau Toba), namun para musafir yg tersisa itu lebih suka berdomisili di kaki-kaki bukit dan gunung ketimbang berdekatan dengan air (danau).
Disebabkan sulitnya mendapatkan sumber makanan sementara bibit padi (boni) yang mereka bawa dari Siam dan telah mulai ditanam di lahan-lahan setelah mencabuti semak belukar masih lama bisa dipanen, terjadilah masalah kelaparan.
Nyaris tewas semua, apalagi cuaca sering berhujan membuat kedinginan dan demam yg mengerikan.Di antara yg selamat, satu lelaki muda yang kuat dan berwibawa, yang sejak dari Siam telah didaulat sebagai pimpinan rombongan.
Suatu pagi dia pergi mendaki Pusuk Buhit dan di sana bersemedi, memohon belas-kasihan Sang Dewata agar mereka yang tersisa sedikit dan telah merana berbulan-bulan, diselamatkan dari ancaman kematian. Ketika ia turun dari puncak gunung, kondisi tubuhnya amat lemah hingga jatuh pingsan dan tak sadar berhari-hari.
Satu makhluk serupa manusia namun berbeda fisik dengan lelaki itu, entah dari mana muncul, kemudian menyelamatkan lelaki muda yang tergeletak dengan tubuh lunglai tersebut. Perempuan yang menolongnya adalah penghuni aseli yang disebut “halak bunian” yang populasinya amat sedikit dan sisa (survivor) letusan Gunung Toba.
Perempuan “bunian” tsb membopong lelaki muda itu ke Sianjurmulamula, dan ternyata semua pendatang, yakni sanak-saudara dan kerabat lelaki muda itu telah tewas karena kelaparan dan kedinginan yang menyebabkan demam hebat.
Ia kemudian merawat lelaki muda tersebut hingga pulih dan selanjutnya, seperti kisah Adam dan Hawa, mereka berdua mendiami wilayah yang indah permai.
Lelaki muda itulah yang kemudian disebut Si Raja Batak dan keturunannya–dari perempuan aseli atau “bunian”–menjadi para pemula, dan selanjutnya menjadi Suku Batak.
Oleh karena Si Raja Batak amat sedih kehilangan sanak-saudara dan kerabatnya, ia kemudian menurunkan ajaran dan petuah pada keturunannya agar saling menjaga, saling terikat, sampai kapan pun. Keinginannya itu melekat kuat pada semua keturunannya yang kemudian–dengan local genius–menciptakan tata aturan, norma-norma, yang mutlak dipatuhi.
Kepatuhan pada petuah yang dipesankan sang pemula, yang kemudian mereka sebut: Ompunta Si Raja Batak, melahirkan aturan-aturan yang menekankan pentingnya identitas agar harmoni dan pranata sosial terjaga baik. Perlahan-lahan melembaga, menjadi pegangan, walau berkali-kali mengalami perbaikan demi penyempurnaan dan dianggap paling ideal.
Aturan, kaedah-kaedah, dan pengidentifikasian setiap individu (anggota komunitas) itulah yang kemudian melahirkan adat dan marga. Pesan dan spirit yang ditiupkan Si Raja Batak pulalah yang menyebabkan mengapa etnis Batak patuh pada adat, aturan sosial, dan mengingat trah (tarombo) atau silsilah dan diwariskan pada keturunan mereka hingga kini.
Meskipun tak sedikit yang tak peduli, menyangkal, atau menganggap dongeng belaka.
Catatan spontan ini merupakan paduan dongeng, mitos, legenda, hasil pendengaran dan pembacaan, dikembangkan dalam ruang imajinasi namun mengaitkannya dng fakta dan realitas, yakni: sampai sekarang, mayoritas orang Batak masih setia pada adat dan marga, juga meyakini “tarombo” mereka. Dari situlah pula lahir penamaan, istilah, terms, menyangkut status tiap person.
Ada yang dipanggil: ompung, tulang-nantulang, amangtua-inangtua, amanguda-inanguda, amangboru-namboru, lae-eda, amangbao-inangbao, ampara, anggi, iboto, sesuai hubungan darah dan marga.
Dari aturan maupun kaedah yang tercipta itu pula lahir konfigurasi adat yang berpengaruh kuat pada relasi sosial dan hubungan antarindividu yang kemudian dilambangkan macam “tiga tungku” atau “dalihan natolu”. Ada tiga unsur dalam relasi sosial yang amat penting, yakni: Hulahula, Dongan Tubu, Boru.
Kembali ke paragraf awal, fisik dan wajah orang Batak termasuk beragam, pula warna kulit. Ada yang mirip orang Siam, India, Melayu, Cina, dll. Ada yang berkulit legam (macam penulis), ada yang terang atau putih, ada yang kayak orang Cina.
Ada yg berambut ikal, lurus, pun yang keriting macam orang Afrika. Ada yang bermuka oval, ada yang lonjong dan ada pula yang disebut “bersegi lima.” Ada yang berhidung mancung kayak India atau Arab, ada pula yang pesek.
Ada yang beralis tebal, ada pula yang ala kadar. Ada yang berkumis, berjenggot, ada pula yang klimis seperti bayi. Ada yang tampan dan cantik bukan main, ada yang jeleknya minta ampun (penulis tak termasuk).
Namun, lingua franca Siam-Thai-Myanmar, tak ada miripnya dengan Bahasa Batak. Walau sama-sama memiiki aksara, Batak punya, lebih pendek dan “tegas,” tak keriting seperti aksara Siam.
DNA kedua suku-bangsa tersebut pun mungkin juga tak mirip, entahlah bila dilakukan riset secara acak (random). Kebudayaan mereka pun begitu, juga kepercayaan aseli. Siam condong ke Budhisme, sementara Batak aseli ke Hinduisme.
Tetapi, siapa tahu “tutu” suku dari Siam yang mengungsi pada zaman baheula itu merupakan suku minoritas dan hampir semua eksodus akibat pertikaian tiada putus antarsuku sehingga yang tersisa di Siam, kini menjadi “prototipe” Batak yang langka, namun ada.
Bagi penulis, dongeng ini merupakan suatu kegemaran menelusuri asal-mula manusia Batak dikaitkan dengan mitos-mitos yang menyebar dalam bentuk verbal maupun literal, meski tak banyak. Ada keasyikan tersendiri membiarkan penjelajahan imajinasi dengan mempertimbangkan berbagai hal atau aspek.
Namun, sampai kini masih terus penasaran: Dari manakah sesungguhnya asal manusia Batak? Apakah dasarnya penghuni aseli atau orang-orang yang bermigrasi dari wilayah lain di luar wilayah yg kemudian disebut Tano Batak?
Semua tak bisa dijawab lewat dongeng, mitos, legenda, apalagi dengan bertanya pada “orang pintar,” dukun, paranormal, melainkan hanya melalui studi, riset, dng mengindahkan kaedah atau syarat ilmiah–dan itu pun tetap terbuka diuji, namun setidaknya memiliki dasar dan kerangka pikir yg mengandalkan rasio, ilmu pengetahuan-sains, bukan kepercayaan buta yang diterima tanpa memfungsikan otak, dan itulah guna penting pendidikan formal.
Itu dulu dongengku. Namanya imajinasi, santai saja menanggapi. Jangan terlalu serius. Capek nanti berpolemik, tak ada pula hasilnya. Keunikan adat-budaya Batak itu saja kita nikmati bagi yang masih tertarik.
Horas. 🙂
Foto: petraonline.net